Adat bak Poteumeureuhoem, Hukoem bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana”~~~~~~~ Adat ban adat, hukom ban hukom, hanjeut meuron-ron krie-krie nyang hawa, watee meupakat adat ngon hukom, nanggroe rukon, hana le goga~~~ Roek ngon bara bak ureung naggroe, pasoe bajoe bak ureung tuha, tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteh itam bak ulama~~~Gaseh keu aneuk beuget tapapah, gaseh keu nangbah beuget tajaga~~~Raseuki deungon tagagah ....Tuah deungon tamita.....Tuah meubagi-bagi.......Raseuki meujeumba-jeumba~~~~~Teupat ke pangkai, akay keu laba~~~ KRAB TAJAK GEUBRIE SITUEK, JAREUNG TADUEK GEUJOK TIKA~~~~~ ASAI CABOK NIBAK KUDE, ASAI PAKE NIBAK SEUNDA ~~~~~~~~ Duek, duek aree, jak, jak langay~~~~Meunyoe ate hana teupeh pade bijeh geupeutaba, tapi meunyoe ate ka teupeh bu leubeh han meuteumeung rasa~~~Jaroe bak langay, mata u pasay~~~Singet bek rhoe beuabeh~~~ Nibak puntong get geunteng, nibak buta get juleng~~~Mate aneuk meupat jeurat, mate adat pat tamita~~~Tameh surang sareng, asay puteng jilob lam bara~~~tameungeuy ban laku tuboh, tapajoh ban laku atra ~~~Uleu beumate, ranteng bek patah~~~Kameng blang pajoh jagong, kameng gampong keunong geulawa~~~lagee manok toh boh saboh, jeut lampoh soh jimeuseurapa, dipinyie jitoh siribee, hana jithee le silingka~~~ lagee bubee duwa jab, keunoe toe keudeh pih rhab~~~bak adat han jikab, bak hukom han ji talum~~~paleh sagoe meuleuhob jurong, paleh gampong tan ureung tuha~~~hak ube jiplueng, bulueng ube jiteuka~~~meunyoe na ate, pade tatob, hana bak droe talakee bak gob~~~rayek rumoh rayek keunaleung, rayek bateueng rayek sawa, rayek pageu rayek beunteueng, rayek ureung rayek keureuja~~~PUTOH NGON MUPAKAT, KUWAT NGON MEUSEURAYA~~~~~~blink>Diet Peugah Duem Peubuet Banja Beusanteut Mukim Siem Tapuga

R a n u b si G a p u e


Assalamu'alaikumwarahmatullah...
Jaroe duablah ateuh jeumala,
Saleum ulon brie keu syedara meutuwah,
Neubrie ya Allah mandum sijahtra...
Amiin Ya Rabbal A'lamiin...

Dengan segala kerendahan hati, kami menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua Pengunjung blog baleeMUKIM. Meski dalam format dan tata saji yang amat sederhana, kami memberanikan diri untuk mendedikasikan blog ini untuk mengawal, mempertahankan dan mengembangkan keberadaan komunitas dan Lembaga Pemerintahan Mukim di Aceh pada umumnya, atau Mukim Siem - Darussalam khususnya.
Kami mengundang pengunjung sekalian agar berkenan berpartisipasi mewujudkan Visi dan Missi dari blog baleeMUKIM ini. Sumbangan pikiran, pendapat, komentar, kritik, saran, dan apapun yang sifatnya konstruktif, merupakan cemeti yang seharusnya mendorong kita untuk lebih maju.
Pengunjung sekalian...sekecil apupun keterlibatan anda dalam upaya pencapaian tujuan mengawal, mempertahankan dan mengembangkan eksistensi komunitas Mukim di Aceh, menurut kami mesti diapresiasikan sebagai perjuangan menuju kehidupan lebih terhormat dan bermartabat di atas landasan budaya kita sendiri.
Ayo..., lakukan ...!!! Bersama Kita Bisa...!!!

"Rhoek ngen bara bak ureung Nanggroe, Pasoe bajoe bak ureung tuha, Tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteeh itam bak ulama."
Pengunjung sekalian..., mari wujudkan cita-cita besar ini, mulailah dengan sebuah langkah kecil. ingat...!!! Perjalanan ribuan kilometer selalu diawali dengan sebuah langkah kecil...lakukan sekarang...!

Wassalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuh
teurimong gaseh.
Imeum Mukim Siem.

RAKOR PEMERINTAHAN MUKIM SE-ACEH TAHUN 2011

Imeum Mukim Siem turut menyampaikan makalah.

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, diwakili oleh Asisten I bidang Pemerintahan dan Hukum, Marwan Sufi, SH, Selasa, 6 Desember 2011 membuka kegiatan Rapat koordinasi Pemeritahan mukim se-Aceh.  Kegiatan yang dilaksanakan di Hotel Regina Banda Aceh dan berlangsung sampai tanggal 7 Desember 2011 itu, diikuti oleh 60 orang pejabat Bagian Pemerintahan dan BPM dari 23 Kabupaten/kota, 10 orang mewakili Imeum Mukim se-Aceh, dan unsur LSM yang bergerak dibidang Penguatan Mukim di Aceh. 

Dalam sambutan tertulisnya Irwandi Yusuf kembali mengingatkan pentingnya upaya pemberdayaan dan penguatan Pemerintahan Mukim di Aceh sebagai bagian dari amanah atau perintah UUPA.  Irwandi menyebutkan Mukim disamping merupakan salah satu lembaga adat juga adalah salah satu unit pemerintahan di Aceh yang langsung berada di bawah Camat.  Hal ini jelas tersebut dalam pasal 1 angka 19, pasal 2 ayat (3) dan (4), Pasal 98 ayat (3) dan Pasal 114 UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Lebih lanjut gubernur Aceh itu menyebutkan sesuai Pasal 114 (4) UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pengaturan tentang organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan Mukim selanjutnya diatur melalui Qanun Kabupaten/kota. Namun sayangnya hingga saat ini baru 10 dari 23 kabupaten/kota di Aceh yang telah mengesahkan Qanun tentang Pemerintahan Mukim.  Disamping itu meski ada 10 Kabupaten/kota telah mengesahkan Qanun tentang Mukim namun dalam tataran pelaksanaannya belum diimplementasikan sebagaimana mestinya.Hal ini merupakan salah satu ganjalan terbesar dalam pelaksanaan Pemerintahan Mukim di Aceh.  

Sehubungan dengan itu Irwandi mengingatkan agar semua kabupaten/kota yang belum menetapkan Qanun Mukim agar secepatnya segera membahas dan menetapkan qanun mukim dimaksud.  Untuk mempermudah kabupayten/kota dalam menyusun dan menetapkan qanun Mukim, maka Pemerintahan Aceh merasa memiliki kewenangan untuk menyusun pedoman umum penyelenggaraan Pemerintahan Mukim, yang diharapkan akan menjadi pedoman bagi pemerintahan kabupaten/kota dalam menyususn qanun di Kabupaten/kota masing-masing.  Untuk maksud ini maka dilaksanakan Rapat koordinasi Pemerintahan Mukim dengan harapan semua stakeholder dapat member masukan terhadap draf qanun yang telah disiapkan oleh tim perumus.

Pada sessi pertama kegiatan Rakor Mukim se-Aceh ini juga diisi dengan diskusi tentang pemerintahan Mukim yang diisi oleh 3 orang nara sumber yaitu Kepala Biro Tata Pemerintahan  Bapak A. Hamid Zein, SH, M.Hum, dengan makalahnya berjudul Kebijakan Pemerintahan Aceh untuk Penguatan Pemerintahan Mukim, Bapak DR. Taqwadin, SH., SE., MS dengan judul makalah Strategi Penguatan Pemrintahan Mukim dan Bapak Asnawi (Imeum Mukim Siem) dengan makalah Kendala dan Harapan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan  Mukim. 

Pada sessi selanjutnya kegiatan diisi dengan pembahasan Draf Peraturan Gubernur Aceh tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Mukim.  Kegiatan ini diikuti dengan antusias oleh para peserta, dengan harapan dapat memberikan massukan-masukan berarti dalam penyusunan pergub ini yang nantinya kan menjadi pedoman umum bagi kabupaten/kota dalam penyusunan qanun tentang Pemerintaha Mukim.  Antusiasnya peserta Rapat koordinasi Pemeritahan mukim se-Aceh dalam mengikuti kegiatan ini menggambarkan besarnya keinginan para peserta yang sebagian besar berasal dari pejabat bagian hukum dan tata pemerintahan kabupaten/kota di Aceh terhadap penguatan pemerintahan Mukim di kabupaten/kota masing-masing.  Semoga kedepan keberadaan Pemerintahan Mukim akan semakin kuat dan bermanfaat bagi pembangunan masyarakat. Semoga, Amiin…

Pemuda Mukim Siem Hijaukan Tuwie Geulumpang

Selasa, 15 November 2011
Seratusan Pemuda dari 8 Gampong dalam wilayah Mukim Siem Aceh Besar, pada hari Selasa tanggal 15 November melaksanakan kegiatan penghijauan melalui kegiatan Gerakan Bakti Penghijauan Pemuda di kawasan Embung Tuwie Geulumpang Mukim Siem. Kegiatan yang berlangsung hingga pukul 15.00 WIB itu berhasil menanam lebih kurang 2000 batang pohon dari berbagai jenis diantaranya Mahoni, Trembesi, Jati, dan Sangon.

Kegiatan yang digagas oleh Imeum Mukim Siem Aceh Besar ini, mendapat dukungan sepenuhnya dari Dishutbun Provinsi Aceh dan  dewan pengurus daerah knpi Aceh Besar.  

Selain dihadiri oleh perwakilan Jajaran Dishutbun Aceh, kegiatn GBPP ini dihadiri juga oleh pengurus DPD-KNPI Aceh Besar, Camat Darussalam beserta jajaran MUSPIKA, serta para perangkat gampong dalam Wilayah Mukim Siem. 

Imeum Mukim Siem Darussalam Aceh Besar Asnawi Zainun, SH,  dalam sambutannya menyebutkan bahwa salah satu tujuan diadakan kegiatann Gerakan Bakti Penghijauan Pemuda di wilayah Mukim Siem ini adalah untuk menumbuhkan kesadaran kalangan muda, khususnya yang ada di wilayah Mukim Siem akan pentingnya menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan hidup demi kelangsungan kehidupan warga bumi di masa yang akan datang.  Imeum Mukim Siem mengharapkan dengan adanya kegiatan penghijauan ini, kawasan Embung Tuwie Geulumpang Mukim Siem di masa yang akan datang akan menjadi salah satu kawasan penyimpanan air di Aceh Besar, selain akan bermanfaat untuk pengairan area persawahan di Mukim Siem, diharapkan juga akan menjadi salah satu sumber penyediaan air bersih untuk rumah tangga.  Dan yang tak kalah penting diharapkan melalui kegiatan penghijauan ini, dimasa akan datang kawasan Tuwie Geulumpang akan bermanfaat sebagai salah satu kawasan yang akan membantu mereduksi karbondioksida (CO2) di udara. 

Camat Darussalam Drs. Subki M. Shaleh, dalam kesempatan tersebut menghimbau kepada seluruh masyarakat khususnya pemuda untuk berpartisipasi aktif dalam menjaga dan memelihara lingkungan hidup, karena hanya dengan dukungan masyarakat program Pemerintah Aceh menuju Aceh Green dapat terwujud.  Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan yang disampaikan oleh salah seorang staff dari dinas dimaksud.

Yang menarik dalam kegiatan penghijauan ini juga diisi dengan kegiatan pencerahan yang disampaikan oleh da'i kondang Aceh Drs. Tgk. Sri Darmawan.  Dalam pencerahannya Tgk Wan begitu beliau akrab dipanggil, menjelaskan secara panjang lebar hubungan antara Islam dengan kegiatan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Menurut Tgk. Wan menjaga lingkungan hidup merupakan salah satu sisi ajaran Islam yang sangat penting.  Dalam Al-Qur'an maupun Hadist Nabi kita menemukan ajaran yang memerintahkan kita untuk melakukan  perbaikan dan melarang kita untuk melakukan pengrusakan di atas bumi. Beliau juga menghimbau kepada seluruh hadirin untuk menjadkan kegiatan menanam ini sebagai kegiatan penting dalam kehidupan sehari-hari yang bila dilakukan dengan ikhlas akan bernilai ibadah di sisi Allah Swt. (bM)

Menggali Hikmah Ibadah Qurban


OPINI  Muntaha Afandi - Kompasiana

Kita perlu menggali kembali hikmah ibadah kurban agar tidak terjebak dalam amalan lahiriah an sich karena dengan mengenali hikmah suatu ibadah kita dapat mengenali ”… Pengalaman keruhanian sebagai inti rasa keagamaan atau religiusitas.” Hal ini, bagi kaum sufi, memiliki tingkat keabsahan yang paling tinggi.
Dalam Islam, kurban[1] tidak berawal dari mitos, sebagaimana pengorbanan agama-agama Kuno–Yunani, Mesir, dan India atau ’agama Maya’ di Meksiko–terhadap para Dewa/ Tuhan dengan cara meninggalkan cabang bayi di atas bukit atau melemparkan gadis suci ke dalam sungai ”keramat.” Dalam Islam, kurban adalah wujud kepasrahan total, pengabdian dan kesalehan hamba. Bagi yang memahami simbol Langit, kisah Ibrahim yang hendak mengorbankan anaknya adalah, selain kepasrahan dan pengabdian total, juga bentuk kritik Tuhan terhadap ’mitos bumi.’

Yang sering terlupakan dalam ibadah kurban adalah bahwa ada dua dimensi yang harus berjalan bersamaan: ilahiyyah dan insaniyyah—atau hablum minaLlah (hubungan vertikal) dan hablum minannas (hubungan horizontal). Tegasnya, selain kepasrahan, kurban juga harus membawa manfaat bagi manusia (sosial).
Bila kita menilik ke belakang, kurban sudah ada sejak sepasang suami-istri pertama di bumi. Ia muncul dalam suasana persaingan antara Qabil dan Habil. Kepada kedua anaknya, Adam memaklumkan berkurban. Bagi yang diterima, ia berhak mempersunting Iqlima, saudari kandung Qabil. Merasa kalah dalam ’kompetisi,’ dengan mata menyala bagai api, Qabil mengintimidasi, ”Saya akan membunuhmu.” Dan dengan nada teduh Habil mengingatkan, ”Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertaqwa” (Q.S. Al-Maidah: 27).

Pada ruang yang tak sama dan waktu yang berbeda Alquran merekam peristiwa lain: seorang ayah bermimpi selama tiga malam berturut-turut agar menyembelih anaknya. Dengan suara berat, ia teguhkan hati menyampaikan ”mimpi”-nya pada si buah hati. Tak disangka, anaknya malah ’menantang’ sang ayah, ”Saya siap; satajiduni insy? Allah-u min al sh?bir?n.” (Q.S. Ash Shoffaat: 102).
Ibadah kurban beda dengan mitos (baca: agama) kuno. Ia adalah pengejawantahan dari pengabdian total dan kesalehan hamba pada ”Langit.” Kurban Qabil tak diterima karena tanpa didasari ketakwaan pada Tuhan (=tanpa hubungan vertikal). Berbeda dengan Habil: ia berkurban dengan ketakwaan dan kepasrahan total, dan mengurbankan domba yang baik (=hubungan vertikal dan horizontal).
Bagi yang memahami simbol ”Langit,” kisah Ibrahim yang hendak mengorbankan anaknya, adalah bentuk kritik Tuhan terhadap ’mitos bumi.’ Tuhan sama sekali tidak ’serius’ memerintah Ibrahim untuk menyembelih anaknya. Melalui ”monolog” itu Allah mengkritik tradisi dan sosio-kultur masyarakat saat itu yang mengorbankan nyawa manusia untuk sesembahan mereka. Tuhan tidak ’serius’ meminta Ibrahim mengurbankan anaknya. Tuhan hanya menguji kepasrahan Ibrahim terhadapnya dengan mengorbankan anak yang sejak kecil ia tinggalkan di tanah tandus: ya Ibrahim-u lam yakun al murad-u dzab-ha al waladi, wa inna-ma al murad-u an tarudd-a qalbak-a ilaina. Falamm-a radad-ta qalba-ka bikulliyatih-i ilaina, radad-na walada-ka ilai-ka.[2]

Dengan kritik itu pula, sekaligus Tuhan mengajak Ibrahim untuk membumikan ”pengorbanan” yang humanis; sebuah pengorbanan yang tak hanya berhubungan dengan Tuhan tapi juga membawa manfaat bagi manusia—bukan malah membinasan manusia. Nyawa tidak boleh dikorbankan meskipun terhadap ”tuhan.” Kedatangan malaikat membawa seekor kambing pada Ibrahim sebagai ganti anaknya,[3] jelas menegasikan bentuk pengorbanan yang sudah mengakar saat itu.
Dari pesan Allah pada Ibrahim yang saya kutip di atas, jelas Ia tidak pernah meminta daging atau darah tapi ’pra-syarat’-nya, yaitu ketakwaan dan kepasrahan. Lihat pesan Langit: Falamm-a radad-ta qalba-ka ilaina, radad-na walada-ka ilai-ka. Pesan ini sudah tak samar lagi bahwa ketika seseorang ikhlas memasrahkan hati (=hewan kurban) pada-Nya, maka yang ia terima adalah ’hati’ itu, bukan daging dan darahnya.
Dalam konteks kekinian, Allah tak pernah meminta dikasih ’sesajen’ daging atau darah hewan yang disembelih tapi ketakwaan, keikhlasan, dan kepasrahan orang yang berkurban[4], seperti—sekali lagi saya mengutip nama—Ibrahim mengorbankan anaknya. Sedangkan dagingnya dibagikan secara adil pada yang berhak: sepertiga untuk yang berkurban, sepertiga lagi untuk kerabat dan sahabat walaupun orang kaya, dan sisanya untuk fakir miskin[5]. Inilah sisi sosial ibadah kurban: semua dapat merasakan tanpa membedakan status sosial. Sehingga mereka dapat merasakan kesempurnaan hari raya Idul Adha dan Tasyriq dalam kesetaraan dan, bagi fakir miskin, sesekali dapat menikmati ’makanan orang kaya.’

Selain itu, ibadah kurban juga memberi rezeki tahunan para peternak dan/ atau penggembala domba. Misalnya, bila biasanya hanya 3—4 ekor domba yang terjual perbulan, pada Idul Adha bisa tiga sampai empat kali lipat. Dengan demikian, orang yang berkurban membantu membantu perekonomian peternak domba. Dengan kata lain, si kaya, peternak, dan orang miskin, semua turut berperan dalam ibadah kurban.
Dalam skala yang lebih besar, ibadah kurban dapat memberikan masukan kas negara tak bisa dibilang sedikit. Kita ambil contoh, berapa juta ekor domba yang disembelih di Arab Saudi? Bila Indonesia mampu mengekspor domba atau sapi ke sana tentu ini dapat memberikan masukan bagi kas negara yang tak bisa dibilang sedikit. Siapkah? Sayangnya, kita orang-orang rapuh. Jangankan ekspor domba, beras pun masih mengimpor padahal sawah di negeri ini tak bisa dibilang sedikit. Ironis, bukan? Kenapa? Terhadap pertanyaan terakhir saya hanya mau berkomentar: terkadang kita terpaksa ’tunduk’ pada ’misteri’?
*** Maka dari itu, kita perlu menggali kembali hikmah ibadah kurban agar tidak terjebak dalam amalan lahiriah an sich karena dengan menggali hikmah suatu ibadah kita dapat mengenali, mengutip Nurcholis Madjid, ”Pengalaman keruhanian sebagai inti rasa keagamaan atau religiusitas.” Hal ini, bagi kaum sufi, memiliki tingkat keabsahan yang paling tinggi. Sebab, hikmah ibarat madu; kita tak bisa merasakan manisnya madu sebelum mencicipinya. Kita pun tak dapat merasakan ’nikmatnya’ beribadah (dalam konteks ini: ibadah kurban) tanpa mengenali hikmah ibadah yang kita kerjakan. Kita perlu menggali kembali hikmah ibadah kurban karena ia rumusan yang ringkas dari ikhtiar menjalin solidaritas sosial dan tenggang rasa dalam bangsa yang multi-kultur. Dengan kata lain, kita perlu beribadah kurban untuk mengukuhkan, bahwa disadari atau tidak, mau tak mau, kita hidup bermasyarakat. Kita beribadah kurban, kita pun mengukuhkan solidaritas sosial. Dengan demikian, Islam sebagai rahmat lil alamin tak sebatas retorika. []

Dipublikasikan pertama kali di, Elwaha, Nopember 2009
Dimuat ulang:
http://kedungwungu.com/index.php?option=com_content&view=article&id=31%3Amenggali-hikmah-ibadah-qurban&catid=7%3Afikih-kontemporer&Itemid=2

*) Mahasiswa International Islamic Call College, pemimpin umum jurnal Pemikiran dan Peradaban Mediaka, dan koordinator Lajnah Ta’lif Wan Narys PCI NU Libya. Lebih lengkap tentang dan pemikiran penulis, kunjungi www.achmadmuntaha.co.cc dan www.kedungwungu.com
**) fragmen ini hanya gagasan, pembaca bisa setuju, boleh menolak.
Kita bisa mendiskusikannya di blog saya.

[1] Dalam khazanah hukum Islam tidak ditemukan kata ”kurban,” tapi ”al udhiyah.” Secara leksikal, derivasi ”qurban” dari qoruba-yaqrubu-qurban-waqurb?nan-waqirb?nan, artinya dekat. Lihat: Ibn Mandzur. 1999. Lisan Al ‘Arab. Cetakan-3. Baerut-Dar Ehia Al Tourath Al Arabi. Juz 11. Hal. 86. Mungkin karena tujuan penyembelihan hewan (al udhiyah) untuk mendekatkan diri pada Allah, maka term ”qurban” lebih akrab dari pada ”al udhiyah” yang merupakan istilah dalam khazanah hukum Islam, fikih.
[2] Al Qurthubi, Abi Abdillah Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Ai Bakr. 2006. Al Jami’-u Al Qur’an-i Al Karim-i: wa Al Mubayyin-u lima tadlammana-hu min-a al sunnat-i wa ?yi Al Furq?n-i. Cetakan-Pertama. Baerut: Al Resalah Publishers. Juz XVIII. Hal. 71
[3] Ulama masih tarik-ulur anak yang akan disembelih. Mayoritas riwayat yang mengatakan ia adalah Ishaq a.s., diantara perawi ini adalah Al ‘Abbas Ibn ‘Abdul Muthallib dan anaknya, ‘Abdullah. Sedangkan menurut Abu Hurairah r.a. anak yang akan dijadikan kurban ialah Isma’il a.s. Ibid hal. 61-65.
[4] Q.S Al H?jj: 37.
[5] Al Zuhaili, Wahbah. 1997. Fiqh-u Al Islam Wa Adillatuh-u. Cetakan-4. Damascus: Darl El FIkr. Juz-IV. Hal. 2739—2740.

Dari Kuchik menjadi Kuche'k, ketika keuchik berpolitik


Meski sempat terlunta karena terganjal sengketa regulasi, akhirnya KIP Aceh dengan perkasa kembali menggulirkan pentahapan Pilkada Aceh, termasuk menetapkan hari pencoblosan pada tanggal 24 Desember 2011. Dalam Pilkada ini, KIP Aceh juga membuka pintu lebar-lebar kepada calon perseorangan untuk berkompetisi dalam perebutan kursi 1 dan 2 di kabupaten/kota se Aceh dan pada jenjang Pemerintah Aceh sendiri. Pemberian kesempatan kepada calon perseorangan terbuka lebar setelah Mahkamah Konstitusi menganulir pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, walaupun mendapat perlawanan keras dari salah satu partai lokal dominan di Aceh.

Deru genderang Pilkada yang ditabuhkan oleh KIP Aceh membuat para "pemburu tahta" bansigom Aceh tak dapat menahan birahi untuk menguji keperkasaan mereka dalam pergumulan ini. Tahapan pendaftaran calon yang ditetapkan oleh KIP Aceh dari tanggal 1 - 7 Oktober 2011 tak dilewatkan oleh para calon dari parpol maupun calon perseorangan, kecuali calon dari Partai Aceh yang konsisten menolak Tahapan Pilkjada Aceh yang nilai mencedrai UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Sebagaimana halnya dengan Kabupaten/Kota lainnya di Aceh, PILBUP/WABUP di Aceh Besar, juga mendapat perhatian luas dan respon mengairahkan dari masyarakat khususnya para pasangan calon yang sejak lama telah menyiapkan langkah untuk bertarung di dalam Pilkada tahun ini. Hingga penutupan tahapan pencalonan pada pukul 00.00 dini hari tanggal 7 Oktober 2011, di Aceh Besar telah terdaftar sebanyak 7 pasangan cabub/cawabub baik dari calon perseorangan (Independen) maupun calon dari partai politik.

Yang menarik bahkan menurut penulis cukup fenomenal adalah ternyata salah satu pasangan calon dari calon perseorangan berstatus sebagai keuchik aktif, yaitu pasangan Khairul Huda, SHI dan Mahya Zakuan, S.Ag. Konon pasangan ini diusung dengan mengenderai lembaga Forum Duek Pakat Geuchik Aceh Besar (FODGAB).

Entah apa sejatinya yang memotivasi FODGAB sebagai forum keuchik Aceh Besar untuk mengusung dua orang keuchik gampong aktif ini sebagai calon orang nomor satu di Aceh Besar. Mungkin saja keinginan ini didorong oleh kehendak mensejahterakan masyarakat gampong yang selama ini terkesan terpinggirkan dalam penentuan kebijakan pembangunan di Aceh Besar. Bila hal ini benar, maka tentulah kita mesti memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Fodgab yang telah maju tak gentar mengusung calon mereka.

Terlepas dari tujuan mulia tadi, tanpa sedikitpun mengurangi rasa hormat kita kepada para abdi gampong ini, dan tanpa sedikitpun bermaksud menjegal langkah para keuchik yang bergabung dalam FODGAB untuk mengusung calon mereka sebagai calon bupati Aceh Besar, maka penulis berfikir tidak salah bila kita mencoba sedikit berfikir kritis tentang bagaimana tinjauan kritis yuridis dan filosofis terhadap langkah FODGAB ini. Tinjauan kritis ini kita butuhkan agar ketika kita melangkah kita benar-benar memiliki pijakan yang benar sehingga langkah kita semakin mantap dan meyakinkan. Bukan sebagai langkah ikut-ikutan atau sebagaimana ungkapan indatu kita bek lagee kameeng kap situek.

