Oleh
: Asnawi Zainun
Keberadaan
Mukim sebagai bagian dari struktur wilayah dan Pemerintahan di Aceh sesuai ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan salah satu bentuk keistimewaan dan kekhususan Aceh. Kedudukanan mukim dalam tata pemerintahan di
Aceh selanjutnya dipertegas keberadaannya dalam BAB XV Pasal 114. Pasal 114 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menyebutkan bahwa dalam wilayah
kabupaten/kota dibentuk mukim yang terdiri atas beberapa gampong. Kemudian
dalam Pasal 114 ayat (4) menyebutkan tentang organisasi, tugas, fungsi dan
kelengkapan mukim diatur lebih lanjut dengan qanun kabupaten/kota.
Pengakuan atas
keberadaan mukim sebagai bagian dari
struktur pemerintahan sekaligus sebagai entitas masyarakat adat di Aceh sebagaimana tercantum dalam UUPA, telah dijabarkan organisasi,
tugas, fungsi dan kelengkapan mukim dalam Qanun Kabupaten/Kota tentang
Pemerintahan Mukim. Saat ini sebahagian besar kabupaten/kota di Aceh telah
memiliki qanun tentang mukim, termasuk kabupaten Aceh Besar dengan Qanun Aceh
Besar Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Mukim.
Istilah ‘mukim’ berasal dari bahasa Arab,
yakni dari kata “muqim” yang berarti tempat tinggal (Zakaria Ahmad 1972). Dalam
konteks agama Islam, istilah mukim digunakan untuk menerangkan status tinggal
menetap bagi seseorang, untuk membedakannya dengan orang yang berada dalam perjalanan
(musafir). Dalam perkembangannya di Aceh istilah mukim kemudian menjadi sebuah
konsep untuk menerangkan ruang fisik dari sesuatu kawasan yang terdiri dari
beberapa gampong yang memiliki satu masjid bersama, dan dipimpin oleh seorang imuem
mukim. Kata imuem juga berasal dari bahasa Arab yang berarti “orang yang harus
diikuti” atau pemimpin (Zakaria Ahmad,1972:88).
Menurut catatan K.F.H. van Langen mukim
dibentuk sejak zaman Iskandar Muda, dan pada mulanya pembentukan mukim
didasarkan pada jumlah penduduk laki-laki yang mampu bertempur melawan musuh
sebanyak 1.000 (seribu) orang. Namun
adanya juga keterangan yang menyebutkan bahwa
sistem pemerintahan mukim telah berkembang di Aceh masa Sultan Alauddin Ali
Ibrahim Mughayatsyah, sekitar tahun 913 H atau 1507 M. Berangkat dari fakta
sejarah perjalanan panjang mukim inilah, maka sangat beralasan jika Snouck
Hugronje berpendapat bahwa pembagian kewilayahan dalam bentuk mukim telah mapan
di Aceh dan dengan cara yang seragam, baik di kawasan Aceh Rayek, maupun di
kenegerian-kenegerian di luarnya (Singarimbun, dkk, Aceh di Mata Kolonialis,
Terjemahan dari The Achenese, Snouck Hugronje, Yayasan Soko Guru, Jakarta,
1985). Karena kekhasan dan kemapanan lembaga mukim dalam sistem pemerintahan
Aceh, maka HM Zainuddin menyataka bahwa mukim merupakan Atjehche Organisasi
atau sebuah organisasi khas Aceh (HM. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara,
Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1961). Dalam perjalanannya kemudian, mukim terus
berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban Aceh.
Berdasarkan kajian terhadap berbagai
peraturan perundang-undangan, pengakuan kedudukan dan peran mukim di Aceh,
Muhammad Taufik Abda dalam artikelnya Pendampingan Desa Tak Lupakan Mukim, (harian
Serambi Indonesia, 8 Agustus 2015), pada
lembaga mukim melekat tiga kedudukan, pertama, sebagai Lembaga Pemerintahan.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2), Pasal 112 ayat (3b)
dan Pasal 114 UUPA. Juga sesuai dengan Qanun Aceh No.4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan
Mukim, yang sekarang diatur kembali dalam berbagai qanun kabupaten/kota tentang
mukim untuk adaptasi dengan UUPA. Terakhir Qanun Aceh No.3 Tahun 2009 tentang
Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Imeum Mukim. Kedua, sebagai Lembaga Adat.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 6 dan 7 UU No.44 Tahun 1999 dan Pasal 98
UUPA. Secara rinci juga diatur dalam Qanun Aceh No.9 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, Qanun Aceh No.10 Tahun 2008
tentang Lembaga Adat dan Peraturan Gubernur Aceh No.60 Tahun 2013 tentang
Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa/Perselisihan Adat dan Istiadat. Dalam
menjalankan fungsinya sebagai lembaga adat, mukim memiliki kelengkapan
organisasi yang terdiri dari Keujruen Blangdalam bidang adat persawahan; Peutua
Seneubok dalam bidang adat perkebunan; Panglima Laot dalam bidang adat laut;
Pawang Glee (Panglima Uteun) dalam bidang adat hutan; Syah Bandadalam bidang
adat pelabuhan, dan Haria Peukan dalam bidang perdagangan. Beberapa mukim juga
memiliki lembaga Peutua Krueng dalam bidang adat sungai. Dan, ketiga, sebagai
Kesatuan Masyarakat Hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (19)
UUPA. Konsekwensi dari ketentuan ini, maka mukim berwenang membentuk produk hukum
berupa qanun mukim, peraturan imeum mukim dan keputusan imeum mukim.
Dalam kedudukannnya, baik sebagai
lembaga Pemerintahan, Lembaga Adat dan Kesatuan Masarakat Hukum Adat, maka pada
lembaga mukim melekat berbagai hak dan kewenangan. Hak-hak dan Kewenangn yang
melekat pada lembaga Mukim berupa hak dan kewenangan yang diberikan oleh
peraturan-perundangan maupun hak-hak tradisional yaitu berupa hak dan Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Mukim dan
ketentuan adat serta adat istiadat.
Pakar
hukum adat asal Aceh, almarhum Prof. Teuku Djuned (2003), menyebutkan
kewenangan dan hak-hak persekutuan masyarakat hukum itu adalah: (1) menjalankan
sistem pemerintahan sendiri; (2) menguasai
dan mengelola sumberdaya alam dalam wilayahnya terutama untuk kemanfaatan
warganya; (3) bertindak ke dalam mengatur dan mengurus warga serta
lingkungannya. Ke luar bertindak atas nama persekutuan sebagai badan hukum; (4)
hak ikut serta dalam setiap transaksi yang menyangkut lingkungannya; (5) hak
membentuk adat; (6) hak menyelenggarakan sejenis peradilan.
Dalam kedudukannya sebagai lembaga
adat, pada lembaga mukim melekat hak atas wilayah dan hak untuk menguasai,
mengatur , mengurus dan memanfaatkan sumber daya alam sebagai harta kekayaan
mukim, untuk kesejahteraan warganya. Pasal 1 angka 9 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun
2008 tentang Lembaga Adat, menegaska, Lembaga Adat adalah suatu organisasi
kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu
mempunyai wilayah tertentu dan mempunyai harta kekayaan tersendiri serta berhak
dan berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang
berkaitan dengan adat Aceh.
Qanun Aceh Besar Nomor 8 Tahun 2009
Tentang Pemerintahan Mukim, yang pembentukannya berdasarkan perintah Pasal 114
ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh, juga
mengatur tentang hak dan kewenangan Mukim atas wilayah dan Sumber Daya Alam.
Dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf e menegaskan mukim memiliki Kewenangan pengawasan fungsi ekologi dan pengelolaan sumber daya
alam (SDA) di kemukiman.
Kemudian Pasal 28 ayat (1) Qanun Aceh Besar Nomor 8 Tahun
2009 Tentang Pemerintahan Mukim, menyebutkan bahwa Harta
kekayaan Mukim adalah harta kekayaan yang telah ada, atau yang kemudian dikasai
Mukim, berupa hutan, tanah, batang air, kuala, danau, laut, gunung, paya, rawa
dan lain-lain yang menjadi ulayat Mukim sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya dalam ayat (2) dinyatakan, Jenis jumlah kekayaan Mukim
harus diinventarisaikan dan didaftarkan serta pemanfaatannya diatur oleh Bupati berdasarkan atas
kesepakatan Musyawarah Mukim.
Untuk
melaksanakan hak dan kewenangan atas wilayah dan Sumber Daya Alam, Lembaga
Mukim memiliki aturan-aturan adat dan lembaga adat sesuai dengan fungsi dan
kewengan masing-masing. Aturan
pengelolaan kawasan meliputi adat tentang kehidupan bermasyarakat di kampung
(kawasan hunian), adat bersawah, adat berkebun/ berladang, adat memelihara
ternak, adat laut, adat sungai dan adat memungut hasil hutan. Di dalamnya aturan-aturan
adat tersebut telah diatur juga tentang larangan dan sanksi. Tatacara
pengambilan keputusan meliputi aspek perizinan, penyelesaian sengketa,
pengenaan sanksi adat dan pengembangan aturan (adat). Selain itu, terdapat pula
tata nilai dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya. Tata nilai tersebut
antara lain berkaitan dengan pelestarian sumber daya, saling membantu,
kemurahan hati/ saling memberi, menggunakan cara-cara yang tidak merusak dan
mengedepankan kearifan.
Tiap
ruang kelola, secara tradisional diurus/ dikelola oleh masing-masing lembaga,
yaitu: keuchik gampong bersama imuem meunasah, keujruen blang, peutua
seuneubok/ peutua ladang/ panglima laot/ keuchik laot, peutua krueng dan
Panglima uteun.
Lembaga
Mukim merupakan lembaga adat tertinggi dan lembaga pemersatu dalam sebuah
kesatuan masyarakat adat di Aceh. Lembaga Mukim juga merupakan koordinator dari
gampong-gampong dalam hal pemanfaatan sumber daya alam, terutama sumber daya
alam milik bersama (komunal), baik berupa tanah/ hutan ulayat, sungai, rawa/
paya, maupun padang gembala. Mengingat penting dan strategisnya kedudukan mukim
sebagaimana diuraikan di atas, maka ke depan sangat diperlukan upaya-upaya
untuk menggerakkan penguatan adat dan penataan kembali kawasan adat berbasis
mukim.