Gubernur Tolak Kedaulatan Mukim
Kamis, 20 Mei 2010 | 09:23
21 Imum Mukim WO dari GCF
Kamis, 20 Mei 2010 | 09:23
21 Imum Mukim WO dari GCF
Banda Aceh-Keberadaan 23 Imum Mukim
pada pertemuan Governor's Climate and Forest (GCF) meeting di Hermes Falace
Hotel Banda Aceh, tidak memiliki kapasitas. Bahkan, Gubernur menolak kedaulatan
para Imum Mukim.
Alhasil, 21 dari 23 Imum Mukim walk out (WO).
“Kami tidak ikut lagi, karena kami melihat keberadaan mukim tidak memiliki kapasitas apapun dari pertemuan itu.
Belum lagi, kami dihadirkan hanya pada acara diskusi side event (pertunjukan sampingan) dan bukan di main event bersama para gubernur dari beberapa Negara yang hadir di sana," kata Aiyub Yusuf, Wakil Ketua Majelis Duk Pakat Mukim Aceh Besar mewakili 21 Imum Mukim dari lima kabupaten/kota kepada koran ini, Rabu (19/5) di Banda Aceh.
Selama ini para Imum Mukim menuntut kepada Gubernur Aceh agar diberi kewenangan sepenuhnya atas penyelenggaraan pemerintahan di tingkat Mukim. Hanya saja, tuntutan yang mereka perdengarkanya dianggap angin lalu oleh orang nomor satu di Aceh itu.
Bukan itu saja, malah para Imum Mukim menegaskan tidak akan membiarkan siapapun memasuki wilayah hutan yang berada di kawasan mereka. Pasalnya, yang mengetahui seluk beluk tentang hutan itu adalah para Imum Mukim, namun peran mereka dalam pertemuan tersebut seolah dikesampingkan.
Memang, diakui para Imum Mukim, sangat berat mempertanggungjawabkan kepada masyarakat di daerah mereka, tentang peran serta masyarakat di Mukim itu, terkait jual karbon. Apalagi, ketika ditanya kepada masyarakat, tidak semuanya tahu dan mengerti, apa itu REDD.
Apalagi tentang kompensesi seperti yang dijanjikan pemerintah.Sementara itu, Asnawi Zain, Imum Mukim Siem, Aceh Besar menambahkan, tuntutan mereka tidak digubris Gubernur Irwandi Yusuf.
“Gubernur hanya mengatakan nanti-nanti dulu dan tidak mau membuat kesepakatan tertulis tetang memberikan kedaulatan mukim atas wilayah dan sumber daya alam, dimana kejelasan tata batas wilayah antar mukim, tata ruang mukim, pengakuan hak masyarakat atas tanah, dan pengakuan kewenagnan mukim atas sumber daya alam dan harta mukim lainnya,” tukasnya.
Tolak REDD
Menurut puluhan Imum Mukim, mereka tetap bertahan menolak REDD, apabila kejelasan tentang tata batas juga kedaulatan mukim tidak diperjelas.
“Padahal, tanpa REDD pun, kami telah berjuang mengurangi emisi pemanasan global sejak dari dulu.
Jadi, kami tidak membutuhkan REDD,” tukasnya.
Adapun puluhan imum mukim yang diundang, meliputi 17 orang dari Mukim di Aceh Besar, Aceh Barat,Pidie Jaya, Aceh Jaya, dan Aceh Pidie.
Ketika disinggung mengapa dua mukim dari Aceh Jaya dan Pidie, tidak ikutan WO, Aiyub Yusuf mengaku tidak tahu sebab musababnya.
Hanya saja, dia mendengar informasi kalau dua orang itu dipanggil Gubernur Aceh, kemarin malam.
Namun, Aiyub menegaskan, permasalahan kedua Imum Mukim yang kemungkinan membelot itu, akan disampaikan kepada Geuchik mereka masing-masing.
Karena bagaimana pun, imum mukim ini, diangkat berdasarkan musyawarah masyarakat desa masing-masing dan tentu saja, seharusnya dapat memperjuangkan kedaulatan mukim untuk kepentingan masyarakat desa.
Sementara itu, Zulfikar Muhammad, Direktur Koalisi NGO HAM mengungkapkan, sekira pukul 14.00 WIB, sejumlah Imum Mukim dipanggil Gubernur Aceh ke salah satu ruangan di Hotel Hermes Falace.
Pembicaraan seputar tuntutan pendemo tentang memberikan kedaulatan mukim terkait REDD. Setelah 30 menit, gubernur tidak mau menuruti tuntutan para imum mukim.
