TGK. MUHAMMAD ALI LAMPISANG
(1894-1960)
Perjalanan Menerangi Ummat dari Dayah Meunasah Blang Tgk. Haji Hasan Kr. Kalee hingga Jami'ah Al-Khairiyah Labuhan Haji.
Oleh:
*Asnawi Zainun*
Dalam buku “TEUNGKU HAJI MUHAMMAD HASAN KRUENG KALEE, Ulama Besar dan Guru Ummat”, yang ditulis oleh Mutiara Fahmi Razali, Muhammad Faisal Sanusi dan Qusaiyen Ali Al-Su'di, Hal. 58, alenia ketiga, menuliskan "... dalam merintis dayah Tgk Haji Hasan Krueng Kalee dibantu oleh teman sejawatnya bermain sejak kecil dan menuntut ilmu bersama-sama, sejak masih di Aceh hingga ke Yan. Teman ini juga adalah ADIK SEPUPUNYA, bernama TGK. MUHAMMAD ALI atau lebih ma’ruf dikenal dengan ABU LAMPISANG (Dinamakan Abu Lampisang, karena pernah menuntut ilmu di Lampisang, Tanoh Abee, Seulimuem, sebelum menyusul Abu Krueng Kalee ke Yan, Kedah, Malaysia). Beliau lebih dulu mengabdikan ilmunya di Aceh, karena tidak sempat melanjutkan pendidikan ke Mekkah. Sekembalinya dari Yan, Abu Lampisang pernah diutus Tuwanku Raja Keumala ke Labuhan Haji untuk mengajar dan memperbaiki paham kaum muda di sana. Di sana pernah menjadi guru bagi Tgk. H. Muda Wali Al-Khalidy". Dalam Catatan kaki halaman 68, penulis buku ini juga menyebutkan Abu Lampisang adalah tangan kanan Abu Krueng dalam mengajar dan mengurus dayah.
Dalam Blog http://mursyidali.blogspot.co.id , Mursyid Ali, yang menulis tentang Riwayat Pendidikan Tgk. Syekh Muda Waly, menyebutkan : “...Setelah tamat sekolah Volks School,beliau dimasukkan kesebuah pesantren di ibu kota Labuhan Haji, Pesantren JAM`IAH AL-KHAIRIYAH yang dipimpin oleh TEUNGKU MUHAMMAD ALI yang dikenal oleh masyarakat dengan panggilan TEUNGKU LAMPISANG dari ACEH BESAR sambil beliau sekolah di Vervolg School. Setelah lebih kurang 4 tahun beliau belajar di pesantren Al-Khairiyah beliau diantarkan oleh ayahnya ke pesantren Bustanul Huda di ibukota kecamatan Blangpidie. Sebuah pesantren Ahlussunnah wal jama`ah sama seperti Pesantren Al-Khairiyah,yang dipimpin oleh seorang ulama besar yang datang dari Aceh Besar,Syekh Mahmud".
Suatu ketika, Hj. Siti Hafsah, salah seorang anak Abu Lampisang, yang juga ibu dari Alm. Prof. Dr. Safwan Idris, MA, pernah bercerita kepada penulis perihal kedekatan Abu Lampisang dengan Tgk. Haji Hasan Krueng Kalee. Beliau menceritakan, Muhammad Ali kecil, memang pernah diasuh oleh ibunya Abu Hasan Krueng Kalee yang tak lain adalah kakak dari ibunya Abu Lampisang sendiri. Ibu Abu Lampisang yang telah lama menjanda, pada suatu saat dinikahkan kembali oleh abangnya dengan seorang lelaki dari tunong, jika tidak salah beliau menyebut dari gampong Limo Indra Puri, dan menetap di gampong suaminya tersebut. Ibu dari Tgk. Haji Hasan Kr. Kalee tidak setuju, jika kemenakannya itu tinggal bersama ayah tirinya, maka beliau meminta agar Muhammad Ali kecil tinggal bersamanya. Perjalanan sejarah inilah yang mempengaruhi kedekatan emosional antara Tgk. Muhammad Ali Lampisang dengan Tgk. Haji Hasan Krueng Kalee, karena disamping keduanya adalah saudara sepupu sebagaimana disebutkan di atas, juga mereka pernah sama-sama berada dalam asuhan seorang Perempuan Agung.
Dari pernikahannya dengan Nyak Cut binti Teungku Hasyem, Tgk. Muhammad Ali Lampisang dikaruniai 7 orang anak, 4 anak perempuan dan tiga anak laki-laki. Ketujuh anak-anak beliau masing-masing adalah 1. Khatijah Ali, 2. Hj. Siti Hafsah Ali (Isteri Tgk. Idris Mahmud Lamnyong), 3. Tgk. Muhammad Nawawi Ali, 4. Siti Ghasyiah Ali (Cut Teungoh), 5. Arabi Ali, 6. Hj. Maryamu Ali (Nyak Mu) dan 7. Drs. Zamzami Ali Umri, MA. Disamping itu beliau juga memiliki istri di Lamlhe, dan juga menikah di Labuhan Haji saat bermukim di sana, namun dalam perkawinan tersebut, beliau tidak dikarunia anak keturunan.
Menurut penuturan orang-orang tua di Mukim Siem, Abu Lampisang dikenal sebagai sosok yang sangat sederhana, kalem dan rendah hati. Setiap hari dengan berjalan kaki beliau dengan sabar mengajarkan masyarakat dari meunasah ke meunasah dalam wilayah Mukim Siem. Meski sangat disegani dalam masyarakat, namun banyak juga (cerita) sisi-sisi menggelitik di seputar kehidupan beliau, sebagaimana diceritakan oleh beberapa sumber yang dikutip dari www.baleemukim.blogspot.com, sebagai berikut :
Nyak Mat, sehari-hari berprofesi sebagai sales Garam Keliling (Mugee Sira). Pagi hari Nyak Mat dengan menggunakan Sepeda Kumbang yang dirancang khusus sebagai sarana pemasaran garam (memiliki tempat dudukan belakang dan depan, agar memuat garam lebih banyak), berkeliling kampung untuk memasarkan garamnya sambil berteriak: "Sira Wareh...!!!" atau " Wareh Sira...!!!".
Disamping itu, Nyak Mat juga metakzimkan diri sebagai asisten seorang ulama yakni Tgk. Muhammmad Ali Lampisang atau yang lebih dikenal dengan lakap Abu Lampisang.
Suatu hari saat sedang memasarkan garamnya, Nyak Mat melihat gurunya sedang berjalan kaki menuju balai pengajian yang cukup jauh disalah satu kampung dalam Mukim Siem. Nyak Mat melirik karung garam dibelakang sepadanya yang nyaris habis terjual, dan yang tersisa hanya karung garam yang diletakkan ditempat dudukan depan sepedanya. Seketika terbersit keinginannya untuk mengantarkan sang gurunya tersebut ke balai pengajian. Tapi Nyak Mat bingung, di tempat dudukan yang mana dia mesti menaikkan gurunya itu, didepan atau belakang. Namun kemudian Nyak Mat segera memindahkan karung garamnya yang di depan kebelakang, dan segera dengan santun Nyak Mat mempersilakan gurunya untuk naik di tempat dudukan depan sepedanya. Lalu dengan santai diantarkan gurunya itu ke balai pengajian. Sesampai di sana orang - orang tersenyum geli menyaksikan kejadian tersebut. Lalu seseorang bertanya "Nyak Mat kenapa kau naikkan Teungku di depan ?" Dengan santai Nyak Mat menjawab " kalau saya naikkan beliau di belakang, berartikan saya membelakangi beliau, mana mungkin saya membelakangi orang yang sangat saya hormati......"
Sebagai ulama yang disegani dan dihormati Abu Lampisang sering diundang kenduri ke rumah-rumah warga. Dan tentunya Nyak Mat sebagai asisten senantiasa setia mendampingi gurunya tersebut. Dalam sebuah jamuan Abu Lampisang berkata kepada Nyak Mat, "Nyak Mat...! nyan takue", sambil menunjuk sepotong leher ayam dengan maksud mempersilakan Nyak Mat untuk menyantapnya. Tanpa berpikir panjang Nyak Mat langsung menyambar leher ayam tersebut.
Sesampai di rumah Abu Lampisang, Nyak Mat segera membuka bungkusan yang berisi leher ayam dan menyerahkannya kepada Abu Lampisang, sambil berkata "Abu, nyoe ata dren yu kue".
(bahasa Aceh "Takue" berarti Leher, tapi "ta kue" berarti kau ikat, misalnya disudut kain pembungkus. Sejak peristiwa itu Nyak Mat dipanggil dengan lakap Nyak Mat Takue.)
Tgk. Muhammad Ali Lampisang lahir pada kira-kira tahun 1894, ayahnya, Teuku Umar berasal dari Mukim Lamnga Wilayah Ulee Balang IX Mukim Tungkob. Menurut Catatan yang tertulis pada batu nisan kuburan beliau, Tgk. Muhammad Ali Lampisang, meninggal dunia pada tahun 1960, dan dikebumikan di perkuburan (Bhom) keluarga di Gampong Siem, Mukim Siem, Aceh Besar.
اللهم اغفرله وارحمه وعافه واعف عنه..اسكنه الله تعالى في جنة الفردوس الاعلى...آمين يا مجيب السائلين
Tidak ada komentar:
Posting Komentar