Adat bak Poteumeureuhoem, Hukoem bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana”~~~~~~~ Adat ban adat, hukom ban hukom, hanjeut meuron-ron krie-krie nyang hawa, watee meupakat adat ngon hukom, nanggroe rukon, hana le goga~~~ Roek ngon bara bak ureung naggroe, pasoe bajoe bak ureung tuha, tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteh itam bak ulama~~~Gaseh keu aneuk beuget tapapah, gaseh keu nangbah beuget tajaga~~~Raseuki deungon tagagah ....Tuah deungon tamita.....Tuah meubagi-bagi.......Raseuki meujeumba-jeumba~~~~~Teupat ke pangkai, akay keu laba~~~ KRAB TAJAK GEUBRIE SITUEK, JAREUNG TADUEK GEUJOK TIKA~~~~~ ASAI CABOK NIBAK KUDE, ASAI PAKE NIBAK SEUNDA ~~~~~~~~ Duek, duek aree, jak, jak langay~~~~Meunyoe ate hana teupeh pade bijeh geupeutaba, tapi meunyoe ate ka teupeh bu leubeh han meuteumeung rasa~~~Jaroe bak langay, mata u pasay~~~Singet bek rhoe beuabeh~~~ Nibak puntong get geunteng, nibak buta get juleng~~~Mate aneuk meupat jeurat, mate adat pat tamita~~~Tameh surang sareng, asay puteng jilob lam bara~~~tameungeuy ban laku tuboh, tapajoh ban laku atra ~~~Uleu beumate, ranteng bek patah~~~Kameng blang pajoh jagong, kameng gampong keunong geulawa~~~lagee manok toh boh saboh, jeut lampoh soh jimeuseurapa, dipinyie jitoh siribee, hana jithee le silingka~~~ lagee bubee duwa jab, keunoe toe keudeh pih rhab~~~bak adat han jikab, bak hukom han ji talum~~~paleh sagoe meuleuhob jurong, paleh gampong tan ureung tuha~~~hak ube jiplueng, bulueng ube jiteuka~~~meunyoe na ate, pade tatob, hana bak droe talakee bak gob~~~rayek rumoh rayek keunaleung, rayek bateueng rayek sawa, rayek pageu rayek beunteueng, rayek ureung rayek keureuja~~~PUTOH NGON MUPAKAT, KUWAT NGON MEUSEURAYA~~~~~~blink>Diet Peugah Duem Peubuet Banja Beusanteut Mukim Siem Tapuga

R a n u b si G a p u e


Assalamu'alaikumwarahmatullah...
Jaroe duablah ateuh jeumala,
Saleum ulon brie keu syedara meutuwah,
Neubrie ya Allah mandum sijahtra...
Amiin Ya Rabbal A'lamiin...

Dengan segala kerendahan hati, kami menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua Pengunjung blog baleeMUKIM. Meski dalam format dan tata saji yang amat sederhana, kami memberanikan diri untuk mendedikasikan blog ini untuk mengawal, mempertahankan dan mengembangkan keberadaan komunitas dan Lembaga Pemerintahan Mukim di Aceh pada umumnya, atau Mukim Siem - Darussalam khususnya.
Kami mengundang pengunjung sekalian agar berkenan berpartisipasi mewujudkan Visi dan Missi dari blog baleeMUKIM ini. Sumbangan pikiran, pendapat, komentar, kritik, saran, dan apapun yang sifatnya konstruktif, merupakan cemeti yang seharusnya mendorong kita untuk lebih maju.
Pengunjung sekalian...sekecil apupun keterlibatan anda dalam upaya pencapaian tujuan mengawal, mempertahankan dan mengembangkan eksistensi komunitas Mukim di Aceh, menurut kami mesti diapresiasikan sebagai perjuangan menuju kehidupan lebih terhormat dan bermartabat di atas landasan budaya kita sendiri.
Ayo..., lakukan ...!!! Bersama Kita Bisa...!!!

"Rhoek ngen bara bak ureung Nanggroe, Pasoe bajoe bak ureung tuha, Tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteeh itam bak ulama."
Pengunjung sekalian..., mari wujudkan cita-cita besar ini, mulailah dengan sebuah langkah kecil. ingat...!!! Perjalanan ribuan kilometer selalu diawali dengan sebuah langkah kecil...lakukan sekarang...!

Wassalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuh
teurimong gaseh.
Imeum Mukim Siem.

KEDUDUKAN FUNGSI DAN PERAN LEMBAGA ADAT DI ACEH (KAJIAN QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA ADAT)


Pengukuhan Majelis Duek Pakat Mukim (MDPM) Aceh Besar


Oleh:

ASNAWI ZAINUN


Aceh merupakan salah satu Provinsi di Indonesia ang memiliki keistimewaan berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893). Disamping berstatus istimewa Aceh juga provinsi yang memiliki kekhususan berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633);
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh telah memberikan landasan yang lebih kuat dalam pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat di Aceh.  Pasal 98 Undang-Undang tersebut memerintahkan untuk mengatur tugas, wewenang, hak dan kewajiban dalam melaksanakan pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dengan membentuk suatu Qanun Aceh.
Lembaga adat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh sejak dahulu hingga sekarang mempunyai fungsi dan berperan dalam membina nilai-nilai budaya, norma-norma adat dan aturan untuk mewujudkan keamanan, keharmonisasian, ketertiban, ketentraman, kerukunan dan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh sebagai manifestasi untuk mewujudkan tujuan-tujuan bersama sesuai dengan keinginan dan kepentingan masyarakat setempat.
Untuk meningkatkan peran dan melestarikan lembaga adat, sebagai salah satu wujud pelaksanaan kekhususan dan keistimewaan Aceh di bidang adat istiadat perlu dilakukan pembinaan dan pemberdayaan yang berkesinambungan terhadap lembaga-lembaga adat dimaksud sesuai dengan dinamika dan perkembangan masyarakat Aceh.
Dalam kedudukannya sebagai Provinsi yang  berstatus istimewa dan khusus, Aceh memiliki ruang kewenangan untuk mengembang dirinya sesuai dengan predikat keistimewaan dan kekhususannya itu. Salah satu keistimewaan Aceh adalah bidang pelaksanaan Adat dan Adat Istiadat, baik dalam pengembangan nilai-nilai adat maupun kelembangaan adat.
Lembaga adat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh sejak dahulu hingga sekarang mempunyai peranan penting dalam membina nilai-nilai budaya, norma-norma adat dan aturan untuk mewujudkan keamanan, ketertiban, ketentraman, kerukunan dan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh sesuai dengan nilai islami.  Keberadaan lembaga adat perlu ditingkatkan perannya guna melestarikan adat dan adat istiadat sebagai salah satu wujud pelaksanaan kekhususan dan keistimewaan Aceh di bidang adat istiadat;
Untuk merealisasikan cita-cita dimaksud maka sebagai pelaksanaan kebijakan bidang  keistimewaan Aceh telah dilahirkan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat dan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat. Kedua Qanun Aceh ini merupakan sandaran penting dalam pembinaan kehidupan dan lembaga adat di Aceh.
Menurut Pasal 1 angka 9 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat, Lembaga Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu mempunyai wilayah tertentu dan mempunyai harta kekayaan tersendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh. Dari definisi ini, suatu lembaga diakui sebagai lembaga adat jika memiliki ciri-ciri sebagi berikut:
1.       Suatu organisasi kemasyarakatan adat;
2.       Dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat;
3.       Memilki wiayah tertentu;
4.       Memiliki kekayaan sendiri;
5.       Berhak dan berwenang mengatur dan mengurus serta menyelesaika hal hal yag berkenaan dengan adat Aceh.
Lembaga Adat berfungsi sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan penyelesaian masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008. Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) disebutkan jenis-jenis lembaga adat yang hidup dan berkembang di Aceh adalah sebagai berikut:
a.       Majelis Adat Aceh;
b.      Imeum mukim atau nama lain;
c.    I meum Chik atau nama lain;
d.      Keuchik atau nama lain;
e.       Tuha Peut atau nama lain;
f.        Tuha Lapan atau nama lain;
g.       Imeum Meunasah atau nama lain;
h.       Keujruen Blang atau nama lain;
i.         Panglima Laot atau nama lain;
j.        Pawang Glee/Uteun atau nama lain;
k        Petua seuneubok atau nama lain;
l.        Haria Peukan atau nama lain; dan
m.    Syahbanda atau nama lain.

                Selain lembaga adat sebagaimana dimaksud di atas, lembaga lembaga adat lain yang hidup di dalam masyarakat diakui keberadaannya, dipelihara dan diberdayakan. Lembaga-lembaga adat Aceh bersifat otonom  dan independen sebagai mitra Pemerintah sesuai dengan tingkatannya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Qanun Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat dalam menjalankan fungsinya sebagaimana disebutkan lembaga adat berwenang:
a.     menjaga keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat;
b.    membantu Pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan;
c.    mengembangkan dan mendorong partisipasi masyarakat;
d.   menjaga eksistensi nilai-nilai adat dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam;
e.    menerapkan ketentuan adat;
f.      menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan;/
g.     mendamaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat; dan
h.     menegakkan hukum adat.
Setiap lembaga adat dapat berperan serta dalam proses perumusan kebijakan oleh Pemerintah sesuai dengan tingkatannya yang berkaitan dengan tugas, fungsi, dan wewenang masing-masing lembaga adat. Majelis Adat Aceh bertugas membantu Wali Nanggroe dalam membina, mengkoordinir lembaga-lembaga adat sebagaimana dimaksud di atas, pembentukan dan susunan organisasiya diatur dengan qanun Aceh.
Imeum Mukim adalah kepala Pemerintahan Mukim. Sementara yang dimaksud dengan mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imeum mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat. Imeum mukim atau nama lain bertugas:
a.       melakukan pembinaan masyarakat;
b.      melaksanakan kegiatan adat istiadat;
c.       menyelesaikan sengketa;
d.      membantu peningkatan pelaksanaan syariat Islam;
e.      membantu penyelenggaraan pemerintahan; dan
f.        membantu pelaksanaan pembangunan.
Imeum Mukim atau nama lain dipilih oleh musyawarah mukim. Imeum Mukim atau nama lain diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota atas usulan Camat dari hasil musyawarah mukim. Pembentukan susunan organisasi, kedudukan, tugas, fungsi, dan alat kelengkapan Imeum Mukim atau nama lain diatur dengan qanun kabupaten/kota.
Imeum Chik atau nama lain adalah imeum masjid pada tingkat mukim orang yang memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di mukim yang berkaitan dengan bidang agama Islam dan pelaksanaan syari’at Islam. Imeum Chik atau nama lain bertugas:
a.       mengkoordinasikan pelaksanaan keagamaan dan peningkatan peribadatan serta pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat;
b.       mengurus, menyelenggarakan dan memimpin seluruh kegiatan yang berkenaan dengan pemeliharaan dan pemakmuran masjid; dan
c.       menjaga dan memelihara nilai-nilai adat, agar tidak bertentangan dengan Syari’at Islam.
 Imeum Chik atau nama lain dipilih dalam musyawarah mukim yang dihadiri oleh Imeum Mukim atau nama lain, Tuha Peut Mukim atau nama lain, Sekretaris Mukim atau nama lain, Pemangku Adat, Keuchik atau nama lain, Imeum Masjid atau nama lain dan Imeum Meunasah atau nama lain dalam mukim. Imeum Chik atau nama lain diangkat dan diberhentikan oleh Bupati atas usul Imeum Mukim atau nama lain melalui Camat berdasarkan hasil kesepakatan musyawarah mukim. Imeum Chik atau nama lain berhenti karena :
a.       meninggal dunia;
b.      mengajukan permohonan berhenti atas kemauan sendiri;
c.       melalaikan tugasnya sebagai Imeum Chik atau nama lain; dan
d.      melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan Syari’at Islam atau adat istiadat.
 Selanjutnya Keuchik atau nama lain merupakan kepala persekutuan masyarakat adat gampong yang bertugas menyelenggarakan pemerintahan gampong, melestarikan adat istiadat dan hukum adat, serta menjaga keamanan, kerukunan, ketentraman dan ketertiban masyarakat. Keuchik atau nama lain bertugas:
a.      membina kehidupan beragama dan pelaksanaan Syari’at Islam dalam masyarakat;
b.  menjaga dan memelihara adat dan adat istiadat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat;
c.       memimpin penyelenggaraan pemerintahan gampong;
d.      menggerakkan dan mendorong partisipasi masyarakat dalam membangun gampong;
e.      membina dan memajukan perekonomian masyarakat;
f.        memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup;
g.       memelihara keamanan, ketentraman dan ketertiban serta mencegah munculnya perbuatan maksiat dalam masyarakat;
h.      mengajukan rancangan qanun gampong kepada Tuha Peut Gampong atau nama lain untuk mendapatkan persetujuan;
i.         mengajukan rancangan anggaran pendapatan belanja gampong kepada tuha peut gampong atau nama lain untuk mendapatkan persetujuan;
j.        memimpin dan menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan; dan
k.       menjadi pendamai terhadap perselisihan antar penduduk dalam gampong.
 Keuchik atau nama lain dibantu oleh Imeum Meunasah atau nama lain dan Tuha Peut Gampong atau nama lain.
Pasal 17 (1) Qanun Nomor 10 Tahun 2008 menyebutkan Tuha Peut Mukim atau nama lain diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota atas usulan Camat dari hasil musyawarah mukim. Selanjutnya dalam ayat (2) Tuha Peut Gampong atau nama lain diangkat dan diberhentikan oleh Camat atas usulan Imeum Mukim atau nama lain dari hasil musyawarah masyarakat gampong. Kemudian pada ayat (3) menentukan Tuha Peut atau nama lain dipimpin oleh seorang ketua dan sekretaris yang merangkap sebagai anggota.
Lebih lanjut Pasal 18 Qanun Nomor 10 Tahun 2008 menyebutkan Tuha Peut Gampong atau nama lain mempunyai tugas:
a.       membahas dan menyetujui anggaran pendapatan dan belanja gampong atau nama lain;
b.      membahas dan menyetujui qanun gampong atau nama lain;
c.       mengawasi pelaksanaan pemerintahan gampong atau nama lain;
d.      menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan gampong atau nama lain;
e.      merumuskan kebijakan gampong atau nama lain bersama Keuchik atau nama lain;
f.        memberi nasehat dan pendapat kepada Keuchik atau nama lain baik diminta maupun tidak diminta; dan
g.       menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat bersama pemangku adat.
Pasal 21 ayat (1) Qanun Nomor 10 Tahun 2008 menyebutkan pada tingkat Gampong atau nama lain dan Mukim dapat dibentuk Tuha Lapan atau nama lain sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat yang dipilih melalui musyawarah Gampong atau nama lain atau musyawarah mukim. Tuha Lapan atau nama lain beranggotakan unsur Tuha Peut atau nama lain dan beberapa orang mewakili bidang keahlian sesuai dengan kebutuhan Gampong atau nama lain atau Mukim. Pengangkatan dan pemberhentian Tuha Lapan atau nama lain serta tugas dan fungsinya ditetapkan dalam musyawarah gampong atau nama lain atau mukim.
Pasal 22 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2008 menyebutkan, Imeum Meunasah atau nama lain dipilih dalam musyawarah gampong atau nama lain. Pengangkatan dan pemberhentian Imeum Meunasah atau nama lain dilakukan oleh Camat atas nama Bupati/Walikota.
Lebih lanjut Pasal 23 menyebtkan Imeum Meunasah atau nama lain mempunyai tugas:
a.       memimpin, mengkoordinasikan kegiatan peribadatan, pendidikan serta pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat;
b.      mengurus, menyelenggarakan dan memimpin seluruh kegiatan yang berkenaan dengan pemeliharaan dan pemakmuran meunasah atau nama lain;
c.       memberi nasehat dan pendapat kepada Keuchik atau nama lain baik diminta maupun tidak diminta;
d.      menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat bersama pemangku adat; dan
e.      menjaga dan memelihara nilai-nilai adat, agar tidak bertentangan dengan Syari’at Islam.
Mengacu kepada pandangan Prof Djuned seorang pakar hukum adat Fakultas Hukum Unsyiah, dalam masyarakat adat Aceh disamping dikenal keberadaan lembaga adat yang bersifat pemerintahan umum, seperti mukim dan gampong, juga berkembang beberapa lembaga adat yang memiliki  fungsi pelayanan atau kedinasan. Lembaga lembaga adat yang bersifat pelayanan atau kedinasan antara lain,  yaitu: Keunjruen Blang, Panglima Laot, Panglima Uteun, Pawang Glee, Peutua Seuneubok, haria peukan dan syahbanda.  Semua lembaga lembaga adat di atas memiliki fungsi dan kewengan masing-masing di wilayah kerjanya.
Keujruen Blang  adalah orang yang memimpin dan mengatur kegiatan di bidang usaha persawahan. Pasal 24 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 10/2008 menyebutkan pembagian keujruen Blang atas dua tingkatan yakni Keujruen Muda di tingkat gampong  dan Keujruen Chik di tingkat Mukim.
Pasal 24 ayat (2) Qanun Aceh Nomor 10/2008, menyebutkan pengaturan tugas, fungsi, wewenang dan persyaratan Keujruen Blang atau nama lain ditetapkan dalam musyawarah Keujruen Blang atau nama lain setempat. Selanjutnya dalam ayat (3) ditegaskan dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berkoordinasi dengan pihak terkait lainnya.
Pasal 25 Qanun Aceh Nomor 10/2008, menyebutkan Keujruen Blang mempunyai tugas sebagai berikut:
a.       menentukan dan mengkoordinasikan tata cara turun ke sawah;
b.      mengatur pembagian air ke sawah petani;
c.       membantu pemerintah dalam bidang pertanian;
d.      mengkoordinasikan khanduri atau upacara lainnya yang berkaitan dengan adat dalam usaha pertanian sawah;
e.      memberi teguran atau sanksi kepada petani yang melanggar aturan-aturan adat meugoe (bersawah) atau tidak melaksanakan kewajiban lain dalam sistem pelaksanaan pertanian sawah secara adat; dan
f.        menyelesaikan sengketa antar petani yang berkaitan dengan pelaksanaan usaha pertanian sawah.
Lembaga adat yang memiliki kewengan dalam pengelolaan wilayah adat laut disebut dengan Panglima laot. Panglima laot atau nama lain adalah orang yang memimpin dan mengatur adat istiadat di bidang pesisir dan kelautan. Sejalan dengan ketentuan Pasal 28 (1) Qanun Nomor 10 Tahun 2008 Panglima Laot berwenang :
a.       menentukan tata tertib penangkapan ikan atau meupayang termasuk menentukan bagi hasil dan hari-hari pantang melaut ;
b.      menyelesaikan sengketa adat dan perselisihan yang terjadi di kalangan nelayan;
c.       menyelesaikan sengketa adat yang terjadi antar Panglima Laot lhok atau nama lain;
d.      mengkoordinasikan pelaksanaan hukum adat laot, peningkatan sumber daya dan advokasi kebijakan bidang kelautan dan perikanan untuk peningkatan kesejahteraan nelayan.
                Lembaga adat yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan wilayah gle disebut dengan Pawang Glee. Pawang Glee adalah orang yang memimpin dan mengatur adat-istiadat yang berkenaan dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan. Berdasarkan ketentuan Pasal Pasal 31 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008, Pawang Glee atau nama lain memiliki tugas sebagai berikut:
a.       memimpin dan mengatur adat-istiadat yang berkenaan dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan;
b.      membantu pemerintah dalam pengelolaan hutan;
c.       menegakkan hukum adat tentang hutan;
d.      mengkoordinir pelaksanaan upacara adat yang berkaitan dengan hutan; dan
e.      menyelesaikan sengketa antara warga masyarakat dalam pemanfaatan hutan.
                Lembaga adat yag memiliki kewenangan dalam pengelolaan kawasan perkebunan adat disebut dengan Peutua Seuneubok. Peutua Seuneubok atau nama lain adalah orang yang memimpin dan mengatur ketentuan adat tentang pembukaan dan penggunaan lahan untukperladangan/perkebunan. Pasal 33 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008, menyebutkan Petua Seuneubok mempunyai tugas:
a.       mengatur dan membagi tanah lahan garapan dalam kawasan Seuneubok atau nama lain;
b.      membantu tugas pemerintah bidang perkebunan dan kehutanan;
c.       mengurus dan mengawasi pelaksanaan upacara adat dalam wilayah Seuneubok atau nama lain;
d.      menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam wilayah Seuneubok atau nama lain; dan
e.      melaksanakan dan menjaga hukum adat dalam wilayah Seuneubok atau nama lain.
       Lembaga adat yang berwenang mengatur pasar pasar tradisional disebut dengan Haria Peukan. Haria Peukan atau nama lain adalah orang yang mengatur ketentuan adat tentang tata pasar, ketertiban, keamanan, dan kebersihan pasar serta melaksanakan tugas-tugas perbantuan.
Pasal 36 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008, menentukan tugas harian peukan sebagai berikut:
a.       membantu pemerintah dalam mengatur tata pasar, ketertiban, keamanan, dan melaksanakan tugas-tugas perbantuan;
b.      menegakkan adat dan hukum adat dalam pelaksanaan berbagai aktifitas peukan;
c.       menjaga kebersihan peukan atau nama lain; dan
d.      menyelesaikan sengketa yang terjadi di peukan atau nama lain.
Untuk mengurusi wilayah adat pelabuhan dibentuk lembaga adat Syahbanda. Syahbanda atau nama lain adalah orang yang memimpin dan mengatur ketentuan adat tentang tambatan kapal/perahu, lalu lintas keluar dan masuk kapal/perahu di laut, danau dan sungai yang tidak dikelola oleh Pemerintah. Ketentuan Pasal 38 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008menyebutkan Syahbanda atau nama lain dapat dibentuk untuk pelabuhan rakyat. Sedang tugas Syahbanda berdasarkan Pasal 40 Qanun Aceh Nomor 10/2008, adalah sebagai berikut:
a.       mengelola pemanfaatan pelabuhan rakyat;
b.      menjaga ketertiban, keamanan di wilayah pelabuhan rakyat;
c.       menyelesaikan sengketa yang terjadi di wilayah pelabuhan rakyat; dan
d.      mengatur hak dan kewajiban yang berkaitan dengan pemanfaatan pelabuhan.
Dalam kehidupan masyarakat Aceh, lembaga adat memiliki peran dan kedudukan yang sangat penting. Pada tiap-tiap gampong dan juga Mukim memiliki kepemimpinan adat seperti yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje berperan sebagai “ku ngon ma”, yaitu sebagai bapak dan ibu biologis, yang menagyomi warga masyarakatnya sebagai anaknya sendiri.
       Sementara itu menurut Prof. Djuned, lembaga-lembaga adat pelayanan atau kedinasan, memiliki tiga peran penting yakni, pertama menciptakan lapangan kerja bagi warganya. Setiap orang diterima untuk bekerja di wilayah suatu lembaga adat. Kedua, memberi kesempatan kepada setiap orang untuk berusaha dalam bidang ekonomi produktif, seperti bertani, berkebun, menangkap ikan, dan mengambil hasil hutan untuk dijual. Ketiga, mendidik keahlian bagi anggotanya, seperti teknik bertani, berkebun, melaut dan menangkap ikan serta solidaritas antar sesama anggota. 
        Mengacu pada kajian pasal perpasal Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat di atas, nyatalah bahwa Lembaga Adat di Aceh memiliki kedudukan dan peranan  yang sangat strategis di tengah-tengah masyarakat. Oleh diperlukan uapaya serius dan terus menerus untuk memperkuat keberadaan, kedudukan, peran dan tugas lembaga adat agar mampu memberikan andil yang kuat dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan negara.[]
 

DAN NASIB MUSLIM UYGHUR


Souvenir Haji Made in China 
DAN NASIB MUSLIM UYGHUR

oleh: Asnawi Zainun
         Imeum Mukim Siem






Jika kita mengunjungi saudara saudara kita yang baru pulang ibadah haji atau umrah sudah menjadi kelaziman kita akan diberikan hadiah oleh-oleh menurut kadar layaknya, dari hadiah boh meusabah hingga selembar kain sajadah.  Dan tentunya kita akan menerima hadiah itu dengan suka cita, riang gembira, seakan mendapat secuil berkah dari tanah tanah suci Makkah.

Tapi pernahkah kita mengecek label label kecil dibalik produk souvenir yang dihadiahkan kepada kita itu.  Ternyata sebagian besar produk produk souvenir yang dibeli oleh jama'ah haji atau umrah di pasar pasar kota Makkah adalah Made in China, bukan buatan negara negara Arab. Mengapa, pertama dalam kaitannya dengan produk produk industri, negara negara Arab termasuk Saudi sendiri sangat menggantungkan diri pada produk barang barang impor. Kedua, karena harga produk produk kerajinan atau industri negeri China relatif murah dan mudah didapatkan. Dan yang paling penting, mereka ini sangat lihai memanfaatkan peluang pasar dalam memasarkan produk2 industri mereka.

Nah, dari satu sisi, dari kacamata politik dagang, negara china ini melihat masyarakat muslim dunia yang jumlahnya mencapai 1,7 milyar sebagai pasar potensial, yang wajib mereka manfaatkan semaksimal mungkin. Namun secara politik ideologis, sesungguhnya mereka sangat membenci masyarakat muslim. Hal ini jelas tercermin dari bagaimana komunis China ini melakukan penindasan keji terhadap masyarakat MUSLIM UYGHUR.

Paling kurang ada 8⃣ bentuk penindasan keji yang dilakukan negara Komunis China terhadap Muslim Uyghur sbb:

1. Melarangan orang tua memberikan nama nama bayi Muslim dengan nama nama Islami dengan ancaman tidak akan mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan ;

2. Melarang orang tua muslim menyelenggarakan upacara kegiatan agama untuk anak anak mereka;

3. Melarang anak anak muslim terlibat dalam kegiatan agama;

4. Memerintahkan seluruh muslim untuk menyerahkan seluruh barang barang yang bernuansa agama seperti sajadah, Mushaf Al-Qur’an, termasuk simbol simbol seperti bulan dan bintang ;

5. Menyita mushaf al Qur'an dengan alasan mengandung konten radikal;

6. Melarang laki laki muslim memanjangkan jenggot ;

7. Memaksa muslim untuk memakan babi dan minum alkohol di kamp-kamp re-edukasi ideologi komunis;

8. Memaksa muslim Uyghur untuk meninggalkan agamanya dan memaksa menyanyikan lagu lagu yang memiliki konten doctrine komunisme.

Demikian diantara bentuk bentuk penindasan terhadap masyarakat muslim Uyghur yang dilakukan oleh komunis China. Karena yang menjadi korban adalah masyarakat muslim, maka mayoritas negara negara dunia diam membisu menyaksikan penindasan yang melukai nilai nilai kemanusiaan universal, termasuk Indonesia di bawah Rezim saat ini.

#SaveMuslimUyghur.

TGK. CHIEK MEUNASAH BARO (Ulama Pejuang yang Terlupakan)

oleh : Asnawi Zainun
          Imeum Mukim Siem

Tgk. Chiek Meunasah Baro adalah lakap dari Tgk. Syekh Muhammad Sa'id pendiri dan pimpinan Dayah Meunasah Baro pada masa Kesultanan Aceh Darussalam yang berlokasi di  Gampông Siem-Krueng Kalee Mukim Siem Sagoe XXVI Mukim. Beliau adalah paman dari ulama besar Aceh Tgk. Haji Hasan Krueng Kalee. 

Ketika perang Aceh-Belanda meletus pada tahun 1873, Tgk. Chiek Meunasah Baro bersama pasukannya aktif bertempur di medan juang melawan agresor Belanda di Wilayah Sagoe XXVI Mukim. Pada saat Ibu Kota Kerajaan dan sekitarnya telah diduduki oleh Belanda, beliau memindahkan perjuangannya bersama pejuang pejuang lain ke wilayah Sagoe XXII Mukim, selanjutnya bergerilya ke Pidie hingga dataran tinggi Gayo. 

Beberapa sumber menyebutkan,  saat bertempur dalam perang perang gerilya di wilayah Pidie, pasukan Tgk Chiek Meunasah Baro sering melakukan gerakan bersama dengan pasukan Tgk. Muhammad Amin Tiro bin Tgk. Chiek di Tiro Muhammad Saman. 

Dalam sebuah drama pengepungan markas pasukan Tgk. Chiek Meunasah Baro di dataran tinggi Gayo, pasukan Belanda berhasil menawan Istri dan keluarga beliau. Seorang ajudan beliau yang bernama Pang Ibrahim ditangkap dan akhirnya dibuang ke Batavia. 

Dengan licik Belanda memanfaatkan tawanan perang yaitu istri dan keluarga beliau sebagai alat tekan agar Tgk. Chiek Meunasah Baro menyerah. Awalnya Tgk Chiek Meunasah Baro bertekad untuk melanjutkan perjuangan beliau. Namun atas bujukan Tuanku Raja Keumala bin Tuanku Hasyim Bangta Muda salah seorang kerabat Sultan Aceh, akhirnya Tgk Chiek bersedia turun gunung. Tuanku Raja Keumala yang lebih dulu menyerah (terpaksa) kepada Belanda pada tahun 1903, menceritakan kepada Tgk Chiek Meunasah Baro tentang keadaan rakyat yang kebanyakan telah jahil akibat perang berkepanjangan tanpa sentuhan pendidikan agama sebab sebagian besar ulama telah terjun ke medan perang. 

Dalam negosiasi itu Tgk Chiek Meunasah Baro menyatakan bersedia menyerah dengan mengajukan 3 syarat ;
1. Beliau dan pasukannya tidak akan ditangkap dan dihukum;
2. Diizinkan mendirikan Pendidikan Dayah sebagai pusat pendidikan Islam;
3. Diizinkan mendirikan kembali masjid-masjid di wilayah Sagoe XXVI Mukim yang telah dibakar Belanda. 

Ketiga syarat yang diajukan Tgk Chiek Meunasah Baro disetujui oleh Belanda, akhirnya beliau dan pasukannya pulang ke Gampông Siem pada kira kira tahun 1910.  Kemudian beliau mendirikan dan memimpin kembali pendidikan di Dayah Meunasah Baro sampai beliau tutup usia. Disamping mendirikan dayah, beliau juga mempelopori pendirian kembali masjid masjid di wilayah Sagoe XXVI Mukim, khususnya di wilayah ulèè balang IX Mukim Tungkob, seperti masjid Siem, masjid Lambaro Angan, masjid Leupung XXVI, masjid Klieng, masjid Kajhu dll. 

Begitulah sepintas perjuangan Tgk Chiek Meunasah Baro, Gampông Siem, Aceh Besar dalam melawan agresor Belanda dan perjuangan mengajari Ummat, hingga beliau berpulang ke rahmatullah dan dimakamkan di komplek Dayah Meunasah Baro, sisi sebelah timur Dayah Darul Ihsan Tgk H Krueng Kalee, lebih kurang 10 km dari pusat kota Banda Aceh sekarang. 

Sungguh Agung dan mulia perjuangan beliau demi memperjuangkan harkat dan martabat negeri ini,  namun hal itu sangat ironis dengan kondisi pusara beliau di bekas pertapakan Dayah Meunasah Baro Gampông Siem, Aceh Besar, sebagaimana terlihat pada gambar di bawah, terkesan tak terurus dan sangat memprihatinkan. Hanya Allah SWT sajalah yang akan memuliakan dan membalas jasa-jasa beliau dalam membela agama, nusa dan bangsa, Tgk. Chiek Meunasah Baro, ulama pejuang yang terlupakan. 😢 

 اللَّهُمَّ اغْفِرلَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنْ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنْ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ أَوْ مِنْ عَذَابِ النَّارِ. آمين يارب العالمين..

MENGAIS REZEKI DI INONG LANCANG

Perempuan Perempuan Lampanah 
MENGAIS REZEKI DI INONG LANCANG
Asnawi Zainun
Imeum Mukim Siem



Hari ini Rabu, 17|10|2018, Alhamdulillah, berkesempatan mengunjungi Lancang Sira Gampông Lampanah Mukim Lampanah Kabupaten Aceh Besar. Dalam nomenklatur adat Aceh lancang Sira adalah suatu kawasan adat komunal tempat pengolahan garam secara tradisional. 

Di hamparan Lancang Sira seluas sekitar 0.5 hektar itu terdapat 12 kelompok petani garam yang beranggotakan antara 6 - 15 orang. Mayoritas dari anggota kelompok petani garam tradisional tersebut adalah para perempuan dari kalangan ibu rumah tangga. 

Seorang ibu petani garam menceritakan panjang lebar proses pembuatan garam tradisional di sana.  Mula-mula mereka membuat gundukan-gundukan pasir berbentuk lingkaran seperti kawah berdiameter 2,5 meter, pada salah sisi bagian bawah dibuat saluran tempat keluar air yang akan ditampung dalam ember atau galian lubang seperti sumur kecil. Nah, gundukan pasir yang berbentuk lingkaran kawah itulah oleh petani garam Lancang Sira Lampanah disebut dengan "Inong Lancang''. Jadi,  jangan salah menduga, inong lancang di sini maksudnya bukan "perempuan Lancang" ya, hehehe... 

Kemudian, dalam Inong Lancang itu dimasukkan abai, yaitu tanah pasir yang mengandung garam (bibit garam),  abai itu disiram dengan air laut. Siraman air asin tadi meresap dalam inong lancang, lalu keluar kembali melalui sebuah lubang saluran dan ditampung dalam ember atau sumur kecil di bawahnya. Air yang ditampung dalam ember atau sumur kecil tadi, kemudian dimasak/diuapkan di dalam Jambo Sira hingga melahirkan butiran-butiran garam. 

Menurut mereka,  setiap anggota kelompok, mampu menghasilkan garam 50 kg/hari. Dengan lk 60 orang anggota aktif, maka Lancang Sira Lampanah mampu memproduksi garam sebanyak lk 3000 kg/perhari atau lk 90.000 kg/bulan. 

Persoalan terbesar petani garam di Lampanah hari ini adalah menyangkut pemasaran hasil. Selama ini, hasil produksi garam mereka hanya diambil oleh para Mugè Sira lokal untuk dipasarkan secara eceran. Jumlahnya sangat terbatas, sehingga produksi garam masyarakat banyak menumpuk di kolong kolong rumah mereka. Kondisi ini tentu sangat merugikan para petani garam di Lampanah yang umumnya adalah para perempuan. 

Entah sampai kapan mereka tetap setia mengais rezeki di "inong lancang" jika prospeknya tidak pernah menjanjikan. Ada yang berkenan menawarkan solusi... ???

Adat Mawah, Sistim Perjanjian Bagi Hasil dalam Tradisi Masyarakat Aceh

Oleh : Asnawi Zanun 
           Imeum Mukim Siem


Sebagai masyarakat agraris mayoritas masyarakat Aceh bermata pencaharian utama sebagai petani, baik yang menggarap lahan-lahan pertanian, perkebunan dan usaha peternakan. Disamping itu banyak juga masyarakat Aceh yang bermukim di sepanjang garis pantai, bermata pencaharian utama sebagai nelayan.  Pada umumnya petani di Aceh mengerjakan sendiri usaha-usaha dibidang pertanian, perkebunan dan peternakan, namun tidak jarang juga kegiatan pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki petani itu dikerjakan oleh orang lain dengan perjanjian bagi hasil. Bagi hasil (bahasa Aceh : bagi hase’atau weuk hase’ ) yaitu tradisi yang berisi ketentuan-ketentuan tentang bagian yang diperoleh oleh seseorang yang menggarap sebidang tanah atau memelihara ternak milik orang lain.
Salah satu sistem bagi hasil dalam perjajian pengelolaan sumber daya alam dalam adat Aceh disebut mawah. Mawah adalah suatu praktik ekonomi yang sangat populer dalam masyarakat Aceh yang berdasarkan kepada azas bagi hasil antara pemilik modal dengan pengelola. Mawah  merupakan suatu mekanisme di mana seorang pemilik aset menyerahkan hak pengelolaan aset tersebut kepada orang lain dengan pola bagi hasil yang disepakati. Sistem mawah  banyak dipraktikkan pada bidang pertanian (sawah,ladang, kebun) dan peternakan (lembu, kerbau, kambing, unggas) dimana hasil yang dibagikan sangat tergantung pada kesepakatan antara kedua belah pihak.
Mawah biasanya dimulai dengan perjanjian antara pemberi mawah (pemodal/pemilik sumber daya) dengan penerima mawah (pengelola).  Perjanjian ini menyangkut beberapa hal penting yang berhubungan dengan perjanjian mawah antara lain besarnya skema bagi hasil bagi masing-masing pihak, lamanya perjanjian, cara pemeliharaan dan lainnya. Perbandingan bagi hasil yang disepakati antara pemilik dengan penggarap atau pengelola tergantung pada beberapa faktor antara lain adalah biaya pengelolaan, kondisi kesuburan tanah, jarak dari tempat hunian, sulit atau mudahnya dalam pengelolaan.
1.             Bidang Pertanian
Telah dijelaskan di atas skema bagi hasil dalam pengelolaan pertanian bervariasi antara satu tempat dengan tempat lainnya. Besar-kecilnya perbandingan bagi hasil tergantung pada tingkat kesuburan tanah, tanaman yang dihasilkan dan biaya penggolahan lahan, maka sistem pembagian ini ada variasinya, misalnya mawaih bagi lhe’e, mawaih bagi peut, mawaih bagi limong dan sebagainya (1:2, 1:3, 1:4, 1:5 dsb). Maksudnya satu bagian untuk pemilik dan bagian selebihnya 2,3,4 dan 5 untuk petani penggarap atau yang menggerjakan tanah tersebut.
Dalam perjanjian pengelolaan sawah dalam masyarakat  Aceh juga dikenal istilah bulueng. Bulueng adalah skema bagi hasil dalam perjanjian mawah lahan sawah antara pemilik lahan dengan pihak yang menggarap sawah. Pola-pola bagi hasil ini ada yang disebut dengan buleung lhee (bagi tiga), bulueng peut (bagi empat), bulueng limong (bagi lima). Bulueng lhee (bagi tiga) artinya hasil panen di sawah akan dibagi dengan pola pembagian satu bahagian untuk pemilik lahan sawah dan dua bahagian untuk penggarap sawah. Pola pembagian seperti ini biasanya dijalankan pada lokasi tanah sawah yang cukup sbur dan lokasinya tidak terlalu jauh dari gampong. Sementara untuk lahan-lahan sawah yang jauh dari kampung, kondisi lahannya tidak cukup subur dan tidak ada sumber mata air biasanya pola hasil yang dijalankan  adalah bulueng peut, yaitu satu bahagian untuk pemilik lahan, tiga bahagian untuk penggarap atau bulueng limong, yaitu satu bahagian untuk pemilik lahan dan empat bahagian untuk penggarap.
Di Wilayah Mukim Siem, bahkan ada satu kawasan persawahan (blang), yang pola bagi hasil antara penggarap dengan pemilik menganut pola bulung enam, yakni pembagian hasil panen di mana penggarap mendapat lima bagian dan pemilik lahan mendapat satu bagian dari hasil panen. Pola bagi hasil ini diterapkan karena pada lokasi persawahan ini, penggarap harus bekerja ekstra untuk menjaga tanaman padi dari seragan hama babi. Serangan hama babi merupakan ancaman yang sangat masif terhadap tanaman padi, yang mengharuskan penggarap untuk menjaga tanaman padi selama 24 jam.
Sementara itu untuk perjajian bagi hasil dalam penggarapan kebun (lampoh) pola bagi hasil yang biasa dijalankan di Lampanah adalah pola bagi dua atau bagi lhee (bagi tiga).  Perbedaan pola ini dipengaruhi oleh lokasi kebun dan tingkat kesulitan pengelolaan kebun (lampoh). Untuk kebun yang dekat dengan kampung pola bagi hasilnya adalah bagi dua, yakni pemilik kebun dan pengelolaan kebun, masing-masing mendapatkn satu bahagian dari hasil (panen)  yang diperoleh  pada setiap musim panennya. Untuk kebun-kebun yang jauh dari gampong, apalagi jika harus mengawasi serangan hama babi, maka pola bagi hasil yang dijalankan adalah bagi tiga, yakni pada saat panen hasil, maka sipemilik kebun mendapatkan satu bahagian dan pengelola mendapatkan dua bahagian. (Wawancara dengan Tgk. Kamaruzzaman, Keujruen Chiek Mukim Lampanah, Rabu, 17 Desember 2014)
2.             Bidang Peternakan
Sebagaimana dengan sistem bagi hasil (bagi hase’) dalam bidang pertanian, bagi hase’ dalam bentuk pemeliharaan ternak orang lain juga menujukkan adanya variasi. Perjanjian bagi hase’ dalam hal dalam peliharaan ternak milik orang lain, baik itu berujud kerbau, kambing, lembu atau sapi, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :
a.            Mawaih.
Jika orang mempunyai ternak, baik itu ternak warisan orang tuanya maupun ternak dari hasil pembelian sendiri, tetapi berhubung  pemilik ternak tersebut tidak dapat memelihara atau tidak pandai berternak, kemudian ternaknya diserahkan kepada orang lain yang sanggup memeliharanya. Mengenai tempat kandang pemeliharaan dan pemberian makanan diserahkan kepada orang yang memelihara. Berdasarkan perjanjian si pemelihara akan mendapat bagian dari ternak yang dipeliharanya setelah ternak tersebut berkembang biak dan bagiannya dilaksanakan nanti jika ternak yang telah berkembang biak tersebut dijual. Cara  pembagian hasil semacam ini disebut mawaih. Biasanya ternak yang di perjanjikan dalam bentuk mawaih ini adalah sapi atau kerbau.
Jika ternak yang akan dipelihara tersebut berjenis kelamin betina, nanti setelah beranak dan berkembang biak menjadi banyak yang akan dibagi adalah anak-anak hewan dari induk ternak yang diperjanjikan dalam bentuk mawaih. Pada perjanjian pemeliharaan kerbau betina atau lembu betina diterapkan sistem mawah. Dengan pendekatan ini anak yang dilahirkan oleh kerbau atau lembu betina dibagi dua, yakni satu bagian untuk pemilik dan satu bagian untuk peternak, atau dalam bahasa setempat disebutkan ureung poe meuteumee dua gateh, ureung peulara meuteumee dua gateh. Dalam kasus kerbau atau lembu betina yang diperjajikan berada dalam keadaan mengandung (ulue), pola bagi hasilnya anak yang dilahirkan adalah lhee gateh keu ureung poe, saboh gateh keu ureung peulara, yakni tiga bagian untuk pemilik ternak, dan satu bagian untuk peternak.
Disamping itu ditemukan juga kasus perjajian bagi hasil kerbau atau lembu betina yang memiliki anak dalam keadaan menyusui, disebut aneuk seutot nang. Dalam kasus anak kerbau atau anak lembu yang sedang menyusui tersebut juga diperjanjikan bagi hasil saat anak lembu/kerbau disapih (jilhah) dimana peternak mendapat saboh gukee pha likot, yakni setengah harga paha belakang.
Pola bagi hasil untuk merjanjian mawah lembu/kerbau yang sedang bunting, polanya adalah 1/3 : 2/3, yakni pemeliharanya mendapatkan satu kaki (sepertiga) dan pemilik mendapat tiga kaki (duapertiga) dari anak lembu/kerbau yang dilahirkan. Sementara untuk anak-anak lembu/kerbau yang lahir berikutnya dalam pemeliharaan si pemelihara, pola pembagiannya adalah dibagi dua yang sama.
Di Lampanah Aceh Besar,  untuk perjanjian mawah binatang ternak khususnya lembu dan kerbau yang sedang bunting (ulue) berlaku pola bagi empat.  Misalnya seorang pemilik lembu atau kerbau menyerahkan binatang ternak betinanya yang sedang bunting kepada orang lain untuk dipelihara, maka setelah lembu atau kerbau itu beranak, pola bagi  hasilnya adalah saboh gateh (seperempat)  untuk  penerima mawah (pengelola) dan lhee gateh (tiga perempat) untuk pemberi mawah (pemilik). Sedangkan anak lembu yang dilahirkan berikutnya atau untuk lembu/kerbau betina yang belum bunting, maka bagi hasil untuk anak yang dilahirkan adalah bagi dua, yakni penerima mawah dan pemberi mawah masing-masing mendapat bagian yang sama. (Wawancara dengan Tgk. Kamaruzzaman, Keujruen Chiek Mukim Lampanah, Rabu, 17 Desember 2014). Sedikit berbeda dengan yang dipraktekkan di Mukim Lampanah, di Mukim Gurah Aceh Besar, bagi hasil lembu/kerbau betina bunting selama belum melahirkan anaknya, pola bagi hasil antara pemberi mawah dan penerima tetap berpola ½ ; ½ atau bagi sama. (Wawancara Mahmud Abdullah, mantan Imeum Mukim Gurah, tanggal 9 April 2015)
b.            Meudua Laba       
Sistem meudua laba diterapkan pada perjanjian bagi hasil dalam usaha peternakan lembu atau kerbau jantan. Pola bagi hasil untuk lembu/kerbau jantan adalah bagi dua (1/2 : 1/2), yakni setengah untuk pemilik dan setengah untuk pemelihara. Lazim dalam perjanjian pemeliharaan (mawah) lembu/kerbau jantan, pada saat perjanjian harga lembu/kerbau dihitung dulu besaran harganya secara kasar, dan perhitungan harga tersebut dimasukkan sebagai modal dari pemilik binatang ternak. Pada saat lembu/kerbau dijual setelah beberapa lama, misalnya setahun dalam pemeliharaan pihak pemelihara, maka modal (pangkai) sebesar harga taksiran awal, dikurangi dahulu, baru kemudian keuntungan bersih dari penjualan lembu/kerbau itu dibagi untuk pemilik dan pemelihara. (Adat Aceh, Moehammad Husin, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1970, hal. 108). Ternak yang diperjanjikan dalam bentuk meudua laba biasanya berupa ternak lembu, kerbau dan kambing.
Dengan pendekatan ini keuntungan dari nilai jual lembu jantan atau kerbau jantan  yang diperoleh setelah jangka waktu tertentu dibagi dua, yakni satu bagian untuk pemilik ternak dan satu bagian untuk peternak setelah dipotong modal (pangkai). Cara menghitungnya adalah pada saat perjanjian pemeliharaan dilakukan harga jual lembu atau kerbau ditaksir oleh kedua belah pihak, misalnya disepakati harganya Rp 6.000.000,- (Enam Juta Rupiah), setelah dipelihara selama 3 (tiga) tahun kerbau atau lembu tersebut dijual dengan harga Rp 12.000.000,- (Dua Belas Juta Rupiah), maka keuntungan dari pemeliharaan tersebut adalah Rp 6.000.000,- (Enam juta Rupiah). Keuntungan sebesar Rp 6.000.000,- inilah yang dibagi dua sehingga masing-masing pihak mendapatkan 3 juta rupiah dari keuntungan tersebut.
3.         Bidang Perikanan
                Menyangkut pola bagi hasil penagkapan ikan tergantung kepada sistem atau cara penangkapan ikan yag dilakukan oleh nelayan. Di Mukim Kuala Daya Kabupaten Aceh Jaya penangkapan ikan tradisional dilakukan dengan dua cara yakni dengan menggunakan pukat darat dan menjaring ikan dengan menggunakan perahu atau boat.
Perbadingan bagi hasil penangkapan ikan laut dengan menggunakan pukat darat antara pemilik pukat (poe pukat) dengan awak pukat atau aneuk pukat adalah bagi tiga (weuk  lhee), yakni satu bagian untuk ureung poe pukat dan dua bagian untuk awak pukat atau aneuk pukat, setelah dipotong semua biaya  yang dibutuhkan untuk meupukat. Dalam sistem bagi hasil ini,  pawang pukat yakni orang yang menjadi peutua atau pemimpin dalam kegiatan tarek pukat mendapat bagian dari bagian pemilik pukat. Dalam hal ini Bapak M Yunus Imeum Mukim Kuala Daya menyebutkan bahwa besaran bagian yang akan didapatkan didapatkan oleh Pawang Pukat, disepakati dengan pemilik pukat. Biasanya jumlah bagi hasil yang akan didapatkan oleh pawag pukat dari pemilik pukat adalah sebesar sepersepuluh (weuk siploh), yakni sembilan bagian untuk pemilik pukat, 1 bagian untuk pawang pukat, jika pawang pukat hanya melakukan kegiatan memimpin proses meupukat. Namun jika pawang pukat ikut terlibat dalam memelihara dan merawat pukat darat, maka besaran bagi hasil yang akan didapatkan oleh pawang pukat adalah mendapatkan hak satu kaja, yakni seperempat (weuk peut) dari yang didapatkan pemilik pukat. Untuk dipahami bahwa pukat darat tradisional di Mukim Kuala Daya itu terdiri empat kaja yakni kaja batee, kaja gampong dan kaja tunong baroh.
Berbeda dengan sistem penangkapan ikan dengan menggunakan pukat darat, penagkapan ikan dengan menggunakan jaring memiliki pola bagi hasil yang berbeda.Penangkapan ikan dengan menggunakan jaring dilakukan dengan menarik atau menebar jaring di kawasan lhouk Kuala Daya dengan menggunakan sampan atau boat bermotor.Penggunaan alat pelayaran yang berbeda ini, berdampak kepada perbedaan pola bagi hasil antara pemilik jaring/perahu/boat dengan awak menyareng.Untik kegiatan menjaring dengan menggunakan sampan yang tidak bermesin pola bagi hasilnya adalah satu bagian untuk pemilik jaring/sampan dan dua bagian untuk nelayan (pekerja) yang menangkap ikan. Sementara untuk penjaringan ikan dengan menggunakan boat bermesin, maka pola bagi hasil adalah weuk dua yakni satu bagian untuk pemilik jaring/boat bermotor, dan satu bagian untuk nelayan (pekerja). Bagi hasil antara pemilik boat/jaring dengan pekerja (nelayan) dilakukan setelah dikurangi semua modal yang dibutuhkan untuk menjaring ikan di laut.
Sistem Mawah atau meudua laba dalam adat Aceh merupakan konsep yang sangat mudah untuk dijalankan, baik bagi masyarakat di perkotaan maupun pedesaan, petani, nelayan, pedagang atau lainnya. Konsep ini memiliki prinsip-prinsip ekonomi Islami, yakni: keikhlasan dan ukhuwwah, kerja dan produktivitas, keadilan distributif, santun lingkungan (Sarkaniputra, 2001). Sistem mawah ini kelihatannya sangat perspektif dikembangkan pada masa yang akan datang, karena produktivitas kerjanya dapat mencapai tiga sasaran; mencukupi kebutuhan hidup (isyba), meraih laba yang wajar (irbah) dan menciptakan kemakmuran lingkungan baik sosial terutama permberdayaan yang tidak mampu maupun alamiah (al-imar) (Fauzi Saleh, Mawah, Opini Hr. Serambi Indonesia, Edisi 20 Mai 2011).
Adat mawah yang tumbuh dan berkembang secara turun menurun dalam tradisi masyarakat Aceh sebagai salah satu bentuk muamalat, dan telah memberikan konstribusi penting dalam mewujudkan keadilan distributif di tengah-tengah masyarakat. Berpijak pada keyakinan ini, maka sudah sepantasnya jika segenap elemen masyarakat Aceh memperkuat kembali tradisi Adat Mawah ini di tengah-tengah masyarakat Aceh[]


Jadwal Shalat