Berbilang abad, negeri bernama Aceh ini pernah jaya
dengan sistem pemerintahan yang berbasis lokal. Sistem itu disebut-sebut
termaktub dalam Qanun Al-Asyi.
Inilah Qanun Syar’ak Kerajaan Aceh pada zaman Sulthan Alauddin Mansur
Syah dalam Darud Dunia di Istana Keumala Cahaya Darul Asyikin, Madinah
Sultan Asyisyah Kubra Aceh Bandar Darussalam dan jajahan takluknya.
Tercatat bahwa qanun ini bermula pada tahun 913 Hijriyah, tertanggal 12
Rabiul Awal, hari Senin, waktu subuh, saat yang baik lagi berkah.
Dengan nama Allah yang bersifat Maha Pemurah kepada sekalian makhluk
dalam alam dunia ini dan yang bersifat Maha Pengasih kepada sekalian
hamba yang mukmin pada hari akhirat di Yaumil Alqiyamah, serta sekalian
puji semuanya kembali kepada Allah Ta’ala, Tuhan Rabbul Alamin, qanun
ini dibuka. Salawat dan salam atas junjungan alam, penghulu sekalian
Anbiya dan Rasul (as) dan atas keluarga yang turun temurun dari Fatimah
Zahra binti Saidina Rasul dan atas sekalian sahabatnya, muhajirin dan
ansar, khusus atas sekalian khalifah Rasulullah yang rasidin dan
sekalian tenteranya, ammabákdu. Insya Allah ta-ála biáuni liah al alam
bijahi al Nabi Sallallahu-álaihi wasallam.
Qanun itu syahdan dimulakan oleh “Sultan Alauddin” atas nama sekalian
rakyat Aceh dan bangsa Aceh, yang beragama Islam lagi muslimin dan
muslimah khususnya, jajahan takluk, umumnya, dengan rahmat Allah pemberi
petunjuk taufik dan hidayah dari Allah ta-ála, Tuhan Rabbul Alamin.
Sultan Alaudin berkata, “Kami semua bangsa Aceh sangat harap kepada
Allah ta-ála, memohon ampun dengan keadilan yang sifat-Nya jalal dan
sifat jamil, yaitu kekerasan dan keelokan Yang Maha Kekal
selama-lamanya. Kami minta tolong pada Allah ta’ala Tuhan Rabbul Alamin,
pemberi perlindungan kepada kami menyusun peraturan qanun Syarák
Karajaan Aceh.”
Dalam proses pelahiran Qanun Al-Asyi, Sultan Alauddin sangat harap
pada rahmat Allah swt. Berkali-kali ia mengulangi permohonan
perlindungan kepada Allah, dunia-akhirat.
Disebutkan dalam qanun tersebut siapa-siapa yang mengikuti dan
menuruti isi qanun itu, selamat sepanjang masa tiap-tiap zaman, insya
Allah, dengan berkat syafaat Nabi saw., dan ijmak mufakat sekalian alim
ulama Islam mazhab empat yang Ahli Sunnah waljamaah. Mereka
disebut-sebut sebagai ulama syara’ beserta sekalian orang yang
besar-besar.
Dalam pembukaan berikutnya, disinggung pula (i) yang bijaksana akal,
(ii) beriman bicaranya dan zaki (pandai) faham, (iii) luas pandangannya
dan halus perasaannya, (iv) mengambil satu keputusan dengan sabda
mufakat dengan sahih muktamad (betul dan kuat), serta (v) di hadapan
majlis yang maha mulia.
Selanjutnya, di sana tertera kalimat “Atas nama rakyat Aceh dan
bangsa Aceh, Paduka Seri Sultan Alauddin Johan Ali Ibrahim Mughiyat Syah
Johan Berdaulah Fil Alam dengan mengikuti Ahli Sunnah Waljama-Áh Mazhab
empat, memegang kepada ajaran Allah dan Rasul yaitu firman dan hadist
serta qiyas dan ijma’ ulama (ra), hukum Qanun Syarák Kerajaan kami
terdiri di empat perkara: perkara hukum, perkara adat, perkara resam, perkara qanun.
Keempat macam tersebut berada di bawah naungan agama Islam, syariat
Nabi saw., sepanjang masa dalam pemeliharaan Allah swt. hingga hari
kiamat dan dalam seluruh negeri Aceh, timur-barat-utara-selatan. Jelas
bahwa dalam qanun itu disebutkan bahwa rakyat Aceh menganut aliran Ahli
Sunnah Waljamaah, mazhab Imam Syafi’i.
