Adat bak Poteumeureuhoem, Hukoem bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana”~~~~~~~ Adat ban adat, hukom ban hukom, hanjeut meuron-ron krie-krie nyang hawa, watee meupakat adat ngon hukom, nanggroe rukon, hana le goga~~~ Roek ngon bara bak ureung naggroe, pasoe bajoe bak ureung tuha, tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteh itam bak ulama~~~Gaseh keu aneuk beuget tapapah, gaseh keu nangbah beuget tajaga~~~Raseuki deungon tagagah ....Tuah deungon tamita.....Tuah meubagi-bagi.......Raseuki meujeumba-jeumba~~~~~Teupat ke pangkai, akay keu laba~~~ KRAB TAJAK GEUBRIE SITUEK, JAREUNG TADUEK GEUJOK TIKA~~~~~ ASAI CABOK NIBAK KUDE, ASAI PAKE NIBAK SEUNDA ~~~~~~~~ Duek, duek aree, jak, jak langay~~~~Meunyoe ate hana teupeh pade bijeh geupeutaba, tapi meunyoe ate ka teupeh bu leubeh han meuteumeung rasa~~~Jaroe bak langay, mata u pasay~~~Singet bek rhoe beuabeh~~~ Nibak puntong get geunteng, nibak buta get juleng~~~Mate aneuk meupat jeurat, mate adat pat tamita~~~Tameh surang sareng, asay puteng jilob lam bara~~~tameungeuy ban laku tuboh, tapajoh ban laku atra ~~~Uleu beumate, ranteng bek patah~~~Kameng blang pajoh jagong, kameng gampong keunong geulawa~~~lagee manok toh boh saboh, jeut lampoh soh jimeuseurapa, dipinyie jitoh siribee, hana jithee le silingka~~~ lagee bubee duwa jab, keunoe toe keudeh pih rhab~~~bak adat han jikab, bak hukom han ji talum~~~paleh sagoe meuleuhob jurong, paleh gampong tan ureung tuha~~~hak ube jiplueng, bulueng ube jiteuka~~~meunyoe na ate, pade tatob, hana bak droe talakee bak gob~~~rayek rumoh rayek keunaleung, rayek bateueng rayek sawa, rayek pageu rayek beunteueng, rayek ureung rayek keureuja~~~PUTOH NGON MUPAKAT, KUWAT NGON MEUSEURAYA~~~~~~blink>Diet Peugah Duem Peubuet Banja Beusanteut Mukim Siem Tapuga

R a n u b si G a p u e


Assalamu'alaikumwarahmatullah...
Jaroe duablah ateuh jeumala,
Saleum ulon brie keu syedara meutuwah,
Neubrie ya Allah mandum sijahtra...
Amiin Ya Rabbal A'lamiin...

Dengan segala kerendahan hati, kami menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua Pengunjung blog baleeMUKIM. Meski dalam format dan tata saji yang amat sederhana, kami memberanikan diri untuk mendedikasikan blog ini untuk mengawal, mempertahankan dan mengembangkan keberadaan komunitas dan Lembaga Pemerintahan Mukim di Aceh pada umumnya, atau Mukim Siem - Darussalam khususnya.
Kami mengundang pengunjung sekalian agar berkenan berpartisipasi mewujudkan Visi dan Missi dari blog baleeMUKIM ini. Sumbangan pikiran, pendapat, komentar, kritik, saran, dan apapun yang sifatnya konstruktif, merupakan cemeti yang seharusnya mendorong kita untuk lebih maju.
Pengunjung sekalian...sekecil apupun keterlibatan anda dalam upaya pencapaian tujuan mengawal, mempertahankan dan mengembangkan eksistensi komunitas Mukim di Aceh, menurut kami mesti diapresiasikan sebagai perjuangan menuju kehidupan lebih terhormat dan bermartabat di atas landasan budaya kita sendiri.
Ayo..., lakukan ...!!! Bersama Kita Bisa...!!!

"Rhoek ngen bara bak ureung Nanggroe, Pasoe bajoe bak ureung tuha, Tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteeh itam bak ulama."
Pengunjung sekalian..., mari wujudkan cita-cita besar ini, mulailah dengan sebuah langkah kecil. ingat...!!! Perjalanan ribuan kilometer selalu diawali dengan sebuah langkah kecil...lakukan sekarang...!

Wassalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuh
teurimong gaseh.
Imeum Mukim Siem.

PERNYATAAN SIKAP MAJLIS DUEK PAKAT MUKIM ACEH BESAR ATAS RAQAN RTRWK ACEH BESAR: "RTRWK Aceh Besar harus mengakui Kedaulatan Mukim"

                                                                                           
                                                                                             
  umong meu ateung,lampoh meu pageu,
        uteun meu taloe,nanggroe meu raja
 


A.    Latar Belakang

     Pada tanggal 7 Mei 2013 lalu, perwakilan mukim Aceh Besar diundang menghadiri pertemuan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) mengenai Raqan RTRWK Aceh Besar. Sementara itu, disaat bersamaan di tingkat provinsi proses pengesahan RTRWA masih tarik ulur dan belum ada ketetapannya.
     Sebelumnya, semua imeum mukim yang hadir pada acara RDPU tidak pernah dilibatkan dan tidak pernah mendapat informasi bahwa RTRWK Aceh Besar sudah disusun oleh Pemda Aceh besar. Padahal kebijakan RTRWK ini pada pelaksanaan akan menggunakan wilayah dan ruang kelola mukim. Permintaan untuk segera menyetujui penetapan Raqan RTRWK Aceh Besar ini menjadi tanda tanya besar bagi imeum mukim selaku pemangku wilayah dan pengelola ruang di tingkat mukim. Kesimpangsiuran informasi mengenai latar belakang dan substansi isi Raqan RTRWK Aceh Besar ini memerlukan klarifikasi dan penjelasan mendalam dari Pemerintah Aceh Besar.
     Rencana umum tata ruang kabupaten adalah penjabaran RTRW provinsi ke dalam kebijakan dan strategi pengembangan wilayah kabupaten yang sesuai dengan fungsi dan peranannya di dalam rencana pengembangan wilayah provinsi secara keseluruhan. RTRWK Aceh Besar merupakan kerangka acuan bagi pembangunan dan berbagai aktivitas pemanfaatan ruang di Aceh Besar untuk masa waktu 20 tahun kedepan. RTRWK Aceh Besar harus dapat mensejahterakan, menyelamatkan sumber penghidupan, menjamin keseimbangan alam, dan harmonisasi sosial. RTRWK harus memenuhi asas keberlanjutan ekonomi, ekologi, sosial dan budaya.
     Jika dilihat dari Draft Qanun yang disampaikan, tidak ditemukan adanya pengakuan keberadaan mukim dan kepentingan mukim. Sebagai contoh: pada lingkup wilayah dan penyebutan lokasi rencana pembangunan, tidak mencantumkan nama mukim. Konon lagi pelibatan mukim dalam perencanaan ruang di Aceh Besar.

B.    Pertanyaan Kritis

     Ada beberapa pertanyaan yang menjadi ganjalan bagi mukim-mukim se-Aceh Besar yang harus dijelaskan oleh Pemerintah Aceh terkait proses dan substansi Raqan RTRWK Aceh Besar, sebagai berikut:  
1)    Kenapa RTRWK Aceh Besar harus segera disyahkan, sementara RTRW Aceh belum ada  kejelasannya? Bukankah Pasal 25 ayat 1 poin (a) menyebutkan bahwa: “Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi”?
2)    Apa hal penting yang melatarbelakangi “pengesahan segera” RTRWK Aceh Besar ini? Untuk siapa RTRWK ini disusun?
3)    Apakah rencana pembangunan sektoral dan kewilayahan di tingkat kabupaten sudah bisa dilakukan, sementara status kawasannya di tingkat provinsi belum jelas?
4)    Apakah pelaksanaan perencanaan tata ruang kabupaten Aceh Besar sudah diselenggarakan sesuai prosedur perundang-undangan yg berlaku?
5)    Apakah RTRWK sudah memuat landasan spasial yang mengakomodir keistimewaan Aceh? Dan dapat menjamin kesejahteraan masyarakat? Apakah rencana struktur ruang dan pola ruang sudah berkualitas sesuai tujuan dan cita-cita bersama masyarakat Aceh?
6)    Apakah informasi mengenai RTRWK sudah tersosialisasi ke mukim-gampong? Sejauhmana mukim dilibatkan dalam proses penyusunan RTRWK? Bukankah RTRWK merupakan kebijakan penting daerah yang harus diketahui masyarakat?

C.    Arti Penting Tata Ruang bagi Mukim

     MUKIM merupakan salah satu bentuk kekhususan di Aceh sudah ada sejak jaman kesultanan Aceh dan terus berkembang sejarah perjalanan peradaban Aceh, ibarat pepatah ta rah han basah, ta teut han tutong. Mukim adalah suatu kesatuan masyarakat dalam wilayah Aceh yang terbentuk melalui persekutuan beberapa gampong dengan batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri. Mukim bukan hanya sebagai identitas komunal masyarakat adat di Aceh, tetapi juga sebagai bagian dari struktur pemerintahan sekaligus sebagai pengelola wilayah dan pengatur kehidupan sosial kemasyarakatan. Mukim mempunyai kewenangan mengurus harta kekayaan dan sumber pendapatan mukim.  Saat ini, keberadaan mukim telah diakui melalui Undang Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Di beberapa kabupaten sudah dihasilkan qanun, seperti Qanun Kabupaten Aceh Besar No. 8 Tahun 2009 tentang Pemerintahan Mukim. Walau dalam kehidupan sehari-hari dan dalam undang-undang keberadaan MUKIM sudah diakui, namum dalam pelaksanaannya MUKIM masih diabaikan.
Dalam sejarahnya, Aceh Besar memiliki model pemerintahan berbasis mukim yang sangat baik. Sistem koordinasi, komunikasi dan perwakilan dalam pemerintahan telah mampu menghadirkan harmonisasi secara sosial, ekonomi, politik dan budaya. Aceh Besar memiliki keteraturan dalam bidang pemerintahan dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA).

D.    Landasan Hukum

1)    UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
2)    UU No.26 Tahun 2006 tentang Penataan Ruang
3)    PP 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
4)    PP 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang
5)    Permen PU No. 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten.
6)    Permendagri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi penataan Ruang
7)    Qanun No.3 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun
8)    Qanun Aceh Besar No.8 tahun 2009 ttg Pemerintahan Mukim

E.    Pokok-Pokok Tuntutan Mukim Aceh Besar atas RTRWK

     Pelaksanaan perencanaan tata ruang idealnya diselenggarakan untuk a) menyusun rencana tata ruang sesuai prosedur, b) menentukan rencana struktur ruang dan pola ruang yang berkualitas; dan c) menyediakan landasan spasial bagi pelaksanaan pembangunan sektoral dan kewilayahan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (Pasal 18 PP. No15/2010). Sebagai langkah kongkrit dalam rangka merealisasikan Kedaulatan Mukim ke dalam Rencana Tata Ruang Kabupaten Aceh Besar maka Kami; Majlis Duek Pakat Mukim Aceh Besar pada  Hari Senin, tanggal 13 Mei 2013 telah melakukan duek pakat dan menyepakati Pokok-Pokok Tuntutan Mukim sebagai berikut:

1)    Informasi dan Data

a)    RTRW adalah dokumen public yang harus diketahui oleh semua masyarakat. Pemerintahan Aceh Besar harus menyampaikan informasi secara terbuka mengenai proses dan substansi rencana tata ruang kabupaten Aceh Besar kepada masyarakat.
b)    Pemerintah Aceh Besar harus medistribusikan semua dokumen rencana tata ruang kabupaten Aceh Besar (Draft Qanun lengkap dengan Naskah Akademis Rencana Tata Ruang Kabupaten dan Album Peta 1:50.000) kepada Pemerintahan Mukim se-Aceh Besar.

2)    Proses dan Partisipasi

a)    Mukim se-Aceh Besar yang terhimpun dalam wadah Majlis Duek Pakat Mukim Aceh Besar (MDPM-AB) menilai dalam proses penyusunan RTRWK, pemerintahan Aceh Besar tidak melibatkan mukim sebagai pemangku wilayah dan komponen masyarakat yang terkena dampak langsung dari kegiatan penataan ruang. Sehingga harus ada proses sosalisasi dan penjaringan aspirasi secara lebih luas kepada semua masyarakat (sosialisasi di tk kecamatan).  
b)    Pemerintah Aceh Besar harus melibatkan pemerintahan mukim dalam semua tahapan proses penataan ruang (perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang) sebagaimana ketentuan Pasal 65 UU 26/2007 dan Pasal 5 PP 68/2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang.  Pemerintah harus memastikan adanya partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang dengan memasukkan perwakilan mukim dalam Proses Koordinasi Penataan Ruang Daerah (KPRD).

3)    Substansi/Materi

a)    Qanun Aceh Besar No. 8 tahun 2009 tentang Pemerintahan Mukim harus dijadikan sebagai landasan hukum dalam penyusunan RTRWK Aceh Besar
b)    Keberadaan wilayah mukim sebagai bagian hirarki (= jenjang) kewilayahan di Aceh harus ditegaskan dalam RTRWK.  Wilayah administrative 68 mukim di Aceh Besar harus tergambarkan dalam Peta Wilayah Kabupaten Aceh Besar.  RTRWK harus memuat strategi dan kebijakan yang pengaturan dan memproses Penataan Wilayah Adiminstratif Mukim tersebut. Mengacu pada UU No. 11 tahun 2006 ttg Pemerintahan Aceh, terutama pada Bab XV tentang Mukim dan Gampong, serta Bab XX tentang Perencanaan Pembangunan dan Tata Ruang, yang harus dilakukan segera oleh Pemerintah Kabupaten adalah melakukan penataan batas wilayah mukim dan menginventarisasi penggunaan tanah di wilayah mukim. Termasuk dalam setiap pasal yang penyebutkan hirarki pemerintahan harus mencantumkan nama mukim.
c)    RTRWK harus menegaskan pengakuan keberadaan Wilayah Kelola Mukim didaratan maupun di perairan, seperti: perkampungan (hunian), blang (sawah), uteun (hutan), paya (rawa), lampoh/seunebok (kebun rakyat), padang meurabee (kawasan padang penggembalaan), peukan (pasar),  bineh pasi (pantai), panton/bineh krueng (bantaran sungai), batang air (krueng/sungai, alur, tuwie,lubuk), danau, laot, dan kawasan mukim lainnya yang menjadi ulayat mukim setempat.  Ulayat mukim dimaksud juga merupakan penjabaran dari  Qanun Aceh Besar No.8 tahun 2009 tentang Pemerintahan Mukim.
d)    RTRWK wajib memberikan perlindungan atas Wilayah Kelola Mukim tersebut dari kegiatan pembangunan dan proyek-proyek exploitative yang merusak dan mengancam sumber-sumber penghidupan masyarakat dan berpotensi menimbulkan bencana.  
e)    RTRWK harus menegaskan pengakuan terhadap Hak Kelola Mukim atas wilayahnya, meliputi: a) hak kepemilikan, b) hak akses dan pemanfaatan c) hak pengaturan/pengelolaan. Mukim berdasarkan hak asal usul dan hukum formal memiliki kewenangan untuk mengurus harta kekayaan dan sumber-sumber pendapatan mukim yang secara kewilayahan ada pada wilayah kelola mukim.  Pengelolaan wilayah mukim diatur dengan aturan adat mukim setempat dibawah koordinasi Imeum Mukim. Dalam pelaksanaannya pada setiap kawasan kelola mukim dilakukan oleh lembaga adat di mukim setempat.  Contoh: Kawasan Peukan atau Pasar Rakyat dalam wilayah mukim dikelola oleh haria peukan. Kawasan laot dikelola oleh Panglima Laot.  Masyarakat mukim harus diberi akses dan ruang pemanfaatan sebesar-besarnya atas Wilayah Mukim. Selain itu, masyarakat mukim harus diberi kewenangan untuk menyatakan boleh atau tidak atas penggunaan wilayah kelola mukim oleh pihak luar mukim
f)    RTRWK harus memuat kebijakan dan arahan strategi untuk mendorong terwujudnya tata ruang mukim sebagai bagian dari hirarki penataan ruang di Aceh.
g)    Perkampungan Tradisi Aceh di tiap mukim dan gampong harus ditetapkan sebagai cagar budaya daerah.   Perkampungan Tradisi Aceh dimaksud meliputi: Peninggalan tokoh-tokoh pahlawan dan ulama Aceh, Perumahan Tradisional di masing-masing mukim di seluruh Aceh Besar.
h)    Tata Ruang Kabupaten Aceh Besar harus disusun berdasarkan Potensi sosial budaya masyarakat, Memperhatikan Permasalahan dan Ancamannya bagi Masyarakat, serta memuat rencana antisipasi dampak sosial budaya yang akan timbul.

F.    Rekomendasi

a)    Pemda Aceh Besar harus menunda pengesahan Qanun RTRWK Aceh Besar untuk memastikan diakomodasinya semua aspirasi mukim se-Aceh Besar sebagaimana dimaksud pada poin Pokok-Pokok Tuntutan diatas dan menghindari tumpang tindih penggunaan ruang.
b)    Pemda Kab Aceh Besar harus memastikan peran aktif mukim dalam proses penataan ruang dengan melibatkan mukim dalam kegiatan Koordinasi Penataan Ruang Kabupaten.
c)    Pemda Kab Aceh Besar harus melakukan sosialisasi dan penjaringan aspirasi dengan mukim-mukim di Aceh Besar di tingkat kecamatan.

     Demikian Hasil Duek Pakat Majlis Duek Pakat Mukim Aceh Besar agar dijadikan sebagai  dasar pertimbangan dalam memperbaiki materi rancangan qanun Tata Ruang Wilayah Aceh Besar.

RTRW Aceh langgar hak konstitusi Mukim

TM ZOEL ~ BISNIS ACEHSelasa, 02 April 2013 21:59 WIBLink:http://www.bisnisaceh.com/umum/rtrw-aceh-langgar-hak-konstitusi-mukim/index.php
IlustrasiFOTO : IstimewaIlustrasi
BANDA ACEH - Mukim sebagai satu kesatuan wilayah di Aceh sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pembahasan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh.

Juru bicara Majelis Duek Pakat Mukim Aceh Besar (MDPM-AB), Asnawi Zainun menyesalkan sikap DPR Aceh dan Pemerintah Aceh yang tidak melibatkan para Mukim sebagai salah satu pemangku kepentingan.

"Sudah tidak dilibatkan, draft dokumen RTRW Aceh saja tidak pernah kami ketahui seperti apa bentuknya," katanya kepada Bisnis Aceh hari ini, Selasa.

Ia menjelaskan, RTRW Aceh adalah produk kebijakan strategis daerah, yang disusun dan direncanakan untuk periodeisasi 20 tahun. "Seharusnya, pengakuan hak atas wilayah kelola Mukim harus dimasukkan dalam RTRW Aceh, dan dapat dijabarkan dalam RTRW kabupaten dan kota," ujarnya.

Untuk itu, katanya, pihaknya siap untuk berdialog dengan semua pihak untuk merumuskan konsep wilayah kelola mukim dalam RTRW Aceh. "Kami siap untuk mendiskusikan konsep kelola Mukim dalam rumusan RTRW Aceh," tukasnya.

Ia menyebutkan, seharusnya RTRW Aceh memberikan pengakuan terhadap hak kelola Mukim, yang meliputi hak kepemilikan, hak akses dan pemanfaatan, dan hak pengaturan serta pengelolaan. "Berdasarkan hak dan hukum formal, Mukim memiliki kewenangan dalam mengurus sumber-sumber pendapatan secara kewilayahan," paparnya.

Ia menerangkan, pengelolaan wilayah mukim diatur dengan aturan adat mukim setempat dibawah koordinasi Imeum Mukim. "Kiasan seperti hak buya lam krueng, hak rimung bak bineh rimba," ungkapnya.

Selain itu, lanjutnya, hak kelola mukim kawasan hutan adalah sejauh 'si uro jak wo'. "Dalam pelaksanaan teknisnya pada setiap kawasan kelola mukim dilakukan oleh lembaga adat di mukim setempat," terangnya.

Dilanjutkannya, kawasan Peukan atau Pasar Rakyat dalam wilayah mukim dikelola oleh haria peukan. Kawasan laot dikelola oleh Panglima Laot. "Masyarakat mukim harus diberi akses dan ruang pemanfaatan sebesar-besarnya atas Wilayah Mukim" tegasnya.

Oleh karena itu, tandasnya, masyarakat Mukim harus diberi kewenangan untuk menyatakan boleh atau tidak atas penggunaan wilayah kelola mukim oleh pihak luar mukim. "Tidak diakuinya hak Mukim dalam RTRW Aceh adalah bentuk pelanggaran konstitusi," tandasnya.

Karenanya, harap Asnawi, RTRW Aceh yang saat ini dalam proses finalisasi tidak memunculkan konflik berbasis ruang nantinya. " RTRW seharusnya mensejahterakan masyarakat dan menyelamatkan keberlanjutan peradaban Aceh," pungkasnya.
(sumber: Bisnis Aceh)

MDPM Aceh Besar: “RTRWA harus mengakui Wilayah Kelola Mukim”

              

 
Ketua DPRK /Wakil Bupati Aceh Besar menghadiri Raker MDPM Aceh Besar
  


“umong meu ateung,
lampoh meu pageu,
uteun meu taloe,
nanggroe meu raja”
Banda Aceh – Perdebatan publik atas Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) cukup hangat diberitakan akhir-akhir ini. Pemerintah Aceh menyatakan bahwa Qanun RTRWA 2013-2033 sudah diserahkan kepada Pemerintah Pusat untuk disetujui. UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa penyelenggaraan tata ruang harus memperhatikan aspek geopolitik dan hak untuk terlibat, mengajukan dan melakukan pengawasan dalam rangka penyusunan rencana tata ruang. Dalam UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dalam Bab XX  Pasal 142 ayat (5) disebutkan bahwa Masyarakat berhak untuk memberikan masukan secara lisan maupun tertulis dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang Aceh dan kabupaten/kota.  Selanjutnya pada Pasal 143 Ayat (2) UUPA dipertegas tentang pentingnya memperhatikan, menghormati, melindungi, memenuhi dan menegakkan hak-hak masyarakat Aceh.
MUKIM merupakan salah satu bentuk kekhususan di Aceh sudah ada sejak jaman kesultanan Aceh dan terus berkembang sejarah perjalanan peradaban Aceh, ibarat pepatah ta rah han basah, ta teut han tutong. Mukim adalah suatu kesatuan masyarakat dalam wilayah Aceh yang terbentuk melalui persekutuan beberapa gampong dengan batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri. Mukim bukan hanya sebagai identitas komunal masyarakat adat di Aceh, tetapi juga sebagai bagian dari struktur pemerintahan sekaligus sebagai pengelola wilayah dan pengatur kehidupan sosial kemasyarakatan. Mukim mempunyai kewenangan mengurus harta kekayaan dan sumber pendapatan mukim.  Saat ini, keberadaanmukim telah diakui melalui Undang Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Di beberapa kabupaten sudah dihasilkan qanun, seperti Qanun Kabupaten Aceh Besar No. 8 Tahun 2009 tentang Pemerintahan Mukim. Walau dalam kehidupan sehari-hari dan dalam undang-undang keberadaan MUKIM sudah diakui, namum dalam kebijakan pelaksanaannya MUKIM masih diabaikan.
Mukim se-Aceh Besar yang terhimpun dalam wadah Majlis Duek Pakat Mukim Aceh Besar (MDPM-AB) menilai dalam proses penyusunan RTRWA, pemerintahan Aceh tidak melibatkan mukim sebagai salah satu pemangku kepentingan. Juru bicara MDPM-AB, Asnawi Zainun, Selasa (2/4/2013) dalam konfrensi pers di Zakir Warkop Banda Aceh mengatakan: “Selain tidak dilibatkan, informasi yang berkaitan dengan dokumen tersebut pun tidak sampai kepada mukim. Padahal kebijakan RTRWA itu pada pelaksanaan akan menggunakan wilayah dan ruang kelola mukim. Bukankah RTRWA merupakan kebijakan penting daerah yang harus diketahui masyarakat?”
MDPM-AB menyadari bahwa RTRWA merupakan kerangka acuan bagi pembangunan dan berbagai aktivitas pemanfaatan ruang di Aceh untuk masa waktu 20 tahun kedepan. RTRW Aceh harus dapat mensejahterakan, menyelamatkan sumber penghidupan, keseimbangan alam, dan harmonisasi sosial. RTRW Aceh harus lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat daripada kepentingan segelintir orang. Asnawi menegaskan, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan oleh Pemerintah Aceh sebelum RTRWA disahkan. Pertama, keberadaan mukim yang sudah diakui di Aceh harus dipertegas wilayah kedudukannya dalam RTRWA.  Penegasan wilayah administrative mukim harus tergambar dalam wilayah setiap Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota.  Kedua, RTRWA harus menegaskan pengakuan keberadaan Wilayah Kelola Mukim di daratan maupun di perairan, seperti: perkampungan (hunian), blang(sawah), uteun (hutan), paya (rawa), lampoh/seunebok (kebun rakyat), padang meurabee (kawasan padang penggembalaan), peukan (pasar),  bineh pasi (pantai), panton/bineh krueng, batang air (krueng/sungai, alurtuwie,lubuk), danau, laot, dan kawasan mukim lainnya yang menjadi ulayat mukim setempat.  Ulayat mukim dimaksud juga merupakan penjabaran dari  Qanun No.4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim pasal 18 yang ditegaskan Qanun Aceh Besar No.8 tahun 2009 Pasal 28 bahwaHarta kekayaan Mukim. Selanjutnya, RTRWA wajib memberikan perlindungan atas Wilayah Kelola Mukim tersebut dari kegiatan pembangunan dan proyek-proyek ekploitatif yang merusak dan mengancam sumber-sumber penghidupan masyarakat dan berpotensi menimbulkan bencana.  Asnawi menegaskan bahwa: sebagai salah satu produk kebijakan strategis daerah untuk masa waktu 20 tahun kedepan pengakuan atas Wilayah Kelola Mukim harus sudah dimasukkan dalam RTRW Aceh yang selanjutnya dapat dijabarkan dalam RTRW Kabupaten/Kota.  MDPM-AB siap jika diajak duduk berdialog dengan semua pihak untuk membicarakan Konsep Wilayah Kelola Mukim ini.  Ketiga, RTRWA harus memberi pengakuan terhadap Hak Kelola Mukim atas wilayahnya, meliputi: a) hak kepemilikan, b) hak akses dan pemanfaatan c) hak pengaturan/pengelolaan. Mukim berdasarkan hak asal usul dan hukum formal memiliki kewenangan untuk mengurus harta kekayaan dan sumber-sumber pendapatan mukim yang secara kewilayahan ada pada wilayah kelola mukim.  Pengelolaan wilayah mukim diatur dengan aturan adat mukim setempat dibawah koordinasi Imeum Mukim; hak buya lam krueng, hak rimung bak bineh rimba. Hak kelola mukim kawasan hutan adalah sejauh si uro jak wo.  Dalam pelaksanaan teknisnya pada setiap kawasan kelola mukim dilakukan oleh lembaga adat di mukim setempat.  Kawasan Peukan atau Pasar Rakyat dalam wilayah mukim dikelola oleh haria peukan. Kawasan laot dikelola olehPanglima Laot.  Masyarakat mukim harus diberi akses dan ruang pemanfaatan sebesar-besarnya atas Wilayah Mukim, dan  Keempat, dalam semua proses penataan ruang Aceh (perencanaan, pelaksaaan dan pemantauan) Pemerintah Aceh harus melibatkan mukim. Pemerintahan Mukim harus mendapat informasi yang lengkap atas dokumen RTRWA. Selain itu masyarakat mukim harus diberi kewenangan untuk menyatakan boleh atau tidak atas penggunaan wilayah kelola mukim oleh pihak luar mukim.
Menurut Asnawi, “akan sangat disesalkan jika RTRWA tidak mengakui keberadaan mukim dan Wilayah Kelola Mukim. Pengabaian Hak Mukim dalam RTRWA adalah bentuk pelanggaran konstitusi yang serius. MDPM-AB berharap, RTRWA ini tidak menimbulkan konflik berbasis ruang di masa depan. Tetapi justru akan mensejahterakan masyarakat dan menyelamatkan keberlanjutan peradaban Aceh”. []

Ikrar Siem Krungkalee, tekad menuju Kedaulatan Mukim

(catatan personal: Affan Ramli, MA)

Setelah melewati serangkaian diskusi dan rapat kepanitiaan bersama beberapa LSM dan MDPM Aceh Besar sepanjang Februari-Maret 2013, Duek Pikee I 30 mukim pilihan akhirnya diselenggarakan tepat waktu sesuai rencana, pada 23-24 Maret 2013. Sehari sebelum acara, teman-teman panitia dari Annisa Center, AWPF, YRBI, JKMA, Prodeelat, AJMI, PeNA, RPUK, BSUA, YAB, dan MDPM masih menyempatkan diri berkumpul di YRBI di tengah kesibukan tunggang langgang persiapan acara. Jam 14.00 WIB itu evaluasi akhir persiapan panitia.

Semua divisi kepanitiaan bekerja keras, kecuali teman-teman yang diberi tanggungjawab mengurus peralatan belum sempat bekerja hingga menjelang hari-H. Kegundahan yang sempat menyelimuti pikiran kita sebelumnya terkait dana yang belum tercukupi akhirnya sirna seiring kabar gembira yang datang bertubi-tubi dari Leila Juari. Menjelang detik-detik terakhir, sumbangan terus berdatangan dari Gerak, Tikar Pandan, Forum LSM, dan Koalisi NGO HAM. Bukan hanya dari lembaga, sumbangan-sumbangan individu dalam bentuk dana mencapai lebih dari 2,5 juta rupiah. Saya hanya ingat beberapa nama dari mulut Leila, surayya kamaruzzaman, marsen, shelly woyla, khairani dan beberapa tokoh gerakan perempuan lainnya ikut menyumbang. Belum lagi dalam bentuk barang atau makanan, dari yang nyumbang kue, spanduk, buah-buahan, sampai tape.

Divisi konsumsi mendaftarkan sumbangan sayur-sayuran, kopi, kelapa, ubi, pisang, dan beras dari peserta yang dibawa dari kampung masing-masing telah melampaui kebutuhan dapur umum yang dikelola sekitar 20 anak muda dari gampong-gampong di Mukim Siem. Imum mukim Siem sendiri dengan bangga memberitakan kepada kami gampong-gampong dalam Mukim Siem akan menyediakan 70 kulah (bungkus porsi lengkap) nasi umat untuk setiap waktu makan selama dua hari acara. Dengan berbahagia hati beliau mengumumkan, masyarakat Siem menyambut antusias acara ini.

Situasi ini pada saya telah meninggalkan kesan cukup dalam. Menumbuhkan rasa keharuan menukik ke relung-relung jiwa, sekaligus membuka ruang bagi keyakinan optimistik, di Aceh gerakan sosial masih punya masa depan! Tentu saja ini bagai hujan yang turun setelah berbulan-bulan kemarau panjang. Setelah bertahun-tahun social capital kita sempat tercabik-cabik akibat guyuran bantuan dana luar yang memanjakan semua orang di sini setelah tsunami. Sulit membayangkan kita masih bisa melakukan ini semua bertumpu pada kekuatan sendiri!
-----------------

Hari Pertama

Jumlah peserta dan undangan sesi pembukaan terlalu banyak, sehingga ruang pertemuan yang disediakan Dayah Darul Ihsan Tgk.H. Hasan Krungkalee terasa terlalu kecil untuk jumlah orang sebanyak itu. Sesi pembukaan dipindahkan ke Meunasah yang masih dalam kompleks dayah lokasi acara. Saya berharap sesi pembukaan bisa berjalan tepat waktu. Untuk acara mukim itu sangat mungkin. berdasarkan pengalaman sebelumnya, para tuha mukim cukup disiplin dengan waktu. Sayangnya kali ini kami harus menunggu ketua panitia selama setengah jam lebih, Pak Nasrudin datang dari mukim pedalaman Indrapuri, cukup jauh memang. Wakilnya, Pak Asnawi memberitahukan saya, Pak Nasrudin tidak pernah terlambat pada semua acara mukim selama bertahun-tahun yang ia perhatikan. Kali ini, kemungkinan besar Pak Nasruddin terlambat karena harus menunggu tuha mukim lain dari tetangganya, agar bisa bersama-sama ke tempat acara.

Dalam masa menunggu ketua panitia itulah saya dipanggil mendekat ke pak Asnawi, Imum Mukim Siem, tuan rumah gagah perkasa itu. Dalam setengah berbisik ia bertanya "bagaimana kalau kita minta camat Darussalam juga menyampaikan kata sambutan?" sambil menunjuk pak camat yang duduk tidak jauh berselang dari kami. Saya tanpa pikir panjang menjawab tegas "semua keputusan harus diambil dalam rapat pak, nanti teman-teman lain akan komplain jika kita tiba-tiba mengubah susunan acara pembukaan." Memang sih, dalam rapat sebelumnya sudah diputuskan Camat hanya diundang dan tidak perlu menyampaikan kata sambutan. Ini bagian dari deligitimasi pemerintah kecamatan sebagai warisan tatanan feodalisme ulee balang, yang memang struktur ini tidak perlu lagi dipertahankan dalam tata-negeri Aceh saat ini.

Pidato pak asnawi sebagai tuan rumah pada sesi pembukaan acara itu begitu mengagumkan. Marsen Sinaga yang duduk di samping saya berbisik, "orang ini terlalu jauh ke depan, dia terlalu maju, tuha-tuha mukim lain masih banyak tertinggal jauh." Pernyataan-pernyataannya dalam sambutan tuan rumah di sesi pembukaan itu menginspirasi saya, dan semua peserta lain tentunya, hingga menjadi cikal bakal lahirnya "Ikrar Siem-Krungkalee" di sesi penutup Duek Pikee I. Sesi pembukaan, perkenalan, dan penjelasan alur proses oleh fasilitator utama kita, Sanusi M. Syarif menghabiskan setengah hari pertama.

Pada separoh hari setelah makan siang, peserta diajak mendiskusikan perkembangan terakhir di mukim masing-masing dalam beberapa aspek, diantaranya aspek kelembagaan, hukum adat, pembelaan hak masyarakat, dan pembangunan kesejahteraan rakyat mukim. Ada banyak cerita inspiratif dari peserta, cerita-cerita sukses, pengalaman perjuangan yang telah dan masih mereka kerjakan, juga pengungkapan fakta-fakta lapangan tentang ketidakberdaulatan pemerintahan adat mukim atas wilayah, harta adat, dan warganya. Sesi ini ditutup dengan beberapa pertanyaan reflektif fasilitator "apakah situasi ini menunjukan kita telah berdaulat? jika belum, maka situasi kedaulatan seperti apa seharusnya terjadi di mukim-mukim kita?." Pertanyaan-pertanyaan reflektif ini sebagai pengantar untuk sesi berikutnya di hari kedua Duek Pikee I.
----------------------

Hari Ke dua

pada sesi pertama hari ke dua, peserta diajak mendiskusikan "apa yang kita maksudkan dengan kedaulatan?" masing-masing peserta mendapat selembar metaplen untuk menuliskan pandangannya terkait kedaulatan. Jawaban-jawaban peserta dibacakan bersama-sama dan dituliskan unsur-unsur konseptualnya. sesi ini ditutup dengan menarik kesimpulan bersama, kedaulatan adalah gabungan dua hal, kekuasaan sah dan kekuatan sendiri.

sesi berikutnya peserta diminta untuk mendiskusikan konsep "mukim berdaulat" dalam lima lingkup:

1. Kedaulatan atas wilayah,
2. Kedaulatan atas hukum adat,
3. Kedaulatan atas sumberdaya alam,
4. Kedaulatan atas pemerintahan adat,
5. Kedaulatan dalam pengambilan keputusan.

fasilitator membuat tabel terdiri dari dua kolom, kolom pertama berisi kekuasaan-kekuasaan apa saja yang harus dimiliki pemerintahan mukim dalam kelima lingkup di atas, dan kolom ke dua berisi kekuatan-kekuatan/kapasitas apa saja yang harus dimiliki oleh pemerintahan mukim agar bisa menjalakan kekuasaan-kekuasaan di kolom pertama. Diskusi ini menghabiskan seluruh waktu hari ke dua. Mengingat lima lingkup kedaulatan itu didiskusikan secara detil untuk masing-masing kolom tabel, kekuasaan dan kekuatan.

Dengan berakhirnya sesi ini maka Duek Pikee I telah melahirkan konsep Mukim Berdaulat (mukim meudeelat) sebagai visi bersama perjuangan masyarakat adat mukim. Mukim Meudeelat selama ini telah menjadi slogan penting di kalangan tuha-tuha mukim, namun belum pernah didiskusikan apa isi dari konsep tersebut. Duek Pikee I telah mengubah istilah Mukim Meudeelat dari sebatas jargon menjadi cita-cita yang terukur.

Setelah magrib diadakan sesi penutupan, agendanya adalah: pembentukan tim perumus yang akan merapikan hasil diskusi dua hari Duek Pikee I, pengumuman data terakhir penyumbang acara sekaligus membangun komitmen untuk melanjutkan tradisi keswadayaan ini pada event-event berikutnya, dan pembahasan tekat peserta terhadap cita-cita Mukim Berdaulat yang sudah mereka rumuskan.

Pada diskusi tekat tuha-tuha mukim mewujudkan cita-cita mereka, peserta menginginkan dokumen cita-cita tersebut diberi nama bersejarah. Banyak pilihan nama yang diusulkan, debat tentang hal ini lumayan memakan waktu. sebagian menginginkan nama siem harus muncul, sebagian lainnya menginginkan nama krungkalee. Akhirnya diambil jalan tengah, dokumen yang telah mereka hasilkan selama dua hari Duek Pikee disebut "Ikrar Siem-Krungkalee." Bersamaan dengan itu beberapa butir perjanjian dihasilkan:

1. kami mukim-mukim peserta Duek Pikee I berjanji akan memperjuangkan cita-cita Mukim Berdaulat secara bersama-sama.

2. kami mukim-mukim peserta Duek Pikee I berjanji akan membangun solidaritas sesama dalam memperjuangkan kedaulatan mukim.


3. kami mukim-mukim peserta Duek Pikee I berjanji akan menjalakan minimal satu bagian dari konsep Mukim Berdaulat di mukim masing-masing segera setelah Duek Pikee I selesai.


untuk poin 3, 30 mukim peserta diberi kesempatan untuk menyelenggarakan majlis musyawarah mukim di mukim masing-masing untuk memutuskan poin kedaulatan dalam lingkup apa saja yang ingin dijalankan segera di mukim bersangkutan. keputusan majlis musyawarah mukim nantinya akan dikirimkan ke panitia bersama dalam bentuk surat yang ditandatangani Imum Mukim dan Tuha Peut Mukim setempat.

Ternyata, Duek Pikee I kekuatan inti mukim memang bukan workshop biasa, yang sudah sering diikuti tuha-tuha mukim, dan dilupakan segera setelah acara selesai.

Mukim Se-Aceh Bangkit dari Dayah Tgk Hasan Krueng Kalee


Duek Pakat Mukim Aceh Besar
Banda Aceh – Para Imum Mukim yang ada Aceh mengadakan acara Duek Pikee I Mukim se-Aceh untuk membicarakan peran dan eksistensi mukim dalam pembangunan lingkungan di Aceh.

Pertemuan tersebut berlangsung  sejak tanggal 23 hingga 24 Maret 2013 di komplek Dayah terpadu Darul Ihsan Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee, Desa Siem, Kecamatan Aceh Besar Darussalam, Sabtu (23/03/2013).

Ketua Majlis Duek Pikee Mukim se-Aceh Mahmud Abdullah dalam kata sambutannya mengatakan, fungsi dan peran mukim di Aceh harus digalakkan lagi dalam struktural masyarakat berhubung lembaga mukim sejak dulu mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh.Selain itu, mukim juga mempunyai hak dan kewenangan tertentu dalam menentukan wilayah-wilayahnya, seperti kawasan mukim yang nantinya menjadi tanggungjawab Mukim secara kelembagaan.

Ketua Yayasan Darul Ihsan H Musannif SE menyampaikan, ia menyambut baik pertemuan Imum Mukim se-Aceh yang diadakan di dayah Darul Ihsan karena selain sebagai tempat mendidik generasi Aceh dalam ilmu agama, dayah juga berperan sebagai pembangkit dan mempunyai fungsi sosial lainnya dalam kehidupan sehari-hari seperti zaman dulu dan tidak hanya terbatas pada pengajian saja.

“Hari ini Imum Mukim ada tapi tiada, Pemerintah juga sama,” ujarnya saat menjelaskan bahwa Imum Mukim selama ini seperti tidak terberdayakan dalam fungis-fungsi membangun masyarakat.
Beberapa ia mencontohkan bahwa Imum Mukim tidak berdaya saat pengrusakan lingkungan terjadi di kawasan Aceh yang dilakukan oleh oknum yang mengedepankan kekerasan. “Inilah yang menjadi satu penyebab kenapa Imum Mukim tidak berperan maksimal dalam mengatur dan mengelola kawasannya,” paparnya.

Sementara Tgk H Waisul Qarani Aly as Su’udi, cucunda dari Tgk Muhammad Hasan Krueng Kalee selaku pendiri dan pembina dayah Darul Ihsan mengatakan dalam kehidupan mukim zaman dulu ada kawasan tertentu yang dinaungi oleh mukim. Kawasan itu dihitung selama satu hari jalan pulang pergi, namun itu seperti tidak ada pengakuan dari pemerintahan. “Dulu mukim punya otoritas sendiri, tapi selama orde lama ini dihapus dan kini sudah dikembalikan lagi akan tetapi belum berfungsi menyeluruh,” ungkapnya.

Diharapkannya, dengan Duek Pikee I Mukim se-Aceh ini mampu mengembalikan eksistensi dan peran mukim dalam mengatur masyarakat adat yang diakui dalam tatanan hukum negara NKRI.
Kegiatan yang bertemakan “Mukim Berdaulat dan Cara Kita Mewujudkannya” itu bertujuan membangkitkan peran dan fungsi mukim se- Aceh dan terselenggara atas kerjasama 14 lembaga yang fokus pada isu lingkungan dan adat, diantaranya YRBI, PENA, JKMA, RPUK, Annisa, Prodelat, AJMI dan CV Tripot. (zamroe)  
SUMBER: ACEHLINK

IMEUM MUKIM SE-KABUPATEN ACEH BESAR MENUNTUT PEMERINTAH KONSISTEN TERHADAP PENGAKUAN MUKIM DI ACEH

BEUSAPEU KHEUN BEUSABAN PAKAT TAPEURIWANG MUKIM MEUDEELAT

       Imeum Mukim Se-Kabupaten Aceh Besar menuntut Pemerintah, baik Pemerintah Pusat, Provinsi maupun Kabupaten agar konsisten terhadap pengakuan Mukim sebagai salah satu level Pemerintahan resmi di Aceh, sebagaimana di atur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Hal ini menjadi isu utama dalam diskusi tematis dalam rangka Rapat Kerja (Raker) Pengurus Majlis Duek Pakat Mukim Aceh Besar yang dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 19 Januari 2013 di balee Mukim kantor YRBI Mibo Banda Aceh.
       Diskusi tematis yang dilaksanakan sebagai bagian dari kegiatan Rapat Kerja Pengurus Majlis Duek Pakat Mukim Aceh Besar periode 2012-2015 itu mengangkat thema; Peluang dan Tantangan Penguatan Pemerintahan Mukim dalam Tata Hukum Nasional, dengan nara sumber , HM. Ali Yakob, Anggota DPR-RI asal Aceh, dan Sanusi M. Syarif, SE, M.Phil. , Direktur Yayasan Rumpun Bambu Indonesia Banda Aceh.
       “Kalau sudah di atur dalam Undang-Undang, maka sudah ada kewajiban Pemerintah untuk melakukan pembinaan, termasuk penganggaran dana untuk pembinaan Pemerintahan Mukim” demikian antara lain disebutkan HM Ali Yakob dalam beberapa pandangannya terkait penguatan Pemerintahan Mukim di Aceh. Sementara Bapak Sanusi M. Syarif sebagai nara sumber berikutnya juga menjelaskan secara panjang lebar tentang keberadaan Mukim di Aceh baik dari sudut historisnya maupun dari sisi pandang yuridis. Menurut beliau saat ini sudah tidak alasan untuk tidak mengfungsikan Pemerintahan Mukim di Aceh, namun untuk ini membutuhka komitmen yang kuat dari semua pihak terkait, baik Pemerintah pusat, Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh bahkan para Imeum Mukim sendiri. Sanusi Syarief mengajak para Imeum Mukim di Aceh Besar agar lebih proaktif dan kreatif dalam memperkuat Pemerintahan Mukim masing-masing jangan terlalu berharap kepada uluran tangan pemerintah.
       Diskusi thematis dalam rangka Rapat Kerja Pengurus Duek Pakat Mukim Aceh Besar, dihadiri oleh lebih kurang limapuluhan Imeum Mukim di Aceh Besar juga diihadiri oleh beberapa perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat yang konsen terhadap penguatan Mukim di Aceh anatara lain YRBI, JKMA Aceh dan Perkumpulan Prodeelat.
       Rapat Kerja Majlis Duek Pakat mukim Aceh Besar telah berhasi membahas dan  menghasilkan Program Kerja pengurus periode 2012 sampai 2015  yang fokusnya adalah untuk pencapaian visi Majlis Duek Pakat mukim Aceh Besar yaitu “Beusapeu kheun, beusaban Pakan, Tapeuriwang Mukim Meudeelat.”
       Disamping itu Rapat Kerja MDPM tahun 2013 ini juga menghasilkan beberpa rekomendasi terkait penguatan Mukim di Aceh,  yang akan disampaikan kepada pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar antara lain sebagai berikut:
1.    Pemerintah Aceh harus segera merealisasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Mukim sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam mengakui keberadaan mukim.
2.    Pemerintah Aceh harus segera memfasilitasi proses penetapan batas wilayah mukim dan batas wilayah kelola gampong.
3.    Pemerintah Kabupaten Aceh Besar harus memfasilitasi baik moril maupun materil dalam proses penyelesaian sengketa batas antar gampong dan mukim di Aceh Besar.
4.    Pemerintah Kabupaten Aceh Besar harus menetapkan kebijakan agar mukim terlibat dalam administrasi pemerintahan, perencanaan pembangunan, kegiatan dan program pembangunan.
5.    Pemerintah Kabupaten Aceh Besar memproses upaya pengakuan kedaulatan mukim atas kawasan hutan sejauh si uro jak wo
6.    Pemerintah Aceh Besar harus mensosialisasikan Qanun tentang Mukim Kab Aceh Besar kepada semua mukim di Aceh Besar
7.    Mukim secara kelembagaan diberi kewenangan yang jelas atas wilayah, harta kekayaan dan sumber daya mukim, penyelenggaraan pemerintahan, dan penegakan adat.
8.    Pemerintah dan semua pihak terkait wajib memberikan perlindungan atas sumber daya alam mukim (hutan, sungai, bineh pasee, laot, dan lain-lain)  dari kegiatan pembangunan dan proyek-proyek ekploitatif yang merusak dan mengancam sumber-sumber penghidupan masyarakat dan berpotensi menimbulkan bencana.
9.    Pemerintah dan semua pihak terkait diwajibkan melibatkan mukim secara penuh dalam berbagai kebijakan dan program untuk menghadapi dampak perubahan iklim.
10.    Semua kebijakan, pembangunan dan program dari pihak luar mukim di dalam wilayah mukim harus melibatkan mukim dalam proses dan pengambilan keputusannya.
11.    Dalam Kop Surat dan Stempel Pemerintahan Gampong harus memasukkan nama mukim yang membawahi gampong tersebut.
12.    Imeum Mukim ikut dilibatkan dalam semua  legalisasi peralihan hak atas tanah, jual beli tanah dan bangunan, termasuk Izin Mendirikan Bangunan.
13.    Ada persetujuan dari mukim terhadap kegiatan pihak luar jika mau berusaha di wilayah mukim bersangkutan.
14.    Pemerintah Aceh dan semua pihak terkait harus mendukung upaya penguatan lembaga mukim.

Jadwal Shalat