Pembicaraan bubar, karena tidak ada titik temu. Imum Mukim yang dipanggil Gubernur pun, menyampaikan ketiadaan hasil pembicaraan dengan Irwandi kepada ratusan pendemo di pintu gerbang hotel tersebut, yang juga menuntut hal yang sama terhadap kepala daerah provinsi Aceh ini.
Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM.Zulfikar mengungkapkan, pengurangan emisi karbon merupakan pengalihan resiko dari Negara maju kepada Negara miskin.
Negara maju terus saja, mempertahankan corak produksi mereka yang memang mengeluarkan emisi karbon dari berbagai jenis industri.
Dia menilai, hal tersebut tidak adil, padahal upaya mengurangi emisi bukan hanya tanggungjawab masyarakat di negara miskin notabene masih memiliki hutan, melainkan tanggungjawab bersama.
"Sedangkan kompensasi melalui proyek REDD, bukan solusi, mekanisme ini tidak adil,"akhirinya. (ian)
Alhasil, 21 dari 23 Imum Mukim walk out (WO).
“Kami tidak ikut lagi, karena kami melihat keberadaan mukim tidak memiliki kapasitas apapun dari pertemuan itu.
Belum lagi, kami dihadirkan hanya pada acara diskusi side event (pertunjukan sampingan) dan bukan di main event bersama para gubernur dari beberapa Negara yang hadir di sana," kata Aiyub Yusuf, Wakil Ketua Majelis Duk Pakat Mukim Aceh Besar mewakili 21 Imum Mukim dari lima kabupaten/kota kepada koran ini, Rabu (19/5) di Banda Aceh.
Selama ini para Imum Mukim menuntut kepada Gubernur Aceh agar diberi kewenangan sepenuhnya atas penyelenggaraan pemerintahan di tingkat Mukim. Hanya saja, tuntutan yang mereka perdengarkanya dianggap angin lalu oleh orang nomor satu di Aceh itu.
Bukan itu saja, malah para Imum Mukim menegaskan tidak akan membiarkan siapapun memasuki wilayah hutan yang berada di kawasan mereka. Pasalnya, yang mengetahui seluk beluk tentang hutan itu adalah para Imum Mukim, namun peran mereka dalam pertemuan tersebut seolah dikesampingkan.
Memang, diakui para Imum Mukim, sangat berat mempertanggungjawabkan kepada masyarakat di daerah mereka, tentang peran serta masyarakat di Mukim itu, terkait jual karbon. Apalagi, ketika ditanya kepada masyarakat, tidak semuanya tahu dan mengerti, apa itu REDD.
Apalagi tentang kompensesi seperti yang dijanjikan pemerintah.Sementara itu, Asnawi Zain, Imum Mukim Siem, Aceh Besar menambahkan, tuntutan mereka tidak digubris Gubernur Irwandi Yusuf.
“Gubernur hanya mengatakan nanti-nanti dulu dan tidak mau membuat kesepakatan tertulis tetang memberikan kedaulatan mukim atas wilayah dan sumber daya alam, dimana kejelasan tata batas wilayah antar mukim, tata ruang mukim, pengakuan hak masyarakat atas tanah, dan pengakuan kewenagnan mukim atas sumber daya alam dan harta mukim lainnya,” tukasnya.
Tolak REDD
Menurut puluhan Imum Mukim, mereka tetap bertahan menolak REDD, apabila kejelasan tentang tata batas juga kedaulatan mukim tidak diperjelas.
“Padahal, tanpa REDD pun, kami telah berjuang mengurangi emisi pemanasan global sejak dari dulu.
Jadi, kami tidak membutuhkan REDD,” tukasnya.
Adapun puluhan imum mukim yang diundang, meliputi 17 orang dari Mukim di Aceh Besar, Aceh Barat,Pidie Jaya, Aceh Jaya, dan Aceh Pidie.
Ketika disinggung mengapa dua mukim dari Aceh Jaya dan Pidie, tidak ikutan WO, Aiyub Yusuf mengaku tidak tahu sebab musababnya.
Hanya saja, dia mendengar informasi kalau dua orang itu dipanggil Gubernur Aceh, kemarin malam.
Namun, Aiyub menegaskan, permasalahan kedua Imum Mukim yang kemungkinan membelot itu, akan disampaikan kepada Geuchik mereka masing-masing.
Karena bagaimana pun, imum mukim ini, diangkat berdasarkan musyawarah masyarakat desa masing-masing dan tentu saja, seharusnya dapat memperjuangkan kedaulatan mukim untuk kepentingan masyarakat desa.
