Anggaran Besar Pekerjaan Cilet-Cilet
|
Crews baleeMUKIM berdialog dengan penduduk asli Tuwi Geulumpang | | |
|
|
reruntuhan bendungan Tuwie Geulumpang |
Minggu
2 Januari 2011, Gerombolan awan hitam memadati langit Perbukitan Tuwie Geulumpang,
seakan tak sabar ingin melakukan prosesi
“peusijuek” kepada crews baleeMUKIM yang baru tiba di lokasi itu. Kelelahan setelah
merayapi jalan berlumpur sepanjang 1 km, di kaki perbukitan Glee Bruek Mukim
Siem seakan lenyap sesampai di kawasan
Tuwie Geulumpang yang menyuguhkan aroma kesejukan dari hidangan alam
yang cukup asri tersebut.
Tidak
ada kesibukan berarti di lokasi pembangunan Waduk yang disebutkan menguras
anggaran rakyat hingga milyaran rupiah itu.
Hanya ada dua unit dumtruck
dan satu unit becko yang beroperasi.
Disamping itu ada sekitar 7 – 9 orang pekerja kelihatan sedang mengecor sebuah saluran kecil sepanjang lebih
kurang seratus meter secara manual.
Memang suasananya biasa-biasa saja, tidak ada tanda-tanda di sini ada
sebuah pekerjaan besar dengan anggaran besar yang berkaitan dengan kepentingan
besar dari sebahagian besar warga yakni para petani di Kecamatan Darussalam dan
Kuta Baro yang direncanakan sebagai penikmat dari proyek pembangunan bendungan
ini. Kawasan Kecamatan Darussalam dan
Kuta Baro selama ini memang merupakan dua kecamatan di Aceh Besar yang tidak bisa
menikmati sepenuhnya aliran dari irigasi Krueng Aceh, sehingga pembangunan
proyek ini bisa memberi jawaban terhadap kebutuhan air persawahan.
Tahap awal pembangunan waduk Tuwie Geulumpang sebenarnya
telah dimulai pada tahun 2009 dengan pagu anggaran Rp 3
Milyar (tiga Milyar Rupiah).
Menurut amatan kasat mata baleeMUKIM, pembangunan tahap pertama dengan
pagu anggaran tadi hanya meliputi pekerjaan urugan konstruksi bendungan dengan tanah,
hitungan volume kasar pangjangnya sekitar 30 meter, lebar 20 meter dan
ketinggian sekitar 7 meter. Pekerjaan penimbunan dilakukan dengan mengambil
tanah di kaki lereng kemudian diseret ke dalam saluran dipadatkan, dan di
atasnya diletakkan batu-batu besar yang diambil di atas bukit. Volume pekerjaan tahap awal ini adalah
setengah dari volume pekerjaan seluruhnya.
Pembangunan kemudian dilanjutkan pada tahun anggaran 2010
dengan pagu anggaran Rp 2,5 Milyar, dengan bentuk pekerjaan yang sama. Pekerjaan tahap kedua telah membendung kedua
sisi bukit di perbukitan Tuwie Geulumpang. Asumsi baleeMukim, pembangunan waduk ini tidak
memenuhi standar kualitas atau tidak sesuai dengan struktur bangunan waduk yang
seharusnya. Indikasi ini misalnya dapat
terlihat dari beberapa titik longsor tidak terlihat adanya urugan inti tanah liat. Tidak ada pembuatan lubang air (spillways) yang memenuhi standart, sesuai dengan volume
debit air dan tidak ada pula pembuatan menara pelimpahan air (overflow).
Akibat dari pembangunan yang serampangan ini, maka hanya
dalam hitungan bulan setelah waduk ini dikerjakan, maka sebahagian besar dari
kontruksi waduk ini telah longsor terkikis dan terseret air. Bahkan kelihatannya dalam jangka waktu yang
tidak lama seluruh kontruksi waduk ini akan rubuh diterjang air bah musim hujan ini. Ini artinya milyaran uang rakyat menjadi
sia-sia untuk sebuah pekerjaan yang
dikerjakan tanpa sebuah perencanaan yang matang.
Padahal keberadaan waduk ini merupakan kebutuhan yang
sangat mendesak untuk kepentingan pengairan persawahan tadah hujan di Kecamatan
Darussalam dan Kecamatan Kuta Baro yang selama ini kurang terlayani dengan
keberadaan Irigasi Krueng Aceh. Selama ini sebahagian besar petani yang ada di
kedua kecamatan ini hanya menggarap lahan sawah mereka sekali dalam setahun
yaitu pada musim hujan. Itupun kalau
area persawahan mereka tidak tergenang air buangan dari area persawahan yang
ada di kawasan atasnya.
Menurut keterangan Kabid Sungai Danau dan Waduk, Dinas
Pengairan Aceh, Ir Syahrul Djamil, Waduk Tuwi Geulumpang itu masuk dalam
kategori embung yang diperkirakan akan mampu menampung air 969,19 m3, dengan
debit maksimum sebesar 87.92 m3/detik. Dengan demikian, tambah Syahrul, waduk
tersebut nantinya akan mampu mengairi 200 hektare sawah penduduk di dua
kecamatan, yaitu Kecamatan Darussalam dan Kutabaro, Aceh Besar. Menurutnya,
keberadaan waduk itu nantinya akan mampu menjawab persoalan yang dihadapi oleh
para petani di dua kecamatan itu selama ini, yakni kesulitan air (Serambi Sabtu (23/1/2010)).
Amatan baleeMUKIM di lapangan pembangunan waduk saat ini
justru telah digeser ke titik yang baru.
Masyarakat tidak mengerti maksud pemindahan titik pembanguan tersebut
secara teknis, karena memang tidak ada penjelasan dari pihak terkait
manapun. Bila kita ke lokasi pembangunan tidak ada satu papan keteranganpun yang
menjelaskan apapun tentang pelaksanaan proyek ini. Masyarakat hanya dapat berharap kepada
pemerintah agar serius dalam pembangunan waduk ini dengan membuat sebuah
perencanaan yang matang dan sedapat mungkin perencanaan itu disosialisasikan
kepada masyarakat. Hal menjadi penting
untuk menumbuhkan rasa memiliki dari masyarakat terhadap proyek yang sedang
dijalankan oleh pemerintah. "Padahal, proyek ini kan dilaksanakan untuk
kepentingan masyarakat, dengan menggunakan anggaran rakyat, masak masyarakat
tidak dilibatkan" protes seorang warga yang berkunjung ke lokasi itu. Masyarakat sangat
khawatir bila pembangunan waduk tanpa
perencanaan dan pengawasan yang baik ini justru akan membawa mudharat bagi
mereka. ”Peureulee keu nikmat, meuteumee
laknat...! Bek neu-undang tragedi Situ Gintung keunoe bak kamoe” sebut seorang
warga Mukim Siem yang prihatin dengan kondisi pembangunan waduk tersebut.
(baleeMUKIM).