Adat bak Poteumeureuhoem, Hukoem bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana”~~~~~~~ Adat ban adat, hukom ban hukom, hanjeut meuron-ron krie-krie nyang hawa, watee meupakat adat ngon hukom, nanggroe rukon, hana le goga~~~ Roek ngon bara bak ureung naggroe, pasoe bajoe bak ureung tuha, tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteh itam bak ulama~~~Gaseh keu aneuk beuget tapapah, gaseh keu nangbah beuget tajaga~~~Raseuki deungon tagagah ....Tuah deungon tamita.....Tuah meubagi-bagi.......Raseuki meujeumba-jeumba~~~~~Teupat ke pangkai, akay keu laba~~~ KRAB TAJAK GEUBRIE SITUEK, JAREUNG TADUEK GEUJOK TIKA~~~~~ ASAI CABOK NIBAK KUDE, ASAI PAKE NIBAK SEUNDA ~~~~~~~~ Duek, duek aree, jak, jak langay~~~~Meunyoe ate hana teupeh pade bijeh geupeutaba, tapi meunyoe ate ka teupeh bu leubeh han meuteumeung rasa~~~Jaroe bak langay, mata u pasay~~~Singet bek rhoe beuabeh~~~ Nibak puntong get geunteng, nibak buta get juleng~~~Mate aneuk meupat jeurat, mate adat pat tamita~~~Tameh surang sareng, asay puteng jilob lam bara~~~tameungeuy ban laku tuboh, tapajoh ban laku atra ~~~Uleu beumate, ranteng bek patah~~~Kameng blang pajoh jagong, kameng gampong keunong geulawa~~~lagee manok toh boh saboh, jeut lampoh soh jimeuseurapa, dipinyie jitoh siribee, hana jithee le silingka~~~ lagee bubee duwa jab, keunoe toe keudeh pih rhab~~~bak adat han jikab, bak hukom han ji talum~~~paleh sagoe meuleuhob jurong, paleh gampong tan ureung tuha~~~hak ube jiplueng, bulueng ube jiteuka~~~meunyoe na ate, pade tatob, hana bak droe talakee bak gob~~~rayek rumoh rayek keunaleung, rayek bateueng rayek sawa, rayek pageu rayek beunteueng, rayek ureung rayek keureuja~~~PUTOH NGON MUPAKAT, KUWAT NGON MEUSEURAYA~~~~~~blink>Diet Peugah Duem Peubuet Banja Beusanteut Mukim Siem Tapuga

R a n u b si G a p u e


Assalamu'alaikumwarahmatullah...
Jaroe duablah ateuh jeumala,
Saleum ulon brie keu syedara meutuwah,
Neubrie ya Allah mandum sijahtra...
Amiin Ya Rabbal A'lamiin...

Dengan segala kerendahan hati, kami menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua Pengunjung blog baleeMUKIM. Meski dalam format dan tata saji yang amat sederhana, kami memberanikan diri untuk mendedikasikan blog ini untuk mengawal, mempertahankan dan mengembangkan keberadaan komunitas dan Lembaga Pemerintahan Mukim di Aceh pada umumnya, atau Mukim Siem - Darussalam khususnya.
Kami mengundang pengunjung sekalian agar berkenan berpartisipasi mewujudkan Visi dan Missi dari blog baleeMUKIM ini. Sumbangan pikiran, pendapat, komentar, kritik, saran, dan apapun yang sifatnya konstruktif, merupakan cemeti yang seharusnya mendorong kita untuk lebih maju.
Pengunjung sekalian...sekecil apupun keterlibatan anda dalam upaya pencapaian tujuan mengawal, mempertahankan dan mengembangkan eksistensi komunitas Mukim di Aceh, menurut kami mesti diapresiasikan sebagai perjuangan menuju kehidupan lebih terhormat dan bermartabat di atas landasan budaya kita sendiri.
Ayo..., lakukan ...!!! Bersama Kita Bisa...!!!

"Rhoek ngen bara bak ureung Nanggroe, Pasoe bajoe bak ureung tuha, Tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteeh itam bak ulama."
Pengunjung sekalian..., mari wujudkan cita-cita besar ini, mulailah dengan sebuah langkah kecil. ingat...!!! Perjalanan ribuan kilometer selalu diawali dengan sebuah langkah kecil...lakukan sekarang...!

Wassalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuh
teurimong gaseh.
Imeum Mukim Siem.

Berharap Kasih si Jantung Hati

Gedung Rektor Unsyiah
Jum’at, 16 Oktober 2010, saat menjelang siang, cuaca di Banda Aceh seakan memanggang. Aku terus memacu sepeda motor secepat mungkin, meski harus berliuk-liuk diantara desak-desakan sepeda motor dan mobil yang memadati ruas jalan kota Banda Aceh. Saat itu yang tepikir olehku hanyalah bagaimana caranya agar secepat mungkin sampai di rumahku di kawasan Mukim Siem Darussalam Aceh Besar, karena waktunya telah terjepit dengan waktu pelaksanakaan ibadah shalat jum’at. 

Memasuki kampus Darussalam keadaan berubah seketika. rimbunan pepohonan yang menghiasi lingkungan kampus segera menyulap udara panas membakar dengan hawa sejuk nan segar. Ketika berada di depan gedung Dayan Dawood segera pula mataku melihat jejalan papan bunga ucapan selamat pelantikan rektor baru dari dua Perguruan Tinggi Negeri di Aceh yaitu Universitas Malikul Shaleh dan Universitas Syiah Kuala. Aku baru teringat bahwa sesuai dengan pemberitaan dari media hari ini Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh akan melantik rektor dari dua perguruan tinggi ternama di Aceh, yakni Prof DR. Darni Daud, MA sebagai rektor Unsyiah dan Apridar, SE, M.Si sebagai rektor Unimal.

Gerombolan orang yang sebagian berjas dan berdasi dengan ekspresi kecerian dan mengumbar tawa hahahahihihi.....masih berkerumun di pelataran gedung yang cukup megah itu. Entah kenapa,  tiba-tiba pikiranku terlempar jauh ke belakang, jauh ke masa kerajaan Aceh Darussalam. Menurut penuturan orang-orang tua di kampungku, pada masa kerajaan Aceh Darussalam, kawasan yang hari ini dibangun Kampus Darussalam merupakan kawasan hunian penduduk yang sangat padat. Dahulu kawasan ini termasuk dalam Wilayah Ulee Balang IX Mukim Tungkob, Sagoe XXVI Mukim. Dikisahkan, penduduk yang mendiami wilayah IX Mukim Tungkob dan Mukim Kayee Adang (wilayah termasuk lokasi Kopelma Darussalam sekarang ini) pada masa Kerajaan Aceh Darussalam merupakan kawasan yang sangat padat dengan perumahan penduduk . Diilustrasikan pula, rumah-rumah yang berjejer disepanjang jalan sangat padat (pok due), sehingga bila orang-orang dari dari Mukim Lambaro Angan pergi ke pasar Aceh pada saat hujan, maka dengan berjalan di bawah kolong/emperan rumah masyarakat, maka mereka akan terlindung dari hujan, hingga sampai ke pusat kota kerajaan Banda Aceh Darussalam. 

Namun pada masa perang Belanda, terutama pada saat Teuku Umar telah membelot kepihak kolonial pada tahun 1893, banyak perkampungan penduduk yang dibumihanguskan hingga rata dengan tanah. Dengan berbelotnya Teuku Umar yang sangat memahami taktik perang rakyat Aceh, maka pada saat itu Kolonial Belanda banyak mendapatkan kemenangan dalam berbagai front pertempuran dengan rakyat Aceh. Oleh kerena Teuku Umar dianggap berjasa dalam berbagai front pertempuran dengan rakyat Aceh, maka pada tanggal 1 Januari 1894, Gubernur Van Teijn  menganugerahkan gelar kehormatan Johan Pahlawan kepada Teuku Umar  dan diizinkan pula untuk membentuk legiun pasukan sendiri yang berjumlah 250 tentara dengan senjata lengkap.

Rakyat yang berdiam di wilayah IX Mukim Tungkob merupakan salah satu wilayah yang paliiiiiiiiiiing menderita akibat perang itu. Terlebih lagi masyarakat yang mendiami kawasan lokasi pembangunan kampus sekarang ini, karena kawasan ini dapat dikatakan sebagai gerbang menuju wilayah IX Mukim Tungkob. Rumah-rumah di sini habis dibakar, dan penduduknya ditembak, diperangi serdadu belanda, sementara sebagian rakyat lari dan mengungsi keberbagai wilayah lain seluruh Aceh, bahkan sampai keluar Aceh. Tanah yang ditinggalkan oleh masyarakat ini, kemudian dikuasai oleh Pemerintah kolonial Belanda. Gubernur Jendral Pemerintah Kolonial Belanda kemudian menjadikan kawasan ini sebagai tanah perkebunan dan pengelolaannya diserahkan kepada Perusahaan Swasta dengan status hak erfpacht. 

Pada saat Prof. Ali Hasjmy  menjadi gubernur pasca pemberontakan DI/TII di Aceh, beliau bertekad membangun Aceh melalui pembangunan bidang pendidikan. Untuk mewujudkan tekad itu, maka pemerintah Provinsi Aceh di bawah kepemimpinan beliau mencanangkan pembangunan Kota Pelajar Mahasiswa, yang akan menjadi pusat pendidikan di Aceh. Lokasi yang dipilih sebagai kampus adalah bekas tanah perkebunan Belanda sebagaimana disebutkan di atas. Di lokasi ini awalnya direncanakan menjadi kampus 4 perguruan tinggi, masing-masing Universitas Syiah Kuala, IAIN Ar-Raniry, Dayah Manyang Tgk Chik Pante Kulu dan APDN Aceh. Pembangunan Kota Pelajar Mahasiswa (KOPELMA) Darussalam ini ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Ekonomi pada tanggal 29 Mei 1959, dan peristiwa bersejarah ini diperingati sebagai hari Pendidikan Daerah Aceh. 

Pembangunan Kampus Darussalam pada awalnya juga melibatkan masyarakat sekitarnya. Setiap hari masyarakat yang mendiami kawasan Mukim Tungkob dan sekitarnya ikut berpartisipasi bergotong royong membersihkan lahan yang digunakan sebagai Kampus Darussalam. Tentunya masyarakat melakukannya dengan suka rela, dengan senang hati, dengan harapan keberadaan kampus Darussalam akan sangat bermanfaat bagi pembangunan masyarakat Aceh pada umumnya wabilkhusus tentunya masyarakat yang berdiam di sekitarnya. 

Hari ini, di atas tanah darah dan air mata rakyat wilayah Ulee Balang IX Mukim Tungkob ini telah berdiri gedung – gedung megah dari berbagai fakultas baik yang ada di lingkungan IAIN Ar-Raniry maupun di lingkungan Universitas Syiah Kuala. Kedua perguruan tinggi yang terletak di Kampus Darussalam ini telah menjadi idaman putra dan putri seluruh Aceh agar bisa menuntut ilmu di sana. Sekarang Kampus Darussalam benar-benar telah menjadi kampus jantoong Hate (jantung hati) seluruh rakyat Aceh. Namun bagaimana dengan mayoritas masyarakat kampung yang berdiam di sekitar kampus ? Apakah si jantung hati benar benar dapat memenuhi harapan mereka ? Intinya bagaimana hubungan masyarakat kampus dengan masyarakat kampung di sekitarnya ? Adakah hubungan antara kedua komunitas ini berjalan harmonis ? Adakah antara keduanya terdapat hubungan saling mempengaruhi dan saling menguntungkan ? Ya ada segudang pertanyaan, dan tentu kita juga punya banyak pilihan jawaban. Semua jawaban tentunya sangat tergantung dari persepsi dan sisi pandang kita masing-masing. 

Sebagai putra kampung yang berdekatan dengan kampus Darussalam, aku juga memiliki pandangan sendiri terhadap rentetan persoalan di atas. Secara kasat mata, pengalaman ku bertahun-tahun sebagai putra kampung, aku sama sekali tidak melihat adanya upaya atawa kebijakan dari petinggi kampus untuk membangun hubungan yang harmonis dengan masyarakat kampung di sekitarnya. Singkat kata, pendek cerita mereka sangat cuek dengan masyarakat disekelilingnya. Sebaliknya yang nyata terlihat adalah adanya rivalitas antara masyarakat kampung dengan masyarakat kampus. Dengan jelas kita dapat melihat bagaimana masyarakat kampus berusaha sekuat tenaga agar mereka menjadi komunitas yang eksklusif. Lihatlah bagaimana masyarakat kampus berusaha membangun greatwall, tembok berlin dan menggali khandak (parit) yang lebar untuk memisahkan kampus dan kampung. Dan proyek besar ke depan adalah membangun jalan lingkar kampus dan menutup jalan besar yang membelah kampus, agar akses orang-orang kampung ke kampus benar-benar tertutup rapat. 

Dan bila kita mencoba membuat daftar persoalan lainnya, maka dengan mudah kita akan menemukan fakta yang sangat tragis, ironis dan menyesakkan dada. Cobalah buka mata dan hati.? Lihat masyarakat petani yang ada di Limpok dan Barabung. Kedua gampong ini adalah kampung yang berbatas langsung dengan kampus. Petani di sini, dari proses produksi sampai pemasaran hasil produksi pertanian masih dilakukan dengan cara-cara yang sangat tradisional, jauh dan sangat jauh dengan manajemen pertanian modern . Padahal di sebelahnya ada Fakultas Pertanian dengan segala jurusannya dan pakar-pakar ilmu pertanian dengan segala bidangnya. Apa yang telah mereka lakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani di sana ? Untuk pertanyaan ini maka saya berani menjawab, tidak,  tidak ada. Tidak ada program yang berarti. Di bidang kesehatan, untuk diketahui bahwa kampung-kampung di seputar kampus adalah kawasan endemi penyakit DBD, padahal tidak jauh dari sana ada Fakultas Kedokteran. Setiap tahunnya banyak binatang ternak masyarakat yang terjangkit berbagai penyakit yang mematikan sehingga banyak masyarakat perternak yang mengalami kerugian, tapi apa yang telah dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Hewan. 

Untuk diketahui, sebahagian besar bahkan hampir semua aparat pemerintahan gampong dari kampung-kampung seputar kampus tidak memahami manajemen pemerintahan gampong yang baik. Yang lebih parah lagi mereka juga sangat kesulitan untuk membuat aturan-aturan gampong tertulis (qanun/reusam gampong), padahal tuntutan di lapangan kadang-kadang telah membutuhkan. Menyikapi persoalan ini sebenarnya para pakar di Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum bisa membantu, tapi jujur saja, apa yang telah mereka lakukan. Jawabannya tidak ada, ya tidak ada...!!! Pertanyaan akan lebih panjang bila kita mengurut peran semua fakultas yang ada di lingkungan Unsyiah dan juga IAIN Ar-Raniry. 

Terlepas dari segala persoalan tadi, maka dengan adanya pelantikan Rektor baru (sebenarnya rektor lama, tapi dilantik baru untuk masa jabatan 2010 - 2014) aku berharap, aku berdo'a semoga kedepan ada perubahan dalam tata hubungan masyarakat kampus dengan masyarakat kampung yang ada di sekitarnya. Aku berharap ada orang-orang kampus yang membaca tulisan ini dan mereka tersentuh hatinya untuk membuat program-program yang beorientasi kepada peningkatan kesejahteraan orang-orang kampung di sekitarnya. Semoga kakek-nenek kami yang terusir dari tanah darah dan air mata mereka, di tanah yang hari ini dibangun kampus Darussalam, dengan gedung-gedung yang megah dan perumahan elit untuk petinggi-petingginya, akan lebih tenang di alam sana, ketika mengetahui anak-anak cucu mereka telah menjalani hidup lebih baik. Dalam keraguan aku mencoba berani berharap, berharap kasih dari si jantung hati (jantoong hatee) Kampus Darussalam. Semoga. Wallahu'alam.

Hambatan Penguatan Mukim

Tue, Oct 5th 2010, 08:40 Sumber : Opini Serambi Indonesia
KETIKA saya menjadi pemateri diskusi tentang Penguatan Mukim yang diselenggarakan Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh di Sabang baru-baru ini, seorang Imuem Mukim menceritakan hal yang menarik. Ia sudah menjabat Imuem Mukim selama 17 tahun. Dalam masa tersebut, ia merasakan bahwa posisi Mukim sangat jauh dari apa yang ia ketahui dari sejarah Mukim itu sendiri. Malah sekarang, menurutnya, Mukim persis seperti harimau ompong. Mukim memiliki kewenangan yang sangat terbatas, tapi untuk menjalankan kewenangan yang sangat terbatas itu saja Mukim tidak cukup kuasa.

Sehabis ia berbicara, sebagian peserta yang umumnya Imuem Mukim dan tetua adat, ikut bertepuk tangan. Saya berasumsi, bahwa tepuk tangan tersebut sebagai tanda setuju dengan pendapatan Imuem Mukim yang bersangkutan.

Dalam seminar tersebut, ada empat pemateri yang memberikan bahasannya, yakni dalam konteks normatif, adat, sejarah, dan pemerintahan. Saya sendiri mendapat bagian pembahasan dari sisi normatif. Dan di dalam regulasi yang ada, tampak jelas apa yang dirasakan seorang Imuem Mukim yang sudah menjabat selama 17 tahun tersebut di atas.

Bila kita toleh kembali ke belakang, posisi Mukim baru ada kembali pasca diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Adat.

Pengakuan terhadap Mukim sebenarnya sudah dinyatakan sebelumnya dengan Perda No. 2 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat-istiadat, Kebiasaan Masyarakat beserta Lembaga Adat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Namun pengakuan tersebut sifatnya sangat terbatas. Dalam Perda tersebut, posisi Mukim memang diakui, tapi konteksnya sangat terbatas dan hanya terfokus pada adat dan kebiasaan.

Dalam sejarah Mukim setelah Indonesia merdeka, kita bisa melihatnya dalam tiga babak. Pertama, masa Orde Lama, posisi Mukim masih termasuk dalam urutan jenjang pemerintahan. Urutannya adalah Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Provinsi, Pemerintahan Keresidenan, Pemerintahan Kabupaten, Pemerintah Kewedanaan, Pemerintahan Mukim, dan Pemerintahan Gampong. Kedua, masa Orde Baru, jenjang pemerintahan disederhanakan menjadi lima tingkat, yakni Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Daerah Tingkat I, Pemerintahan Daerah Tingkat II, Pemerintah Kecamatan, dan Pemerintahan Desa/Pemerintah Kelurahan. Ketiga, masa Reformasi, urutan pemerintahan terdiri atas Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Provinsi, Pemerintahan Kabupaten/kota, Pemerintah Kecamatan, Pemerintahan Mukim, dan Pemerintahan Gampong.

Kembang-kempis pengakuan posisi Mukim di Indonesia sebenarnya terkait dengan perubahan regulasi yang terjadi. Konsep otonomi yang bergeser adalah satu hal penting yang mendasari proses regulasi Mukim tersebut. Perubahan dari UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah menjadi UU No. 22 Tahun 1999 sekaligus turut memberi angin segar dalam konteks Pemerintahan Mukim di Aceh. Konsep tersebut, kini semakin dikokohkan dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU tersebut menjadi satu regulasi penting setelah perdamaian Aceh dari konflik dan pulih Aceh dari tsunami. Artinya semua ketentuan perundang-undangan yang dibentuk mengenai Aceh, harus menjadikan UU Pemerintahan Aceh tersebut sebagai dasarnya.

Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa Aceh dibagi atas Kabupaten/Kota. Kabupaten/Kota dibagi atas Kecamatan. Kecamatan dibagi atas Mukim. Mukim dibagi atas Gampong. Dalam UU juga disebutkan bahwa tugas camat termasuk membina penyelenggarakan pemerintahan Mukim.

Bila menilik secara detail dalam UU Pemerintahan Aceh, maka setidaknya ada tiga pemosisian Mukim yang harus dimaknai. Pertama, Mukim sebagai lembaga pemerintahan. Dalam konteks ini, Mukim mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan peningkatan pelaksanaan Syariat Islam. Fungsi mukim adalah penyelenggaraan pemerintahan [azas desentralisasi, dekonsentrasi, urusan tugas pembantuan], pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, peningkatan percepatan pelayanan, dan penyelesaian sengketa. Dalam wilayah ini, salah satu aturan pelaksana yang sudah berhasil diselesaikan adalah Qanun No. 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara pemilihan dan Pemberhentian Imuem Mukim. Kedua, Imuem Mukim sebagai lembaga adat. Dalam konteks ini, secara jelas telah tergambar dalam aturan pelaksana Qanun No. 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Adat dan Qanun No. 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Ketiga, Mukim sebagai kesatuan masyarakat hukum, yang memiliki wilayahnya sendiri. Konsep ini terlihat dalam konsep sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (19) UU Pemerintahan Aceh.

Ketiga pemosisian ini sangat penting dimaknai dalam satu konsep. Memisahkan satu dengan yang lainnya, menurut saya akan berimplikasi kepada kepincangan dari konteks penguatan Mukim itu sendiri. Tidak bisa dilakukan proses revitalisasi, bila kita tidak beranjak dari kesatuan konsep dari tiga pemosisian mukim tersebut di atas.