Sementara itu, Zulfikar Muhammad, Direktur Koalisi NGO HAM mengungkapkan, sekira pukul 14.00 WIB, sejumlah Imum Mukim dipanggil Gubernur Aceh ke salah satu ruangan di Hotel Hermes Falace.
Pembicaraan seputar tuntutan pendemo tentang memberikan kedaulatan mukim terkait REDD. Setelah 30 menit, gubernur tidak mau menuruti tuntutan para imum mukim.
Pembicaraan bubar, karena tidak ada titik temu. Imum Mukim yang dipanggil Gubernur pun, menyampaikan ketiadaan hasil pembicaraan dengan Irwandi kepada ratusan pendemo di pintu gerbang hotel tersebut, yang juga menuntut hal yang sama terhadap kepala daerah provinsi Aceh ini.
Direktur Eksekutif Walhi Aceh, TM.Zulfikar mengungkapkan, pengurangan emisi karbon merupakan pengalihan resiko dari Negara maju kepada Negara miskin.
Negara maju terus saja, mempertahankan corak produksi mereka yang memang mengeluarkan emisi karbon dari berbagai jenis industri.
Dia menilai, hal tersebut tidak adil, padahal upaya mengurangi emisi bukan hanya tanggungjawab masyarakat di negara miskin notabene masih memiliki hutan, melainkan tanggungjawab bersama.
"Sedangkan kompensasi melalui proyek REDD, bukan solusi, mekanisme ini tidak adil,"akhirinya. (ian)
Wed, Aug 11th 2010, 11:23
NGO Mae Fah Luang Mundur dari Program Peternakan MDF
BANDA ACEH
- Mae Fah Luang Foundation yang merupakan salah satu dari delapan NGO
yang lulus seleksi dan telah ditetapkan sebagai pelaksana program
pemberdayaan ekonomi masyarakat untuk paket kegiatan Economic
Development Financing Facility (EDFF) bidang peternakan yang dibiayai
Multidonor Fund (MDF) menyatakan mundur sebagai pelaksana proyek
tersebut di Aceh.
Informasi mundurnya Mae Fah Luang Foundation sebagai pelaksana program EDFF di Aceh disampaikan Kepala Bappeda Aceh, Ir Iskandar MSc kepada Serambi, Selasa (10/8) dengan mengutip laporan Prof Dr Anhar Abubakar MSc selaku Head Project Manager Unit (MPU) EDFF MDF.
Menurut laporan, Mae Fah Luang Foundation telah menyampaikan surat pengunduran diri sebagai pelaksana program EDFF MDF tertanggal 6 Agustus 2010. Salah satu alasan mundurnya karena Bank Dunia sebagai penyimpan dana EDFF milik MDF memerintah Mae Fah Luang Fondation merevisi proposal kegiatan EDFF bidang peternakan yang sebelumnya telah disetujui. “Mungkin merasa dipersulit oleh Bank Dunia untuk pencairan dana, makanya Mae Fah Luang Foundation membuat surat pengunduran diri,” kata Iskandar.
Iskandar mengatakan, Bappeda Aceh sebagai pihak yang memfasilitasi program EDFF itu belum menyetujui pengunduran diri Mae Fah Luang Foundation sebagai pelaksana program EDFF bidang peternakan. “Kalau permohonan itu kita setujui, maka pilot project pengembangan peternakan di tiga mukim di Aceh Besar (melibatkan 22 gampong) bisa terhenti. Mae Fah Luang sendiri sudah menyusun program secara matang,” ujar Iskandar. Padahal, lanjut Iskandar, untuk bisa menjadi peserta harus melampaui seleksi yang sangat ketat. “Setelah lulus seleksi mereka mengajukan mundur, ini yang belum bisa kita terima,” tandas Kepala Bappeda Aceh.
Terkait masalah itu, Iskandar berjanji akan memanggil pihak Mae Fah Luang Foundation dan Bank Dunia untuk membahas persoalan yang kemungkinan dihadapi oleh masing-masing pihak. Bappeda berharap Mae Fah Luang Foundation tetap melaksanakan tugasnya sebagai pelaksana program EDFF bidang peternakan di Aceh.
Dikatakan Iskandar, jika Mae Fah Luang Foundation benar-benar mundur, maka maka program swasembada daging dan telur yang telah dipersiapkan melalui paket pemberdayaan ekonomi EDFF MDF bisa tidak tercapai pada 2014. “NGO itu sudah mememenuhi persyaratan yang diminta PMU EDFF MDF, tapi kenapa Bank Dunia memintanya untuk merevisi proposal dan program yang akan dilaksanakan. Kita belum tahu di mana akar masalahnya. Bappeda merasa perlu memanggil kedua belah pihak untuk dicarikan solusi,” ujar Kepala Bappeda Aceh.
Herizal SE, salah seorang staf administrasi dan Human Resources Mae Fah Luang Foundation yang dimintai penjelasannya mengatakan, pihaknya mundur sebagai pelaksana program EDFF untuk bidang peternakan karena untuk pencairan dana pelaksana kegiatan EDFF, pihak Bank Dunia meminta merevisi kembali proposal yang pernah diajukan menjadi peserta EDFF.
Padahal, kata Herizal, proposal yang diajukan itu sudah dinilai dan disetujui untuk dibiayai dan dilaksanakan. “Tiba-tiba pada saat mau dilakukan pencairan dananya di Bank Dunia, pihak Bank Dunia minta proposal yang telah disetujui sebelumnya direvisi kembali,” ungkap Herizal. Karena persoalan itu, kata Herizal, Chief Development Officer Mau Fah Luang Foundation, Mom Luang Dispanadda membuat surat pengunduran diri yang ditujukan kepada Kepala PMU EDFF MDF, Prof Dr Anhar Abubakar MSc tertanggal 6 Agustus 2010. “Surat pengunduran diri itu ditembuskan ke Bappeda Aceh, Asisten Deputi untuk Invesment Kementerian Daerah Tertinggal, dan World Bank EDFF Task Team Leader-nya,” ujar Herizal.
Seperti diketahui, Mae Fah Luang Foundation merupakan salah satu dari delapan NGO yang lulus seleksi dan telah ditetapkan sebagai pelaksana program EDFF MDF untuk bidang peternakan oleh PMU EDFF MDF. Tujuh NGO lainnya adalah Canadian Cooperative Association, Swisscontact, Action Aid Australia- Keumang, Muslim Aid, Islamic Relief, Aceh Development Fund, dan Caritas Czech Republik. Delapan NGO itu diberikan tugas oleh PMU EDFF MDF untuk melaksanakan program pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat Aceh yang sumber dananya dari MDF senilai 45 juta dolar AS atau sekitar Rp 450 miliar. Program ini akan berakhir Maret 2012.
Dalam melaksanakan program EDFF MDF, masing-masing NGO punya bidang tersendiri. Canadian Cooperative Association menangani bidang koperasi, pertanian, dan perikanan, Swisscontac dan Action Aid Australia-Keumang menangani perkebunan/kakau, Muslim Aid menangani bidang peternakan, Islamic Relief bidang perikanan, Aceh Development Fund bidang pengolahan ikan, Caritas Czech Republik menangani pengolahan nilam, dan Mae Fah Luang Foundation di bidang peternakan. Disebut-sebut, akibat mundurnya Mae Fah Luang dari program ini di Aceh, sekitar 100 lebih stafnya yang sudah melalui seleksi ketat mendadak kehilangan pekerjaan. (her)
Informasi mundurnya Mae Fah Luang Foundation sebagai pelaksana program EDFF di Aceh disampaikan Kepala Bappeda Aceh, Ir Iskandar MSc kepada Serambi, Selasa (10/8) dengan mengutip laporan Prof Dr Anhar Abubakar MSc selaku Head Project Manager Unit (MPU) EDFF MDF.
Menurut laporan, Mae Fah Luang Foundation telah menyampaikan surat pengunduran diri sebagai pelaksana program EDFF MDF tertanggal 6 Agustus 2010. Salah satu alasan mundurnya karena Bank Dunia sebagai penyimpan dana EDFF milik MDF memerintah Mae Fah Luang Fondation merevisi proposal kegiatan EDFF bidang peternakan yang sebelumnya telah disetujui. “Mungkin merasa dipersulit oleh Bank Dunia untuk pencairan dana, makanya Mae Fah Luang Foundation membuat surat pengunduran diri,” kata Iskandar.
Iskandar mengatakan, Bappeda Aceh sebagai pihak yang memfasilitasi program EDFF itu belum menyetujui pengunduran diri Mae Fah Luang Foundation sebagai pelaksana program EDFF bidang peternakan. “Kalau permohonan itu kita setujui, maka pilot project pengembangan peternakan di tiga mukim di Aceh Besar (melibatkan 22 gampong) bisa terhenti. Mae Fah Luang sendiri sudah menyusun program secara matang,” ujar Iskandar. Padahal, lanjut Iskandar, untuk bisa menjadi peserta harus melampaui seleksi yang sangat ketat. “Setelah lulus seleksi mereka mengajukan mundur, ini yang belum bisa kita terima,” tandas Kepala Bappeda Aceh.
Terkait masalah itu, Iskandar berjanji akan memanggil pihak Mae Fah Luang Foundation dan Bank Dunia untuk membahas persoalan yang kemungkinan dihadapi oleh masing-masing pihak. Bappeda berharap Mae Fah Luang Foundation tetap melaksanakan tugasnya sebagai pelaksana program EDFF bidang peternakan di Aceh.
Dikatakan Iskandar, jika Mae Fah Luang Foundation benar-benar mundur, maka maka program swasembada daging dan telur yang telah dipersiapkan melalui paket pemberdayaan ekonomi EDFF MDF bisa tidak tercapai pada 2014. “NGO itu sudah mememenuhi persyaratan yang diminta PMU EDFF MDF, tapi kenapa Bank Dunia memintanya untuk merevisi proposal dan program yang akan dilaksanakan. Kita belum tahu di mana akar masalahnya. Bappeda merasa perlu memanggil kedua belah pihak untuk dicarikan solusi,” ujar Kepala Bappeda Aceh.
Herizal SE, salah seorang staf administrasi dan Human Resources Mae Fah Luang Foundation yang dimintai penjelasannya mengatakan, pihaknya mundur sebagai pelaksana program EDFF untuk bidang peternakan karena untuk pencairan dana pelaksana kegiatan EDFF, pihak Bank Dunia meminta merevisi kembali proposal yang pernah diajukan menjadi peserta EDFF.
Padahal, kata Herizal, proposal yang diajukan itu sudah dinilai dan disetujui untuk dibiayai dan dilaksanakan. “Tiba-tiba pada saat mau dilakukan pencairan dananya di Bank Dunia, pihak Bank Dunia minta proposal yang telah disetujui sebelumnya direvisi kembali,” ungkap Herizal. Karena persoalan itu, kata Herizal, Chief Development Officer Mau Fah Luang Foundation, Mom Luang Dispanadda membuat surat pengunduran diri yang ditujukan kepada Kepala PMU EDFF MDF, Prof Dr Anhar Abubakar MSc tertanggal 6 Agustus 2010. “Surat pengunduran diri itu ditembuskan ke Bappeda Aceh, Asisten Deputi untuk Invesment Kementerian Daerah Tertinggal, dan World Bank EDFF Task Team Leader-nya,” ujar Herizal.
Seperti diketahui, Mae Fah Luang Foundation merupakan salah satu dari delapan NGO yang lulus seleksi dan telah ditetapkan sebagai pelaksana program EDFF MDF untuk bidang peternakan oleh PMU EDFF MDF. Tujuh NGO lainnya adalah Canadian Cooperative Association, Swisscontact, Action Aid Australia- Keumang, Muslim Aid, Islamic Relief, Aceh Development Fund, dan Caritas Czech Republik. Delapan NGO itu diberikan tugas oleh PMU EDFF MDF untuk melaksanakan program pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat Aceh yang sumber dananya dari MDF senilai 45 juta dolar AS atau sekitar Rp 450 miliar. Program ini akan berakhir Maret 2012.
Dalam melaksanakan program EDFF MDF, masing-masing NGO punya bidang tersendiri. Canadian Cooperative Association menangani bidang koperasi, pertanian, dan perikanan, Swisscontac dan Action Aid Australia-Keumang menangani perkebunan/kakau, Muslim Aid menangani bidang peternakan, Islamic Relief bidang perikanan, Aceh Development Fund bidang pengolahan ikan, Caritas Czech Republik menangani pengolahan nilam, dan Mae Fah Luang Foundation di bidang peternakan. Disebut-sebut, akibat mundurnya Mae Fah Luang dari program ini di Aceh, sekitar 100 lebih stafnya yang sudah melalui seleksi ketat mendadak kehilangan pekerjaan. (her)
Serambi Indonesia 25 Januari 2010, 11:26
Waduk Tuwi Geulumpang Mengairi 200 Hektare Sawah
Kutaraja
BANDA ACEH - Proyek Waduk Tuwi Geulumpang di Gampong Krueng Kalee, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar, yang pada tahap awal telah dikerjakan tahun lalu, awal Maret mendatang pembangunan waduk kategori embung itu akan dilanjutkan. Diperkirakan, waduk itu mampu mengairi lebih kurang 200 hektare sawah penduduk di kawasan itu. Menurut keterangan Kabid Sungai Danau dan Waduk, Dinas Pengairan Aceh, Ir Syahrul Djamil kepada Serambi Sabtu (23/1) seusai meninjau ke lokasi waduk itu menyebutkan, Waduk Tuwi Geulumpang itu masuk dalam kategori embung yang diperkirakan akan mampu menampung air 969,19 m3, dengan debit maksimum sebesar 87.92 m3/detik. Dengan demikian, tambah Syahrul, waduk tersebut nantinya akan mampu mengairi 200 hektare sawah penduduk di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Darussalam dan Kutabaro, Aceh Besar. Menurutnya, keberadaan waduk itu nantinya akan mampu menjawab persoalan yang dihadapi oleh para petani di dua kecamatan itu selama ini, yakni kesulitan air. Dijelaskan, pada tahap awal, pembangunan waduk itu telah dikerjakan tahun lalu dengan pagu anggaran Rp 3 miliar dan jumlah biaya terkontrak Rp 2,1 miliar. Selanjutnya, tahun ini proyek itu kembali dilanjutkan dengan pagu anggaran Rp 2,5 miliar. “Insya Allah, pada awal Maret mendatang proyek itu sudah dikerjakan lagi,”ujar Kabid Sungai Danau dan Waduk, Dinas Pengairan Aceh itu.
Kebutuhan mendesak
Sementara itu, Keuchik Krueng Kalee, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar, Abdul Rahman yang juga ikut meninjau ke waduk tersebut kepada Serambi mengatakan, keberadaan Waduk Tuwi Geulumpang itu adalah kebutuhan yang sangat mendesak bagi masyarakat di Kecamatan Darussalam dan Kutabaro. Sebab, selama ini lebih kurang 300 hektare sawah yang ada di kawasan itu merupakan sawah tadah hujan. Disebutkan, 300 hektare sawah itu merupakan hamparan yang terbentang di enam gampong dalam Kecamatan Darussalam, yakni Krueng Kalee, Lambiheu Siem, Lambiheu Lambaro Angan, Siem, dan Gampong Lambaro Sukon. Sedangkan satu gampong lagi yang areal sawahnya masuk dalam ‘target’ Waduk Tuwi Geulumpang adalah, Gampong Cot Lamme, Kecamatan Kutabaro, Aceh Besar. “Selama ini para petani dari enam desa itu menanam padi setahun sekali, karena kesulitan air. Bahkan sering musim tanam tertunda karena harus menunggu hujan turun,” ujar Keuchik Abdul Rahman. Karena itu, tambahnya, masyarakat sangat mengharapkan agar waduk tersebut dapat sesegera mungkin diwujudkan.(mis)
Serambi Indonesia 3 Februari 2010, 14:54
Penguatan Hukum Terhadap Mukim Masih Lemah
KutarajaBANDA ACEH - Meski keberadaan mukim di Aceh sudah cukup lama, tapi soal payung hukum untuk lembaga tersebut masih lemah. Sebab, hingga kini belum ada Qanun di kabupaten/kota yang mengatur tentang tatalaksana kemukiman itu sendiri. Hal itu antara lain dipaparkan, Dr Taqwaddin Husein SH MS, selaku Ketua Kelompok Kerja Penguatan (KKP) Mukim Aceh, pada acara workshop yang digelar Institute Green Aceh, Senin (1/2) di Banda Aceh. Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala itu juga menjelaskan, di Indonesia ada dua masyarakat yang mempunyai kewenangan mengatur sendiri lembaga adat. Yaitu lembaga Mukim di Aceh dengan Qanun nomor 4 tahun 2003, dan Nagari di Sumatera Barat dengan Perda tahun 2007. Akan tetapi untuk Nagari payung hukunya itu betul-betul sudah berjalan dengan baik dan baik. Sedangkan Mukim juga sudah mempunyai Qanun yakni nomor 3 tahun 2004. Namun sayang, Aceh belum mempunyai Qanun yang mengatur pengaturan Mukim di kabupaten/kota. Katanya, di Padang, Wali Nagari merupakan figur yang sentral yang memiliki wibawa dan kemapanan. Wali Nagari memiliki kewenangan dalam pemerintahan, dimana Nagari mempunyai masyarakat adat, mempunyai ulayat adat, dan mereka menyelesaikan sengketa itu dengan adat. Sementara itu, Deputy Manager Comunity Based Conservation, Syaifuddin mengatakan, ada perbedaan antara Nagari di Sumbar dengan Mukim di Aceh. Sebenarnya, otonomi itu bukan berada di gampong, akan tetapi berada di Mukim.(c47)
Serambi Indonesia
Fungsi Mukim belum Jelas
KutarajaBANDA ACEH - Pemerintah di kabupaten dan kota belum memberdayakan mukim secara maksimal. Akibat dari hal ini lembaga pemerintahan setingkat dibawah camat belum berfungsi. Persoalan ini mengemuka dalam Rapat Kerja (Raker) Imum Mukim se-Aceh yang berlangsung di Hotel Regina, Banda Aceh, Senin (19/10). Kegiatan itu sendiri di buka oleh Gubernur Aceh yang diwakili Asisten Pemerintahan, Drs Marthin Desky. “Kalaupun ada kerja yang dapat dilakukan, hanya sebagai pengantar surat dari camat ke keuchik dan sebaliknya. Begitu juga ketika polisi masuk kampung, kami diminta hanya untuk mengantar surat pemberitahuan ke keuchik. Jadi, apa sebenarnya fungsi imum mukim?” ujar Tgk Jafaruddin, Kepala Mukim Bener Meriah. Hal lain yang mencuat