membahas penguatan mukim di kedai kopi |
Duek, duek aree
Jak, jak langay
Meugrak jaroe, meu-eek igoe
Meski perdebatan belum berujung, namun kebiasaaan nongkrong di warung kopi telah terlanjur di labelkan sebagai budaya orang Aceh. Pelabelan ini tentunya bukan tanpa alasan, namun didukung oleh data dan fakta di lapangan. Siapapun yang datang menginjakkan kakinya di bumi Aceh, maka dengan mudah akan menemukan warung-warung kopi yang bertaburan di mana saja. Nyaris di semua sudut bumi Aceh kita dapat menemukan warung kopi, dari yang wujudnya sederhana sampai dengan warung kopi mewah dengan sentuhan modern. Dan bisa dipastikan pula bahwa semua warung kopi itu nyaris tak pernah sepi di kunjungi oleh penikmat-penikmatnya. Lebih seru lagi, dikalangan pendatang yang berwisata ke Aceh, malah beredar pameo seolah-olah kalau ke Aceh, lalu tidak sempat nongkrong di warung kopi, maka hal itu dipandang sebagai sesuatu yang tidak memenuhi salah satu rukun wisata Aceh, dan ketinggalan rukun itu tidak dapat diganti dengan kafarat lainnya, sehingga perjalanan wisata ke Aceh dianggap tidak sah.
Dikalangan tokoh-tokoh masyarakat Aceh, anggapan kebiasaan nongkrong di warung kopi sebagai bagian dari budaya Aceh masih menjadi topic perdebatan seru. Ada yang pro dan ada yang kontra, tentunya dengan berbagai argument dan dalil masing-masing. Salah seorang tokoh yang sangat berkompeten terlibat dalam perdebatan ini adalah Ketua Majelis Adat Aceh Bapak Tgk. H. Badruzzaman Ismail, SH. M.Hum. Beliau adalah sosok yang dengan jelas dan tegas menolak anggapan bahwa kebiasaan nongkrong di warung kopi sebagai bagian dari budaya Aceh. Dalam berbagai kesempatan termasuk ketika menjadi pembicara pada kegiatan Mukerkim Siem tanggal 16 Agustus 2009, beliau menegaskan bahwa, fenomena nongkrong di warung kopi sebagaimana berkembang saat ini, tidak dijumpai dalam masyarakat Aceh dulu. Dulu warung kopi hanya ada di pasar (peukan) dan kaum lelaki yang dulu biasanya berbelanja di Peukan memanfaat jasa keudee Kupi sebagai tempat istirahat sejenak sambil meneguk segelas kopi. Orang-orang tua di Aceh dulu melarang keras anaknya duduk-duduk di warung kopi, bahkan orang-orang tua yang kebutulan duduk di warung kopi akan mengusir jika ada anak-anak yang mencoba untuk nongkrong di warung kopi.
Fakta di lapangan membuktikan bahwa pada sebahagian besar pengguna jasa warung kopi, menjadikan warung kopi sebagai sarana untuk menyalurkan kebiasaan bermalas-malas. Padahal mereka nongkrong di warung pada saat jam-jam produktif. Pemandangan seperti ini tidak hanya terjadi kalangan masyarakat petani di desa-desa, tapi juga terjadi dikalangan pegawai negeri sipil. Tidak sulit kita menemukan pada saat-saat jam sibuk, para abdi Negara ini justru terlihat santai di warung-warung kopi, meski sekarang karena telah ada larangan dari gubernur, kadang-kadang mereka harus bermain kucing-kucingan dengan petugas Satpol-PP.
Perilaku bermalas-malasan sejatinya sangat dikecam dalam budaya Aceh. Perilaku bermalas-malasan sering dipandang sebagai budaya WWT singkatan dari Wa-Wa Teuoet, dan orangnya disebut sebut sebagai orang raya gatok. Secara lugas malah budaya Aceh menghujat pemalas dengan sebutan “Lagee leumoe eeh yub trieng”. Sebaliknya budaya Aceh mengajarkan masyrakat untuk selalu aktif, kreatif dan pantang menyerah dalam perjuangan hidup. Ajaran ini bisa kita gali dari berbagai amanah indatu dalam bentuk hadih maja. Hadih-hadih maja yang mengajarkan hal ini jumlahnya sangat banyak, namun diantaranya dapat disebutkan antara lain: gaki jak urat meunari, na tajak na raseuki; meugrak jaroe, meu-ek gigoe; raseuki ngen tagagah, tuwah ngen tamita; tapeujeumot droe, throe pruet.
Hujatan tadi bukannya tanpa pembelaan dari pihak yang pro dengan budaya nongkrong di warung kopi. Para actor intelektual dari pendukung budaya nongkrong di warung kopi, tak kalah seru juga mempermainkan dalil-dalil bijak untuk melegitimasi kebiasaan mereka. Hadih maja yang sering ditunggangi untuk pencapaian maksud tersebut adalah hadih maja: duek, duek aree, jak, jak langay. Mereka menegaskan bahwa prosesi nongkrong di warung kopi juga dapat menjadi hal-hal yang produktif. Perumpamaan sukatan (aree) dalam hadih maja di atas, ketika dalam posisi diam, sukatan juga diisi dengan gabah atau hasil pertanian lainnya untuk disukat.
Di warung kopi, mereka dapat melakukan berbagai hal dan membicarakan berbagai persoalan dari setiap dimensi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Maka tak heran bila team-team suksesi kepemimpinan di Aceh mebicarakan taktik dan strategi pemenangan pemilihan di warung kopi. Warung kopi juga dimanfaatkan sebagai ruang untuk membicarakan urusan-urusan bisnis. Lobby proyek besar sering menghasilkan kesepakatan di warung kopi. Oleh sebab itu nongkrong di warung kopi tak jarang bernilai milyaran rupiah bagi orang-orang terentu. Yang tidak dapat dikesampingkan adalah banyak ide-ide brilliant di Aceh justru lahir dari perbincangan ringan di warung kopi. Ya…bagi sebagian orang Aceh, nongkrong di warung kopi memang telah menjadi ritual yang tidak bias ditinggalkan. Sehari saja tidak nongkrong di warung kopi akan menimbulkan siksaan psikologis bagi mereka.
Tak ayal budaya nongkrong di warung kopi, realitasnya menjadi unik. Perdebatan itu sendiri, meski sulit menemukan titik temunya, menurut saya menjadi sesuatu yang amat memperkaya khazanah pengetahuan kita. Tentunya ketika perdebatan itu tetap berada dalam koridor damai, tanpa menghujat tanpa mengejek.
Di sinilah dibutuhkan kecerdasan kita untuk menyikapi fenomena-fenomena terkini dalam hidup kekiniaan kita. Bahwa prosesi nongkrong di warung kopi lebih banyak mudzaratnya, adalah realitas tak terbantahkan. Dan bila dijalani dengan benar, juga ada mafaatnya, ada benarnya…! Kecerdasan yang mesti kita miliki adalah bagaimana cara memperkecil mudharat dan memperbesar manfaat.
Untuk urusan kecil ini, saya pikir kita mesti rela memberikan energi yang besar, agar dapat menemukan solusi yang terbaik. Di tengah menjamurnya bisnis warung kopi atau café di Aceh, pemikiran cemerlang sangat mendesak untuk dikerahkan dengan kekuatan penuh. Secara ekonomi warung kopi dan café-café menjadi sangat menjanjikan, menguntungkan. Dapat menjadi asset wisata kuliner yang mantrab dan maknyus…! Namun dibalik itu ada persoalan yang cukup merisaukan kita sebagai ureung Aceh. Rasanya tak sulit bagi bagi siapapun untuk menemukan pula sajian praktek-praktek budaya kaphe (Kafir) yang diperankan oleh generasi muda Aceh di café-café yang tersebar diseluruh pelosok Aceh. Café-café itu menjadi tempat terindah bagi mereka untuk melakukan transaksi maksiat. Yaa…di Aceh…yang disebut Serambi Makkah negeri bersyariah….! (Wallahu’alam)
jeb kuphie Aceh memang mangat...
BalasHapus