Adat bak Poteumeureuhoem, Hukoem bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana”~~~~~~~ Adat ban adat, hukom ban hukom, hanjeut meuron-ron krie-krie nyang hawa, watee meupakat adat ngon hukom, nanggroe rukon, hana le goga~~~ Roek ngon bara bak ureung naggroe, pasoe bajoe bak ureung tuha, tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteh itam bak ulama~~~Gaseh keu aneuk beuget tapapah, gaseh keu nangbah beuget tajaga~~~Raseuki deungon tagagah ....Tuah deungon tamita.....Tuah meubagi-bagi.......Raseuki meujeumba-jeumba~~~~~Teupat ke pangkai, akay keu laba~~~ KRAB TAJAK GEUBRIE SITUEK, JAREUNG TADUEK GEUJOK TIKA~~~~~ ASAI CABOK NIBAK KUDE, ASAI PAKE NIBAK SEUNDA ~~~~~~~~ Duek, duek aree, jak, jak langay~~~~Meunyoe ate hana teupeh pade bijeh geupeutaba, tapi meunyoe ate ka teupeh bu leubeh han meuteumeung rasa~~~Jaroe bak langay, mata u pasay~~~Singet bek rhoe beuabeh~~~ Nibak puntong get geunteng, nibak buta get juleng~~~Mate aneuk meupat jeurat, mate adat pat tamita~~~Tameh surang sareng, asay puteng jilob lam bara~~~tameungeuy ban laku tuboh, tapajoh ban laku atra ~~~Uleu beumate, ranteng bek patah~~~Kameng blang pajoh jagong, kameng gampong keunong geulawa~~~lagee manok toh boh saboh, jeut lampoh soh jimeuseurapa, dipinyie jitoh siribee, hana jithee le silingka~~~ lagee bubee duwa jab, keunoe toe keudeh pih rhab~~~bak adat han jikab, bak hukom han ji talum~~~paleh sagoe meuleuhob jurong, paleh gampong tan ureung tuha~~~hak ube jiplueng, bulueng ube jiteuka~~~meunyoe na ate, pade tatob, hana bak droe talakee bak gob~~~rayek rumoh rayek keunaleung, rayek bateueng rayek sawa, rayek pageu rayek beunteueng, rayek ureung rayek keureuja~~~PUTOH NGON MUPAKAT, KUWAT NGON MEUSEURAYA~~~~~~blink>Diet Peugah Duem Peubuet Banja Beusanteut Mukim Siem Tapuga

R a n u b si G a p u e


Assalamu'alaikumwarahmatullah...
Jaroe duablah ateuh jeumala,
Saleum ulon brie keu syedara meutuwah,
Neubrie ya Allah mandum sijahtra...
Amiin Ya Rabbal A'lamiin...

Dengan segala kerendahan hati, kami menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua Pengunjung blog baleeMUKIM. Meski dalam format dan tata saji yang amat sederhana, kami memberanikan diri untuk mendedikasikan blog ini untuk mengawal, mempertahankan dan mengembangkan keberadaan komunitas dan Lembaga Pemerintahan Mukim di Aceh pada umumnya, atau Mukim Siem - Darussalam khususnya.
Kami mengundang pengunjung sekalian agar berkenan berpartisipasi mewujudkan Visi dan Missi dari blog baleeMUKIM ini. Sumbangan pikiran, pendapat, komentar, kritik, saran, dan apapun yang sifatnya konstruktif, merupakan cemeti yang seharusnya mendorong kita untuk lebih maju.
Pengunjung sekalian...sekecil apupun keterlibatan anda dalam upaya pencapaian tujuan mengawal, mempertahankan dan mengembangkan eksistensi komunitas Mukim di Aceh, menurut kami mesti diapresiasikan sebagai perjuangan menuju kehidupan lebih terhormat dan bermartabat di atas landasan budaya kita sendiri.
Ayo..., lakukan ...!!! Bersama Kita Bisa...!!!

"Rhoek ngen bara bak ureung Nanggroe, Pasoe bajoe bak ureung tuha, Tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteeh itam bak ulama."
Pengunjung sekalian..., mari wujudkan cita-cita besar ini, mulailah dengan sebuah langkah kecil. ingat...!!! Perjalanan ribuan kilometer selalu diawali dengan sebuah langkah kecil...lakukan sekarang...!

Wassalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuh
teurimong gaseh.
admin.

Politik Etis untuk Ureung Gampong

Oleh : Asnawi (Imeum Mukim Siem)

seorang bocah penggembala dari kampung seputar kampus
Dalam sebuah perbincangan ringan di sebuah kedai kopi di pinggiran kampus Darussalam,  secara spontan saya mendebat keras statement seorang teman yang menyatakan bahwa “kampus Darussalam dibangun di atas bekas tanah hak erfpacht Belanda”.  Saat itu secara meyakinkan saya sadar, gugatan saya tersebut sebenarnya melenceng dari substansi diskusi kecil kami tentang semakin kentara dan mengedepannya fenomena egoisme sektoral (kalo boleh disebutkan demikian) antara Unsyiah dengan IAIN Ar-Raniry dewasa ini.  Padahal oleh founding father kampus Darussalam seperti Prof. Ali Hasymi, kedua kampus itu dilahirkan dalam satu jeritan dan tarikan nafas, sebagai anak kembar  “si Jantong Ate” rakyat Aceh.

Kembali ke materi gugatan saya kepada sang teman,  sebenarnya saya cuma kurang sependapat dengan anggapan bahwa Kampus Darussalam dibangun atas tanah bekas tanah hak erfpacht Belanda.  Meski harus diakui anggapan tersebut tidak juga sepenuhnya salah.  Persoalannya terletak pada ketidakterjangkaunya kita dalam melihat sejarah secara utuh. Padat kata, dalam kasus ini ada bagian sejarah yang terpenggal.

Pada awal pendudukan belanda di Aceh, sebenarnya belanda hanya menguasai secara efektif kawasan perkotaan, sementara kawasan pinggiran tetap dalam kontrol penjuang Aceh.  Di antara kawasan pinggiran kota yang  masih tetap dalam kontrol pejuang Aceh adalah wilayah IX Mukim Tungkop Sagoe XXVI Mukim.  Dalam kawasan ini termasuk wilayah yang hari ini menjadi kampus Darussalam.  Ringkasnya kawasan yang hari ini dibangun kampus Darussalam adalah kawasan hunian penduduk wilayah IX Mukim Tungkob yang kongkritnya merupakan bagian dari beberapa gampong seperti gampong Barabung, Limpok, Tanjong Seulamat, Blang Krueng dan Rukoh.

Namun pada saat Teuku Umar  membelot ke pihak kolonial pada tahun 1893, atas saran Teuku Umar, Belanda merobah taktik perang dengan rakyat Aceh. Pasca pembelotan Umar itu Kolonial Belanda banyak mendapatkan kemenangan dalam berbagai front pertempuran di Aceh. Karena keberhasilan-keberhasilan itu, maka pada tanggal 1 Januari 1894, Gubernur Van Teijn  menganugerahkan gelar kehormatan ”Johan Pahlawan” kepada Teuku Umar  dan diizinkan pula untuk membentuk legiun pasukan sendiri yang berjumlah 250 tentara dengan senjata lengkap.

Rakyat yang berdiam di wilayah IX Mukim Tungkob merupakan salah satu wilayah yang paling menderita akibat perang itu. Terlebih lagi masyarakat yang mendiami kawasan lokasi pembangunan kampus sekarang ini, karena kawasan ini dapat dikatakan sebagai gerbang menuju wilayah IX Mukim Tungkob. Rumah-rumah di sini habis dibakar, dan penduduknya ditembak, diperangi oleh serdadu belanda, sementara sebagian rakyat lari dan mengungsi keberbagai wilayah lain seluruh Aceh, bahkan sampai keluar Aceh. Tanah yang ditinggalkan oleh masyarakat ini, kemudian dikuasai oleh Pemerintah kolonial Belanda. Gubernur Jendral Pemerintah Kolonial Belanda kemudian menjadikan kawasan ini sebagai tanah perkebunan dan pengelolaannya diserahkan kepada Perusahaan Swasta dengan status hak erfpacht.

Ketika kita menyibak lembar sejarah ini lebih utuh, maka menurut saya akan lebih tepat bila kita sebutkan bahwa KAMPUS DARUSSALAM dibangun di atas tanah DARAH dan AIR MATA rakyat Aceh. Sebagai penegasan saya sebutkan sekali lagi bahwa KAMPUS DARUSSALAM dibangun di atas tanah DARAH dan AIR mata rakyat Wilayah IX Mukim Tungkob, bukan di atas tanah bekas Hak Erfpacht Belanda. Logisnya, sederhananya, boh panee tanoh yah jih inoe...!!!

Pasca pemberontakan DI/TII di Aceh, Prof. Ali Hasjmy  yang menjadi gubernur saat itu, bertekad membangun Aceh melalui pembangunan bidang pendidikan. Untuk mewujudkan tekad itu, maka pemerintah Provinsi Aceh di bawah kepemimpinan beliau mencanangkan pembangunan Kota Pelajar Mahasiswa, yang akan menjadi pusat pendidikan di Aceh. Lokasi yang dipilih sebagai kampus adalah di tanah darah dan air mata tadi atau yang oleh teman saya disebutkan  ”bekas tanah hak erfacht Belanda”. Di lokasi ini awalnya direncanakan menjadi kampus 4 perguruan tinggi, masing-masing Universitas Syiah Kuala, IAIN Ar-Raniry, Dayah Manyang Tgk Chik Pante Kulu dan APDN Aceh. Pembangunan Kota Pelajar Mahasiswa (KOPELMA) Darussalam ini ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Ekonomi pada tanggal 29 Mei 1959, dan peristiwa bersejarah ini diperingati sebagai hari Pendidikan Daerah Aceh.

Pembangunan Kampus Darussalam pada awalnya juga melibatkan masyarakat sekitarnya. Setiap hari masyarakat yang mendiami kawasan IX Mukim Tungkob (kec Darussalam/Baitussalam sekarang) ikut berpartisipasi bergotong royong membersihkan lahan yang digunakan sebagai Kampus Darussalam. Rakyat kawasan itu bekerja keras menggali Pangkal Batang kelapa (KUH UTOM UE), meratakan tanah, menimbun parit dan rawa-rawa. Tentunya masyarakat melakukannya dengan suka rela, dengan senang hati, meski dengan kucuran keringat membasahi sekujur tubuh.  Yaaaah...., ternyata kampus itu di bangun di atas tanah kucuran KERINGAT rakyat.  Yah...lengkapnya kampus itu di bangun di atas tanah kucuran DARAH, AIR MATA dan KERINGAT RAKYAT  IX Mukim Tungkob (Masyarakat Kecamatan Darussalam/Baitussalam hari ini).

Lalu apa hubungannya dengan politik etis ?  Semua kita tahu Politik Etis adalah kebijakan yang jalankan oleh pemerintah Belanda di Hindia Belanda sebagai bentuk balas budi kepada rakyat pribumi.  Politik etis di gagas oleh beberapa politisi Belanda diantaranya yang terkenal adalah C.Th. van Deventer.  Para politisi dari kaum etis ini memperjuangkan Politk Etis ini sebagai bentuk kritik terhadap politik tanam paksa.

Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Politika yang meliputi:
  1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
  2. Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi
  3. Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan
Belajar dari Politik Etis yang dijalankan Pemerintah Belanda di Hindia Belanda Tempoe Doeloe,  saya pikir alangkah indahnya jika para petinggi dari dua Perguruan tinggi ternama di Darussalam yaitu Unsyian dan IAIN Ar-Raniry juga menjalankan ”politik etis” untuk ureung gampong seputar kampus.
Untuk tujuan ini saya mengusulkan tiga bentuk politik etis (trias Politika) yang perlu dijalankan yaitu :
  1. Pemberian kuota kelulusan kepada putra-putri kampung seputar kampus di kedua Perguruan Tinggi di lingkungan kampus Darussalam (UNSYIAH dan IAIN AR-Raniry);
  2. Pemberian beasiswa belajar kepada anak-anak kurang mampu dari gampong-gampong seputar kampus;
  3. Adanya program pemberdayaan masyarakat berkelanjutan di gampong-gampong seputar kampus. 
Saya sangat mengharapkan kehalusan dan ketajaman budi insan-insan kampus untuk menjalankan ”politik etis” ini kepada masyarakat seputar kampus.  Politik Etis ini adalah sebuah pilihan logis, karena melalui program ini disamping akan membangun hubungan timbal balik saling menguntungkan, juga merupakan wujud ungkapan terima kasih kepada rakyat wilayah IX Mukim Tungkob (masyarakat seputar kampus) yang telah bekerja keras membangun Kampus Darussalam pada saat awal-awal pembangunan kampus. Lebih dari sekedar itu,  ”Politik Etis” ini juga merupakan bentuk penghargaan kepada para syuhada, warga IX Mukim Tungkob yang telah syahid, diperangi oleh kaum kafir belanda. Mereka adalah pemilik sah tanah yang hari ini telah dijadikan lokasi pembangunan Kampus Darussalam.  Semoga dari kalangan insan kampus, dari komunitas terdidik ini, akan lahir ”kaum etis” golongan orang yang tahu membalas budi.    Semoga...Amiin ...ya Allah...Amiin ya Rabbal ’alamiin...Wallahu’alam.


Makna Kenduri Maulid dalam Konteks Masyarakat Aceh Masa Kini

Tradisi Kenduri Molod di Mukim Siem
Oleh: Dra. Sri Waryanti

Pendahuluan
Setiap bulan Rabiul Awal tiba sebagian kaum muslim di Indonesia, bahkan di dunia, mulai tampak sibuk. Pada bulan inilah kaum muslim memperingati dan merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Setiap daerah merayakannya dengan cara berbeda-beda menurut kebiasaan yang mereka laksanakan. Misalnya di Banten, banyak orang melakukan ziarah ke makam para sultan, antara lain Sultan Hasanuddin, secara bergiliran. Sebagian diantaranya berendam di kolam masjid untuk mendapatkan berkah. Ada juga di antara mereka yang sengaja mengambil air untuk dibawa pulang sebagai obat.

Sementara itu di Cirebon, banyak orang Islam berdatangan ke makam Sunan Gunung Jati, salah seorang Wali Sanga, di kawasan Jawa Barat dan Banten. Biasanya, di Kraton Kasepuhan diselenggarakan upacara Panjang Jimat , yakni upacara memandikan pusaka-pusaka Kraton peninggalan Sunan Gunung Jati. Banyak orang berebut untuk memperoleh air bekas cucian tersebut karena dipercaya membawa keberuntungan.

Di Cirebon, Yogyakarta, dan Surabaya perayaan Maulid dikenal dengan istilah Sekaten. Istilah ini berasal dari kata Shahadatain, yaitu pengakuan tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai utusan Allah. Kemeriahan serupa juga dapat dilihat di setiap negeri muslim sekarang ini, seperti di Mesir, Syria, Lebanon, Yordania, Palestina, Irak, Kuwait, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Sudan, Yaman, Iran, Malaysia, dan banyak negeri Islam lainnya.
Di kebanyakan negara Islam, hari itu merupakan hari libur nasional.

Di tanah air, dalam rangka perayaan hari Maulid, baik yang akbar maupun yang biasa-biasa saja, ada satu sesi yang tidak pernah tertinggal bahkan seolah menjadi syarat penting, yaitu pembacaan karya tulis Kitab al-Barzanji. Barzanji adalah karya tulis seni sastra yang isinya bertutur tentang kehidupan Muhammad SAW mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi Rasul. Karya ini juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad SAW serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.

Dalam catatan sejarah, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pertama kali diperkenalkan oleh seorang penguasa Dinasti Fatimiyah (909-117 M). Jauh sebelum al-Barzanji lahir dan menciptakan puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Langkah ini secara tidak langsung dimaksudkan sebagai sebuah penegasan kepada khalayak bahwa dinasti ini betul-betul keturunan Nabi Muhammad SAW.

Peringatan Maulid kemudian menjadi sebuah upacara yang kerap dilakukan umat Islam di berbagai belahan dunia. Hal itu terjadi setelah Abu Sa’id al-Kokburi, Gubernur Irbil, Irak mempopulerkannya pada masa pemerintahan Salahuddin al-Ayyubi (1138-1193 M). Waktu itu tujuannya untuk memperkokoh semangat keagamaan umat Islam umumnya, khususnya mental para tentara yang tengah bersiap menghadapi serangan tentara Nasrani dari Eropa pada episode Perang Salib yang terkenal itu.

Tulisan ini membahas tentang relevansi kenduri Maulid pada masyarakat Aceh dikaitkan dengan kondisi kekinian di Nanggroe Aceh Darussalam.

Kenduri Maulid Pada Masyarakat Aceh
Pelaksanaan kanduri Maulod (kenduri Maulid) pada masyarakat Aceh terkait erat dengan peringatan hari kelahiran Pang Ulee (penghulu alam) Nabi Muhammad SAW, utusan Allah SWT yang terakhir pembawa dan penyebar ajaran agama Islam. Kenduri ini sering pula disebut kanduri Pang Ulee.

Masyarakat Aceh sebagai penganut agama Islam melaksanakan kenduri maulid setiap bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir dan Jumadil Awal. Kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal disebut maulod awai (maulid awal) dimulai dari tanggal 12 Rabiul Awal sampai berakhir bulan Rabiul Awal. Sedangkan kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Akhir disebut maulod teungoh (maulid tengah) dimulai dari tanggal 1 bulan Rabiul Akhir sampai berakhirnya bulan. Selanjutnya, kenduri maulid pada bulan Jumadil Awal disebut maulod akhee (maulid akhir) dan dilaksanakan sepanjang bulan Jumadil Akhir.

Pelaksanaan kenduri maulid berdasarkan rentang tiga bulan di atas, mempunyai tujuan supaya warga masyarakat dapat melaksanakan kenduri secara keseluruhan dan merata. Maksudnya apabila pada bulan Rabiul Awal warga belum mampu melaksanakan kenduri, pada bulan Rabiul Akhir belum juga mampu, maka masih ada kesempatan pada bulan Jumadil awal. Umumnya seluruh masyarakat mengadakan kenduri Maulid hanya waktu pelaksanaannya yang berbeda-beda, tergantung pada kemampuan menyelenggarakan dari masyarakat.

Kenduri Maulid oleh masyarakat Aceh dianggap sebagai suatu tradisi. Hal itu didasarkan pada pemahaman bahwa Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari alam kebodohan ke alam berilmu pengetahuan.

Penyelenggaraan kenduri maulid dapat dilangsung-kan kapan saja asal tidak melewati batas bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir, dan Jumadil Awal, tepatnya mulai tanggal 12 Rabiul Awal sampai tanggal 30 Jumadil Awal. Selain itu waktu kenduri maulid ada yang menyelenggarakan pada siang hari dan ada pula yang menyelenggarakannya pada malam hari.

Bagi desa-desa yang menyelenggarakan kenduri pada siang hari mulai jam 12 siang hidangan telah siap untuk diantar ke meunasah atau mesjid. Demikian pula bagi yang menyelenggarakan kenduri di rumah, hidangan telah ditata rapi untuk para tamu. Pertandingan meudikee maulod (zikir marhaban atau zikir maulid) dimulai sejak pukul 9 pagi dan berhenti ketika Sembahyang dhuhur untuk kemudian dilanjutkan kembali.

Selanjutnya desa-desa yang menyelenggarakan kenduri pada malam hari hidangan dibawa ke meunasah atau mesjid setelah sembahyang Ashar atau menjelang maghrib, sedangkan lomba meudikee maulod dilangsungkan setelah sembahyang Isya.