adalah persolan operasional, kantor, dan insentif. Pemerintah selama ini memberikan dana untuk gampong, camat, sementara lembaga mukim tidak diberikan. “Keuchik punya kendaraan operasional dan kantor. Tetapi kami tidak ada, maka kami ingin mempertanyakan apa makna dan tujuan lembaga mukim ini dihadirkan kalau seperti ini,” ujar Husein seorang mukim dari Aceh Tengah. Begitupun, beberapa imum mukim lainya sempat bersuara keras dalam forum rapat tersebut yang meminta pemerintah untuk membubarkan lembaga mukim bila tidak mampu diberdayakan secara maksimal. Seorang Imum Mukim dari Kota Banda Aceh, Tgk Habib mengakui, ia masih kewalahan dalam melaksanakan peran dan fungsi imum mukim. “Saya sudah 10 tahun jadi imum mukim, tapi tidak tahu perangkat mukim seperti apa. Ini karena tidak ada petunjuk dari gubernur,” ungkapnya. Terkait hal ini, Asisten Pemerintahan Aceh, Marthin Desky, menyatakan komit memberlakukan kembali fungsi dan peran imum mukim di Aceh. Soal insentif ia berjanji merealisasikannya. “Jika bapak-bapak mukim minta anggaran untuk mukim disamaratakan, akan kita upayakan. Persoalannya, ada mukim yang membawahi gampong lebih banyak di daerahnya dibanding imum mukim di daerah lain,” ujar Marthin. Selain itu, Ketua DPRA terpilih, Hasbi Abdullah, juga berjanji akan mengupayakan hak-hak imum mukim. “Maju mundurnya suatu pembangunan itu dimulai di tingkat gampong. Maka, mukim menjadi ujung tombak pembangunan Aceh,” paparnya.(sup)
Serambi Indonesia 12 August 2009, 09:58
Hutan Mukim Dilokakaryakan
KutarajaBANDA ACEH - Pengelolaan Hutan Mukim di Aceh akan dibahas dalam sebuah lokakarya yang diprakarsai oleh enam lembaga internasional dan lokal pada Rabu dan Kamis (12-13 Agustus) di Banda Aceh. Lokakarya yang berlangsung di Hotel Oasis Banda Aceh itu diselenggarakan bareng oleh Flora and Fauna International (FFI) Aceh Programme, GreenAceh Institute, Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI), Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh (JKMA), Serikat Mukim Aceh Jaya, dan Majelis Duek Pakat Mukim Aceh Besar (MDPM). Menurut Sulaiman Aswah, Koordinator Informasi GreenAceh Institute, kepada Serambi di Banda Aceh, Selasa (11/8), lokakarya itu dimaksudkan untuk mendorong keadilan distribusi sumber daya alam kepada masyarakat dan memperkuat dukungan terhadap peran mukim dalam Pengelolaan Hutan Mukim (PHM), khususnya pengakuan terhadap hak ulayat mukim di Aceh. Lokakarya ini, kata Sulaiman, diharapkan dapat melahirkan langkah-langkah strategis dan sistematis dalam rangka memperkuat sistem PHM di Aceh. Membangun Kesepahaman dan Strategi dalam Mewujudkan Pengakuan dan Pengelolaan Hutan Mukim di Aceh, itulah tema yang diusung dalam lokakarya dua hari penuh itu. Peserta lokakarya, menurut Sulaiman, sangat terbatas, hanya mereka yang selama ini bekerja memperkuat kelembagaan mukim dan pengelolaan hutan. Mereka berasal dari Pemerintah Aceh dan kabupaten, mukim, partai politik, NGO, universitas, serta lembaga-lembaga donor. (dik)
Serambi Indonesia 27 May 2009, 10:04
Dewan Sahkan Qanun Mukim dan Keuchik
* Raqan Wali Minta DilanjutkanKutaraja
