Meski sempat terlunta karena terganjal sengketa regulasi, akhirnya KIP Aceh dengan perkasa kembali menggulirkan pentahapan Pilkada Aceh, termasuk menetapkan hari pencoblosan pada tanggal 24 Desember 2011. Dalam Pilkada ini, KIP Aceh juga membuka pintu lebar-lebar kepada calon perseorangan untuk berkompetisi dalam perebutan kursi 1 dan 2 di kabupaten/kota se Aceh dan pada jenjang Pemerintah Aceh sendiri. Pemberian kesempatan kepada calon perseorangan terbuka lebar setelah Mahkamah Konstitusi menganulir pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, walaupun mendapat perlawanan keras dari salah satu partai lokal dominan di Aceh.
Deru genderang Pilkada yang ditabuhkan oleh KIP Aceh membuat para "pemburu tahta" bansigom Aceh tak dapat menahan birahi untuk menguji keperkasaan mereka dalam pergumulan ini. Tahapan pendaftaran calon yang ditetapkan oleh KIP Aceh dari tanggal 1 - 7 Oktober 2011 tak dilewatkan oleh para calon dari parpol maupun calon perseorangan, kecuali calon dari Partai Aceh yang konsisten menolak Tahapan Pilkjada Aceh yang nilai mencedrai UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Sebagaimana halnya dengan Kabupaten/Kota lainnya di Aceh, PILBUP/WABUP di Aceh Besar, juga mendapat perhatian luas dan respon mengairahkan dari masyarakat khususnya para pasangan calon yang sejak lama telah menyiapkan langkah untuk bertarung di dalam Pilkada tahun ini. Hingga penutupan tahapan pencalonan pada pukul 00.00 dini hari tanggal 7 Oktober 2011, di Aceh Besar telah terdaftar sebanyak 7 pasangan cabub/cawabub baik dari calon perseorangan (Independen) maupun calon dari partai politik.
Yang menarik bahkan menurut penulis cukup fenomenal adalah ternyata salah satu pasangan calon dari calon perseorangan berstatus sebagai keuchik aktif, yaitu pasangan Khairul Huda, SHI dan Mahya Zakuan, S.Ag. Konon pasangan ini diusung dengan mengenderai lembaga Forum Duek Pakat Geuchik Aceh Besar (FODGAB).
Entah apa sejatinya yang memotivasi FODGAB sebagai forum keuchik Aceh Besar untuk mengusung dua orang keuchik gampong aktif ini sebagai calon orang nomor satu di Aceh Besar. Mungkin saja keinginan ini didorong oleh kehendak mensejahterakan masyarakat gampong yang selama ini terkesan terpinggirkan dalam penentuan kebijakan pembangunan di Aceh Besar. Bila hal ini benar, maka tentulah kita mesti memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Fodgab yang telah maju tak gentar mengusung calon mereka.
Terlepas dari tujuan mulia tadi, tanpa sedikitpun mengurangi rasa hormat kita kepada para abdi gampong ini, dan tanpa sedikitpun bermaksud menjegal langkah para keuchik yang bergabung dalam FODGAB untuk mengusung calon mereka sebagai calon bupati Aceh Besar, maka penulis berfikir tidak salah bila kita mencoba sedikit berfikir kritis tentang bagaimana tinjauan kritis yuridis dan filosofis terhadap langkah FODGAB ini. Tinjauan kritis ini kita butuhkan agar ketika kita melangkah kita benar-benar memiliki pijakan yang benar sehingga langkah kita semakin mantap dan meyakinkan. Bukan sebagai langkah ikut-ikutan atau sebagaimana ungkapan indatu kita bek lagee kameeng kap situek.