Penyelenggaraan kenduri maulid umumnya dilangsungkan di meunasah atau mesjid. Panitia pelaksana kenduri mengundang penduduk dari desa-desa lain yang berdekatan atau desa tetangga dan ada juga yang mengundang semua desa dalam kemukimannya . Kondisi ini diperngaruhi oleh jumlah hidangan yang disediakan oleh warga desa.

Di samping itu ada juga yang melaksanakan kenduri di rumah saja atau secara pribadi disebut maulod kaoy (maulid nazar). Maulid ini diselenggarakan untuk melepas nazar yang menyangkut kehidupan pribadi atau keluarga disebabkan permohonan mereka kepada Allah SWT telah dikabulkan. Penyelenggaraan kenduri maulid ini sesuai dengan nazar yang dicetuskan sebelumnya. Apabila nazarnya ingin menyembelih seekor kerbau, maka pada saat kenduri akan disembelih hewan tersebut, demikian pula jika nazar ingin menyembelih seekor kambing.

Daging hewan yang dinazarkan setelah dimasak dan ditambah lauk-pauk lainnya akan dihidangkan kepada undangan. Besar atau kecilnya kenduri tergantung kepada kemampuan orang yang melaksanakan.

Pihak yang mengadakan kenduri, sebelumnya telah memberitahu kepada keuchik (kepala desa) dan teungku meunasah (imam desa). Apabila kendurinya besar akan dibentuk panitia yang berasal dari penduduk desa setempat. Penduduk dari luar desa tidak diundang, kecuali sanak saudara atau ahli famili pihak yang mengadakan kenduri serta
anak yatim yang berada di sekitarnya.

Hidangan yang menjadi tradisi keharusan dalam kenduri Maulid di meunasah dan di rumah berupa beuleukat kuah tuhee (nasi ketan dengan kuah), sebagai hidangan siang hari selain nasi dan lauk pauk. kuah tuhee lalu dimakan bersama ketan. Pada malam hari hidangan yang harus disediakan berupa beuleukat kuah peungat. Kuah peungat adalah santan dicampur dengan pisang raja dan nangka serta diberi gula secukupnya.

Seperti telah disebutkan di atas Kenduri maulid dapat dilaksanakan dalam 3 bulan dimulai dari bulan Rabiul awal, Rabiul Akhir, dan Jumadil Awal. Apabila kenduri telah dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal berarti pelaksanaan kenduri pada tahun bersangkutan telah dilaksanakan, tidak perlu diadakan lagi pada pada bulan Rabiul Akhir dan bulan Jumadil Awal.

Kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir dan Jumadil Awal mempunyai nilai yang sama tidak ada yang lebih tinggi atau rendah, hanya tergantung kepada kemampuan dan kesempatan warga desa.

Kenduri Maulid Pada Masyarakat Aceh Masa KiniDi zaman yang semakin maju ini perubahan berlangsung sangat cepat. Masyarakat tidak hanya menerima informasi dari kalangan internal di masyarakatnya, tetapi mereka juga menerima berbagai macam informasi dari masyarakat yang berasal dari luar lingkungan tempat tinggal mereka. Informasi tersebut dapat berupa informasi yang positif, tetapi juga informasi yang bersifat negatif.

Informasi yang bersifat positif tentunya tidak akan menimbulkan masalah bagi masyarakat. Bahkan informasi tersebut sangat menguntungkan bagi kemajuan sebuah masyarakat. Masalah akan timbul apabila informasi yang masuk ke dalam masyarakat adalah infornasi yang negatif. Tidak hanya pertentangan antar masyarakat akan timbul sebagai dampak masuknya informasi yang negatif, tetapi juga pudarnya beberapa nilai-nilai yang menjadi pedoman hidup bagi masyarakat tersebut.

Masyarakat Aceh pun tidak terlepas dari masuknya berbagai informasi. Apabila tidak dapat tersaring informasi yang negatif, maka dikhawatirkan akan merusak sendi-sendi nilai-nilai moral yang ada dan tertanam di dalam sanubari ureung (orang) Aceh, khususnya di kalangan generasi muda.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah membentengi diri dengan nilai-nilai keagamaan yang kuat. Di antara upaya tersebut adalah dengan cara memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW setiap tahunnya. Selain sebagai upaya mengenang hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, ritual mouled bagi ureung (orang) gampong dapat menjadi sarana silaturahmi dan hiburan. Dalam kenyataannya, dalam setiap maulid ada yang menyertakannya dengan dikee mouled, yaitu membaca syair secara berirama. Isi dikee mouled terutama tentang peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dan luapan gembira masyarakat Madinah yang menyambut kedatangan nabi. Isi lainnya tentang status Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa rakhmat dan penyelamat kemanusiaan. Sekarang baik di gampong-gampong maupun di kota lazim pula diramaikan dengan ceramah atau pidato keagamaan (dakwah Islam).

Kenduri Maulid memang khas sebagai adat dan budaya Aceh. Tentunya, ia sangat relevan dengan kehidupan masyarakat di daerah ini, yang telah pula memproklamirkan diri sebagai daerah dengan pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai sebuah daerah yang bersyariat Islam, maka semua aspek kehidupan diarahkan kepada nilai-nilai ajaran Islam. Sikap, perilaku, tatakrama didasarkan kepada syariat Islam.

Gempuran nilai-nilai luar yang tidak sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat akan terus mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Kehidupan Nabi Muhammad SAW, sifat-sifat dan keteladanan disertai dengan nilai-nilai yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadist merupakan senjata yang ampuh untuk menangkal semua pengaruh yang bersifat negatif dari dunia luar masyarakat Aceh.

Peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW yang disimbolkan dalam bentuk kenduri Maulid telah mentradisi dilaksanakan setiap tahun. Seperti orang memperingati hari ulang tahun setiap tahun atau merayakan “tahun baru” untuk memperingati pergantian tahun Masehi pada tanggal 1 Januari. Peringatan Maulid yang dilaksanakan setiap tahun dikandung maksud sebagai sebuah upaya yang terus-menerus untuk mengingatkan kepada seluruh anggota masyarakat akan jati diri mereka sebagai umat Islam dan ureung (orang) Aceh.

Pada masa yang akan datang tantangan pergeseran nilai-nilai budaya sangatlah berat. Kehidupan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan adat-istiadat Aceh makin meluas ke berbagai belahan wilayah di Aceh. Dunia telah menjadi gampong yang besar. Batas-batas antar gampong ini tidak tampak secara nyata. Peristiwa atau aktivitas dari dunia lain dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat lain.

Penutup
Berdasarkan uraian di atas tampak begitu penting dan relevannya tradisi bermaulid dalam masyarakat, maka tradisi itu perlu dilestarikan dengan memperingatinya setiap tahun berkesinambungan. Maulid mempunyai makna yang dalam, baik secara spritual maupun sosial bagi kehidupan bersama. Pemerintah, baik di tingkat provinsi sampai dengan pemerintah gampong hendaknya memelihara khasanah kekayaan budaya ini. Tidak hanya sebagai salah satu cara mensyiarkan ajaran agama Islam, tetapi juga sebagai wadah pelaksanaan keistimewaan Aceh yang meliputi bidang agama, pendidikan, adat-istiadat, dan peran ulama dalam kebijakan pemerintahan. Hindarilah sikap merugikan di masa yang akan datang. Jangan sampai generasi muda di masa yang akan datang lupa akan jati dirinya sebagai ureung Aceh. Sebuah hadih maja Aceh selalu memperingatkan kepada kita untuk tetap memelihara adat istiadat dan budaya Aceh seperti di bawah ini,
Matee Aneuk Meupat Jeurat
Gadoh Adat pat Tamita
Artinya:
Anak mati tahu kuburannya
Hilang adat dimana harus dicari.

Penulis:
Dra.Sri Waryanti adalah Tenaga Teknis (peneliti) pada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh

Jadwal Shalat