BANDA ACEH - Seluruh Fraksi di DPRA menyetujui Rancangan Qanun (Raqan) Tatacara Pemilihan dan Pemberhentian Imuem Mukim dan Raqan Tatacara Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik untuk disahkan menjadi Qanun. Persetujuan ini disampaikan delapan fraksi Dewan, dalam pendapat akhir fraksi pada sidang paripurna pembahasan raqan tersebut, di Gedung Utama DPR Aceh, Selasa (26/5). Jurubicara Fraksi PBR, Nazaruddin Ibrahim SE mengatakan, isi kedua raqan yang disusun dan dibahas Komisi A DPRA tersebut, sudah sesuai dengan mekanisme pembahasan sebuah rancangan qanun untuk disahkan menjadi qanun. “Karena telah sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan dari tahapan serta kriteria dalam pemilihan dan pemberhentian imeum mukim dan keuchik, maka tidak ada alasan lagi bagi fraksi PBR untuk tidak menyetujui dan mengesahkannya,” ujar Nazaruddin. Ungkapan hampir serupa juga dilontarkan Juru Bicara dari Fraksi PPP, Ir H Mismaruddin Mahdi. Ia mengatakan, setelah disahkan Dewan menjadi qanun, kedua raqan itu kemudian dimasukkan ke dalam lembaran daerah untuk dilaksanakan menjadi pedoman dalam pemilihan dan pemberhentian imuem mukim dan keuchik. “Kepada Gubernur kita minta membuat instruksi kepada para bupati dan walikota untuk mempersiapkan qanun tentang struktur pemerintahan gampong dan pemerintahan mukim,” kata dia. Sementara itu, Juru Bicara Fraksi PBB, Ishak Kasem dalam penyampaian pendapat fraksinya mengatakan, dalam pasal 1 ayat 13) Tuha Peut atau nama lainnya Badan Permusyawaratan Gampong (BPG) yang terdiri dari unsur agama, tokoh adat, pemuka masyarakat dan cerdik pandai yang ada di Gampong sebaiknya perlu ditambah satu lagi dari unsur perempuan. Begitu juga dalam pasal 6) tentang anggota pemilihan berjumlah 5 orang dari unsur independen perlu dicantumkan laki-laki dan perempuan. Terkait dengan masa jabatan keuchik yang terdapat dalam raqan selama enam tahun, fraksi PBB menyarankan cukup lima tahun saja, dan keuchik yang lama, bisa mencalonkan kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya, hal ini sesuai dengan UUD 1945. Raqan Wali Nanggroe Sedangkan menyangkut raqan Wali Nanggroe, Fraksi PBB minta dilanjutkan pembahasan. Alasannya, karena masa pembahasan raqan ini sudah lebih dari 6 bulan. Kecuali itu, Ishak Kasem menambahkan, untuk penjaringan aspirasi dari berbagai pihak, termasuk dari luar negeri, jumlah anggaran yang dihabiskan sudah cukup besar, yakni mencapai miliar Rupiah. “Mungkin dari puluhan qanun yang telah disahkan Dewan, Raqan Wali Nanggroe ini yang menghabiskan dana cukup besar,” ujarnya. Jurubicara Fraksi Golkar, Azhari Basyar mengatakan, meski waktu yang telah digunakan Pansus XI yang ditugasi pimpinan Dewan untuk menyusun dan membahas raqan Wali Nanggroe, cukup lama. Pansus XI juga telah melakukan studi banding ke berbagai kesultanan di dalam negeri, serta mencari referensi ke luar negeri. Tapi, kata dia, karena eksekutif menilai isi raqan Wali Nanggroe itu perlu didalami lagi, maka Fraksi Golkar menyetujuinya. “Tapi pendalaman materi isi raqan tersebut, jangan sampai membuat statusnya jadi mengambang sampai berakhirnya masa tugas Dewan yang sekarang akhir September 2009 mendatang,” katanya. Kritikan yang hampir serupa juga dilontarkan Fraksi PKS, PAN, Partai Demokrat, dan Perjuangan Umat. Fraksi PAN minta supaya kelanjutan pembahasan Raqan Wali Nanggroe itu tetap ditangani oleh Pansus XI. Sedangkan Fraksi PKS, minta tetap dilanjutkan, tapi jangan sampai berakhirnya masa tugas Dewan yang sekarang. Alasannya, karena raqan itu masuk dalam Program Legislatif Daerah (Prolega) 2008/2009 DPRA yang harus diselesaikan tahun 2009 ini.(her)
Berapa biaya yang di sediakan pemerintah untuk pemilihan umum mukim
BalasHapus