1 Januari 2015 pukul 21:46Hingga
era 70-an sesekali saya masih sempat mendengar dari guru Sekolah Dasar
di kampung, bahwa dahulu ada ungkapan dalam bahasa Aceh, yang lafadhnya,
bek jak sikula, jeut keu kaphé, yang maksudnya, jangan
bersekolah, nanti akan menjadi kafir. Ungkapan ini sering didakwa
sebagai ungkapan yang membodohkan, sehingga secara aklamasi kita sepakat
untuk mencampakkan ungkapan ini ke dalam tong sampah.
Namun saat membaca artikel saudara Affan Ramli, yang berjudul Pendidikan Islami, membebaskankah ? Yang dimuat pada Ruang Opini Harian Serambi Indonesia, hari Senin, 24 November 2014, (http://aceh.tribunnews.com/2014/11/24/pendidikan-islami-membebaskankah), khususnya ketika Affan menukil pandangan Samuel Bowles dan Herbert Gintis tentang peran lembaga pendidikan dalam masyarakat modern dewasa ini. Tiba-tiba pikiran saya kembali teringat kepada ungkapan dalam bahasa Aceh yang telah terlanjur ternistakan itu.
Menurut saya ungkapan bek jak sikula, jeut keu kaphé, bila dipahami dari sisi yang benar, tidak kalah banding dengan pandangan Samuel Bowles dan Herbert Gintis (1977) bahwa sekolah-sekolah dan universitas-universitas dikembangkan untuk melayani kepentingan tatanan kapitalistik. Pendidikan mereproduksi nilai-nilai yang menjustifikasi ketimpangan dalam sistem sosial masyarakat dan membangun karakter kaum terdidik yang jinak patuh pada pemilik modal.
Bahwa sebenarnya yang menjadi sasaran kritik dari ungkapan bek jak sikula, jeut keu kaphe adalah model atau sistem pendidikan yang diperkenalkan oleh kolonial Belanda. Seirama dengan pandangan Samuel Bowles dan Herbert Gintis (1977), barangkali orang-orang tua di Aceh tempoe doeloe, berkeyakinan jika sistem pendidikan yang dikembangkan kolonial yang menjadi model pendidikan di Aceh, maka dikhawatirkan akan melahirkan manusia-manusia Aceh berpandangan kaphé atau paling kurang kaphétalih (kapitalis). Artinya ungkapan bek jak sikula jeut keu kaphé, adalah bentuk perlawanan orang-orang tua terdahulu terhadap sistem pendidikan yang mengabdi kepada kepentingan kapitalis.
Dari sudut pandang ini, maka gagasan untuk merancang sebuah konsep pendidikan yang membebaskan, diyakini menjadi gagasan yang patut diacungi jempol. Menurut pandangan saya, para ulama Aceh tempo dulu telah mampu membangun sistem pendidikan yang membebaskan, jika yang dimaksudkan adalah konsep pendidikan yang berbasis rakyat dan lebih memihak kepada kebutuhan praktis masyarakat. Karena sistem pendidikan yang dikembangkan di Aceh pada masa kegemilangannya sangat kental dengan warna Aceh atau sangat khas Aceh, maka menurut saya tidak salah jika kita menyebutkannya dengan sistem pendidikan adat (Aceh).
Menurut saya paling kurang ada tiga ciri utama dan penting dari sistem pendidikan adat yang berkembang di Aceh yaitu integratif, kontektual dan berbasis masyarakat.
Ciri pertama dari sistem pendidikan adat adalah bahwa lembaga pendidikan di Aceh terintegrasi ke dalam struktur sosial masyarakat. Pendidikan tingkat dasar berlangsung di tingkat gampong yang berpusat di meunasah-meunasah. Dalam banyak referensi disebutkan Meunasah itu berasal dari kata madrasah, dalam bahasa Arab yang bermakna tempat belajar. Proses pendidikan kemudian dilanjutkan ke jenjang menengah yang terintegrasi dengan pemerintah Mukim yakni pada lembaga dayah yang berada di lingkungan Masjid. Dari banyak kajian yang dilakukan, kata dayah sebenarnya berasal dari kata zawiyah, yang kemudian berkembang menjadi kata dayah sesuai dengan dialek orang Aceh. Kata Zawiyah sendiri mengacu kepada tradisi belajar dengan metode duduk melingkar pada serambi-serambi masjid yag berkembang di dunia Islam. Sementara itu sistem pendidikan tinggi dilaksanakan di dayah dayah manyang khusus yang di pimpin oleh seorang Teungku-teungku chiek ternama, seumpama Tgk. Haji Hasan Kruengkale, Tgk. Chiek Tanoh Abee, Tgk. Chiek Kuta Karang dan lain lain. Dalam upaya menempuh pendidikan tinggi ini, maka berkembanglah tradisi meudagang dalam masyarkat Aceh, yakni merantau untuk menuntut ilmu-ilmu pada dayah dayah manyang tertentu di Aceh bahkan sampai keluar Aceh.
Pendidikan dengan sistem adat Aceh akan melahirkan orang-orang dengan kompetensi yang betul betul dibutuhkan oleh masyarakat sekitarnya. Orang-orang dengan basis pendidikan adat Aceh akan melahirkan seorang keujruen blang yang benar-benar menguasai semua pengetahuan yang berhubungan pengelolaan pertanian, mulai dari bagaimana cara menentukan waktu yang baik untuk menanam, bagaimana cara menghadapi hama, bagaimana cara mengairi kawasan persawahan hingga ke persoalan-persoalan lain yang mendatail. Begitu juga dengan seorang panglima laot, panglima uteun, peutua sineubok, apalagi kalau bicara soal imeum meunasah, keuchik, imeum mukim dan lain-lain. Untuk meyakinkan kita saya berani bertaruh, bahwa orang-orang terdahulu di Aceh, tidak ada yang buta huruf, jadi sebenarnya sejak dahulu Aceh adalah masyarakat yang bebas buta huruf, jika yang dimaksudkan dengan huruf bukan hanya huruf latin.
Dengan sisitem pendidikan adat, maka tak dapat dibantah, bahwa istilah “learning society” sebenarnya telah benar-benar dipraktekkan dalam sistem sosial masyarakat. Saya sendiri masih sempat merasakan bahwa dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di Aceh dahulu, orang-orang tua yang bijaksana bahkan semua orang bisa berperan sebagai guru, sebagai pendidik bagi semua anak-anak di kampungnya. Para orang-orang tua yang bijaksana, saat-saat berkumpul dengan anak anak baik di meunasah di balee balee blang, selalu memainkan perannya sebagai pengayom, pembimbing dengan menggunakan pendekatan bercerita atau seni tutur lainnya sebagai alat transfer nilai dan kearifan kepada generasi muda. Sebuah kelaziman yang hari ini sudah sangat langka terjadi di Aceh, meski di daerah pedesaan sekalipun.
Jika sering disebutkan Aceh pernah mengalami masa-masa kejayaan selama beberapa abad, menjadi lima besar negara Islam di dunia, sebelum terjungkal ke masa masa kegelapan, saya percaya keagungan itu bisa diraih karena Aceh pernah berjaya dalam bidang pendidikan. Dan saya yakin pada masa itu Aceh memiliki sistem pendidikan sendiri yag khas Aceh, dengan ciri-ciri utama sebagaimana saya jelaskan di atas.
