Adat bak Poteumeureuhoem, Hukoem bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana”~~~~~~~ Adat ban adat, hukom ban hukom, hanjeut meuron-ron krie-krie nyang hawa, watee meupakat adat ngon hukom, nanggroe rukon, hana le goga~~~ Roek ngon bara bak ureung naggroe, pasoe bajoe bak ureung tuha, tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteh itam bak ulama~~~Gaseh keu aneuk beuget tapapah, gaseh keu nangbah beuget tajaga~~~Raseuki deungon tagagah ....Tuah deungon tamita.....Tuah meubagi-bagi.......Raseuki meujeumba-jeumba~~~~~Teupat ke pangkai, akay keu laba~~~ KRAB TAJAK GEUBRIE SITUEK, JAREUNG TADUEK GEUJOK TIKA~~~~~ ASAI CABOK NIBAK KUDE, ASAI PAKE NIBAK SEUNDA ~~~~~~~~ Duek, duek aree, jak, jak langay~~~~Meunyoe ate hana teupeh pade bijeh geupeutaba, tapi meunyoe ate ka teupeh bu leubeh han meuteumeung rasa~~~Jaroe bak langay, mata u pasay~~~Singet bek rhoe beuabeh~~~ Nibak puntong get geunteng, nibak buta get juleng~~~Mate aneuk meupat jeurat, mate adat pat tamita~~~Tameh surang sareng, asay puteng jilob lam bara~~~tameungeuy ban laku tuboh, tapajoh ban laku atra ~~~Uleu beumate, ranteng bek patah~~~Kameng blang pajoh jagong, kameng gampong keunong geulawa~~~lagee manok toh boh saboh, jeut lampoh soh jimeuseurapa, dipinyie jitoh siribee, hana jithee le silingka~~~ lagee bubee duwa jab, keunoe toe keudeh pih rhab~~~bak adat han jikab, bak hukom han ji talum~~~paleh sagoe meuleuhob jurong, paleh gampong tan ureung tuha~~~hak ube jiplueng, bulueng ube jiteuka~~~meunyoe na ate, pade tatob, hana bak droe talakee bak gob~~~rayek rumoh rayek keunaleung, rayek bateueng rayek sawa, rayek pageu rayek beunteueng, rayek ureung rayek keureuja~~~PUTOH NGON MUPAKAT, KUWAT NGON MEUSEURAYA~~~~~~blink>Diet Peugah Duem Peubuet Banja Beusanteut Mukim Siem Tapuga

R a n u b si G a p u e


Assalamu'alaikumwarahmatullah...
Jaroe duablah ateuh jeumala,
Saleum ulon brie keu syedara meutuwah,
Neubrie ya Allah mandum sijahtra...
Amiin Ya Rabbal A'lamiin...

Dengan segala kerendahan hati, kami menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua Pengunjung blog baleeMUKIM. Meski dalam format dan tata saji yang amat sederhana, kami memberanikan diri untuk mendedikasikan blog ini untuk mengawal, mempertahankan dan mengembangkan keberadaan komunitas dan Lembaga Pemerintahan Mukim di Aceh pada umumnya, atau Mukim Siem - Darussalam khususnya.
Kami mengundang pengunjung sekalian agar berkenan berpartisipasi mewujudkan Visi dan Missi dari blog baleeMUKIM ini. Sumbangan pikiran, pendapat, komentar, kritik, saran, dan apapun yang sifatnya konstruktif, merupakan cemeti yang seharusnya mendorong kita untuk lebih maju.
Pengunjung sekalian...sekecil apupun keterlibatan anda dalam upaya pencapaian tujuan mengawal, mempertahankan dan mengembangkan eksistensi komunitas Mukim di Aceh, menurut kami mesti diapresiasikan sebagai perjuangan menuju kehidupan lebih terhormat dan bermartabat di atas landasan budaya kita sendiri.
Ayo..., lakukan ...!!! Bersama Kita Bisa...!!!

"Rhoek ngen bara bak ureung Nanggroe, Pasoe bajoe bak ureung tuha, Tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteeh itam bak ulama."
Pengunjung sekalian..., mari wujudkan cita-cita besar ini, mulailah dengan sebuah langkah kecil. ingat...!!! Perjalanan ribuan kilometer selalu diawali dengan sebuah langkah kecil...lakukan sekarang...!

Wassalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuh
teurimong gaseh.
Imeum Mukim Siem.

TGK. MUHAMMAD ALI LAMPISANG (1894-1960) Ulama Tawadhuk Pendiri Jami'ah Al-Khairiyah Labuhan Haji.



TGK. MUHAMMAD ALI LAMPISANG
(1894-1960)

Perjalanan Menerangi Ummat dari Dayah Meunasah Blang Tgk. Haji Hasan Kr. Kalee hingga Jami'ah Al-Khairiyah Labuhan Haji.

Oleh:

*Asnawi Zainun*

Dalam buku “TEUNGKU HAJI MUHAMMAD HASAN KRUENG KALEE, Ulama Besar dan Guru Ummat”, yang ditulis oleh Mutiara Fahmi Razali, Muhammad Faisal Sanusi dan Qusaiyen Ali Al-Su'di, Hal. 58, alenia ketiga, menuliskan "... dalam merintis dayah Tgk Haji Hasan Krueng Kalee dibantu oleh teman sejawatnya bermain sejak kecil dan menuntut ilmu bersama-sama, sejak masih di Aceh hingga ke Yan. Teman ini juga adalah ADIK SEPUPUNYA, bernama TGK. MUHAMMAD ALI atau lebih ma’ruf dikenal dengan ABU LAMPISANG (Dinamakan Abu Lampisang, karena pernah menuntut ilmu di Lampisang, Tanoh Abee, Seulimuem, sebelum menyusul Abu Krueng Kalee ke Yan, Kedah, Malaysia). Beliau lebih dulu mengabdikan ilmunya di Aceh, karena tidak sempat melanjutkan pendidikan ke Mekkah. Sekembalinya dari Yan, Abu Lampisang pernah diutus Tuwanku Raja Keumala ke Labuhan Haji untuk mengajar dan memperbaiki paham kaum muda di sana. Di sana pernah menjadi guru bagi Tgk. H. Muda Wali Al-Khalidy". Dalam Catatan kaki halaman 68, penulis buku ini juga menyebutkan Abu Lampisang adalah tangan kanan Abu Krueng dalam mengajar dan mengurus dayah.

Dalam Blog http://mursyidali.blogspot.co.id , Mursyid Ali, yang menulis tentang Riwayat Pendidikan Tgk. Syekh Muda Waly, menyebutkan : “...Setelah tamat sekolah Volks School,beliau dimasukkan kesebuah pesantren di ibu kota Labuhan Haji, Pesantren JAM`IAH AL-KHAIRIYAH yang dipimpin oleh TEUNGKU MUHAMMAD ALI yang dikenal oleh masyarakat dengan panggilan TEUNGKU LAMPISANG dari ACEH BESAR sambil beliau sekolah di Vervolg School. Setelah lebih kurang 4 tahun beliau belajar di pesantren Al-Khairiyah beliau diantarkan oleh ayahnya ke pesantren Bustanul Huda di ibukota kecamatan Blangpidie. Sebuah pesantren Ahlussunnah wal jama`ah sama seperti Pesantren Al-Khairiyah,yang dipimpin oleh seorang ulama besar yang datang dari Aceh Besar,Syekh Mahmud".

Suatu ketika, Hj. Siti Hafsah, salah seorang anak Abu Lampisang, yang juga ibu dari Alm. Prof. Dr. Safwan Idris, MA, pernah bercerita kepada penulis perihal kedekatan Abu Lampisang dengan Tgk. Haji Hasan Krueng Kalee. Beliau menceritakan, Muhammad Ali kecil, memang pernah diasuh oleh ibunya Abu Hasan Krueng Kalee yang tak lain adalah kakak dari ibunya Abu Lampisang sendiri. Ibu Abu Lampisang yang telah lama menjanda, pada suatu saat dinikahkan kembali oleh abangnya dengan seorang lelaki dari tunong, jika tidak salah beliau menyebut dari gampong Limo Indra Puri, dan menetap di gampong suaminya tersebut. Ibu dari Tgk. Haji Hasan Kr. Kalee tidak setuju, jika kemenakannya itu tinggal bersama ayah tirinya, maka beliau meminta agar Muhammad Ali kecil tinggal bersamanya. Perjalanan sejarah inilah yang mempengaruhi kedekatan emosional antara Tgk. Muhammad Ali Lampisang dengan Tgk. Haji Hasan Krueng Kalee, karena disamping keduanya adalah saudara sepupu sebagaimana disebutkan di atas, juga mereka pernah sama-sama berada dalam asuhan seorang Perempuan Agung. 

Dari pernikahannya dengan Nyak Cut binti Teungku Hasyem, Tgk. Muhammad Ali Lampisang dikaruniai 7 orang anak, 4 anak perempuan dan tiga anak laki-laki. Ketujuh anak-anak beliau masing-masing adalah 1. Khatijah Ali, 2. Hj. Siti Hafsah Ali (Isteri Tgk. Idris Mahmud Lamnyong), 3. Tgk. Muhammad Nawawi Ali, 4. Siti Ghasyiah Ali (Cut Teungoh), 5. Arabi Ali, 6. Hj. Maryamu Ali (Nyak Mu) dan 7. Drs. Zamzami Ali Umri, MA. Disamping itu beliau juga memiliki istri di Lamlhe, dan juga menikah di Labuhan Haji saat bermukim di sana, namun dalam perkawinan tersebut, beliau tidak dikarunia anak keturunan.

Menurut penuturan orang-orang tua di Mukim Siem, Abu Lampisang dikenal sebagai sosok yang sangat sederhana, kalem dan rendah hati. Setiap hari dengan berjalan kaki beliau dengan sabar mengajarkan masyarakat dari meunasah ke meunasah dalam wilayah Mukim Siem. Meski sangat disegani dalam masyarakat, namun banyak juga (cerita) sisi-sisi menggelitik di seputar kehidupan beliau, sebagaimana diceritakan oleh beberapa sumber yang dikutip dari www.baleemukim.blogspot.com, sebagai berikut :

Nyak Mat, sehari-hari berprofesi sebagai sales Garam Keliling (Mugee Sira). Pagi hari Nyak Mat dengan menggunakan Sepeda Kumbang yang dirancang khusus sebagai sarana pemasaran garam  (memiliki tempat dudukan belakang dan depan, agar memuat garam lebih banyak),  berkeliling kampung untuk memasarkan garamnya sambil berteriak: "Sira Wareh...!!!" atau " Wareh Sira...!!!". 

Disamping itu,  Nyak Mat juga  metakzimkan diri sebagai asisten seorang ulama yakni Tgk. Muhammmad Ali Lampisang atau yang lebih dikenal dengan lakap Abu Lampisang.
Suatu hari saat sedang memasarkan garamnya, Nyak Mat melihat gurunya sedang berjalan kaki menuju balai pengajian yang cukup jauh disalah satu kampung dalam Mukim Siem.  Nyak Mat melirik karung garam dibelakang sepadanya yang nyaris habis terjual, dan yang tersisa hanya karung garam yang diletakkan ditempat dudukan depan sepedanya.  Seketika terbersit keinginannya untuk mengantarkan sang gurunya tersebut ke balai pengajian.  Tapi Nyak Mat bingung, di tempat dudukan yang mana dia mesti menaikkan gurunya itu, didepan atau belakang.  Namun kemudian Nyak Mat segera memindahkan karung garamnya yang di depan kebelakang, dan segera dengan santun Nyak Mat mempersilakan gurunya untuk naik di tempat dudukan depan sepedanya. Lalu dengan santai diantarkan gurunya itu ke balai pengajian.  Sesampai di sana orang - orang tersenyum geli menyaksikan kejadian tersebut.  Lalu seseorang bertanya "Nyak Mat kenapa kau naikkan Teungku di depan ?" Dengan santai Nyak Mat menjawab " kalau saya naikkan beliau di belakang, berartikan saya membelakangi beliau, mana mungkin saya membelakangi orang yang sangat saya hormati......"

Sebagai ulama  yang disegani dan dihormati Abu Lampisang sering diundang kenduri ke rumah-rumah warga.   Dan  tentunya Nyak Mat sebagai asisten senantiasa setia mendampingi gurunya tersebut.  Dalam sebuah jamuan Abu Lampisang berkata kepada Nyak Mat, "Nyak Mat...! nyan takue", sambil menunjuk sepotong leher ayam dengan maksud mempersilakan Nyak Mat untuk menyantapnya. Tanpa berpikir panjang Nyak Mat langsung menyambar leher ayam tersebut. 

Sesampai di rumah Abu Lampisang, Nyak Mat segera membuka bungkusan yang berisi leher ayam  dan menyerahkannya kepada Abu Lampisang, sambil berkata "Abu, nyoe ata dren yu kue".  
(bahasa Aceh "Takue" berarti Leher, tapi "ta kue" berarti kau ikat, misalnya disudut kain pembungkus.  Sejak peristiwa itu Nyak Mat dipanggil dengan lakap Nyak Mat Takue.)

Tgk. Muhammad Ali Lampisang lahir pada kira-kira tahun 1894, ayahnya, Teuku Umar berasal dari Mukim Lamnga Wilayah Ulee Balang IX Mukim Tungkob. Menurut Catatan yang tertulis pada batu nisan kuburan beliau, Tgk. Muhammad Ali Lampisang, meninggal dunia pada tahun 1960, dan dikebumikan di perkuburan (Bhom) keluarga di Gampong Siem, Mukim Siem, Aceh Besar. 
اللهم اغفرله وارحمه وعافه واعف عنه..اسكنه الله تعالى في جنة الفردوس الاعلى...آمين يا مجيب السائلين

HAK HAK MUKIM ATAS WILAYAH DAN SUMBER DAYA ALAM

Oleh : Asnawi Zainun

Keberadaan Mukim sebagai bagian dari struktur wilayah dan Pemerintahan di  Aceh sesuai ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan salah satu bentuk keistimewaan dan kekhususan Aceh. Kedudukanan mukim dalam tata pemerintahan di Aceh selanjutnya dipertegas keberadaannya dalam BAB XV Pasal 114. Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menyebutkan bahwa dalam wilayah kabupaten/kota dibentuk mukim yang terdiri atas beberapa gampong. Kemudian dalam Pasal 114 ayat (4) menyebutkan tentang organisasi, tugas, fungsi dan kelengkapan mukim diatur lebih lanjut dengan qanun kabupaten/kota.
Pengakuan atas keberadaan mukim sebagai bagian dari struktur pemerintahan sekaligus sebagai entitas masyarakat adat di Aceh sebagaimana tercantum dalam UUPA, telah dijabarkan organisasi, tugas, fungsi dan kelengkapan mukim dalam Qanun Kabupaten/Kota tentang Pemerintahan Mukim. Saat ini sebahagian besar kabupaten/kota di Aceh telah memiliki qanun tentang mukim, termasuk kabupaten Aceh Besar dengan Qanun Aceh Besar Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Mukim.
Istilah ‘mukim’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata “muqim” yang berarti tempat tinggal (Zakaria Ahmad 1972). Dalam konteks agama Islam, istilah mukim digunakan untuk menerangkan status tinggal menetap bagi seseorang, untuk membedakannya dengan orang yang berada dalam perjalanan (musafir). Dalam perkembangannya di Aceh istilah mukim kemudian menjadi sebuah konsep untuk menerangkan ruang fisik dari sesuatu kawasan yang terdiri dari beberapa gampong yang memiliki satu masjid bersama, dan dipimpin oleh seorang imuem mukim. Kata imuem juga berasal dari bahasa Arab yang berarti “orang yang harus diikuti” atau pemimpin (Zakaria Ahmad,1972:88).
Menurut catatan K.F.H. van Langen mukim dibentuk sejak zaman Iskandar Muda, dan pada mulanya pembentukan mukim didasarkan pada jumlah penduduk laki-laki yang mampu bertempur melawan musuh sebanyak 1.000 (seribu) orang.  Namun adanya juga keterangan yang menyebutkan  bahwa sistem pemerintahan mukim telah berkembang di Aceh masa Sultan Alauddin Ali Ibrahim Mughayatsyah, sekitar tahun 913 H atau 1507 M. Berangkat dari fakta sejarah perjalanan panjang mukim inilah, maka sangat beralasan jika Snouck Hugronje berpendapat bahwa pembagian kewilayahan dalam bentuk mukim telah mapan di Aceh dan dengan cara yang seragam, baik di kawasan Aceh Rayek, maupun di kenegerian-kenegerian di luarnya (Singarimbun, dkk, Aceh di Mata Kolonialis, Terjemahan dari The Achenese, Snouck Hugronje, Yayasan Soko Guru, Jakarta, 1985). Karena kekhasan dan kemapanan lembaga mukim dalam sistem pemerintahan Aceh, maka HM Zainuddin menyataka bahwa mukim merupakan Atjehche Organisasi atau sebuah organisasi khas Aceh (HM. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1961). Dalam perjalanannya kemudian, mukim terus berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban Aceh.
Berdasarkan kajian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan, pengakuan kedudukan dan peran mukim di Aceh, Muhammad Taufik Abda dalam artikelnya Pendampingan Desa Tak Lupakan Mukim, (harian Serambi Indonesia, 8 Agustus 2015), pada lembaga mukim melekat tiga kedudukan, pertama, sebagai Lembaga Pemerintahan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2), Pasal 112 ayat (3b) dan Pasal 114 UUPA. Juga sesuai dengan Qanun Aceh No.4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim, yang sekarang diatur kembali dalam berbagai qanun kabupaten/kota tentang mukim untuk adaptasi dengan UUPA. Terakhir Qanun Aceh No.3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Imeum Mukim. Kedua, sebagai Lembaga Adat. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 6 dan 7 UU No.44 Tahun 1999 dan Pasal 98 UUPA. Secara rinci juga diatur dalam Qanun Aceh No.9 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, Qanun Aceh No.10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat dan Peraturan Gubernur Aceh No.60 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa/Perselisihan Adat dan Istiadat. Dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga adat, mukim memiliki kelengkapan organisasi yang terdiri dari Keujruen Blangdalam bidang adat persawahan; Peutua Seneubok dalam bidang adat perkebunan; Panglima Laot dalam bidang adat laut; Pawang Glee (Panglima Uteun) dalam bidang adat hutan; Syah Bandadalam bidang adat pelabuhan, dan Haria Peukan dalam bidang perdagangan. Beberapa mukim juga memiliki lembaga Peutua Krueng dalam bidang adat sungai. Dan, ketiga, sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (19) UUPA. Konsekwensi dari ketentuan ini, maka mukim berwenang membentuk produk hukum berupa qanun mukim, peraturan imeum mukim dan keputusan imeum mukim.
Dalam kedudukannnya, baik sebagai lembaga Pemerintahan, Lembaga Adat dan Kesatuan Masarakat Hukum Adat, maka pada lembaga mukim melekat berbagai hak dan kewenangan. Hak-hak dan Kewenangn yang melekat pada lembaga Mukim berupa hak dan kewenangan yang diberikan oleh peraturan-perundangan maupun hak-hak tradisional yaitu berupa hak dan Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Mukim dan ketentuan adat serta adat istiadat.
Pakar hukum adat asal Aceh, almarhum Prof. Teuku Djuned (2003), menyebutkan kewenangan dan hak-hak persekutuan masyarakat hukum itu adalah: (1) menjalankan sistem pemerintahan sendiri; (2) menguasai dan mengelola sumberdaya alam dalam wilayahnya terutama untuk kemanfaatan warganya; (3) bertindak ke dalam mengatur dan mengurus warga serta lingkungannya. Ke luar bertindak atas nama persekutuan sebagai badan hukum; (4) hak ikut serta dalam setiap transaksi yang menyangkut lingkungannya; (5) hak membentuk adat; (6) hak menyelenggarakan sejenis peradilan.
Dalam kedudukannya sebagai lembaga adat, pada lembaga mukim melekat hak atas wilayah dan hak untuk menguasai, mengatur , mengurus dan memanfaatkan sumber daya alam sebagai harta kekayaan mukim, untuk kesejahteraan warganya. Pasal 1 angka 9 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, menegaska, Lembaga Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu mempunyai wilayah tertentu dan mempunyai harta kekayaan tersendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh.
Qanun Aceh Besar Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Mukim, yang pembentukannya berdasarkan perintah Pasal 114 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh, juga mengatur tentang hak dan kewenangan Mukim atas wilayah dan Sumber Daya Alam. Dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf e menegaskan mukim memiliki Kewenangan pengawasan fungsi ekologi dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) di kemukiman.
Kemudian Pasal  28 ayat (1) Qanun Aceh Besar Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Mukim, menyebutkan bahwa  Harta kekayaan Mukim adalah harta kekayaan yang telah ada, atau yang kemudian dikasai Mukim, berupa hutan, tanah, batang air, kuala, danau, laut, gunung, paya, rawa dan lain-lain yang menjadi ulayat Mukim sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya dalam ayat  (2) dinyatakan, Jenis jumlah kekayaan Mukim harus diinventarisaikan dan didaftarkan serta pemanfaatannya diatur oleh Bupati berdasarkan atas kesepakatan Musyawarah Mukim.
Untuk melaksanakan hak dan kewenangan atas wilayah dan Sumber Daya Alam, Lembaga Mukim memiliki aturan-aturan adat dan lembaga adat sesuai dengan fungsi dan kewengan masing-masing. Aturan pengelolaan kawasan meliputi adat tentang kehidupan bermasyarakat di kampung (kawasan hunian), adat bersawah, adat berkebun/ berladang, adat memelihara ternak, adat laut, adat sungai dan adat memungut hasil hutan. Di dalamnya aturan-aturan adat tersebut telah diatur juga tentang larangan dan sanksi. Tatacara pengambilan keputusan meliputi aspek perizinan, penyelesaian sengketa, pengenaan sanksi adat dan pengembangan aturan (adat). Selain itu, terdapat pula tata nilai dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya. Tata nilai tersebut antara lain berkaitan dengan pelestarian sumber daya, saling membantu, kemurahan hati/ saling memberi, menggunakan cara-cara yang tidak merusak dan mengedepankan kearifan.
Tiap ruang kelola, secara tradisional diurus/ dikelola oleh masing-masing lembaga, yaitu: keuchik gampong bersama imuem meunasah, keujruen blang, peutua seuneubok/ peutua ladang/ panglima laot/ keuchik laot, peutua krueng dan Panglima uteun.
Lembaga Mukim merupakan lembaga adat tertinggi dan lembaga pemersatu dalam sebuah kesatuan masyarakat adat di Aceh. Lembaga Mukim juga merupakan koordinator dari gampong-gampong dalam hal pemanfaatan sumber daya alam, terutama sumber daya alam milik bersama (komunal), baik berupa tanah/ hutan ulayat, sungai, rawa/ paya, maupun padang gembala. Mengingat penting dan strategisnya kedudukan mukim sebagaimana diuraikan di atas, maka ke depan sangat diperlukan upaya-upaya untuk menggerakkan penguatan adat dan penataan kembali kawasan adat berbasis mukim.

Jadwal Shalat