Mencermati Paragraf 5 Pasal 23 huruf d Qanun Aceh Besar Nomor 11 Tahun 2009 tentang Pemerintahan Gampong, ditentukan bahwa Keuchik dilarang terlibat dalam kampanye pemilihan umum, pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan gubernur dan wakil gubernur, pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta pemilihan walikota dan wakil walikota. Kemudian pada huruf g disebutkan keuchik dilarang mendiskriminasikan warga atau golongajn masyarakat lain.
Ketentuan pasal 23 Qanun Aceh Besar Nomor 11 tahun 2009 ini menurut penulis secara terang benderang dan pasti membatasi atau lugasnya melarang keuchik untuk terlibat secara praktis dalam agenda politik Pemilu termasuk Pemilukada baik sebagai tim sukses, "kalau begitu" apalagi sebagai peserta pemilu. Kalau Allah Rabbul Jalil melarang kita mendekati zina, maka pastinya apalagi berzina tentu sangat di larang pula. Kalau Undang - undang melarang Keuchik terlibat dalam kampanye apalagi orang yang dikampanyekan. Begitu kira-kira logika sederhana menurut saya. Filosofis kenapa Qanun ini melarang keuchik terlibat dalam pemilu menurut penulis salah satunya disebutkan pada huruf g tadi yaitu agar keuchik terhindar dari sikap diskriminatif terhadap warga atau golongan masyarakat di gampongnya. Coba kita bayangkan bagaimana suasana kebatinan atau psikologis warga gampong yang tidak mendukung calon bupati dari kalangan Keuchik. Sangat berat, serba salah. Ta culok mata wie meu-ie mata uneun. Penulis malah khawatir jika nanti justru terjadi perlawanan dari sebagian atau segolongan warga kepada para keuchik di Aceh Besar.
Sebagai solusi hukum bisa saja Keuchik yang mencalonkan diri sebagai cabup/cawabup non aktif atau mengundurkan diri dari jabatannya. Tapi kita harus ingat, pasangan ini diusung oleh lembaga Forum Duek Pakat Keuchik Aceh Besar (FODGAB) sebagai basis kekuatannya. Hal ini berarti secara otomatis para keuchik yang bergabung dalam forum keuchik secara resmi atau tidak resmi, akan bertindak sebagai juru kampanye dalam pemilihan Bupati/Wakil Bupati ini. Lalu apakah semua Keuchik di Aceh Besar juga harus mengundurkjan diri atau non aktif dari jabatannya ? Kalau semua keuchik yang terlibat kampanye pemilihan ini mundur atau njon aktif, lalu di mana letak kekuatan mereka. Apakah mereka masih bisa disebut sebagai forum keuchik. Pilihan jalan lainnya barangkali bisa saja para keuchik akan berkampanye secara sembunyi-sembunyi di gampongnya masing-masing. Tapi bijakkah hal ini dilakukan ? Bukankah hal ini menunjukkan prilaku yang tidak ta'at azas ? Terus terang, saya melihat ini sebagai sebuah pertaruhan besar.
Dari sudut pandang lain, konon kata KEUCHIK berasal dari kata KUCHIK. Kata KUCHIK (bahasa Aceh) dibangun dari dua kata yaitu Ku yang berarti ayah, dan Chik berarti besar, agung atau dalam bahasa Ingris disebut grand. Jadi Keuchik secara filosofis berarti "ayah yang agung". Keuchik semestinya harus menjadi seorang ayah besar bagi seluruh warga gampongnya. Ya.. Keuchik harus mampu mengayomi seluruh warganya tanpa sedikitpun terjadi pembatasan baik secara lahir maupun batin, sebab dia adalah KUCHIK. Namun ketika keuchik membelenggu diri dengan kepentingan politik golongan maka pada saat bersamaan keuchik telah mengurangi bahkan kehilangan posisinya sebagai KUCHIK. Pada situasi itu keuchik telah berubah menjadi "KUCHE'K". ya...Ku berarti ayah dan Che'k berarti kecil. Hanya menjadi ayah bagi golongannya sendiri. Wallahu a'lam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar