oleh : Asnawi Zainun
Imeum Mukim Siem
اللَّهُمَّ اغْفِرلَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنْ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنْ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ أَوْ مِنْ عَذَابِ النَّارِ. آمين يارب العالمين..
Imeum Mukim Siem
Tgk. Chiek Meunasah Baro adalah lakap dari Tgk. Syekh Muhammad Sa'id pendiri dan pimpinan Dayah Meunasah Baro pada masa Kesultanan Aceh Darussalam yang berlokasi di Gampông Siem-Krueng Kalee Mukim Siem Sagoe XXVI Mukim. Beliau adalah paman dari ulama besar Aceh Tgk. Haji Hasan Krueng Kalee.
Ketika perang Aceh-Belanda meletus pada tahun 1873, Tgk. Chiek Meunasah Baro bersama pasukannya aktif bertempur di medan juang melawan agresor Belanda di Wilayah Sagoe XXVI Mukim. Pada saat Ibu Kota Kerajaan dan sekitarnya telah diduduki oleh Belanda, beliau memindahkan perjuangannya bersama pejuang pejuang lain ke wilayah Sagoe XXII Mukim, selanjutnya bergerilya ke Pidie hingga dataran tinggi Gayo.
Beberapa sumber menyebutkan, saat bertempur dalam perang perang gerilya di wilayah Pidie, pasukan Tgk Chiek Meunasah Baro sering melakukan gerakan bersama dengan pasukan Tgk. Muhammad Amin Tiro bin Tgk. Chiek di Tiro Muhammad Saman.
Dalam sebuah drama pengepungan markas pasukan Tgk. Chiek Meunasah Baro di dataran tinggi Gayo, pasukan Belanda berhasil menawan Istri dan keluarga beliau. Seorang ajudan beliau yang bernama Pang Ibrahim ditangkap dan akhirnya dibuang ke Batavia.
Dengan licik Belanda memanfaatkan tawanan perang yaitu istri dan keluarga beliau sebagai alat tekan agar Tgk. Chiek Meunasah Baro menyerah. Awalnya Tgk Chiek Meunasah Baro bertekad untuk melanjutkan perjuangan beliau. Namun atas bujukan Tuanku Raja Keumala bin Tuanku Hasyim Bangta Muda salah seorang kerabat Sultan Aceh, akhirnya Tgk Chiek bersedia turun gunung. Tuanku Raja Keumala yang lebih dulu menyerah (terpaksa) kepada Belanda pada tahun 1903, menceritakan kepada Tgk Chiek Meunasah Baro tentang keadaan rakyat yang kebanyakan telah jahil akibat perang berkepanjangan tanpa sentuhan pendidikan agama sebab sebagian besar ulama telah terjun ke medan perang.
Dalam negosiasi itu Tgk Chiek Meunasah Baro menyatakan bersedia menyerah dengan mengajukan 3 syarat ;
1. Beliau dan pasukannya tidak akan ditangkap dan dihukum;
2. Diizinkan mendirikan Pendidikan Dayah sebagai pusat pendidikan Islam;
3. Diizinkan mendirikan kembali masjid-masjid di wilayah Sagoe XXVI Mukim yang telah dibakar Belanda.
Ketiga syarat yang diajukan Tgk Chiek Meunasah Baro disetujui oleh Belanda, akhirnya beliau dan pasukannya pulang ke Gampông Siem pada kira kira tahun 1910. Kemudian beliau mendirikan dan memimpin kembali pendidikan di Dayah Meunasah Baro sampai beliau tutup usia. Disamping mendirikan dayah, beliau juga mempelopori pendirian kembali masjid masjid di wilayah Sagoe XXVI Mukim, khususnya di wilayah ulèè balang IX Mukim Tungkob, seperti masjid Siem, masjid Lambaro Angan, masjid Leupung XXVI, masjid Klieng, masjid Kajhu dll.
Begitulah sepintas perjuangan Tgk Chiek Meunasah Baro, Gampông Siem, Aceh Besar dalam melawan agresor Belanda dan perjuangan mengajari Ummat, hingga beliau berpulang ke rahmatullah dan dimakamkan di komplek Dayah Meunasah Baro, sisi sebelah timur Dayah Darul Ihsan Tgk H Krueng Kalee, lebih kurang 10 km dari pusat kota Banda Aceh sekarang.
Sungguh Agung dan mulia perjuangan beliau demi memperjuangkan harkat dan martabat negeri ini, namun hal itu sangat ironis dengan kondisi pusara beliau di bekas pertapakan Dayah Meunasah Baro Gampông Siem, Aceh Besar, sebagaimana terlihat pada gambar di bawah, terkesan tak terurus dan sangat memprihatinkan. Hanya Allah SWT sajalah yang akan memuliakan dan membalas jasa-jasa beliau dalam membela agama, nusa dan bangsa, Tgk. Chiek Meunasah Baro, ulama pejuang yang terlupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar