seorang bocah penggembala dari kampung seputar kampus |
Kembali ke materi gugatan saya kepada sang teman, sebenarnya saya cuma kurang sependapat dengan anggapan bahwa Kampus Darussalam dibangun atas tanah bekas tanah hak erfpacht Belanda. Meski harus diakui anggapan tersebut tidak juga sepenuhnya salah. Persoalannya terletak pada ketidakterjangkaunya kita dalam melihat sejarah secara utuh. Padat kata, dalam kasus ini ada bagian sejarah yang terpenggal.
Pada awal pendudukan belanda di Aceh, sebenarnya belanda hanya menguasai secara efektif kawasan perkotaan, sementara kawasan pinggiran tetap dalam kontrol penjuang Aceh. Di antara kawasan pinggiran kota yang masih tetap dalam kontrol pejuang Aceh adalah wilayah IX Mukim Tungkop Sagoe XXVI Mukim. Dalam kawasan ini termasuk wilayah yang hari ini menjadi kampus Darussalam. Ringkasnya kawasan yang hari ini dibangun kampus Darussalam adalah kawasan hunian penduduk wilayah IX Mukim Tungkob yang kongkritnya merupakan bagian dari beberapa gampong seperti gampong Barabung, Limpok, Tanjong Seulamat, Blang Krueng dan Rukoh.
Namun pada saat Teuku Umar membelot ke pihak kolonial pada tahun 1893, atas saran Teuku Umar, Belanda merobah taktik perang dengan rakyat Aceh. Pasca pembelotan Umar itu Kolonial Belanda banyak mendapatkan kemenangan dalam berbagai front pertempuran di Aceh. Karena keberhasilan-keberhasilan itu, maka pada tanggal 1 Januari 1894, Gubernur Van Teijn menganugerahkan gelar kehormatan ”Johan Pahlawan” kepada Teuku Umar dan diizinkan pula untuk membentuk legiun pasukan sendiri yang berjumlah 250 tentara dengan senjata lengkap.
Rakyat yang berdiam di wilayah IX Mukim Tungkob merupakan salah satu wilayah yang paling menderita akibat perang itu. Terlebih lagi masyarakat yang mendiami kawasan lokasi pembangunan kampus sekarang ini, karena kawasan ini dapat dikatakan sebagai gerbang menuju wilayah IX Mukim Tungkob. Rumah-rumah di sini habis dibakar, dan penduduknya ditembak, diperangi oleh serdadu belanda, sementara sebagian rakyat lari dan mengungsi keberbagai wilayah lain seluruh Aceh, bahkan sampai keluar Aceh. Tanah yang ditinggalkan oleh masyarakat ini, kemudian dikuasai oleh Pemerintah kolonial Belanda. Gubernur Jendral Pemerintah Kolonial Belanda kemudian menjadikan kawasan ini sebagai tanah perkebunan dan pengelolaannya diserahkan kepada Perusahaan Swasta dengan status hak erfpacht.
Ketika kita menyibak lembar sejarah ini lebih utuh, maka menurut saya akan lebih tepat bila kita sebutkan bahwa KAMPUS DARUSSALAM dibangun di atas tanah DARAH dan AIR MATA rakyat Aceh. Sebagai penegasan saya sebutkan sekali lagi bahwa KAMPUS DARUSSALAM dibangun di atas tanah DARAH dan AIR mata rakyat Wilayah IX Mukim Tungkob, bukan di atas tanah bekas Hak Erfpacht Belanda. Logisnya, sederhananya, boh panee tanoh yah jih inoe...!!!
Pasca pemberontakan DI/TII di Aceh, Prof. Ali Hasjmy yang menjadi gubernur saat itu, bertekad membangun Aceh melalui pembangunan bidang pendidikan. Untuk mewujudkan tekad itu, maka pemerintah Provinsi Aceh di bawah kepemimpinan beliau mencanangkan pembangunan Kota Pelajar Mahasiswa, yang akan menjadi pusat pendidikan di Aceh. Lokasi yang dipilih sebagai kampus adalah di tanah darah dan air mata tadi atau yang oleh teman saya disebutkan ”bekas tanah hak erfacht Belanda”. Di lokasi ini awalnya direncanakan menjadi kampus 4 perguruan tinggi, masing-masing Universitas Syiah Kuala, IAIN Ar-Raniry, Dayah Manyang Tgk Chik Pante Kulu dan APDN Aceh. Pembangunan Kota Pelajar Mahasiswa (KOPELMA) Darussalam ini ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Ekonomi pada tanggal 29 Mei 1959, dan peristiwa bersejarah ini diperingati sebagai hari Pendidikan Daerah Aceh.
Pembangunan Kampus Darussalam pada awalnya juga melibatkan masyarakat sekitarnya. Setiap hari masyarakat yang mendiami kawasan IX Mukim Tungkob (kec Darussalam/Baitussalam sekarang) ikut berpartisipasi bergotong royong membersihkan lahan yang digunakan sebagai Kampus Darussalam. Rakyat kawasan itu bekerja keras menggali Pangkal Batang kelapa (KUH UTOM UE), meratakan tanah, menimbun parit dan rawa-rawa. Tentunya masyarakat melakukannya dengan suka rela, dengan senang hati, meski dengan kucuran keringat membasahi sekujur tubuh. Yaaaah...., ternyata kampus itu di bangun di atas tanah kucuran KERINGAT rakyat. Yah...lengkapnya kampus itu di bangun di atas tanah kucuran DARAH, AIR MATA dan KERINGAT RAKYAT IX Mukim Tungkob (Masyarakat Kecamatan Darussalam/Baitussalam hari ini).
Lalu apa hubungannya dengan politik etis ? Semua kita tahu Politik Etis adalah kebijakan yang jalankan oleh pemerintah Belanda di Hindia Belanda sebagai bentuk balas budi kepada rakyat pribumi. Politik etis di gagas oleh beberapa politisi Belanda diantaranya yang terkenal adalah C.Th. van Deventer. Para politisi dari kaum etis ini memperjuangkan Politk Etis ini sebagai bentuk kritik terhadap politik tanam paksa.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Politika yang meliputi:
- Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
- Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi
- Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan
Untuk tujuan ini saya mengusulkan tiga bentuk politik etis (trias Politika) yang perlu dijalankan yaitu :
- Pemberian kuota kelulusan kepada putra-putri kampung seputar kampus di kedua Perguruan Tinggi di lingkungan kampus Darussalam (UNSYIAH dan IAIN AR-Raniry);
- Pemberian beasiswa belajar kepada anak-anak kurang mampu dari gampong-gampong seputar kampus;
- Adanya program pemberdayaan masyarakat berkelanjutan di gampong-gampong seputar kampus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar