Adat bak Poteumeureuhoem, Hukoem bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana”~~~~~~~ Adat ban adat, hukom ban hukom, hanjeut meuron-ron krie-krie nyang hawa, watee meupakat adat ngon hukom, nanggroe rukon, hana le goga~~~ Roek ngon bara bak ureung naggroe, pasoe bajoe bak ureung tuha, tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteh itam bak ulama~~~Gaseh keu aneuk beuget tapapah, gaseh keu nangbah beuget tajaga~~~Raseuki deungon tagagah ....Tuah deungon tamita.....Tuah meubagi-bagi.......Raseuki meujeumba-jeumba~~~~~Teupat ke pangkai, akay keu laba~~~ KRAB TAJAK GEUBRIE SITUEK, JAREUNG TADUEK GEUJOK TIKA~~~~~ ASAI CABOK NIBAK KUDE, ASAI PAKE NIBAK SEUNDA ~~~~~~~~ Duek, duek aree, jak, jak langay~~~~Meunyoe ate hana teupeh pade bijeh geupeutaba, tapi meunyoe ate ka teupeh bu leubeh han meuteumeung rasa~~~Jaroe bak langay, mata u pasay~~~Singet bek rhoe beuabeh~~~ Nibak puntong get geunteng, nibak buta get juleng~~~Mate aneuk meupat jeurat, mate adat pat tamita~~~Tameh surang sareng, asay puteng jilob lam bara~~~tameungeuy ban laku tuboh, tapajoh ban laku atra ~~~Uleu beumate, ranteng bek patah~~~Kameng blang pajoh jagong, kameng gampong keunong geulawa~~~lagee manok toh boh saboh, jeut lampoh soh jimeuseurapa, dipinyie jitoh siribee, hana jithee le silingka~~~ lagee bubee duwa jab, keunoe toe keudeh pih rhab~~~bak adat han jikab, bak hukom han ji talum~~~paleh sagoe meuleuhob jurong, paleh gampong tan ureung tuha~~~hak ube jiplueng, bulueng ube jiteuka~~~meunyoe na ate, pade tatob, hana bak droe talakee bak gob~~~rayek rumoh rayek keunaleung, rayek bateueng rayek sawa, rayek pageu rayek beunteueng, rayek ureung rayek keureuja~~~PUTOH NGON MUPAKAT, KUWAT NGON MEUSEURAYA~~~~~~blink>Diet Peugah Duem Peubuet Banja Beusanteut Mukim Siem Tapuga

R a n u b si G a p u e


Assalamu'alaikumwarahmatullah...
Jaroe duablah ateuh jeumala,
Saleum ulon brie keu syedara meutuwah,
Neubrie ya Allah mandum sijahtra...
Amiin Ya Rabbal A'lamiin...

Dengan segala kerendahan hati, kami menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua Pengunjung blog baleeMUKIM. Meski dalam format dan tata saji yang amat sederhana, kami memberanikan diri untuk mendedikasikan blog ini untuk mengawal, mempertahankan dan mengembangkan keberadaan komunitas dan Lembaga Pemerintahan Mukim di Aceh pada umumnya, atau Mukim Siem - Darussalam khususnya.
Kami mengundang pengunjung sekalian agar berkenan berpartisipasi mewujudkan Visi dan Missi dari blog baleeMUKIM ini. Sumbangan pikiran, pendapat, komentar, kritik, saran, dan apapun yang sifatnya konstruktif, merupakan cemeti yang seharusnya mendorong kita untuk lebih maju.
Pengunjung sekalian...sekecil apupun keterlibatan anda dalam upaya pencapaian tujuan mengawal, mempertahankan dan mengembangkan eksistensi komunitas Mukim di Aceh, menurut kami mesti diapresiasikan sebagai perjuangan menuju kehidupan lebih terhormat dan bermartabat di atas landasan budaya kita sendiri.
Ayo..., lakukan ...!!! Bersama Kita Bisa...!!!

"Rhoek ngen bara bak ureung Nanggroe, Pasoe bajoe bak ureung tuha, Tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteeh itam bak ulama."
Pengunjung sekalian..., mari wujudkan cita-cita besar ini, mulailah dengan sebuah langkah kecil. ingat...!!! Perjalanan ribuan kilometer selalu diawali dengan sebuah langkah kecil...lakukan sekarang...!

Wassalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuh
teurimong gaseh.
Imeum Mukim Siem.

Kawah Lumpur di Lintas Lamklat

     Sebagai wilayah yang dipengaruhi oleh iklim tropis maka kepulauan Nusantara hanya mengenal dua musim yakni musim kemarau dan musim hujan.  Ketika memasuki bulan-bulan yang berakhiran "ber" bagi masyarakat penghuni kepulauan nusantara menjadi pertanda akan memasuki musim penghujan.  Musim penghujan ditandai dengan meningkatnya curah hujan dibandingkan biasanya dalam jangka waktu tertentu secara tetap. 
     Secara umum musim penghujan dipandang sebagai musim pembawa rahmat atau berkah bagi sebagian besar rakyat, karena musim penghujan dihubungkan dengan saatnya untuk menanam,  terutama tanaman padi.  Dibalik itu bukan berarti kedatangan musim penghujan tanpa mengikut sertakan persoalan bagi masyarakat.  Hal inilah yang menghantui masyarakat gampong Lamklat Mukim Siem Aceh Besar.  Ketika musim penghujan tiba, maka pada saat bersamaan di lintas gampong Lamklat akan bermunculan kawah-kawah lumpur yang sangat menyiksa pengguna jalan lintas Lamklat tersebut.
    Amatan baleeMUKIM kawah-kawah lumpur tersebut menghiasi hampir sepanjang jalan lintas Lamklat yang merupakan jalan utama memasuki Gampong Lamklat dan gampong-gampong lainnya di lintasan tadi, seperti Lam Asan, Lamgawee, Lamujong hingga gampong-gampong di kawasan Cot Keu-eung.  Diamater kawah lumpur di kawasan ini  rata-rata mencapai tiga meter sehingga nyaris menutupi semua badan jalan.  Konsekwensinya bila pengguna jalan hendak melintas di jalan tersebut, baik penjalan kaki maupun pengguna kenderaan bermotor,  sepatu/sandal atau ban kenderaan terpaksa menyelam ke dasar kawah. 
     Menurut keterangan masyarakat yang berdiam disepanjang lintasan gampong Lamklat jalan utama lintas antar gampong tersebut tidak pernah tersentuh perbaikan sejak selesai dikerjakan pada tahun 1991. "Pemerintah Kabupaten Aceh Besar memang tidak memandang sebelah mata wilayah kita di sini. Buktinya Pemerintah hanya membangun kawasan-kawasan tertentu saja, yaitu kawasan yang disebut oleh masyarakat Aceh Besar sebagai kawasan LSM, sementara masyarakat diluar kawasan tersebut selalu dianaktirikan" ujar seorang warga yang tidak mau disebut namanya.
     Bila kita menyusuri jalan-jalan utama antar gampong dalam Wilayah Mukim Siem, maka sebenarnya kawah lumpur itu tidak hanya terdapat di lintasan Lamklat, namun pemandanangan yang sama, hampir merata disemua lintasan antar gampong dalam wilayah Mukim Siem.  Pemandangan lebih parah justru terlihat di lintasan gampong Siem dan Gampong Lamreh sampai ke lintasan yang menghubungkan gampong-gampong di wilayah Mukim Leupung XXVI Kecamatan Kuta Baro. 
     Para Keuchik dan Imeum Mukim Siem  sebenarnya telah berkali-kali menyurati Pemerintah Kabupaten Aceh Besar, agar berkenan memperbaiki jalan antar gampong dalam wilayah Mukim Siem yang panjang lintasannya mencapai lebih kurang 3 KM, namun hingga saat ini belum mendapat respon positif dari pemerintah.  Padahal jalan jalan dalam wilayah dimaksud belum tersentuh perbaikan sejak  lebih kurang 19 tahun terakhir.
     Realitas ini bagai membenarkan anggapan masyarakat di wilayah pesisir Aceh Besar, bahwa kawasan ini kurang mendapat perhatian dalam pembangunan.  Anggapan masyarakat tadi ternyata sesuai juga dengan hasil kajian Lembaga GERAK Aceh Besar terhadap APBK Aceh Besar tahun 2007, 2008, 2009 dan 2010 yang  dalam laporannya melansir bahwa pembagian kue pembangunan Aceh Besar hingga saat ini belum merata. Hal ini berarti bahwa paradigma pembangunan Aceh Besar belum berubah,  maksudnya masih menumpuk di kawasan-kawasan tertentu, yaitu kawasan yang disebut oleh masyarakat Aceh Besar sebagai kawasan LSM.
     Tidak rela secara terus menerus diperlakukan tidak adil, maka tidak berlebihan jika ada seorang tokoh masyarakat di gampong Lamklat mengusulkan agar masyarakat pesisir yang berdekatan dengan Kota Banda Aceh seperti Kecamatan Darussalam diberikan hak untuk melaksanakan referendum guna menanyakan pendapat rakyat kawasan ini apakah tetap bergabung dengan Aceh Besar atau bergabung dengan Kota Banda Aceh. "Meunyoe lagee nyoe sabe leubeh get geutanyoe ta meusahoe droe ngen Banda Aceh manteng" tukas sang tokoh tersebut.  Ayoo ...!!! Pakriban...??? (bM)
    
      

Sistem Drainase Primitif

Thu, Dec 23rd 2010, 09:48
Izarul Machdar - Opini
KONSEP “the solution of pollution is dilution” atau menyelesaikan masalah pencemaran dengan cara pengenceran sudah dilakukan saat pembangunan sistem saluran air Bazalgette, London tahun 1858 yang selesai dikerjakan pada 1865. Melihat masanya, proyek ini dikerjakan pada rentang 3 generasi yang lalu. Sistem ini terdiri dari beberapa saluran pengumpul air dan stasiun pompa yang akhirnya bermuara ke Sungai Thames di Inggris.

Pada saat itu belum dipahami kapasitas asimilasi sungai terhadap bahan pencemar yang terbawa melalui saluran air pembuangan, dan juga belum ada pengertian bahwa air limbah harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke air permukaan (sungai atau danau). Akibatnya, sungai Thames tercemar parah, sehingga sejak saat itu dikeluarkan larangan yang berlaku hingga kini, bahwa buangan limbah cair dari suatu kota harus dilakukan pengolahan terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air.

Konsep drainase, sewer, atau saluran air perkotaan dapat dibagi dua cara. Pertama, combined system (metode kombinasi), di mana saluran dibuat untuk mengalirkan air yang berasal dari gabungan limpasan air hujan dan air limbah domestik. Cara kedua, menggunakan separated system (metode terpisah), yaitu saluran dibuat terpisah antara saluran untuk air hujan dan limbah domestik.

Untuk sistem pertama, aliran air harus melalui sistem pengolahan limbah cair sebelum dibuang ke badan air. Pada sistem kedua, hanya saluran yang membawa limbah domestik yang melalui unit pengolahan air, sedangkan saluran air hujan dapat diarahkan langsung ke sungai atau laut. Melihat kedua metode di atas, sistem kombinasi lebih disukai di negara-negara berkembang karena biaya konstruksi yang relatif lebih murah. Walaupun demikian, permasalahan akan timbul seandainya hujan lebat atau limbah terkontaminasi oleh sampah. Logikanya memang demikian, sistem pengolahan limbah cair tidak didesain untuk mengolah sampah padat.

Sistem-sistem drainase perkotaan yang dipakai di Indonesia sulit mencari dasar referensinya, apakah mengikuti metode pertama atau kedua. Contohnya saja apa yang kita lihat di Jakarta . Proyek saluran air yang dibangun melalui kegiatan Jakarta Sewerage and Sanitation Project (JSSP tahun 1982-1996) dari pinjaman IBRD sungguh kita tidak tahu dasar berpijak dari desain yang digunakan.

Proyek ini prioritasnya untuk menangani banjir tapi juga sebagai saluran untuk limbah domestik yang akan diolah pada dua kolam besar yang berada di Distrik Setiabudi. Apa yang terjadi? Sistem tidak bekerja secara efektif menanggulangi insiden banjir di Jakarta disebabkan banyak saluran tersumbat sampah dan pendangkalan oleh lumpur limbah domestik. Hal ini terjadi karena sebagian sistem yang digunakan open channel (terbuka), sehingga sampah mudah masuk ke dalam saluran ditambah lagi unjuk kerja unit pengolahan limbah tidak mampu mengolah limbah, sehingga terjadi penyumbatan karena lumpur yang terbentuk.

Di sisi lain dapat kita amati, betapa kotornya saluran drainase di Jakarta akibat limbah domestik dari septik tank penduduk, limbah dari bengkel serta limbah industri kecil yang dikoneksikan langsung pada saluran drainase. Sampai-sampai kita tidak dapat membedakan air drainase dengan oli bekas. Kalau hal ini menjadi referensi disain drainase Kota Banda Aceh yang sedang giat-giatnya dilakukan saat ini, kita hanya menunggu waktu. Tak lama lagi, hal yang sama, yang terjadi saat ini di ibukota negara akan terjadi di ibukota Provinsi Aceh.

Menilik hasil kerja dari Sea Defence Consultant berkenaan dengan desain pencegahan banjir dan drainase kota (Flood Protection & Urban Drainage, Banda Aceh Zone-1, 2007), di sana sama sekali tidak menyinggung apakah metode kombinasi atau metode terpisah yang akan digunakan di dalam menata drainase Kota Banda Aceh. Pendekatan utama desain tersebut hanya untuk merehabilitasi alur Kreung Doy, Krueng Daroy, dan Kreung Neng di dalam mengatasi limpasan air hujan untuk mencegah banjir. Padahal diketahui bahwa alur-alur tersebut juga menerima limbah domestik dari penduduk di sekitar Zone-1 yang luasannya mencapai 1.130 ha.

Prinsip pengolahan limbah cair primitif (dengan melakukan penggelontoran ke sungai) yang seharusnya tidak dilakukan lagi, masih tetap digunakan di dalam desain drainase Kota Banda Aceh. Hal ini dapat dibaca dari rekomendasi laporan tersebut yang menyebutkan “Untuk menghindari kualitas air yang jelek selama musim kemarau, air kotor dari saluran kolektor Timur dialirkan langung ke Krueng Neng melalui saluran penangkap dan tidak ke kolam”. Di sini konsep pencegahan pencemaran dengan melakukan pengenceran terasa sangat kental.

Selanjutnya apabila konsep desain Zone-1 di dalam usaha pengendalian banjir diterapkan untuk zona lain di Banda Aceh, seperti yang sedang dilakukan saat ini tentunya kita layak bertanya tentang visi Kota Banda Aceh. Visi dengan konsep menggelontorkan limbah ke sungai tanpa pengolahan sungguh suatu konsep pembangunan yang surut 3 generasi ke belakang. Dalam menjaga lingkungan, Kota Banda Aceh masih berpedoman pada suatu metode yang 150 tahun lalu sudah banyak ditinggalkan oleh penduduk bumi ini. Dengan kata lain, fisik kita berada di abad milenium, tetapi konsep perlindungan lingkungan masih sangat primitif.

Sistem drainase di Jakarta selayaknya menjadi suatu pembelajaran bagi pengelola Kota Banda Aceh. Kita sudah memahami bersama, konsep pengendalian banjir dengan sistem saluran terbuka sangat berpotensi untuk gagal akibat terjadi penyumbatan baik dari sampah atau akibat lumpur hasil deformasi limbah domestik yang juga terkoneksi padanya.

Kota-kota kecil di India layak untuk dicontoh bagaimana mereka mendesain sistem drainase perkotaan. Walaupun diketahui tingkat pendapatan per kapita mereka yang masih rendah, infrastruktur yang terbatas, dan jumlah penduduk yang padat, tapi sistem pengelolaan limbah domestik yang dikombinasi dengan limpasan air hujan sudah terpasang di setiap kota. Sistem yang digunakan berupa perpipaan berdiameter besar yang ditanam dalam tanah. Limbah domestik dari septik tank, limbah industri kecil, limbah dari aktifitas bisnis, serta limpasan hujan dialirkan ke dalam suatu saluran yang mengarah ke suatu unit pengolahan limbah sebelum dibuang ke sungai.

Karena sifatnya tertutup, saluran bawah tanah ini tidak punya akses atau tidak terkontaminasi oleh sampah dan mempunyai by-pass langsung ke sungai apabila terjadi hujan lebat. Unit pengolahan limbah dipilih yang ekonomis dan mudah di dalam perawatan. Memang dalam hal ini keberadaan saluran drainase yang terencana dengan baik di India akibat dari proyek Gangga Action Plan. Proyek ini telah menyelamatkan kota-kota kecil di India dari marabahaya akibat pencemaran limbah penduduk seperti diare, malaria, dan kholera.

Kesan dari frasa headline Serambi (20/12/2010) “Proyek Drainase Mengusik Kota” masih sangat sopan digunakan oleh tim wartawan yang meliput berbagai permasalahan selama konstruksi drainase yang notebene dilakukan oleh kontraktor “kelas kakap” (istilah seorang kepala dinas). Kata “mengusik” dapat dipahami hanya mengganggu sementara waktu, yang memang telah diselesaikan secara “kesatria” dengan mengucapkan permohonan maaf yang hampir satu halaman Serambi oleh para pengusik.

Tapi melihat metode drainase yang digunakan, saya pribadi agak pesimis. Kita sedang mengulang kesalahan orang lain yang justru sekarang sedang berlangsung di depan mata kita. Terjungkal pada lubang yang sama memang sangat memalukan.

* Dr. Ir. Izarul Machdar, M. Eng adalah dosen Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala.
 

Peringatan 6 Tahun Tsunami Aceh Diisi dengan Dzikir Bersama

Minggu, 26/12/2010 13:25 WIB

Didit Tri Kertapati - detikNews




Jakarta - Suasana sakral sangat terasa dalam acara peringatan tragedi tsunami di Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Dalam memperingati tragedi bencana yang terjadi 6 tahun silam itu banyak diisi dengan acara dzikir bersama.

"Kegiatannya diarahkan kepada kerohanian. Hampir di semua masjid-masjid melakukan dzikir bersama. Dan biasanya ditutup dengan makan bersama," ujar Vice Director Tsunami and Disaster Mitigation Research Banda Aceh, Dr M Ridha, saat berbincang dengan detikcom, Minggu (26/12/2010).

Menurut Ridha, pada tahun ini acara dipusatkan di Pelabuhan Ulele, Banda Aceh. Dalam acara yang dihadiri sekitar 5 ribu warga Aceh tersebut diisi oleh tausiah dan dzikir bersama.

Tampak hadir Gubernur Nangroe Aceh Darussalam Irwandi Yusuf, Wakil Gubernur M Nazar dan sejumlah anggota DPRD Propinsi NAD serta perwakilan orang Aceh yang berada di Jakarta. Turut hadir dan juga memberikan ceramah pada acara tersebut Menkominfo Tifatul Sembiring.

Ridha menambahkan, sejauh ini perbaikan infrastruktur yang mengalami kerusakan akibat terjangan tsunami belum merata. Ada daerah yang hingga kini belum mendapatkan perbaikan yang cukup.

"Recovery dari segi fisik kalau melihat Banda Aceh sudah cukup bagus. Tapi kalau Meulaboh, Calang, ke arah pantai barat masih kurang, masih belum selesai," tambahnya.

Lebih lanjut Ridha mengatkan, sejumlah warga sudah mampu melupakan tragedi yang terjadi selepas waktu Subuh tersebut. Namun masih ada juga warga yang mengaku trauma setiap kali mengenang peristiwa yang terjadi pada 26 Desember 2004 lalu tersebut.

"Sebagian sudah bisa melupakan terutama yang sudah berkeluarga kembali. Tapi ada sebagian yang masih trauma seperti mereka yang kehilangan anaknya. Mereka khawatir kalau anaknya masih hidup dan dibawa oleh orang," jelas Ridha.

Selain dzikir bersama, untuk mengingatkan seluruh warga Aceh tentang tsunami. Pemerintah setempat menginstrusikan agar seluruh warga Aceh untuk mengibarkan bendera setengah tiang.

"Disini warga diminta untuk mengibarkan bendera setengah tiang mulai hari ini selama tiga hari sampai tanggal 28 Desember," tuntas Ridha.

(ddt/ndr)

Meluruskan Salah Kaprah Peringatan Hari Ibu


                         

Oleh: Widyastuti Purbani


KLA.org - Pemahaman kita tentang Hari Ibu, 22 Desember, mencerminkan pikiran yang kacau. Peringatan Hari Ibu terpolusi oleh Mother’s Day yang diperingati di banyak negara, terutama Amerika Serikat. Kini, Hari Ibu di Indonesia diperingati untuk mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada para ibu, memuji ke-ibu-an para ibu.

Berbagai kegiatan pada peringatan itu merupakan kado istimewa, penyuntingan bunga, surprise party bagi para ibu, aneka lomba masak dan berkebaya, atau membebaskan para ibu dari beban kegiatan domestik sehari-hari. Perjuangan perempuan Memang tidak ada yang salah dengan aneka ungkapan seperti itu. Tidak ada salahnya pula mengucapkan terima kasih atas jasa dan jerih payah ibu.

Tetapi, jika merunut sejarah terjadinya Hari Ibu di Indonesia, sebenarnya bukan itu misi sejatinya. Misi sejati peringatan Hari Ibu adalah mengenang perjuangan kaum perempuan menuju kemerdekaan dan pembangunan bangsa. Tahun 1959, Presiden Soekarno menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu melalui Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1959. Tanggal 22 Desember dipilih untuk mengenang diselenggarakannya Kongres Perempuan pertama, 31 tahun sebelumnya, yakni tahun 1928 di gedung yang kemudian dikenal sebagai Mandalabhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto, Jogjakarta.

Peristiwa itu dianggap sebagai salah satu tonggak penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia. Pada tanggal keramat tersebut para pemimpin organisasi perempuan dari berbagai wilayah se-Nusantara berkumpul menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Berbagai isu yang saat itu dipikirkan untuk digarap adalah persatuan perempuan Nusantara; pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan; pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa; perdagangan anak-anak dan kaum perempuan; perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita; pernikahan usia dini bagi perempuan, dan sebagainya. Tanpa diwarnai gembar-gembor kesetaraan jender, para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa.

Dari paparan tersebut tercermin, misi diperingatinya Hari Ibu lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Dari situ pula tercermin semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama. Yang lebih hebat, pemikiran dan aneka upaya penting itu terjadi jauh sebelum kemerdekaan negeri ini diraih dan jauh sebelum konsep-konsep adil jender dan feminisme berkembang di negeri ini. Kata “ibu” Yang barangkali telah merancukan pemaknaan Hari Ibu adalah digunakannya kata “ibu”, dan bukan “perempuan”. Masalahnya, jika ditilik dari apa yang dilakukan para pejuang saat itu, titik sentral yang digarap adalah kaum perempuan secara umum, bukan sebatas kaum ibu. Jadi, menilik sejarahnya, mestinya bukan the state of being mother-nya yang diapresiasi, tetapi keperempuanan dan semangat juang mereka yang hebat.

Penggunaan kata ibu ini pulalah yang tampaknya telah membuat pemaknaan Hari Ibu terseret ke arah pemaknaan Mother’s Day, yang lebih ditujukan untuk memberi puja-puji terhadap ke-ibu-an (motherhood) dan perannya sebagai “yang telah melahirkan dan menyusui”, sebagai pengasuh anak, sumber kasih sayang, pemandu urusan domestik, dan pendamping suami. Hal-hal inilah yang menjadi titik sentral peringatan Mother’s Day di sebagian negara Eropa dan Timur Tengah, yang mendapat pengaruh dari kebiasaan memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronus, dan ibu para dewa dalam sejarah Yunani kuno. Maka, di negara-negara tersebut, peringatan Mother’s Day jatuh pada bulan Maret. Di Amerika Serikat dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong, peringatan Mother’s Day jatuh pada hari Minggu kedua bulan Mei karena pada tanggal itu pada tahun 1870 aktivis sosial Julia Ward Howe mencanangkan pentingnya perempuan bersatu melawan perang saudara.

Akan tetapi, seperti terjadi di Indonesia, makna itu mengalami pendangkalan akibat komersialisasi dan bisnis media lebih ke arah hari makan-makan atau pemberian kado bagi para ibu. Dari paparan tersebut, tampak peringatan Hari Ibu 22 Desember di Indonesia amat tidak konsisten karena secara makna lebih cenderung mengarah ke worshiping motherhood, seperti di Eropa dan Timur Tengah, dan praktiknya cenderung mengopi apa yang dilakukan masyarakat Amerika Serikat, tetapi dari segi waktu maunya memakai tanggal di mana pejuang perempuan bangsa bersatu. Jika kita ingin dianggap jelas dalam berpikir, seharusnya mengembalikan hari penting itu kepada makna sejatinya, yakni mengenang perjuangan dan keterlibatan perempuan dalam usaha perbaikan nasib bangsa yang belum lepas dari berbagai kemalangan, tanpa harus menghilangkan rasa terima kasih dan puja-puji terhadap jasa dan perjuangan kaum ibu. Atau jika penekanannya lebih kepada yang disebut terakhir, kita ciptakan Mother’s Day pada bulan Maret atau Mei. Selamat Hari Ibu.

Selamat berjuang, kaum perempuan!!!

Widyastuti Purbani, Dosen FBS Universitas Negeri Jogjakarta; Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia


Mukim: Berjuang Untuk Sebuah Legitimasi


Oleh: Dewa Gumay


Setelah diakui keberadaanya oleh Undang-Undang otonomi khusus, Pemerintahan Mukim kembali diakui secara de jure dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Secara de facto, keberadaan mukim masih cukup eksis dan diakui di seluruh Nanggroe Aceh, sekalipun antara warga masyarakat Aceh terdapat beragam suku dan kultur. Masalahnya, eksistensi mukim ini sekarang di Aceh bukanlah sebagai lembaga pemerintah. Mukim hanya lembaga adat yang tak punya kuasa memerintah. Sekian lama mukim hanya menjadi simbol adat, dan dipentingkan ketika ada upacara-upacara adat belaka. Misalnya, kahuri blang, kahuri laoet, dan kahuri-kahuri lainnya. Fakta seperti ini tentu sangat berbeda dengan eksistensi mukim pada masa kesultanan Aceh tempoe doeloe, hingga awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia.

Sebetulnya, bukan hanya Pemerintahan Mukim di Aceh yang mengalami staknasi, Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat dan Pemerintahan Marga di Sumatera Selatan merupakan salah satu dari sekian banyak Pemerintahan adat yang tidak berfungsi dengan keluarnya Undang-Undang Pemerintahan Desa. Wacana maupun tindakan kongkriet untuk mengembalikan keberadaan mukim di Aceh telah dirintis, mulai dari Undang-Undang otonomi khusus hingga Undang-Undang Pemerintahan Aceh, tetapi tetap saja tak semudah membalikkan telapak tangan untuk mengubah kondisi yang telah berlangsung puluhan tahun.

Tempo doeloe, keberadaan mukim tidak saja mendapat pengakuan sosio-antropologis masyarakatnya, bahkan mendapat dukungan juridis politis dan legitimasi dari pemegang kekuasaan pada masa itu. Sejarah mencatat bahwa lembaga mukim tersebut terbentuk seiring dengan masuknya agama Islam ke Aceh. Mukim merupakan sistem pemerintahan tersendiri yang dipimpin oleh Imum Mukim. Imum Mukim dipilih secara langsung oleh tokoh-tokoh dalam kemukiman tersebut, yang terhimpun dalam tuha lapan. Karenanya, ia tidak tunduk pada kekuasaan di atasnya.


Mukim mempunyai harta kekayaan serta sumber keuangan sendiri dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Pada masa kolonial Belanda keberadaan Imum Mukim tetap diakui. Bahkan diatur secara khusus dalam Besluit van den Governeur General van Nederland Indie Nomor 8 Tahun 1937. Masa penjajahan Jepang, pemerintahan oleh Imum Mukim pun tetap diakui berdasarkan Osamu Seirei Nomor 7 Tahun 1944. Setelah Indonesia Merdeka ketentuan-ketentuan tentang pemerintahan mukim tetap diberlakukan, yaitu berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.

Untuk mempertahankan kedudukan mukim dalam struktur pemerintahan desa, Keresidenan Aceh mengeluarkan Peraturan Keresidenan Aceh Nomor 2 dan Nomor 5 Tahun 1946, yang menurut kedua peraturan tersebut, Pemerintahan Mukim diberlakukan untuk seluruh Aceh. Akan tetapi kedudukannya tidak lagi berada di bawah Ulhee Balang, karena lembaga ini sudah dihapus dengan kedua peraturan tersebut, sehingga. Mukim berada di bawah camat dan membawahi beberapa gampong.

Pemerintahan Mukim dilaksanakan oleh tiga unsur. Pertama, unsur adat yang diwakili oleh imum mukim. Kedua, unsur agama yang diwakili oleh imeum masjid, ketiga, unsur dewan yang diwakili oleh tuha lapan. Meskipun ketiga unsur itu dipilah kewenangannya, namun dalam pengambilan keputusan diperlukan adanya persetujuan bersama. Pelaksanaan putusan dipresentasikan oleh imum mukim, sehingga putusan yang diambil merupakan keputusan yang kuat karena merupakan keputusan semua unsur pimpinan yang mewakili masyarakat. Sebab itu pula dapat diperkirakan didukung oleh semua unsur yang ada dalam masyarakat.

Seurikat Mukim Aceh Jaya

Tempo doeloe adalah sejarah, sejarah tentang kebesaran dan pengakuan segenap orang terhadap kedudukan Mukim. Sekarang adalah hari ini dimana Mukim tidak memiliki dukungan juridis politis serta legitimasi dari pemegang kekuasaan, secara de facto Mukim tetaplah sebuah lembaga adat tanpa Power untuk mengeksekusi. Untuk itu diperlukan kerja keras bagi para Mukim itu sendiri untuk mengembalikan harkat dan martabatnya seperti tempo doeloe, bukan hanya sekedar catatan sejarah yang digores tinta emas.

Apa yang harus dilakukan ? Apa saja prasyaratnya ? Mari kita tinggalkan sejarah dan tinta emas, kita arahkan pandangan kita sedikit ke sebuah Kabupaten yang terletak di pantai barat, Kabupaten Aceh Jaya. Mari kita sedikit belajar dari apa yang telah dilakukan para Imum Mukin di Kabupaten ini, berjuang untuk mendapatkan harkat dan martabatnya kembali. Berjuang tidak ber-arti berkonotasi “negatif”, berjuang adalah upaya untuk mendapatkan sesuatu yang dulu pernah ada, sebuah pengakuan atau legitimasi. Legitimasi ini perlu untuk direbut kembali, karena secara hukum (Undang-Undang Pemerintahan Aceh) mengatur soal legitimasi Mukim, persoalannya legitimasi ini belum diberikan secara mutlak. Ini tidak salah, karena Undang-Undang yang memandatkan demikian.

Dua tahun lalu, tepatnya 7 Agustus 2005 Miladiah bertepatan dengan 2 Rajab 1426 Hijriyah, Organisasi yang diberi nama Seurikat Mukim Aceh Jaya didirikan, tujuannya adalah untuk meningkatkan martabat dan harkat mukim serta memaksimalkan peran dan fungsi mukim dalam tatanan pemerintahan dan pengelolaan sumber daya alam. Apa yang melatarbelakangi pendirian Seurikat Mukim Aceh Jaya ini ?. Menurut Anwar Ibrahim Imum Mukim Rigaih, Seurikat Mukim Aceh Jaya didirikan sebagai tempat untuk menyalurkan aspirasi, membuat konsep atau acuan kepada Bupati atau pihak lain, memudahkan perencanaan mukim dan membangun hubungan dengan instansi lain, menguatkan lembaga adat yang ada di Aceh Jaya, dan membantu memudahkan urusan-urusan dengan masyarakat.

“Lebih dari itu, Seurikat Mukim Aceh Jaya didirikan untuk mengangkat harkat dan martabat mukim yang berada di Kabupaten Aceh Jaya,” tegas Anwar Ibrahim. Menurut pengurus Seurikat Imum Mukim Aceh Jaya ini, banyak hal yang harus diperbaiki dan diperjuangkan, untuk mengangkat harkat dan martabat para Imum Mukim kembali seperti tempo doeloe, dan itu pekerjaan yang sangat besar dan mulia.

Waktu terus berjalan, pengakuan itu harus direbut bukan hanya sekedar berbicara dan berwacana tentang masa lalu, prinsip ini sangat kuat dan teguh dipegang oleh para Imum Mukin di Aceh Jaya. Sampai hari ini banyak hal yang telah dilakukan oleh Seurikat Mukim Aceh Jaya, mulai dari meng-inisiasi penyusunan Tata Ruang Aceh Jaya dengan melibatkan masyarakat gampong, bernegosiasi tentang keberadaan HPH yang ada di Aceh Jaya, dan terlibat aktif dalam upaya pelestarian lingkungan hidup khususnya di Aceh Jaya.
Secara organisasi, Seurikat Mukim sedang melakukan upaya pembenahan organisasi kedalam dan terus terlibat aktif memberikan masukan-masukan kepada Pemerintah, Seurikat Mukim adalah partner bagi semua pihak yang akan memberikan masuka-masukan konstruktif. Walaupun masih seumur jagung, organisasi ini adalah embrio yang akan mengkonsolidasikan kekuatan Mukim di Kabupaten Aceh Jaya.

Jika demikian, beranikah kita bermimpi tentang kejayaan Pemerintahan Mukim seperti tempo doeloe, sebagaimana yang telah dituliskan oleh tinta emas sejarah kedaulatan Mukim ?. Jawabannya ya, dengan catatan bahwa Mukim tetap harus berjuang tanpa akhir untuk merebut harkat dan martabatnya. Jika tidak, sampai ratusan kali Undang-Undang yang mengatur tentang Pemerintahan Mukim dibuat oleh Pemerintah, ratusan kali pula legitimasi itu tak akan pernah sampai kepada tangan-tangan Imum Mukim. Sementara sejarah, tetap saja terus mencatat. (*) dwg/FFI AP

Jadwal Shalat