Pemersatuan konsep ini menjadi satu tantangan tersendiri. Tantangan ini kemudian ditantang lagi dengan hambatan lainnya, di mana dari 23 Kabupaten/Kota di Aceh, ternyata baru tiga Kabupaten saja yang baru menyelesaian Qanun Kabupaten/Kota tentang Mukim. Sekitar enam Kabupaten/Kota yang sedang membahas. Sedangkan sisanya, masih belum dibahas sama sekali.

Hal ini jelas menjadi hambatan karena UU Pemerintahan Aceh jelas menyebutkan bahwa dalam hal tugas, fungsi, dan kelengkapan mengenai Mukim diatur dengan Qanun Kabupaten/Kota. Memang untuk Kabupaten/Kota yang belum memiliki Qanun, akan berlaku Qanun 4 tahun 2003 tentang Mukim. Tapi esensi dari keinginan perubahan regulasi adalah memperbesar kewenangan Mukim dalam hal yang telah disebutkan, dimana dalam Qanun sebelumnya masih memiliki keterbatasan.

Hambatan ini masih dihantui pula dengan substansi Mukim yang akan diatur dengan Qanun Kabupaten/Kota. Apakah ada visi untuk memadukan konsep Mukim sebagai lembaga pemerintahan, lembaga adat, dan masyarakat hukum adat sekaligus? Karena hal tersebut akan menentukan sejauhmana Mukim akan memiliki kewenangan baik dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, maupun dalam hal menyelesaikan persoalan di tingkat Mukim dan dalam hal pengelolaan sumberdaya alamnya.

Bolehlah dikatakan bahwa cerita (sekaligus kegundahan) seorang Imuem Mukim yang sudah memegang jabatan 17 tahun di awal tulisan ini, merupakan kegundahan rasional yang penting untuk mendapat perhatian kita. Mereka merasakan ketidakberdayaan mereka untuk mengatur dirinya. Kita berharap semoga dalam proses regulasi, para pembentuk Qanun Kabupaten/Kota sangat memahami kegundahan tersebut. Wallahu a‘alam.

* Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Unsyiah

CATATAN DARI KOMNAS HAM TENTANG TIMUR

komisaris Jenderal Timur Pradopo
         Sumber: Kompas - Selasa, 5 Oktober
JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berharap Komisi III DPR mempertimbangkan rekam jejak Komisaris Jenderal Timur Pradopo saat menjabat Kepala Polres Jakarta Barat tahun 1997-1999 jika melakukan uji kepatutan dan kelayakan sebagai calon Kepala Polri.

"Catatan Komnas HAM secara objektif, bagaimana pun Timur Pradopo pernah menjabat Kapolres Jakarta Barat saat kerusuhan Semanggi I dan II," kata Wakil Ketua Komnas HAM, Rida Saleh, ketika dihubungi Kompas.com, Selasa ( 5/10/2010 ).

Rida menjelaskan, Komnas HAM telah menyampaikan catatan itu ketika dimintai pertimbangan oleh Komisi Nasional Kepolisian (Kompolnas). Timur adalah salah satu dari delapan perwira tinggi Polri yang dimintai pertimbangan Kompolnas. Nama lain yakni Komjen Nanan Soekarna, Komjen Imam Sudjarwo, dan Komjen Ito Sumardi. "Semua calon ada catatan dari Komnas HAM," ucap dia.

Untuk diketahui, selain kepada Komnas HAM, Kompolnas juga meminta masukan dari KPK dan PPATK terhadap delapan nama. Hasil pertimbangan, Kompolnas lalu merekomendasikan tiga nama kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dua nama diantaranya yakni Nanan dan Imam.

Dikatakan Rida, selain masalah tragedi Semanggi I dan II, Komnas HAM juga memberikan beberapa catatan lain terhadap Timur selama menduduki beberapa jabatan. Namun, dia menolak mengungkap apa catatan lain itu. "Kami tidak bisa sampaikan karena yang kami sampaikan rahasia. Tapi itu (tragedi Semanggi I dan II) catatan paling penting untuk Timur," ujarnya.

Rida kembali menolak menjawab ketika ditanya apakah Komnas HAM melihat ada pelanggaran HAM dalam tragedi itu. "Yang jelas kita berikan catatan-catatan itu," elak dia.

Rida menambahkan, "Kita berharap Komisi III mempertimbangkan track record ini. Perlu dipertanyakan saat dia menjabat Kapolres Jakbar, apa yang dia lakukan."

Jadwal Shalat