peng sireubee tinggai sireutoh
Hadih Maja atau Nariet Maja adalah ungkapan bijak warisan indatu tentang nilai-nilai dan filosofis kehidupan masyarakat Aceh yang diungkapkan dengan singkat, padat dan dengan sentuhan bahasa puitis. Hadih Maja mengajarkan berbagai dimensi nilai dan filosofis, agar menjadi pegangan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Sebahagian besar dari hadih maja merupakan kristalisasi dari nilai-nilai agama dalam sistem budaya masyarakat Aceh. Hampir bisa dipastikan semua hadih maja memuat nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran agama yang dianut masyarakat Aceh yaitu Agama Islam. Hal ini sejalan dengan ungkapan salah satu hadih Maja yang sangat masyhur yakni : Adat bak poeteu Meureuhom, hukom bak Syiah Kuala. Adat ngen Hukom lagee Zat ngen Sifeut. Hadih maja ini menggambarkan secara tepat bagaimana adat dan hukum (syariat Islam) telah terintegrasi secara utuh dan harmonis, sehingga tidak mungkin memisahkan antara keduanya.
Hadih Maja yang lain seperti, " meunyoe teupat niet ngen kasat laot darat Tuhan peulara" Hadih Maja ini mengajarkan tentang pentingnya "Niat" dan "keikhlasan" ketika kita melakukan sesuatu. Tentu Hadih Maja ini sangat sejalan dengan ajaran agama Islam yang dianut masyarakat Aceh.
Banyak juga ditemui Hadih Maja yang menggambarkan bagaimana sifat dan karakter masyarakat Aceh. Hadih Maja yang ada hubungannya dengan penggambaran ini misalnya: "Lagee Crah meunah beukah"; "Meunyoe ate hana teupeh, pade bijeh dipeutaba, tapi meunyoe ate ka teupeh bu leubeh han meuteumee rasa" ; "Cap di batee, labang di papeun, lagee ka lon kheun hanjeut meutuka" ; "meunyoe na ate, pade ta tob, hana bak droe, talakee bak gob" dan banyak lagi lainnya yang menggambarkan karakter keeleganan, kesetiakawanan, konsistensi dan keberanian manusia Aceh.
Kita juga menemukan berbagai hadih Maja yang mengajarkan nilai-nilai musyawarah dan demokratis. Antara lain terlihat pada hadih maja berikut : "meunyoe ka pakat, lampoh jeurat tapeugala"; "Jak meubareh meuireng-ireng, meuduk pakat, peusaho haba, bahle tameh surang sareng, asai puteng jilob lam bara"; "sensiu beuneung tawoe bak pruet, karue buet tawoe bak punca"; "bak rang patah bek ta peeh binteh, bak ubong tireh bek taleung tika, bak buet pakat ate beugleh, bek arang abeh beusoe han peuja"; Hadih Maja tentang penghormatan dan penegakan Hukum : "Adat meukoh reubong, Hukom Meukoh arieh (bambu keras yang digunakan sebagai tangga), Adat jeut meuranggahoe takong, hukom hanjeut meuranggahoe takieh"; "kameng blang pajoh jagong, kameng gampong keunong geulawa"; "cak creuh di geunireng, cak ceng di ateuh, nyang teupat meupalet, nyang sulet lheuh". Hadih Maja tentang etos kerja: "meunyoe hana tauseuha, panee teuka rhot di manyang"; "gaki jak urat meunari, na tajak na raseuki"; jaroe bak langai, mata u pasai". Skill; "meunyoe jeut buet jaroe u cong duroe pih seulamat, meunyoe hanjeut buet jaroe atra lam peutoe pih kiamat...!!!". Eunterprenership : "Peureulee keu laba, dong bineh rugoe"; pangkai siploh peubloe sikureung, lam ruweung meuteumee laba"; "meunyoe ken majun, ragoe, meunyoe ken laba...rugoe..!"; meunyoe jeut ta antok, lam bak jok ji teubit saka". Memandang jauh kedepan: pang ulee buet beuna pike; ngat na hase takeureuja"; meuranggapeu buet tapike ilee, meunyoe ka malee hana le guna"; Inisiatif sendiri : "geupeuna utak geuyue seumike, geupeujeut ate geuyu meurasa, panee na ek gob peugah sabe, leubeh meusampe ingat keudroe lam dada". Keadilan : "Banja ube jiplueng, bulueng ubee teuka"; "hana leubeh hana kureung, ban nyang bileung na di gata"; pentingnya pendidikan : "meuranggapeu buet tameuguree, bek ta tiree han samporeuna". Hidup Seimbang : "tameungui ban laku tuboh, tapajoh ban lku atra" "grob guda grob keuleudee, grob gob ureung kaya, grob tanyoe sigeumadee". Objektif : "Peugah ube buet, peubuet lagee na". "Mariet bek upak apek, olheuh tapeunyoe dudoe tabalek." Belajar sejak dini: "yoh masa reubong han ta tem ngieng-ngieng, oh kajeut keutrieng han ek ta puta".
Wooow ....!! Mungkin ada puluhan ribu hadih maja lainnya yang beredar ditengah-tengah masyarakat Aceh, yang tentunya memiliki makna yang luar biasa bila kita tanamkan dan terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Namun dalam perkembangannya sekarang ini, banyak dijumpai hadih-hadih maja palsu (maudlu') yang sesat dan menyesatkan. Hadih-hadih maja ini biasanya bertentangan dengan nilai-nilai agama yang diyakini oleh masyarakat Aceh.
Salah satu Hadih Maja Maudlu' adalah: "ureung saba luwah lampoh, peng siribee, tinggai sireutoh" Hadih Maja ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan Islam. Islam mengajarkan ummatnya agar senantiasa bersabar dalam mengarungi kehidupan di permukaan bumi ini. Bersabar dalam segala hal, baik dalam duka juga dalam suka, bersabar untuk tidak melakukan perbuatan maksiat, dan sabar dalam menjalankan ibadat.
Asbabul Wurudl Hadih Maja Maudlu' ini
Hadih Maja maudlu' yang baru disebutkan di atas jelas memperolok-olok ajaran tentang kesabaran yang ditanamkan dalam agama Islam. Sekarang yang menjadi pertanyaan dari mana dan kapan muncul hadih maja tersebut ???. Kisah berawal pada saat Prof. Ali Hasjmy yang menjadi gubernur Aceh pasca pemberontakan DI/TII di Aceh. Beliau bertekad membangun Aceh melalui pembangunan bidang pendidikan. Untuk mewujudkan tekad itu, maka pemerintah Provinsi Aceh di bawah kepemimpinan beliau mencanangkan pembangunan Kota Pelajar Mahasiswa, di lokasi yang saat ini di gelar dengan Darussalam. Di lokasi ini awalnya direncanakan menjadi kampus 4 perguruan tinggi, masing-masing Universitas Syiah Kuala, IAIN Ar-Raniry, Dayah Manyang Tgk Chik Pante Kulu dan APDN. Pada tanggal 17 Agustus 1958 peletakan batu pertama pembangunan Kopelma Darussalam dilakukan oleh Menteri Agama KH Mohd Ilyas atas Pemerintah Pusat. Satu tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 2 September 1959 Kota Pelajar Mahasiswa darussalam, diresmikan oleh presiden Soekarno yang ditandai dengan pembukaan selubung Tugu Darussalam dan kuliah perdana di Fakultas Ekonomi. Peristiwa bersejarah ini kemudian diperingati sebagai hari Pendidikan Daerah Aceh.
Tanah lokasi pembangunan Kopelma Darussalam, merupakan bekas tanah Hak erfpacht, yaitu tanah yang dikuasai oleh pemerintah kolonial belanda, dan diberikan hak kepada pengusaha untuk dikelola sebagai area perkebunan. Area tanah hak erfpacht ini membentang dari kawasan Limpok sampai ke kawasan Alu Naga.
Bila kita jeli, maka akan timbul pertanyaan berikutnya. Bagaimana mungkin ditengah-tengah pemukiman penduduk terdapat tanah hak erffpacht ? Sejarahnya cukup panjang dan berliku. Dikisahkan, penduduk yang mendiami wilayah IX Mukim Tungkob (Kawasan Kopelma Darussalam termasuk dalam wilayah ini) dan Mukim Kayee Adang pada masa Kerajaan Aceh Darussalam sangat padat. Diilustrasikan bahwa pada saat itu rumah masyarakat yang dibangun sepanjang jalan dari Mukim Lambaro Angan sampai ke pusat kota Bandar Aceh Darussalam, saling berdempetan (Pok Due), sehingga orang-orang dari Mukim Lambaro Angan, meski dalam keadaan hujan lebat, tetap dapat berangkat ke ibu kota Bandar Aceh Darussalam, dengan menyusuri kolong atau emperan rumah masyarakat di sepanjang jalan.
Namun pada saat perang dengan Belanda, terutama pada saat Teuku Umar telah membelot kepihak kolonial, belanda menjalankan prinsip bumi hangus dalam menumpas perjuangan rakyat Aceh. Rakyat yang berdiam di wilayah IX Mukim Tungkob merupakan salah satu wilayah yang paliiiiiiiiiiing menderita akibat perang itu. Terlebih lagi masyarakat yang mendiami kawasan lokasi pembangunan kampus sekarang ini, karena kawasan ini dapat dikatakan sebagai gerbang menuju wilayah IX Mukim Tungkob. Rumah-rumah di sini habis dibakar serdadu belanda, sementara rakyatnya mengungsi keberbagai wilayah lain seluruh Aceh, bahkan sampai keluar Aceh. ( warning: terlepas dari bahasan ini, informasi tadi mestinya menjadi catatan penting bagi insan-insan kampus ternama di Aceh saat ini yakni Unsyiah dan IAIN Ar-Raniry, bahwa tanah yang menjadi lokasi pembangunan Kopelma Darussalam pada hakekatnya adalah tanah milik rakyat IX Mukim Tungkob. Mereka meninggalkan tanah tersebut karena diperangi oleh Belanda, keluarga mereka dibunuh dan rumah mereka dibakar...!!! Di atas tanah darah dan air mata inilah, hari ini dibangun gedung-gedung megah dan juga perumahan bagi insan-insan kampus. Sementara masyarakat yang tinggal di sekeliling kampus, tak tersentuh, kurang terberdayakan, bahkan petinggi kampus berusaha membangun "parit (khandak)" dan "tembok berlin" sebagai jurang pemisah antara insan kampus dan orang kampung)
Nah..!!! Tanah yang ditinggalkan oleh masyarakat inilah, oleh kolonial Belanda dianggap sebagai tanah negara, dan diberikan hak pengelolaannya kepada pengusaha untuk membuka perkebunan. Pasca kemerdekaan tanah ini menjadi tanah kosong yang tidak ada pengelolanya dan oleh pemerintah Provinsi Aceh tanah tersebut juga dianggap sebagai tanah negara.
Waktu berlalu, masyarakat yang mendiami sekitar lokasi tersebut, seperti masyarakat Limpok, Rukoh, Barabueng, Tanjaong Seulamat dan lain-lain, mulai memanfaatkan lahan kosong tersebut untuk kepentingan bercocok tanam, beternak atau tempat membuat kandang sapi (weu Leumo). Pemanfaatan ini tentu atas inisiatif mereka masing-masing, dan tentunya tanpa menempuh proses hukum tertentu.
Karena lahan tersebut dianggap sebagai tanah negara, maka ketika pemerintah membutuhkan untuk pembangunan, Pemerintah tentu saja berwenang untuk memerintahkan masyarakat agar angkat kaki dari lokasi tersebut. Meski untuk itu Pemerintah juga memberikan sekedar biaya ganti rugi atau sekedar uang angkat kaki. Ganti rugi diberikan dalam bentuk uang yang pada umumnya adalah lembaran dengan angka nominal Rp 1000,- . Katakanlah setiap orang mendapat ganti rugi sekitar beberapa ribu rupiah, angka yang cukup besar pada saat itu.
Seperti biasanya masyarakat yang sedang mendapat rezeki nomplok, banyak dari mereka langsung membelanjakan uang tersebut untuk membeli berbagai keperluan dan perabot rumah tangga, seperti sepeda, mesin jahit, ranjang, rak piring, dan sebagainya. Perilaku komsumtif dari sebagian anggota masyarakat ini, mendapat sorotan dari sebagian anggota masyarakat lainnya. Prilaku ini dipandang sebagai prilaku yang tidak sabar dalam mengatur penggunaan uang.
Beriringan dengan kejadian ganti rugi ini, kondisi perpolitikan Indonesia juga sedang memanas, karena Pemerintah sedang berupaya memadamkan pemberontakan PDRI/Permesta. Pemberontakan ini terjadi karena ketidakpuasan beberapa daerah di Sulawesi dan Sumatera terhada pemerintah pusat dalam alokasi pembangunan yang dianggap tidak adil. Pemberontakan ini banyak mendapat dukungan dari kalangan militer yang ada di kedua pulau tersebut, dengan membentuk Dewan Dewan daerah. Sebutlah, di Sumatera Barat dibentuk Dewan Banteng pada tanggal 20 Desember 1956, dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein, di Medan dibentuk Dewan Gajah yang dipimpin oleh kolonel Maluddin Simbolon, pada tanggal 22 Desember 1956, begitu juga di Manado dibentuk Dewan Manguni oleh Letkol Ventje pada tanggal 18 February 1957. Proklamasi PRRI sendiri diumumkan di Padang pada tanggal 15 Februari 1958 dan mendapat sambutan luas di Indonesia Timur.
Untuk mendukung perjuangan tersebut, PRRI/Permesta banyak "menguasai" uang di Bank-Bank yang ada di Sulawesi dan Sumatera. Dan uang tersebut umumnya adalah lembaran uang dengan jumlah nominal Rp 1.000,- Karena itu, sebagai salah satu taktik untuk melumpuhkan pemberontakan PRRI/Permesta, Presiden Soekarno, mengumumkan penurunan nilai mata uang seribu. Pada saat itu ditetapkan, nilai mata uang Rp 1.000,- sama dengan nilai mata uang Rp 100 . Di sinilah awalnya lahir ungkapan "Peng seuribee tinggai seureutoh".
Kebijakan ini tentu sangat berdampak kepada masyarakat penerima uang ganti rugi dalam rangka pembangunan kampus Darussalam dari Gubernur Aceh. Mereka yang belum sempat membelanjakan uangnya dipastikan mengalami kerugian dengan kebijakan pemerintah tersebut. Lalu timbullah ungkapan ejekan dari golongan masyarakat yang telah membelanjakan uang tadi : "ureung saba luwah lampoh, peng seuribee tinggai seureutoh, abeh saba babasampoh". Wallahu'alam.
Beriringan dengan kejadian ganti rugi ini, kondisi perpolitikan Indonesia juga sedang memanas, karena Pemerintah sedang berupaya memadamkan pemberontakan PDRI/Permesta. Pemberontakan ini terjadi karena ketidakpuasan beberapa daerah di Sulawesi dan Sumatera terhada pemerintah pusat dalam alokasi pembangunan yang dianggap tidak adil. Pemberontakan ini banyak mendapat dukungan dari kalangan militer yang ada di kedua pulau tersebut, dengan membentuk Dewan Dewan daerah. Sebutlah, di Sumatera Barat dibentuk Dewan Banteng pada tanggal 20 Desember 1956, dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein, di Medan dibentuk Dewan Gajah yang dipimpin oleh kolonel Maluddin Simbolon, pada tanggal 22 Desember 1956, begitu juga di Manado dibentuk Dewan Manguni oleh Letkol Ventje pada tanggal 18 February 1957. Proklamasi PRRI sendiri diumumkan di Padang pada tanggal 15 Februari 1958 dan mendapat sambutan luas di Indonesia Timur.
Untuk mendukung perjuangan tersebut, PRRI/Permesta banyak "menguasai" uang di Bank-Bank yang ada di Sulawesi dan Sumatera. Dan uang tersebut umumnya adalah lembaran uang dengan jumlah nominal Rp 1.000,- Karena itu, sebagai salah satu taktik untuk melumpuhkan pemberontakan PRRI/Permesta, Presiden Soekarno, mengumumkan penurunan nilai mata uang seribu. Pada saat itu ditetapkan, nilai mata uang Rp 1.000,- sama dengan nilai mata uang Rp 100 . Di sinilah awalnya lahir ungkapan "Peng seuribee tinggai seureutoh".
Kebijakan ini tentu sangat berdampak kepada masyarakat penerima uang ganti rugi dalam rangka pembangunan kampus Darussalam dari Gubernur Aceh. Mereka yang belum sempat membelanjakan uangnya dipastikan mengalami kerugian dengan kebijakan pemerintah tersebut. Lalu timbullah ungkapan ejekan dari golongan masyarakat yang telah membelanjakan uang tadi : "ureung saba luwah lampoh, peng seuribee tinggai seureutoh, abeh saba babasampoh". Wallahu'alam.
:D lon na tem deungo hadih maja maudzu' laenjih: "meunye ta tem deunge haba kitab, pineung tupee kab han meuteumee rasa" hadih maja nyoe that meulanggeh bak hukom. Tp hn ta tune teuka, hn ta tujan na, ngen han ta tusoe ba hadih maja dokgat nyoe. Jak ta silek, sare-sare...!
BalasHapusNyan ken hadih maja maudzu' tgk, hadih maja nyan na seunambong "meunyoe ta pateh haba kitab, U tupee kap han meutumeng rasa. Menyoe han tapateh haba kitab, jet keu kaplat ban siumu masa". Pada dasar jih permisalan "U tupee kap" nyan sangat lhok that. Lam hukom beuthat u ka dikap le tupee selama nyan kon atra tanyoe tetap hanjet tacok. Nyan mandum ka geu atoe lam kitab. Kira-kira meunan paham lon. Kadang na rakan-rakan laen yg leubeh meufom lom.
Hapusteh nyang meulanggeh...?nyan keh hadih maja nyan yg peu muphom bahasa arab u bahasa aceh.nyak mangat di muphom le anek mit dalam bahasa aceh..neu chi talah keulai dile...
BalasHapusMeunyoe tapateh peu kheun kitab/ U tupee kap han tateumee rasa/ Meunyoe han tapateh peu kheun kitab/ Jiet keubangsat siumue masa
BalasHapus