Oleh : Asnawi Zanun
Imeum Mukim Siem
Imeum Mukim Siem
Sebagai
masyarakat agraris mayoritas masyarakat Aceh bermata
pencaharian utama sebagai petani, baik yang menggarap lahan-lahan pertanian,
perkebunan dan usaha peternakan. Disamping itu banyak juga masyarakat Aceh yang
bermukim di sepanjang garis pantai, bermata pencaharian utama sebagai nelayan. Pada umumnya petani di Aceh
mengerjakan sendiri usaha-usaha dibidang pertanian,
perkebunan dan peternakan, namun tidak jarang juga kegiatan pengelolaan sumber
daya alam yang dimiliki petani itu dikerjakan oleh orang lain dengan perjanjian
bagi hasil. Bagi hasil (bahasa Aceh : bagi hase’atau weuk hase’ ) yaitu
tradisi yang berisi ketentuan-ketentuan tentang bagian yang diperoleh oleh
seseorang yang menggarap sebidang tanah atau memelihara ternak milik orang lain.
Salah satu sistem bagi hasil dalam perjajian pengelolaan
sumber daya alam dalam adat Aceh disebut mawah. Mawah adalah
suatu praktik ekonomi yang sangat populer dalam masyarakat Aceh yang
berdasarkan kepada azas bagi hasil antara pemilik modal dengan pengelola. Mawah merupakan
suatu mekanisme di mana seorang pemilik aset menyerahkan hak pengelolaan aset
tersebut kepada orang lain dengan pola bagi hasil yang disepakati.
Sistem mawah banyak
dipraktikkan pada bidang pertanian (sawah,ladang, kebun) dan peternakan (lembu,
kerbau, kambing, unggas) dimana hasil yang dibagikan sangat tergantung pada
kesepakatan antara kedua belah pihak.
Mawah
biasanya dimulai dengan perjanjian antara pemberi mawah (pemodal/pemilik sumber
daya) dengan penerima mawah (pengelola).
Perjanjian ini menyangkut beberapa hal penting yang berhubungan dengan
perjanjian mawah antara lain besarnya skema bagi hasil bagi masing-masing
pihak, lamanya perjanjian, cara pemeliharaan dan lainnya. Perbandingan
bagi hasil yang disepakati antara pemilik
dengan penggarap atau pengelola tergantung pada beberapa faktor antara lain
adalah biaya pengelolaan, kondisi kesuburan tanah, jarak dari tempat hunian, sulit
atau mudahnya dalam pengelolaan.
1.
Bidang
Pertanian
Telah
dijelaskan di atas skema bagi hasil dalam pengelolaan pertanian bervariasi
antara satu tempat dengan tempat lainnya. Besar-kecilnya perbandingan bagi
hasil tergantung pada tingkat kesuburan tanah, tanaman yang dihasilkan dan
biaya penggolahan lahan, maka sistem pembagian ini ada variasinya, misalnya
mawaih bagi lhe’e, mawaih bagi peut, mawaih bagi limong dan sebagainya (1:2,
1:3, 1:4, 1:5 dsb). Maksudnya satu bagian untuk pemilik dan bagian selebihnya
2,3,4 dan 5 untuk petani penggarap atau yang menggerjakan tanah tersebut.
Dalam perjanjian pengelolaan sawah dalam masyarakat Aceh juga dikenal istilah bulueng. Bulueng
adalah skema bagi hasil dalam perjanjian mawah lahan sawah antara pemilik lahan
dengan pihak yang menggarap sawah. Pola-pola bagi hasil ini ada yang disebut
dengan buleung lhee (bagi tiga), bulueng peut (bagi empat), bulueng limong
(bagi lima). Bulueng lhee (bagi tiga) artinya hasil panen di sawah akan dibagi
dengan pola pembagian satu bahagian untuk pemilik lahan sawah dan dua bahagian
untuk penggarap sawah. Pola pembagian seperti ini biasanya dijalankan pada
lokasi tanah sawah yang cukup sbur dan lokasinya tidak terlalu jauh dari
gampong. Sementara untuk lahan-lahan sawah yang jauh dari kampung, kondisi lahannya
tidak cukup subur dan tidak ada sumber mata air biasanya pola hasil yang
dijalankan adalah bulueng peut, yaitu
satu bahagian untuk pemilik lahan, tiga bahagian untuk penggarap atau bulueng
limong, yaitu satu bahagian untuk pemilik lahan dan empat bahagian untuk
penggarap.
Di Wilayah Mukim Siem, bahkan ada satu kawasan persawahan
(blang), yang pola bagi hasil antara penggarap dengan pemilik menganut pola
bulung enam, yakni pembagian hasil panen di mana penggarap mendapat lima bagian
dan pemilik lahan mendapat satu bagian dari hasil panen. Pola bagi hasil ini
diterapkan karena pada lokasi persawahan ini, penggarap harus bekerja ekstra
untuk menjaga tanaman padi dari seragan hama babi. Serangan hama babi merupakan
ancaman yang sangat masif terhadap tanaman padi, yang mengharuskan penggarap
untuk menjaga tanaman padi selama 24 jam.
Sementara itu
untuk perjajian bagi hasil dalam penggarapan kebun (lampoh) pola bagi hasil
yang biasa dijalankan di Lampanah adalah pola bagi dua atau bagi lhee (bagi
tiga). Perbedaan pola ini dipengaruhi
oleh lokasi kebun dan tingkat kesulitan pengelolaan kebun (lampoh). Untuk kebun
yang dekat dengan kampung pola bagi hasilnya adalah bagi dua, yakni pemilik
kebun dan pengelolaan kebun, masing-masing mendapatkn satu bahagian dari hasil
(panen) yang diperoleh pada setiap musim panennya. Untuk kebun-kebun
yang jauh dari gampong, apalagi jika harus mengawasi serangan hama babi, maka
pola bagi hasil yang dijalankan adalah bagi tiga, yakni pada saat panen hasil,
maka sipemilik kebun mendapatkan satu bahagian dan pengelola mendapatkan dua
bahagian. (Wawancara dengan Tgk.
Kamaruzzaman, Keujruen Chiek Mukim Lampanah, Rabu, 17 Desember 2014)
2.
Bidang
Peternakan
Sebagaimana
dengan sistem bagi hasil (bagi hase’) dalam bidang pertanian, bagi hase’ dalam
bentuk pemeliharaan ternak orang lain juga menujukkan adanya variasi. Perjanjian
bagi hase’ dalam hal dalam peliharaan ternak milik orang lain, baik itu berujud
kerbau, kambing, lembu atau sapi, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu :
a.
Mawaih.
Jika orang
mempunyai ternak, baik itu ternak warisan orang tuanya maupun ternak dari hasil
pembelian sendiri, tetapi berhubung
pemilik ternak tersebut tidak dapat memelihara atau tidak pandai
berternak, kemudian ternaknya diserahkan kepada orang lain yang sanggup
memeliharanya. Mengenai tempat kandang pemeliharaan dan pemberian makanan
diserahkan kepada orang yang memelihara. Berdasarkan perjanjian si pemelihara
akan mendapat bagian dari ternak yang dipeliharanya setelah ternak tersebut
berkembang biak dan bagiannya dilaksanakan nanti jika ternak yang telah
berkembang biak tersebut dijual. Cara
pembagian hasil semacam ini disebut mawaih.
Biasanya ternak yang di perjanjikan dalam bentuk mawaih ini adalah sapi atau kerbau.
Jika
ternak yang akan dipelihara tersebut berjenis kelamin betina, nanti setelah
beranak dan berkembang biak menjadi banyak yang akan dibagi adalah anak-anak
hewan dari induk ternak yang diperjanjikan dalam bentuk mawaih. Pada perjanjian
pemeliharaan kerbau betina atau lembu betina diterapkan sistem mawah. Dengan
pendekatan ini anak yang dilahirkan oleh kerbau atau lembu betina dibagi dua,
yakni satu bagian untuk pemilik dan satu bagian untuk peternak, atau dalam
bahasa setempat disebutkan ureung poe meuteumee dua gateh, ureung peulara meuteumee
dua gateh. Dalam kasus kerbau atau lembu betina yang diperjajikan berada dalam
keadaan mengandung (ulue), pola bagi hasilnya anak yang dilahirkan adalah lhee
gateh keu ureung poe, saboh gateh keu ureung peulara, yakni tiga bagian untuk
pemilik ternak, dan satu bagian untuk peternak.
Disamping
itu ditemukan juga kasus perjajian bagi hasil kerbau atau lembu betina yang
memiliki anak dalam keadaan menyusui, disebut aneuk seutot nang. Dalam kasus anak kerbau atau anak lembu yang
sedang menyusui tersebut juga diperjanjikan bagi hasil saat anak lembu/kerbau
disapih (jilhah) dimana peternak mendapat saboh gukee pha likot, yakni setengah
harga paha belakang.
Pola bagi hasil untuk merjanjian mawah lembu/kerbau yang
sedang bunting, polanya adalah 1/3 : 2/3, yakni pemeliharanya mendapatkan satu
kaki (sepertiga) dan pemilik mendapat tiga kaki (duapertiga) dari anak
lembu/kerbau yang dilahirkan. Sementara untuk anak-anak lembu/kerbau yang lahir
berikutnya dalam pemeliharaan si pemelihara, pola pembagiannya adalah dibagi
dua yang sama.
Di Lampanah Aceh Besar,
untuk perjanjian mawah binatang ternak khususnya lembu dan kerbau yang
sedang bunting (ulue) berlaku pola bagi empat.
Misalnya seorang pemilik lembu atau kerbau menyerahkan binatang ternak
betinanya yang sedang bunting kepada orang lain untuk dipelihara, maka setelah
lembu atau kerbau itu beranak, pola bagi
hasilnya adalah saboh gateh (seperempat)
untuk penerima mawah (pengelola)
dan lhee gateh (tiga perempat) untuk pemberi mawah (pemilik). Sedangkan anak lembu
yang dilahirkan berikutnya atau untuk lembu/kerbau betina yang belum bunting,
maka bagi hasil untuk anak yang dilahirkan adalah bagi dua, yakni penerima
mawah dan pemberi mawah masing-masing mendapat bagian yang sama. (Wawancara dengan Tgk. Kamaruzzaman,
Keujruen Chiek Mukim Lampanah, Rabu, 17 Desember 2014). Sedikit berbeda
dengan yang dipraktekkan di Mukim Lampanah, di Mukim Gurah Aceh Besar, bagi
hasil lembu/kerbau betina bunting selama belum melahirkan anaknya, pola bagi
hasil antara pemberi mawah dan penerima tetap berpola ½ ; ½ atau bagi sama. (Wawancara Mahmud Abdullah, mantan Imeum
Mukim Gurah, tanggal 9 April 2015)
b.
Meudua Laba
Sistem meudua laba diterapkan pada perjanjian bagi hasil
dalam usaha peternakan lembu atau kerbau jantan. Pola bagi hasil untuk lembu/kerbau jantan adalah bagi dua (1/2 : 1/2),
yakni setengah untuk pemilik dan setengah untuk pemelihara. Lazim dalam
perjanjian pemeliharaan (mawah) lembu/kerbau jantan, pada saat perjanjian harga
lembu/kerbau dihitung dulu besaran harganya secara kasar, dan perhitungan harga
tersebut dimasukkan sebagai modal dari pemilik binatang ternak. Pada saat
lembu/kerbau dijual setelah beberapa lama, misalnya setahun dalam pemeliharaan
pihak pemelihara, maka modal (pangkai) sebesar harga taksiran awal, dikurangi
dahulu, baru kemudian keuntungan bersih dari penjualan lembu/kerbau itu dibagi
untuk pemilik dan pemelihara. (Adat Aceh,
Moehammad Husin, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh,
1970, hal. 108). Ternak yang diperjanjikan dalam bentuk meudua laba biasanya berupa ternak
lembu, kerbau dan kambing.
Dengan
pendekatan ini keuntungan dari nilai jual lembu jantan atau kerbau jantan yang diperoleh setelah jangka waktu tertentu
dibagi dua, yakni satu bagian untuk pemilik ternak dan satu bagian untuk
peternak setelah dipotong modal (pangkai). Cara menghitungnya adalah pada saat
perjanjian pemeliharaan dilakukan harga jual lembu atau kerbau ditaksir oleh
kedua belah pihak, misalnya disepakati harganya Rp 6.000.000,- (Enam Juta
Rupiah), setelah dipelihara selama 3 (tiga) tahun kerbau atau lembu tersebut
dijual dengan harga Rp 12.000.000,- (Dua Belas Juta Rupiah), maka keuntungan
dari pemeliharaan tersebut adalah Rp 6.000.000,- (Enam juta Rupiah). Keuntungan
sebesar Rp 6.000.000,- inilah yang dibagi dua sehingga masing-masing pihak
mendapatkan 3 juta rupiah dari keuntungan tersebut.
3.
Bidang Perikanan
Menyangkut
pola bagi hasil penagkapan ikan tergantung kepada sistem atau cara penangkapan
ikan yag dilakukan oleh nelayan. Di Mukim Kuala Daya Kabupaten Aceh Jaya
penangkapan ikan tradisional dilakukan dengan dua cara yakni dengan menggunakan
pukat darat dan menjaring ikan dengan
menggunakan perahu atau boat.
Perbadingan
bagi hasil penangkapan ikan laut dengan menggunakan pukat darat antara pemilik pukat (poe pukat) dengan awak pukat atau aneuk pukat adalah bagi tiga (weuk
lhee), yakni satu bagian untuk ureung
poe pukat dan dua bagian untuk awak
pukat atau aneuk pukat, setelah
dipotong semua biaya yang dibutuhkan untuk
meupukat. Dalam sistem bagi hasil
ini, pawang pukat yakni orang yang
menjadi peutua atau pemimpin dalam kegiatan tarek pukat mendapat bagian dari
bagian pemilik pukat. Dalam hal ini Bapak M Yunus Imeum Mukim Kuala Daya menyebutkan
bahwa besaran bagian yang akan didapatkan didapatkan oleh Pawang Pukat,
disepakati dengan pemilik pukat. Biasanya jumlah bagi hasil yang akan
didapatkan oleh pawag pukat dari pemilik pukat adalah sebesar sepersepuluh
(weuk siploh), yakni sembilan bagian untuk pemilik pukat, 1 bagian untuk pawang
pukat, jika pawang pukat hanya melakukan kegiatan memimpin proses meupukat.
Namun jika pawang pukat ikut terlibat dalam memelihara dan merawat pukat darat,
maka besaran bagi hasil yang akan didapatkan oleh pawang pukat adalah mendapatkan
hak satu kaja, yakni seperempat (weuk peut) dari yang didapatkan pemilik pukat.
Untuk dipahami bahwa pukat darat tradisional di Mukim Kuala Daya itu terdiri
empat kaja yakni kaja batee, kaja gampong dan kaja tunong baroh.
Berbeda
dengan sistem penangkapan ikan dengan menggunakan pukat darat, penagkapan ikan
dengan menggunakan jaring memiliki pola bagi hasil yang berbeda.Penangkapan
ikan dengan menggunakan jaring dilakukan dengan menarik atau menebar jaring di
kawasan lhouk Kuala Daya dengan menggunakan sampan atau boat
bermotor.Penggunaan alat pelayaran yang berbeda ini, berdampak kepada perbedaan
pola bagi hasil antara pemilik jaring/perahu/boat dengan awak menyareng.Untik
kegiatan menjaring dengan menggunakan sampan yang tidak bermesin pola bagi hasilnya
adalah satu bagian untuk pemilik jaring/sampan dan dua bagian untuk nelayan
(pekerja) yang menangkap ikan. Sementara untuk penjaringan ikan dengan
menggunakan boat bermesin, maka pola bagi hasil adalah weuk dua yakni satu
bagian untuk pemilik jaring/boat bermotor, dan satu bagian untuk nelayan
(pekerja). Bagi hasil antara pemilik boat/jaring dengan pekerja (nelayan)
dilakukan setelah dikurangi semua modal yang dibutuhkan untuk menjaring ikan di
laut.
Sistem Mawah
atau meudua laba dalam adat Aceh merupakan konsep yang sangat mudah untuk
dijalankan, baik bagi masyarakat di perkotaan maupun pedesaan, petani, nelayan,
pedagang atau lainnya. Konsep ini memiliki prinsip-prinsip ekonomi Islami,
yakni: keikhlasan dan ukhuwwah, kerja dan produktivitas, keadilan distributif,
santun lingkungan (Sarkaniputra, 2001). Sistem mawah ini kelihatannya sangat
perspektif dikembangkan pada masa yang akan datang, karena produktivitas
kerjanya dapat mencapai tiga sasaran; mencukupi kebutuhan hidup (isyba’), meraih laba yang wajar
(irbah) dan menciptakan kemakmuran lingkungan baik sosial terutama
permberdayaan yang tidak mampu maupun alamiah (al-i’mar) (Fauzi Saleh, Mawah, Opini Hr. Serambi Indonesia, Edisi 20 Mai 2011).
Adat mawah yang tumbuh dan berkembang
secara turun menurun dalam tradisi masyarakat Aceh sebagai salah satu bentuk
muamalat, dan telah memberikan konstribusi penting dalam mewujudkan keadilan
distributif di tengah-tengah masyarakat. Berpijak pada keyakinan ini, maka
sudah sepantasnya jika segenap elemen masyarakat Aceh memperkuat kembali
tradisi Adat Mawah ini di tengah-tengah masyarakat Aceh[]