Hari ini tatkala kita meyakini bahwa kita membutuhkan sebuah model atau sistem pendidikan yang membebaskan, maka saya berfikir tidak salah jika kita juga mencoba melirik model pendidikan yang dikembangkan orang orang tua kita dahulu di Aceh. Tentunya yang menjadi titik perhatian kita adalah pada model atau sistem yang dikembangkan, kemudian menjadi tugas kita untuk memodifikasi sesuai dengan keadaan da tuntutan kekinian. Saya yakin tulisan ini hanya berangkat dari sebuah kajian yang sangat lemah dan dangkal, tapi paling kurang saya berharap tulisan sederhana ini bisa menjadi sebuah gagasan awal yang dipandang sebagai sebuah semangat pembebasan. (Asnawi Zain, Imeum Mukim Siem)
Namun saat membaca artikel saudara Affan Ramli, yang berjudul Pendidikan Islami, membebaskankah ? Yang dimuat pada Ruang Opini Harian Serambi Indonesia, hari Senin, 24 November 2014, (http://aceh.tribunnews.com/2014/11/24/pendidikan-islami-membebaskankah), khususnya ketika Affan menukil pandangan Samuel Bowles dan Herbert Gintis tentang peran lembaga pendidikan dalam masyarakat modern dewasa ini. Tiba-tiba pikiran saya kembali teringat kepada ungkapan dalam bahasa Aceh yang telah terlanjur ternistakan itu.
Menurut saya ungkapan bek jak sikula, jeut keu kaphé, bila dipahami dari sisi yang benar, tidak kalah banding dengan pandangan Samuel Bowles dan Herbert Gintis (1977) bahwa sekolah-sekolah dan universitas-universitas dikembangkan untuk melayani kepentingan tatanan kapitalistik. Pendidikan mereproduksi nilai-nilai yang menjustifikasi ketimpangan dalam sistem sosial masyarakat dan membangun karakter kaum terdidik yang jinak patuh pada pemilik modal.
Bahwa sebenarnya yang menjadi sasaran kritik dari ungkapan bek jak sikula, jeut keu kaphe adalah model atau sistem pendidikan yang diperkenalkan oleh kolonial Belanda. Seirama dengan pandangan Samuel Bowles dan Herbert Gintis (1977), barangkali orang-orang tua di Aceh tempoe doeloe, berkeyakinan jika sistem pendidikan yang dikembangkan kolonial yang menjadi model pendidikan di Aceh, maka dikhawatirkan akan melahirkan manusia-manusia Aceh berpandangan kaphé atau paling kurang kaphétalih (kapitalis). Artinya ungkapan bek jak sikula jeut keu kaphé, adalah bentuk perlawanan orang-orang tua terdahulu terhadap sistem pendidikan yang mengabdi kepada kepentingan kapitalis.
Dari sudut pandang ini, maka gagasan untuk merancang sebuah konsep pendidikan yang membebaskan, diyakini menjadi gagasan yang patut diacungi jempol. Menurut pandangan saya, para ulama Aceh tempo dulu telah mampu membangun sistem pendidikan yang membebaskan, jika yang dimaksudkan adalah konsep pendidikan yang berbasis rakyat dan lebih memihak kepada kebutuhan praktis masyarakat. Karena sistem pendidikan yang dikembangkan di Aceh pada masa kegemilangannya sangat kental dengan warna Aceh atau sangat khas Aceh, maka menurut saya tidak salah jika kita menyebutkannya dengan sistem pendidikan adat (Aceh).
Menurut saya paling kurang ada tiga ciri utama dan penting dari sistem pendidikan adat yang berkembang di Aceh yaitu integratif, kontektual dan berbasis masyarakat.
Ciri pertama dari sistem pendidikan adat adalah bahwa lembaga pendidikan di Aceh terintegrasi ke dalam struktur sosial masyarakat. Pendidikan tingkat dasar berlangsung di tingkat gampong yang berpusat di meunasah-meunasah. Dalam banyak referensi disebutkan Meunasah itu berasal dari kata madrasah, dalam bahasa Arab yang bermakna tempat belajar. Proses pendidikan kemudian dilanjutkan ke jenjang menengah yang terintegrasi dengan pemerintah Mukim yakni pada lembaga dayah yang berada di lingkungan Masjid. Dari banyak kajian yang dilakukan, kata dayah sebenarnya berasal dari kata zawiyah, yang kemudian berkembang menjadi kata dayah sesuai dengan dialek orang Aceh. Kata Zawiyah sendiri mengacu kepada tradisi belajar dengan metode duduk melingkar pada serambi-serambi masjid yag berkembang di dunia Islam. Sementara itu sistem pendidikan tinggi dilaksanakan di dayah dayah manyang khusus yang di pimpin oleh seorang Teungku-teungku chiek ternama, seumpama Tgk. Haji Hasan Kruengkale, Tgk. Chiek Tanoh Abee, Tgk. Chiek Kuta Karang dan lain lain. Dalam upaya menempuh pendidikan tinggi ini, maka berkembanglah tradisi meudagang dalam masyarkat Aceh, yakni merantau untuk menuntut ilmu-ilmu pada dayah dayah manyang tertentu di Aceh bahkan sampai keluar Aceh.
Pendidikan dengan sistem adat Aceh akan melahirkan orang-orang dengan kompetensi yang betul betul dibutuhkan oleh masyarakat sekitarnya. Orang-orang dengan basis pendidikan adat Aceh akan melahirkan seorang keujruen blang yang benar-benar menguasai semua pengetahuan yang berhubungan pengelolaan pertanian, mulai dari bagaimana cara menentukan waktu yang baik untuk menanam, bagaimana cara menghadapi hama, bagaimana cara mengairi kawasan persawahan hingga ke persoalan-persoalan lain yang mendatail. Begitu juga dengan seorang panglima laot, panglima uteun, peutua sineubok, apalagi kalau bicara soal imeum meunasah, keuchik, imeum mukim dan lain-lain. Untuk meyakinkan kita saya berani bertaruh, bahwa orang-orang terdahulu di Aceh, tidak ada yang buta huruf, jadi sebenarnya sejak dahulu Aceh adalah masyarakat yang bebas buta huruf, jika yang dimaksudkan dengan huruf bukan hanya huruf latin.
Dengan sisitem pendidikan adat, maka tak dapat dibantah, bahwa istilah “learning society” sebenarnya telah benar-benar dipraktekkan dalam sistem sosial masyarakat. Saya sendiri masih sempat merasakan bahwa dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di Aceh dahulu, orang-orang tua yang bijaksana bahkan semua orang bisa berperan sebagai guru, sebagai pendidik bagi semua anak-anak di kampungnya. Para orang-orang tua yang bijaksana, saat-saat berkumpul dengan anak anak baik di meunasah di balee balee blang, selalu memainkan perannya sebagai pengayom, pembimbing dengan menggunakan pendekatan bercerita atau seni tutur lainnya sebagai alat transfer nilai dan kearifan kepada generasi muda. Sebuah kelaziman yang hari ini sudah sangat langka terjadi di Aceh, meski di daerah pedesaan sekalipun.
Jika sering disebutkan Aceh pernah mengalami masa-masa kejayaan selama beberapa abad, menjadi lima besar negara Islam di dunia, sebelum terjungkal ke masa masa kegelapan, saya percaya keagungan itu bisa diraih karena Aceh pernah berjaya dalam bidang pendidikan. Dan saya yakin pada masa itu Aceh memiliki sistem pendidikan sendiri yag khas Aceh, dengan ciri-ciri utama sebagaimana saya jelaskan di atas.
Hari ini tatkala kita meyakini bahwa kita membutuhkan sebuah model atau sistem pendidikan yang membebaskan, maka saya berfikir tidak salah jika kita juga mencoba melirik model pendidikan yang dikembangkan orang orang tua kita dahulu di Aceh. Tentunya yang menjadi titik perhatian kita adalah pada model atau sistem yang dikembangkan, kemudian menjadi tugas kita untuk memodifikasi sesuai dengan keadaan da tuntutan kekinian. Saya yakin tulisan ini hanya berangkat dari sebuah kajian yang sangat lemah dan dangkal, tapi paling kurang saya berharap tulisan sederhana ini bisa menjadi sebuah gagasan awal yang dipandang sebagai sebuah semangat pembebasan. (Asnawi Zain, Imeum Mukim Siem)