Anak
memiliki tempat yag istimewa dalam adat
Aceh. Sebagai ungkapan kasih sayang, dalam bahasa Aceh, anak-anak sering disebut dengan beragam
ungkapan seperti boh hatee, bijeh mata, jantong hate, sinyak meutuwah, raja ubit, banta
seudang, banta sidi dan lain sebagainya.
Beberapa bulan kemudian, dan biasanya dipilih bulan-bulan ganjil, misalnya bulan ketiga, kelima atau ketujuh diadakan upacara peutron tanoh. Pada saat upacara tersebut, bayi digendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangai dan budi pekertinya Setelah semua selesai, selanjutnya bayi ditaktehkan (diajak berjalan) di atas tanah dan akhirnya dibawa keliling rumah. Saat kaki sang bayi menyentuh tanah diucapkan pula “lagee tanoh nyoe teutap, beumeunankeuh teutap hate gata”. Tak lupa sang bayi juga dibawa ke masjid, agar hatinya terpaut dengan rumah Allah. Akhirnya bayi dibawa pulang kembali dengan mengucapkan assalamualaikum waktu masuk ke dalam rumah.
Dalam
bait-bait Hikayat Prang Sabi, sebuah karya satra dari Tgk. Chiek Pantee Kulu yang
digubah pada saat berkecamuk Perang Aceh dengan Belanda, pada kira-kira akhir
abad ke- 18, anak-anak disebut dengan bijeh mata dan boh hatee:
‘oh
leumah neu-eu si BOH HATEE
Neutajo
lee neucom-neuwa
That
sukaan han peusabee
Neupujoe
lee Rabbul a’la
Padum-padum
neupujoe Syukoo
‘Azizul
Ghafoo sangat kaya
Karonya Gata ya Tuhanku
Lon
teumee eu BIJEH MATA
Kelahiran
anak disambut dengan sangat hikmat dalam adat. Rangkaian ritual senantiasa
menyertai kehadiran mereka sejak mereka masih dalam rahim ibunya.
Kenduri-kenduri yang diiringi dengan
do’a-do’a senantiasa dipanjatkan untuk kebaikan dan keselamatan.
Ketika
sang janin berusia 7 atau 8 bulan dalam kandungan, Ibu mertua sang calon ibu akan melakukan
upara “Mee Bu”, yang biasa juga
disebut dengan meulineum, sebagai
wujud penghormatan dan kasih sayang kepada sang calon ibu, sambil menyemai
harapan-harapan kepada bayi yang dikandungnya. Bukulah beserta lauk-pauk, buleukat
kuneng dan beragam penganan Aceh seperti
meuseukat,doi-doi, boi, karah, wajeb
dan sebagainya dihantarkan sebagai wujud cinta dan kasih sayang. Biasanya juga
dilengkapi dengan daging panggang burung
merpati, sebagai simbol dari sebuah harapan agar anak dalam kandungan si ibu
menjadi anak yang setia, cerdik dan lincah, selincah burung merpati.
Sebelumnya
juga, pada awal-awal masa kehamilan, telah diantarkan pula beragam jenis
buah-buahan segar, untuk diolah menjadi nicah,
lincah atau rujak, lalu dimakan bersama dengan suka cita, dalam suasana
keakraban. Ada juga tradisi mengajak ibu si bayi untuk meuramin, bertamasya dan makan-makan bersama di alam terbuka.
Tatkala
sang bayi lahir ke dunia, sesegera mungkin,
ayahnya menyambutnya dengan azan dan iqamah, menyerukan asma Allah,
menyerukan untuk shalat, menyerukan untuk kemenangan. Allahu Akbar, Allahu Akbar, laa ilaaha illalaah...Dibimbing Teungku
Gampong yang mulia, do’a-do’a pun dipanjatkan, agar anak tumbuh sehat, berkah
umur dan mudah rezeki.
Selanjutnya
sang bayi dibesarkan dalam rateb-rateb ibunya.
La
ilaha illallah
Kalimah
thayibah payong page
Taduek
tadong beuranggapat
Allah
taingat Neuk di dalam atee
jak ku timang bungong pade,
beu jroh pike ‘oh rayek gata
tutoe beujroh bek rhoh singke
bandum sare ta meusyedara
Pada
hari ke tujuh kelahiran sang bayi dilakukan kenduri aqiqah, bersamaan dengan
itu dilakukan upacara cukuran rambut dan peucicap,
kadang-kadang diikuti pula dengan penambatan nama kepada sang anak, nama-nama
yang baik dan bermakna. Acara peucicap dilakukan oleh Teungku gampong yang
mulia dengan mengoles manisan pada bibir bayi, sembari mengucapkan
” Bismillahirahmanirrahim,
manislah lidahmu,
panjanglah umurmu,
mudah rezekimu,
taat dan beriman
serta
terpandang dalam kawom”.
Pada
saat inilah bayi telah diperkenalkan bermacam rasa di antaranya asam, manis,
asin. Ini merupakan latihan bagi bayi untuk mengenal rasa, bisa dia bedakan
antara satu rasa dengan rasa yang lainnya.
Beberapa bulan kemudian, dan biasanya dipilih bulan-bulan ganjil, misalnya bulan ketiga, kelima atau ketujuh diadakan upacara peutron tanoh. Pada saat upacara tersebut, bayi digendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangai dan budi pekertinya Setelah semua selesai, selanjutnya bayi ditaktehkan (diajak berjalan) di atas tanah dan akhirnya dibawa keliling rumah. Saat kaki sang bayi menyentuh tanah diucapkan pula “lagee tanoh nyoe teutap, beumeunankeuh teutap hate gata”. Tak lupa sang bayi juga dibawa ke masjid, agar hatinya terpaut dengan rumah Allah. Akhirnya bayi dibawa pulang kembali dengan mengucapkan assalamualaikum waktu masuk ke dalam rumah.
Ketika
sang Anak sudah mulai belajar melangkah, sang ibu selalu menuntun dengan lantunan
pantun, agar anak menjadi santun sesuai dengan identitas keacehannya:
Jak lon tateh, meujak lon tateh
Beudeoh hai aneuk ta jak u Aceh
Meubee on ka meubee timphan
Meubee badan sinyak Aceh
Pada
umur enam atau tujuh tahun biasanya anak-anak akan dipeusunat atau dikhitan. Pada usia yang hampir bersamaan anak-anak
pun mulai diantar ketempat pengajian ke teungku
seumeubeut di meunasah atau ke rumoh
Teungku Inong. Prosesi intat beut dilakukan dengan hikmat dan
serius, sebagai pertanda bahwa tahapan
ini merupakan tahapan penting dalam kehidupan seorang anak. Sehidang bu leukat ngen ue sudah disiapkan
sebagai bagian dari upacara penyerahan anak kepada teungku, agar didik menjadi
manusia yang berilmu.
Namun
harus dipahami bahwa tanggungjawab pendidikan awal bagi seorang anak tetap
merupakan tanggungjawab orang tuanya. Sebelum diantar ke tempat pengajian
anak-anak biasanya sudah terlebih dahulu diajarkan oleh orang tuanya di rumah,
walau sekedar memperkenalkan huruf-huruf hijaiyah.
Tanggungjawab
pendidikan anak juga melekat pada seluruh wali-karong, wareh-kaom si anak dan
seluruh masyarakat gampong. Setiap orang, terutama orang-orang tua bijaksana di
gampong senantiasa memposisikan diri sebagai guru bagi semua anak di gampong.
Pada setiap kesempatan mereka membacakan nazam-nazam, hikayat dan calitra-calitra penuh hikmah kepada anak
sebagai bentuk pembelajaran. Hadih-hadih maja pun disampaikan dengan penuh
kebijakan. Anak-anak gampong diajarkan agar menjadi pribadi yang santun.
Hai aneuk tamariet
bek meukee-meukee
Jiteubiet ikue
jeut ke asee
Hai aneuk tamariet
bek meukah-meukah
Jiteubiet ikue
jeut ke gajah
Hiem-hiem
pengasah otak tak lupa dilemparkan, diselang seli dengan hiem-hiem jenaka.
Na saboh cicem
jipoe ue laot
Jingieng ue likot
aneukjih kana
Jijak ngen jiwoe
eumpeun lam reugam
Soe nyang utoh
pham tachie boh makna..!?
Begitulah
seterusnya sang anak hidup damai dalam adat gampongnya. Teungku Keuchik dan
Teungku Imeum Meunasah tak lepas-lepas mengamati perkembangan dan pertumbuhan
anak-anak di gampongnya. Pak Keuchik dan Teungku Imeum Meunasah, tahu persis
berapa orang pemuda yang mulai jitron bulee keuingnya, dan orang anak dara yang
sudah mulai “mirah muka” . Hingga suatu ketika beliau bertanya kepada empunya
anak, “hai teungku, ka mulai rhot bulee keuing si agam tanyoe ken ?”, atau
“karayek sidara tanyoe ken?” kiban
teuma, peuna reuncana ?”
Begitu
selintas ilustrasi kehidupan anak dalam ramahnya kehidupan adat. Anak-anak
hidup dalam cinta dan kasih sayang adat gampongnya. Di sana mereka tumbuh dan
berkembang, bermain, bercanda, ceria dan bahagia, menikmati indahnya kehidupan
mereka, hidup dalam asuhan adat. Konsep anak-anak disayangi dan orang tua
dihormati benar-benar dijalankan bukan sekedar slogan-slogan semata.
Hari
ini, ketika kehidupan di negeri ini tidak lagi ramah terhadap anak. Kasus
kekerasan terhadap anak atau kasus kekerasan yang melibatkan anak terus menunjukkan
tren peningkatan, apakah tidak sebaiknya kita berfikir untuk kembali membangun
kearifan adat sebagai alternatif konsep pengasuhan anak.
Tapi
jangan melihat konsep adat pengasuhan anak hanya pada bentuk-bentuknya, jangan
lihat bukulahnya, bukan buleukat kunengnya, tapi lihat nilai-nilai yang
dikandung dalam adat pengasuhan anak itu. Nilainya adalah kasih sayang,
perhatian, nilai tanggung jawab orag tua, wali, karong, wareh-kaom, nilai tanggungjawab lembaga pendidikan,nilai
tanggungjawab komunal, tanggungjawab bersama masyarakat gampong yang dibangun
secara menyeluruh dan terintegrasi.(AZ)