Mencermati Paragraf 5 Pasal 23 huruf d Qanun Aceh Besar Nomor 11 Tahun 2009 tentang Pemerintahan Gampong, ditentukan bahwa Keuchik dilarang terlibat dalam kampanye pemilihan umum, pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan gubernur dan wakil gubernur, pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta pemilihan walikota dan wakil walikota. Kemudian pada huruf g disebutkan keuchik dilarang mendiskriminasikan warga atau golongajn masyarakat lain.

Ketentuan pasal 23 Qanun Aceh Besar Nomor 11 tahun 2009 ini menurut penulis secara terang benderang dan pasti membatasi atau lugasnya melarang keuchik untuk terlibat secara praktis dalam agenda politik Pemilu termasuk Pemilukada baik sebagai tim sukses, "kalau begitu" apalagi sebagai peserta pemilu. Kalau Allah Rabbul Jalil melarang kita mendekati zina, maka pastinya apalagi berzina tentu sangat di larang pula. Kalau Undang - undang melarang Keuchik terlibat dalam kampanye apalagi orang yang dikampanyekan. Begitu kira-kira logika sederhana menurut saya. Filosofis kenapa Qanun ini melarang keuchik terlibat dalam pemilu menurut penulis salah satunya disebutkan pada huruf g tadi yaitu agar keuchik terhindar dari sikap diskriminatif terhadap warga atau golongan masyarakat di gampongnya. Coba kita bayangkan bagaimana suasana kebatinan atau psikologis warga gampong yang tidak mendukung calon bupati dari kalangan Keuchik. Sangat berat, serba salah. Ta culok mata wie meu-ie mata uneun. Penulis malah khawatir jika nanti justru terjadi perlawanan dari sebagian atau segolongan warga kepada para keuchik di Aceh Besar.

Sebagai solusi hukum bisa saja Keuchik yang mencalonkan diri sebagai cabup/cawabup non aktif atau mengundurkan diri dari jabatannya. Tapi kita harus ingat, pasangan ini diusung oleh lembaga Forum Duek Pakat Keuchik Aceh Besar (FODGAB) sebagai basis kekuatannya. Hal ini berarti secara otomatis para keuchik yang bergabung dalam forum keuchik secara resmi atau tidak resmi, akan bertindak sebagai juru kampanye dalam pemilihan Bupati/Wakil Bupati ini. Lalu apakah semua Keuchik di Aceh Besar juga harus mengundurkjan diri atau non aktif dari jabatannya ? Kalau semua keuchik yang terlibat kampanye pemilihan ini mundur atau njon aktif, lalu di mana letak kekuatan mereka. Apakah mereka masih bisa disebut sebagai forum keuchik. Pilihan jalan lainnya barangkali bisa saja para keuchik akan berkampanye secara sembunyi-sembunyi di gampongnya masing-masing. Tapi bijakkah hal ini dilakukan ? Bukankah hal ini menunjukkan prilaku yang tidak ta'at azas ? Terus terang, saya melihat ini sebagai sebuah pertaruhan besar.

Dari sudut pandang lain, konon kata KEUCHIK berasal dari kata KUCHIK. Kata KUCHIK (bahasa Aceh) dibangun dari dua kata yaitu Ku yang berarti ayah, dan Chik berarti besar, agung atau dalam bahasa Ingris disebut grand. Jadi Keuchik secara filosofis berarti "ayah yang agung". Keuchik semestinya harus menjadi seorang ayah besar bagi seluruh warga gampongnya. Ya.. Keuchik harus mampu mengayomi seluruh warganya tanpa sedikitpun terjadi pembatasan baik secara lahir maupun batin, sebab dia adalah KUCHIK. Namun ketika keuchik membelenggu diri dengan kepentingan politik golongan maka pada saat bersamaan keuchik telah mengurangi bahkan kehilangan posisinya sebagai KUCHIK. Pada situasi itu keuchik telah berubah menjadi "KUCHE'K". ya...Ku berarti ayah dan Che'k berarti kecil.
Hanya menjadi ayah bagi golongannya sendiri. Wallahu a'lam...


Keutamaan Malam Lailatul Qadar, Tanda-tanda, dan Waktunya

 
Malam Lailatul Qadr
 
Malam Lailatul Qadar adalah malam mulia yang nilainya lebih baik daripada 1.000 bulan (354.000x malam biasa):

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan.
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” [QS Al Qadar: 1 - 5]

Asbabun Nuzul (Sebab-sebab turunnya ayat Al Qur’an) di atas adalah:
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasulullah saw. pernah menyebut-nyebut seorang Bani Israil yang berjuang fisabilillah menggunakan senjatanya selama seribu bulan terus menerus. Kaum muslimin mengagumi perjuangan orang tersebut. Maka Allah menurunkan ayat ini (QS. Al Qadr: 1-3) yang menegaskan bahwa satu malam lailatul qadr lebih baik daripada perjuangan Bani Israil selama seribu bulan itu.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Al Wahidi, yang bersumber dari Mujahid)

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa di kalangan Bani Israil terdapat seorang laki-laki yang suka beribadah malam hari hingga pagi dan berjuang memerangi musuh pada siang harinya. Perbuatan itu dilakukannya selama seribu bulan. Maka Allah menurunkan ayat ini (QS. Al Qadr : 1-3) yang menegaskan bahwa satu malam lailatul qadr lebih baik daripada amal seribu bulan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dari Bani Israil tersebut.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Mujahid).

Para sahabat kagum dan iri karena lelaki Bani Israel tersebut selama 1.000 bulan (83 tahun 4 bulan) selalu beribadah dan berjihad kepada Allah karena sejak lahir dia sudah berada di atas agama yang lurus. Sedang para sahabat karena ajaran Islam baru disyiarkan Nabi, banyak yang masuk Islam pada umur 40 tahun atau lebih. Sehingga sisa waktu mereka hanya 20-30 tahun saja. Tak bisa menandingi ibadah lelaki dari Bani Israel tersebut.

Karena itulah turun ayat di atas. Jika ummat islam beribadah pada malam tersebut, niscaya pahalanya sama dengan pahala 1000 bulan. Karena itu perbanyaklah shalat, dzikir, doa, membaca Al Qur’an, bersedekah, dan berjihad di jalan Allah pada malam Lailatul Qadar.

Kapan Malam Lailatul Qadar itu Terjadi?

Malam Lailatul Qadar terjadi pada 1 malam ganjil pada 10 malam terakhir di bulan Ramadhan (malam ke 21, 23, 25, 27, atau 29):
Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadr itu pada 10 malam terakhir bulan Ramadhan:
Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah ber’itikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, dan beliau bersabda, ‘Carilah malam qadar pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” [HR Bukhari dan HR Muslim]
Jika berat mencari pada 10 malam terakhir, coba cari pada 7 malam terakhir:
Dari Ibnu Umar ra bahwa beberapa shahabat Nabi SAW melihat lailatul qadr dalam mimpi tujuh malam terakhir, maka barangsiapa mencarinya hendaknya ia mencari pada tujuh malam terakhir.” Muttafaq Alaihi.
Kenapa mencari malam Lailatul Qadar pada 10 atau 7 hari terakhir (ganjil/genap)? Kenapa tidak 5 hari ganjil yang terakhir saja? Saat ini banyak kelompok masih berbeda penetapan 1 Ramadhan. Ada yang misalnya tanggal 1 bulan X Masehi. Ada pula yang tanggal 2. Jadi tidak jelas mana yang ganjil dan yang genap. Lebih aman kita tetap giat di 10 malam terakhir entah itu ganjil/genap.
Dari Muawiyah Ibnu Abu Sufyan ra bahwa Nabi SAW bersabda tentang lailatul qadar: “Malam dua puluh tujuh.” [Abu Daud]
Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, “Carilah Lailatul Qadar pada malam sepuluh yang terakhir dari (bulan) Ramadhan. Lailatul Qadar itu pada sembilan hari yang masih tersisa, tujuh yang masih tersisa, dan lima yang masih tersisa.” [HR Bukhari]

Apa Tanda-tanda Malam Lailatul Qadar?

Dari Ubay ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda (yang artinya), “Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tanpa sinar menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi.” (HR Muslim 762).
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Kami menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda (yang artinya), “Siapa di antara kalian yang ingat ketika terbit bulan, seperti syiqi jafnah (setengah bejana).” (HR Muslim 1170)
Dan dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda (yang artinya), “(Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan.” (HR Thayalisi (349), Ibnu Khuzaimah (3/231), Bazzar (1/486), sanadnya hasan).
dari Watsilah bin al-Asqo’ dari Rasulullah SAW:
“Lailatul qadar adalah malam yang terang, tidak panas, tidak dingin, tidak ada awan, tidak hujan, tidak ada angin kencang dan tidak ada yang dilempar pada malam itu dengan bintang (lemparan meteor bagi setan)” (HR. at-Thobroni dalam al-Mu’jam al-Kabir 22/59 dengan sanad hasan)

Bagaimana Cara Mengisi Malam Lailatul Qadar?

Nabi Muhammad ber-i’tikaf (tinggal di masjid) pada 10 malam terakhir:
Aisyah r.a. berkata, “Nabi apabila telah masuk sepuluh malam (yang akhir dari bulan Ramadhan) beliau mengikat sarung beliau, menghidupkan malam, dan membangunkan istri beliau.” [HR Bukhari]
Di masjid beliau shalat wajib dan sunnah, membaca Al Qur’an, berzikir, berdo’a, dan sebagainya.
Nabi biasa melakukan shalat sunnat malam (Tarawih) pada bulan Ramadhan:
Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mendirikan (shalat malam) Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosanya yang telah lampau.” [Hr Bukhari]

Doa Malam Lailatul Qadar:

Dari ‘Aisyah ra bahwa dia bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana jika aku tahu suatu malam dari lailatul qadr, apa yang harus aku baca pada malam tersebut? Beliau bersabda: “bacalah:
Doa Malam Lailatul Qadar
(artinya: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, Engkau menyukai ampunan, maka ampunilah aku).” Riwayat Imam Lima selain Abu Dawud.

Ciri-ciri Orang yang Mendapat Malam Lailatul Qadar

Ciri-ciri dari orang yang mendapat Malam Lailatul Qadar adalah dia ibadahnya lebih rajin daripada sebelumnya. Dia jadi lebih rajin shalat, puasa, sedekah, dsb.
Tidak berani mengerjakan hal-hal yang maksiat. Tidak mungkin dia mabuk-mabukan, berjudi, atau pun berpacaran/mendekati zina.

sumber: Media Islam
Silahkan baca juga:
Referensi:

Lima Keutamaan Ramadhan


fajarap | Friday, August 19, 2011 2:28 PM WIT
  • Dok. Thinkstock
    Oleh : Ustad Jefri Al Buchori/Tribun News

          Mengenai keutaman saat Ramadan, Imam Ahmad meriwayatkan suatu hadis dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: Pada Ramadan umatku diberi lima perkara yang tidak pernah diberikan pada umat-umat sebelumnya:

    Pertama, bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak kesturi.
    Kedua, para malaikat selalu memintakan ampunan untuk mereka hingga waktu berbuka.
    Ketiga, setiap hari Allah menghiasi surga-Nya sambil berkata, hamba-Ku yang saleh ingin melepas beban dan penderitaan yang mereka rindu untuk memasukinya.
    Keempat, pada bulan ini diikatlah setan-setan yang durhaka sehingga mereka tidak leluasa mencapai apa yang dapat dicapainya pada bulan lainnya.
    Kelima, mereka diampuni Allah pada malam yang terakhir dari bulan itu.

    Lalu para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah itu malam Lailatul Qadar?" Beliau menjawab: "Tidak karena orang yang bekerja itu akan dipenuhi upahnya manakala sudah menyelesaikan pekejaannya."

    Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah SWT daripada bau minyak kesturi. Padahal, bau yang keluar dari mulut ketika perut dalam keadaan kosong merupakan bau yang tidak disenangi orang, namun di sisi Allah hal ini lebih harum dibandingkan parfum jenis apa pun.
    Hal ini disebabkan bau tersebut timbul dari ketaatan beribadah kepada-Nya. Segala sesuatau yang timbul dari beribadah dan sikap menaati Allah disukai oleh-Nya dan akan diganti dengan sesuatu yang lebih baik dan lebih mulia.

    Tidakkah kita lihat orang yang mati syahid karena membela agama Allah? Dia akan datang pada hari kiamat dengan luka yang mengucurkan darah dan pakaian yang berlumuran darah pula, tetapi dengan aroma harum semerbak.

    Kedua, malaikat memintakan ampun bagi mereka hingga mereka berbuka, sedangkan malaikat adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan di sisi-Nya, tidak pernah melanggar perintah-Nya dan selalu melaksanankan apapun yang diperintahkan-Nya. Sudah sewajarnya Allah mengabulkan permohonan mereka untuk orang-orang yang bepuasa itu, yang memang sudah diizinkan oleh-Nya.
    Allah SWT mengizinkan para malaikat memintakan ampunan untuk orang-orang yang beriman dari kalangan umat Islam adalah demi menghormati mereka, meningggikan sebutannya dan menampakkan keutamaan puasa mereka.

    Ketiga, Allah SWT menghiasi surga-Nya setiap hari seraya berkata hamba-hamba Ku yang saleh ingin melepas beban dan penderitaannya serta mereka sangat ingin memasukimu. Allah menghiasi surga setiap hari merupakan persiapan untuk menyambut hamba-Nya yang baik dan menambah semangat mereka agar semakin berkeinginan untuk memasukinya.

    Keempat, setan diikat dengan rantai dan dibelenggu sehingga mereka tidak dapat menyesatkan hamba-hamba Allah yang saleh dan tidak bisa menghalangi mereka dari kebaikan.

    Kelima, Allah SWT mengampuni seluruh dosa umat Muhammad pada akhir bulan ini apabila mereka melaksanakan apa-apa yang seharusnya mereka laksanakan, baik berupa puasa maupun shalawat sebagai suatu keutamaan dari-Nya.

    Itulah beberapa keutamaan Ramadan yang bisa diraih kita yang menjalankan ibadah puasa dengan benar dan ikhlas.

Muhammad Syam Sabil dilantik sebagai keuchik Lam Asan

baleeMUKIM. Selasa, 28 Juni 2011.  Masyarakat Gampong Lam Asan Mukim Siem Kecamatan Darussalam Aceh Besar, telah memiliki seorang pemimpin baru setelah Camat Darussalam Drs. Subki sebagai pejabat yang ditunjuk untuk mewakili Bupati Aceh Besar, melantik Muhammad Syam Sabil sebagai Keuchik Gampong Lam Asan periode 2011 sampai 2016.  Pelantikan yang dilakukan   di Meunasah Gampong Lam Asan  dilaksanakan secara sederhana namun berlangsung dalam suasana khidmat. Kegiatan Pelantikan yang dimulai pada pukul 14.45 WIB turut dihadiri oleh jajaran Muspika Darussalam plus Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Darussalam, Imeum Mukim Siem, dan turut disaksikan  juga oleh seratusan warga gampong Lam Asan.
Camat Darussalam Drs. Subki, dalam amanatnya mengajak kepada seluruh masyarakat Gampong Lam Asan agar mendukung sepenuhnya kepemimpinan Keuchik Muhammad Syam Sabil dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan gampong. Beliau juga mengamanahkan kepada keuchik baru agar dalam menjalankan pemerintahannya selalu berkoordinasi dengan Tuha Peut Gampong sebagai lebaga perwakilan rakyat di gampong.   Subki juga mengingatkan keuchik agar selalu melakukan koordinasi dengan Imeum Mukim sebagai salah satu level pemerintahan yang berwenang melakukan pembinaan terhadap pemerintahan gampong di Aceh sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh Besar nomor 8 tahun 2009 tentang Pemerintahan Mukim. 
Pada kesempatan itu Camat Subki juga tidak luput menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Keuchik lama Sulaiman Nago yang telah mendarma baktikan dirinya kepada rakyat, bangsa dan negara.  Beliau berharap agar pengabdian ikhlas dari Keuchik Sulaiman Nago mendapat nilai sebagai amal shaleh di sisi Allah Swt.

Sulaiman Nago sebagai keuchik demisioner yang diberi kesempatan untuk menyampaikan sepatah dua kata memyampaikann terima kasih kepada seluruh masyarakat gampong Lam Asan yang telah membantu dan mendampinginya dalam menjalankan roda pemerintahan di gampong.  Beliau juga menyampaikan permintaan maaf seandainya selama dalam kepeminpinan beliau ada hal-hal yang kurang berkenan dalam pandangan masyarakat. Tidak lupa, Sulaiman juga mengajak seluruh masyarakat Lam Asan untuk mendukung dan membantu sepenuhnya kepeminpinan keuchik yang baru Muhammad Syam Sabil.

Sementara itu, Keuchik Muhammad Syam Sabil. dalam sambutannya singkatnya mengharapkan kepada seluruh masyarakat yang telah mengamanahkan kepeminpinan di gampong lam Asan kepadanya agar ikut bersama-sama dalam membangun gampong tercinta.  Beliau juga sangat mengharapkan bantuan dan saran-saran dari keuchik lama yang telah berpengalaman dalam pembangunan gampong.
 
Hj. Wardah Hasyim, MA yang berbicara atas nama tokoh masyarakat menyebutkan bahwa sebenarnya gampong Lam Asan memiliki banyak potensi untuk dapat membangun dirinya baik menyangkut SDA maupun SDM.  Namun selama ini potensi yang tersedia tersebut belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal dalam pembangunan gampong.  Untuk itu Wardah menghimbau kepada semua warga gampong untuk selalu bekerjasama dan mendukung Keuchik yang baru untuk membangun gampong dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh gampong.   Wardah juga meminta kepada Camat Darussalam beserta dengan jajaran Muspikanya agar berkenan melakukan pembinaan terhadap masyarakat dan pemerintah gampong Lam Asan.

Kegiatan Pelantikan itu juga diwarnai dengan prosesi peusijuk terhadap keuchik baru yang dilakukan oleh Tgk. Amiruddin Ali, Ketua Tuha Peut,  dan Imeum Mukim Siem Asnawi Zain, SH.  Kegiatan yang berlangsung selama lebih kurang 1 jam diakhiri dengan jamuan makan bu leukat kuneng.  Selamat untuk Keuchik Baru, semoga Lam ASan ke depan akan lebih maju dan berjaya. 

Pelantikan Keuchik di Lamklat

baleeMUKIM. Jum'at, 24 Juni 2011.  Camat Darussalam Drs. Subki sebagai pejabat yang ditunjuk untuk mewakili Bupati Aceh Besar, melantik Iskandar Mirza sebagai Keuchik Gampong Lamklat Mukim Siem Kecamatan Darussalam Aceh Besar periode 2011 sampai 2016.  Pelantikan yang dilakukan   di Meunasah Gampong Lamklat  dilaksanakan secara sederhana namun berlangsung dalam suasana hidmat. Kegiatan Pelantikan yang berlangsung pada pukul 15.00 WIB turut dihadiri oleh para Muspika Darussalam, Imeum Mukim Siem, dan turut disaksikan  juga oleh seratusan warga gampong Lamklat.

Camat Darussalam Drs. Subki, dalam amanatnya mengajak kepada seluruh masyarakat Gampong Lamklat agar mendukung sepenuhnya kepemimpinan Keuchik Iskandar Mirza dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan gampong. Beliau juga mengamanahkan kepada keuchik baru agar dalam menjalankan pemerintahannya selalu berkoordinasi dengan Tuha Peut Gampong sebagai lebaga perwakilan rakyat di gampong.   Subki juga mengingatkan keuchik agar selalu melakukan koordinasi dengan Imeum Mukim sebagai salah satu level pemerintahan yang berwenang melakukan pembinaan terhadap pemerintahan gampong di Aceh sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh Besar nomor 8 tahun 2009 tentang Pemerintahan Mukim. 

Pada kesempatan itu Camat Subki juga tidak luput menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Keuchik lama Abdul Hamid Ibrahim yang telah mendarma baktikan dirinya kepada rakyat, bangsa dan negara.  Beliau berharap agar pengabdian ikhlas dari Keuchik Abdul Hamid mendapat nilai sebagai amal shaleh di sisi Allah Swt.

Harapan senada juga di sampaikan oleh Imeum Mukim Siem Asnawi Zain, SH yang didaulat oleh masyarakat untuk turut memberikan sepatah dua kata.  Dalam sambutannya Imeum Mukim Siem menegaskan komitmennya untuk siap menfasilitasi Keuchik dalam menjalankan roda pemerintahan gampong.  "Salah satu kunci keberhasilan pembangunan di gampong adalah terbangunnya Tata Pemerintahan gampong yang baik, kuat, efektif dan efisien. Oleh sebab itu langkah awal pembangunan gampong idealnya dimulai dengan membangun managemen pemerintahan gampong yang baik.  Kalau manajemen pemerintahan gampong telah berjalan sebagaimana diharapkan, maka upaya membangun gampong yang terasa berat akan menjadi ringan" demikian pendapat Imeum Mukim Siem dalam amanahnya tersebut.

Sementara itu, Keuchik Iskandar Mirza dalam sambutannya mengharapkan kepada seluruh masyarakat yang telah mengamanahkan kepeminpinan di gampong lamklat agar ikut bersama-sama dalam membangun gampong tercinta.  Beliau juga sangat mengharapkan bantuan dan saran-saran dari keuchik lama yang telah berpengalaman dalam pembangunan gampong.

Kegiatan Pelantikan itu juga diwarnai dengan prosesi peusijuk terhadap keuchik baru yang dilakukan oleh Tgk. Muhammad, Tgk. Kasem,  dan Imeum Mukim Siem Asnawi ZAin, SH.  Kegiatan yang berlangsung selama lebih kurang 1 jam diakhiri dengan jamuan makan bu leukat kuneng.  Selamat untuk Keuchik Baru, semoga Lamklat ke depan akan lebih manis. 

Nyak Mu, Menjaga Tradisi Tenun Songket Aceh


Sosok                                                 



Ahmad Arif
 
Keseharian Maryamu (70) memang tak pernah jauh dari selembar kain. Dari tangan perempuan tua itu telah terjaga sebuah tradisi Aceh. Melewati empat periode peperangan, yang disusul bencana tsunami, perempuan itu telah menjaga dan mewariskan sebuah tradisi penciptaan tenun songket Aceh kepada generasi yang lebih muda. 

Sejak mendirikan usaha tenun songket Aceh pada tahun 1973, Maryamun atau biasa dipanggil Nyak Mu—nyak adalah panggilan di Aceh untuk perempuan tua—telah menjadi guru bagi ratusan perempuan Aceh yang datang dari Aceh Timur, Lamno, Aceh Besar, serta Banda Aceh. Mereka berguru ke Nyak Mu di Desa Siem, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar, dan setelah mahir membuka usaha sendiri di desa asalnya.
Nyak Mu tak hanya fasih meniru motif tradisional, tetapi juga mahir menciptakan motif baru. Puluhan motif baru telah diciptakannya, di antaranya pintu Aceh dan bungong kertah. Motif-motif tradisional dan ciptaan Nyak Mu itu kemudian dibukukan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh tahun 1992. 

Di era 1980-an hingga awal 1990-an, karya Nyak Mu dijual dan dipamerkan di Jakarta, Bali, hingga Sri Lanka, Singapura, dan Malaysia. Di sejumlah tempat itu, Nyak Mu ikut berpameran atau mendemonstrasikan keahliannya membuat songket Aceh. Atas usahanya, pada tahun 1991, Nyak Mu mendapat penghargaan upakarti. 

Kain pusaka
 
Ditemui suatu siang di kolong rumahnya, sebuah rumah panggung tradisional Aceh dari kayu, Nyak Mu kelihatan gembira. Menurut dia, sejak beberapa tahun terakhir, tak ada lagi orang luar yang datang ke rumahnya. Tak heran karena Desa Siem, merupakan salah satu kawasan panas di Aceh selama konflik, dan seakan tertutup bagi orang luar. 

Nyak Mu kemudian mengajak ke sebuah bangunan di samping rumahnya. Lima perempuan paruh baya tengah menenun kain warna-warni di ruang berdinding kayu itu, salah satunya Dahlia (45), anak perempuan satu-satunya dari lima anak Nyak Mu. Mereka menjalin benang emas mengilap dengan kain berwarna merah dan kuning, mencipta pola-pola organis yang rumit. "Kami hanya menjiplak motif yang diajarkan Mak. Belum bisa membuat motif sendiri," kata Dahlia. 

Nyak Mu mengajarkan motif tradisional Aceh melalui selembar kain pusaka, warisan neneknya, almarhumah Naimah atau biasa dipanggil Nyak Naim. Selembar kain berwarna coklat tanah berukuran 50 x 50 cm dan sudah robek ujungnya itu berisi motif-motif tradisional Aceh yang rata-rata diadopsi dari bunga-bunga dan kaligrafi Arab. Sedikitnya, 25 motif tradisional Aceh ditenun dengan indah di selembar kain sutra yang telah berusia lebih dari 200 tahun itu. 

"Dulu tak ada buku. Nenek mewariskan kain ini sebagai pengganti buku. Pesannya, kain ini harus terus diwariskan untuk anak cucu agar tenun songket Aceh tetap lestari. Sudah ada yang menawar jutaan untuk membelinya, tetapi ini tak dijual," kenang nenek 15 cucu ini. 

Di samping berisi kumpulan motif tersebut, Nyak Mu juga menyimpan kerudung Cut Nyak Dien, sebuah kerudung hitam dengan salah satu motifnya bertuliskan Lailahaillallah serta dua kain songket tua lainnya. "Ini bukan kerudung milik Cut Nyak Dien, tetapi motif ini biasa dipakai beliau sehingga diberi nama kerudung Cut Nyak Dien," jelas Nyak Mu, yang mendapat keahlian menenun dari neneknya.
Menurut Nyak Mu, kain-kain tua itu menggunakan pewarna alami, dengan akar-akaran, kulit batang kayu, dedaunan, dan lumpur. 

Menenun dalam perang
 
Bukan hanya pewarna, dulu hampir semua bahan untuk menenun dibuat sendiri. Nyak Mu masih ingat, neneknya memiliki peternakan ulat sutra sendiri dan memintal sendiri benang sutra dari kepompong. Orang- orang membeli benang dari mereka, bahkan konon, benang sutra ini dijual hingga ke India dan Arab. "Tanpa bahan dari luar, kami dulu bisa bertahan. Sekarang, semuanya tergantung dari luar, benang kami beli dari China dan India," jelasnya. 

Di mata Nyak Mu, kondisi di Aceh memang berubah seiring dengan laju zaman. Hanya satu yang tetap melekat di Aceh, yaitu perang. "Dari dulu di Aceh selalu perang. Entah kenapa. Sekarang kami dengar sudah damai, semoga tetap seperti ini, damai terus," kata Nyak Mu.
Bagi Nyak Mu, damai berarti bisa menenun kain songket dengan tenang. Masih jelas terbayang di benak Nyak Mu, hari- hari ketika konflik masih membelenggu Aceh. Acapkali, saat menenun bersama pekerjanya terjadi kontak senjata. "Semua tiarap di lantai, berdoa agar tak terkena tembakan," kenang dia.
Kampung Siem memang tak terjangkau air laut yang marah ketika tsunami melanda Aceh, tetapi showroom anaknya di Kampung Laksana diterjang air. Seluruh barang, kain, dan pewarna senilai sekitar Rp 50 juta musnah. 

Musibah tak menghentikan langkahnya. Perempuan yang kenyang dengan perang itu kembali bangkit. Kini, di rumahnya, alat tenun Nyak Mu kembali berderak. Sebuah gedung tua yang lain, dengan sejumlah alat tenun bukan mesin yang menjadi saksi saat kejayaan usaha tenun songket di masa lalu, masih dirawatnya. Pada masa kejayaannya, Nyak Mu memiliki 60 karyawan tetap.
Nyak Mu masih sering membersihkan gudang tua itu sambil berharap suatu saat para pekerja kembali datang. Harapan itu kian terpancar ketika damai menjelang di Aceh. 
Kompas. Jumat, 09 Juni 2006



Ihwal Qanun Al-Asyi Sulthan Alauddin Mansur Syah

 Sumber : JKMA Aceh

Berbilang abad, negeri bernama Aceh ini pernah jaya dengan sistem pemerintahan yang berbasis lokal. Sistem itu disebut-sebut termaktub dalam Qanun Al-Asyi.


Inilah Qanun Syar’ak Kerajaan Aceh pada zaman Sulthan Alauddin Mansur Syah dalam Darud Dunia di Istana Keumala Cahaya Darul Asyikin, Madinah Sultan Asyisyah Kubra Aceh Bandar Darussalam dan jajahan takluknya. Tercatat bahwa qanun ini bermula pada tahun 913 Hijriyah, tertanggal 12 Rabiul Awal, hari Senin, waktu subuh, saat yang baik lagi berkah.


Dengan nama Allah yang bersifat Maha Pemurah kepada sekalian makhluk dalam alam dunia ini dan yang bersifat Maha Pengasih kepada sekalian hamba yang mukmin pada hari akhirat di Yaumil Alqiyamah, serta sekalian puji semuanya kembali kepada Allah Ta’ala, Tuhan Rabbul Alamin, qanun ini dibuka. Salawat dan salam atas junjungan alam, penghulu sekalian Anbiya dan Rasul (as) dan atas keluarga yang turun temurun dari Fatimah Zahra binti Saidina Rasul dan atas sekalian sahabatnya, muhajirin dan ansar, khusus atas sekalian khalifah Rasulullah yang rasidin dan sekalian tenteranya, ammabákdu. Insya Allah ta-ála biáuni liah al alam bijahi al Nabi Sallallahu-álaihi wasallam.


Qanun itu syahdan dimulakan oleh “Sultan Alauddin” atas nama sekalian rakyat Aceh dan bangsa Aceh, yang beragama Islam lagi muslimin dan muslimah khususnya, jajahan takluk, umumnya, dengan rahmat Allah pemberi petunjuk taufik dan hidayah dari Allah ta-ála, Tuhan Rabbul Alamin. Sultan Alaudin berkata, “Kami semua bangsa Aceh sangat harap kepada Allah ta-ála, memohon ampun dengan keadilan yang sifat-Nya jalal dan sifat jamil, yaitu kekerasan dan keelokan Yang Maha Kekal selama-lamanya. Kami minta tolong pada Allah ta’ala Tuhan Rabbul Alamin, pemberi perlindungan kepada kami menyusun peraturan qanun Syarák Karajaan Aceh.”


Dalam proses pelahiran Qanun Al-Asyi, Sultan Alauddin sangat harap pada rahmat Allah swt. Berkali-kali ia mengulangi permohonan perlindungan kepada Allah, dunia-akhirat.
Disebutkan dalam qanun tersebut siapa-siapa yang mengikuti dan menuruti isi qanun itu, selamat sepanjang masa tiap-tiap zaman, insya Allah, dengan berkat syafaat Nabi saw., dan ijmak mufakat sekalian alim ulama Islam mazhab empat yang Ahli Sunnah waljamaah. Mereka disebut-sebut sebagai ulama syara’ beserta sekalian orang yang besar-besar.


Dalam pembukaan berikutnya, disinggung pula (i) yang bijaksana akal, (ii) beriman bicaranya dan zaki (pandai) faham, (iii) luas pandangannya dan halus perasaannya, (iv) mengambil satu keputusan dengan sabda mufakat dengan sahih muktamad (betul dan kuat), serta (v) di hadapan majlis yang maha mulia.
Selanjutnya, di sana tertera kalimat “Atas nama rakyat Aceh dan bangsa Aceh, Paduka Seri Sultan Alauddin Johan Ali Ibrahim Mughiyat Syah Johan Berdaulah Fil Alam dengan mengikuti Ahli Sunnah Waljama-Áh Mazhab empat, memegang kepada ajaran Allah dan Rasul yaitu firman dan hadist serta qiyas dan ijma’ ulama (ra), hukum Qanun Syarák Kerajaan kami terdiri di empat perkara: perkara hukum, perkara adat, perkara resam, perkara qanun.


Keempat macam tersebut berada di bawah naungan agama Islam, syariat Nabi saw., sepanjang masa dalam pemeliharaan Allah swt. hingga hari kiamat dan dalam seluruh negeri Aceh, timur-barat-utara-selatan. Jelas bahwa dalam qanun itu disebutkan bahwa rakyat Aceh menganut aliran Ahli Sunnah Waljamaah, mazhab Imam Syafi’i.


Namun demikian, qanun itu juga memuat pengecualian, yakni orang yang alim-alim, tetapi jangan memberi fatwa dalam mazhab tiga dalam amalan syara’. Hal ini dimaksudkan rakyat Aceh tidak sampai kacau-balau. “Maka dengan sebab itulah, kami dirikan mufti empat, dalam balèe khadam syari’ah Islam. Maka demikian kami, Sultan Alauddin, atas nama rakyat Aceh, berdaulat Hukum Syara’ Kerajaan Aceh. Sudah kami tetapkan dengan sabda mufakat mahkamah Qanun Syara’ Kerajaan Aceh Bandar Darussalam dan jajahan takluknya,” tulis qanun tersebut.


Beberapa Pasal
Pada bab pertama ayat satu nomor delapan dikatakan bahwa diwajibkan oleh Qanun Syara’ Kerajaan kepada sekalian rakyat Aceh, timu-barat-barôh-tunong, pada tiap-tiap gampông, hendaklah memilih geuchik dengan rapat mufakat, diambil satu keputusan tertentu dengan sahih-sah ijmák mufakat, sekalian dipilih seorang buat diangkat geuchik sagoe dengan cukup syarat.
Menurut Qanun Al-Asyi, syarat seorang diangkat jadi geuchik adalah (1) berumur sekurang-kurangnya 40 tahun, (2) mengetahui hukum syarák syariat Nabi saw., (3) mengetahui hukum Qanun Syara’ Kerajaan, (4) orang yang berketurunan baik, (5) tidak ada permusuhan, (6) berani atas yang benar, (7) takut atas perbuatan salah.


Disebutkan pula, jika geuchik sudah terpilih berdasarkan syarat-syarat tersebut, ia berhak memilih enam orang di kampung itu sebagai perangkat geuchik. Enam orang dimaksud adalah (1) satu orang wakil (waki) geuchik dengan cukup syarat, (2) empat orang tuha peuet dengan cukup syarat tersebut di atas (3) satu imam rawatib meunasah sagoe. Imam ini, selain syarat tujuh di atas, ditambah fasih baca Fatihah dan melaksanakan fardu ain serta fardu kifayah dalam gampông. Kendati demikian, dijelaskan pula bahwa geuchik wajib menyuruh dan meminta persetujuan orang kampung mengenai enam orang yang dipilihnya itu.
Pada bab kedua pasal pertama ayat dua nomor 10, terdapat penjelasan diwajibkan oleh Qanun Syara’ Kerajaan atas sekalian geuchik gampông beserta Imum Rawatib dengan wakil geuchik berjumlah tujuh orang pada tiap tiap gampông. Mereka bertujuh berhak memilih imum mukim. Tiap-tiap satu mukim itu satu masjid jumatan didirikan dengan ijma’ mufakat alim ulama Ahli Sunnah Waljama’ah. Terdapat pula sekurang-kurangnya ada tiga meunasah menurut tempatnya masing-masing.


Qanun Al-Asyi memberikan sejumlah syarat untuk diangkatnya seseorang jadi imum mukim. (1) Bukan bekas abdi pemerdekaan orang (bukan bekas hamba sahaja). (2) Berumur sekurang-kurangnya 40 tahun. (3) Mengetahui hukum syara’ Allah dan hukum syariat nabi saw. (4) Orang yang berketurunan baik-baik. (5) Tidak ada permusuhan dengan manusia. (6) Berani atas benar. (7) Takut atas perbuatan salah. (8). Dapat menahan amarah. (9). Mengetahui hukum qanun Syarák Kerajaan. (10). Murah dua tangan rahim hati kepada fakir miskin. (11) Dapat mengerjakan fardu ain dan fardu kifayah. (12) Dapat jadi Imam sembahyang Jumat di mesjid. (13). Dapat menjadi khatib untuk membaca khutbah pada hari Jumat. (14). Bijaksana. (15) Ada bersifat malu dan tidak tamak. (16) Dapat sabar dengan merendahkan diri kepada sekalianmanusia.
Demikianlah syarat yang enam belas, diangkat hulubalang dengan menyuruh “Amar makruf nahi mungkar” dengan rapat mufakat bersama rakyat, memelihara kehormatan rakyat, dan jangan merampas harta rakyat dengan zalim. Siapa yang sudah jadi hulubalang, itulah kaki tangan Kerajaan Aceh dengan mengikut hukum syara’ Allah syariat Nabi saw. dan hukum Qanun Syara’ Kerajan Aceh Sultan Alauddin.

Ditranskrip oleh: Zoelfadlie Kawom, JKMA Pase.

Dimuat di Buletin Tuhoe Edisi XIII, September 2010

Qanun Al-Asyi dan Pengaruhnya terhadap Kerajaan Islam Nusantara dan Luar Negeri

Oleh: Zulfadli Kawom

Koordinator JKMA Pasee.
Sumber : JKMA Aceh 



Aceh adalah daerah yang menjadi tempat mulanya perkembangan agama Islam. Secara kronologis, Kerajaan Islam di Aceh dimulai oleh Kerajaan Aceh Darussalam, ber­pusat di Banda Aceh, sekitar abad 16 M. Pada masa itu Aceh juga tampil sebagai pusat kekua­saan politik sekaligus pusat perkembangan budaya dan peradaban Asia Tenggara.

Sebagai ahli waris Kerajaan Peureulak (225-692 H/ 840-1292 M), Kerajaan Islam Samudra Pasai (433-831 H/ 1042-1428 M), dan Kera­jaan Islam Lamuri (601-916 H/ 1205-1511 M), maka Kerajaan Islam Aceh Darussalam yang diproklamirkan pada Kamis, 12 Dzulqaidah 916 H/ 20 Februari 1511 M. Ia yang pada awal abad XVI Miladiyah telah menjadi salah satu dari “Lima Besar Islam”, melengkapi dirinya dengan berbagai peraturan perundangan, organisasi dan lembaga-lembaga negara, termasuk pusat-pusat pendidikan yang bertugas mengadakan tenaga-tenaga ahli dalam segala bidang dan mencerdaskan rakyat.
Salah satu alat kelengkapannya yang amat penting adalah Qanun Al-Asyi atau Undang-Undang Dasar Kerajaan. Pedoman yang dipakai berupa sebuah naskah tua yang berasal dari Said Abdullah, seorang teungku di Meulek.

Qanun Al-Asyi yang disebut juga Meukuta Alam. Oleh para ahli sejarah dikatakan amat sempurna menurut ukuran zamannya. Hal ini menyebabkan Qanun Al-Asyi dipakai menjadi pedoman oleh Kerajaan-Kerajaan Islam lainnya di Asia Tenggara. Dalam hal ini, H. Muhammad Said, seorang ahli sejarah, menulis beberapa peraturan disempurnakan.  Oleh karena kemasyhuran perundang-un­dangan Kerajaan Islam Aceh masa itu, banyak negeri tetangga yang melakukan copy paste peraturan hukum Aceh untuk negerinya. Di antaranya, India, Arab, Turki, Mesir, Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol, dan Tiongkok. Hal ini terutama karena peraturan itu berunsur ke­pribadian yang dapat dijiwai sepenuhnya oleh hukum-hukum agama. Jadi, adat Meukuta Alam adalah adat yang bersendi Syara’.

Haji Muhammad selanjutnya menulis “… Sebuah kerajaan yang jaya masa lampau di Kalimantan, yang bernama Brunei (sekarang Kerajaan Brunei Darussalam), ketika diperintah oleh seorang sul­tan bernama Sultan Hasan, merupakan seorang keras pemeluk Islam setia. Dia telah mengam­bil pedoman-pedoman untuk peraturan ne­gerinya dengan berterus terang mengatakan mengambil teladan Undang-Undang Mahkota Alam Aceh.” Hal ini suatu bukti kemasyuran dan nilai tinggi Negeri Aceh yang sudah dimaklumi orang masa itu.

Pengaruh Qanun Al-Asyi
Qanun Al-Asyi atau disebut juga Adat Meukuta Alam bersumpahkan Al-Qur’an, Al-Hadist, Ijma’ Ulama dan Qias. Qanun Al Asyi menetapkan bahwa dari empat sumbernya itu dibentuk empat jenis hukum, yaitu (1) kekuasaan hukum, dipegang oleh Kadli Malikul Adil, (2) kekuasaan adat, dipegang oleh Sultan Malikul Adil, (3) kekuasaan qanun, dipegang oleh Majelis Mah­kamah Rakyat, (4) kekuasaan reusam, dipegang oleh penguasa tunggal, yaitu sultan sebagai penguasa tertinggi waktu negara dalam negara perang.

Dalam melaksanakan empat jenis hukum ini, Qanun Al-Asyi menetapkan bahwa raja dan ula­ma harus menjadi dwi tunggal, seperti tercan­tum dalam qanun (yang diturunkan apa adan­ya). Artinya, ulama dengan raja atau rais tidak boleh jauh atau bercerai. Jika bercerai, niscaya binasalah negeri ini. Barang siapa mengerjakan hukum Allah dan meninggalkan adat, maka tersalah dengan dunianya, dan barang siapa mengerjakan adat dan meninggalkan hukum Allah, berdosalah dengan Allah. Maka hendak­lah hukum dan adat seperti gagang pedang dengan mata pedang. Ini menandakan bahwa hukum sekuler yang berdasarkan akal (rasional) semata belumlah lengkap, karena jangkauan akal itu sangat terbatas. Sesungguhnya ada hal-hal yang tak terjangkau oleh akal sekalipun.

Rukun-rukun kerajaan ini diharuskan oleh Qa­nun Al-Asyi agar seorang sultan yang diangkat menguasai ilmu dunia dan akhirat, kuat iman, dan menjalankan syariat. Tentang hal ini, da­lam qanun termaktub: “Bahwa jika raja adil, maka dia harus memiliki ilmu dunia dan akhirat, memiliki iman yang kuat, taqwa kepada Allah, malu kepada Rasul Allah, serta mengerjakan syariat nabi.”

Di samping itu, harus beramal shalih, berbuat adil kepada sekalian rakyat, mampu melawan hawa nafsu syaitan, dan mampu mensejahtera­kan kehidupan rakyat sehingga selamat dan bahagia dunia dan akhirat. Akan tetapi, jika se­orang sultan bersikap zalim, dia harus dihukum sesuai yang berlaku dalam Qanun Al-Asyi.
Sebagai satu kerajaan yang dibangun atas aja­ran Islam, Kerajaan Aceh Raya Darussalam din­yatakan sebagai negara hukum, bukan negara hukuman yang mutlak. Hal ini sesuai maksud Qanun Al-Asyi, “Bahwa Negeri Aceh Darussalam adalah negeri hukum yang mutlak sah, bukan negeri hukuman yang mutlak sah. Rakyat bukan patung berdiri di tengah padang, tapi rakyat seperti pedang sembilan mata yang amat tajam, lagi besar matanya, lagi panjang sampai ke timur dan barat. Jangan dipermudah sekali-kali rakyat.”
Tentang sumber hukum, dalam Qanun Al-Asyi dengan tegas dicantumkan bahwa sumber hukum Kerajaan Aceh Darussalam yaitu Al- Qur’anul Karim, Al-Hadist, Ijma’ ulama, ahli sun­nah, dan Qias.

Jadwal Shalat