Namun demikian, qanun itu juga memuat pengecualian, yakni orang yang
alim-alim, tetapi jangan memberi fatwa dalam mazhab tiga dalam amalan
syara’. Hal ini dimaksudkan rakyat Aceh tidak sampai kacau-balau. “Maka
dengan sebab itulah, kami dirikan mufti empat, dalam balèe khadam syari’ah Islam.
Maka demikian kami, Sultan Alauddin, atas nama rakyat Aceh, berdaulat
Hukum Syara’ Kerajaan Aceh. Sudah kami tetapkan dengan sabda mufakat
mahkamah Qanun Syara’ Kerajaan Aceh Bandar Darussalam dan jajahan
takluknya,” tulis qanun tersebut.
Beberapa Pasal
Pada bab pertama ayat satu nomor delapan dikatakan bahwa diwajibkan
oleh Qanun Syara’ Kerajaan kepada sekalian rakyat Aceh,
timu-barat-barôh-tunong, pada tiap-tiap gampông, hendaklah memilih
geuchik dengan rapat mufakat, diambil satu keputusan tertentu dengan
sahih-sah ijmák mufakat, sekalian dipilih seorang buat diangkat geuchik
sagoe dengan cukup syarat.
Menurut Qanun Al-Asyi, syarat seorang diangkat jadi geuchik adalah
(1) berumur sekurang-kurangnya 40 tahun, (2) mengetahui hukum syarák
syariat Nabi saw., (3) mengetahui hukum Qanun Syara’ Kerajaan, (4) orang
yang berketurunan baik, (5) tidak ada permusuhan, (6) berani atas yang
benar, (7) takut atas perbuatan salah.
Disebutkan pula, jika geuchik sudah terpilih berdasarkan
syarat-syarat tersebut, ia berhak memilih enam orang di kampung itu
sebagai perangkat geuchik. Enam orang dimaksud adalah (1) satu orang
wakil (waki) geuchik dengan cukup syarat, (2) empat orang tuha peuet dengan
cukup syarat tersebut di atas (3) satu imam rawatib meunasah sagoe.
Imam ini, selain syarat tujuh di atas, ditambah fasih baca Fatihah dan
melaksanakan fardu ain serta fardu kifayah dalam
gampông. Kendati demikian, dijelaskan pula bahwa geuchik wajib menyuruh
dan meminta persetujuan orang kampung mengenai enam orang yang
dipilihnya itu.
Pada bab kedua pasal pertama ayat dua nomor 10, terdapat penjelasan
diwajibkan oleh Qanun Syara’ Kerajaan atas sekalian geuchik gampông
beserta Imum Rawatib dengan wakil geuchik berjumlah tujuh orang
pada tiap tiap gampông. Mereka bertujuh berhak memilih imum mukim.
Tiap-tiap satu mukim itu satu masjid jumatan didirikan dengan ijma’
mufakat alim ulama Ahli Sunnah Waljama’ah. Terdapat pula
sekurang-kurangnya ada tiga meunasah menurut tempatnya masing-masing.
Qanun Al-Asyi memberikan sejumlah syarat untuk diangkatnya seseorang
jadi imum mukim. (1) Bukan bekas abdi pemerdekaan orang (bukan bekas
hamba sahaja). (2) Berumur sekurang-kurangnya 40 tahun. (3) Mengetahui
hukum syara’ Allah dan hukum syariat nabi saw. (4) Orang yang
berketurunan baik-baik. (5) Tidak ada permusuhan dengan manusia. (6)
Berani atas benar. (7) Takut atas perbuatan salah. (8). Dapat menahan
amarah. (9). Mengetahui hukum qanun Syarák Kerajaan. (10). Murah dua
tangan rahim hati kepada fakir miskin. (11) Dapat mengerjakan fardu ain
dan fardu kifayah. (12) Dapat jadi Imam sembahyang Jumat di mesjid.
(13). Dapat menjadi khatib untuk membaca khutbah pada hari Jumat. (14).
Bijaksana. (15) Ada bersifat malu dan tidak tamak. (16) Dapat sabar
dengan merendahkan diri kepada sekalianmanusia.
Demikianlah syarat yang enam belas, diangkat hulubalang dengan
menyuruh “Amar makruf nahi mungkar” dengan rapat mufakat bersama rakyat,
memelihara kehormatan rakyat, dan jangan merampas harta rakyat dengan
zalim. Siapa yang sudah jadi hulubalang, itulah kaki tangan Kerajaan
Aceh dengan mengikut hukum syara’ Allah syariat Nabi saw. dan hukum
Qanun Syara’ Kerajan Aceh Sultan Alauddin.
Ditranskrip oleh: Zoelfadlie Kawom, JKMA Pase.
Dimuat di Buletin Tuhoe Edisi XIII, September 2010