OPINI Muntaha Afandi - Kompasiana
Kita perlu menggali kembali hikmah ibadah kurban agar tidak terjebak dalam
amalan lahiriah an sich karena dengan mengenali hikmah suatu ibadah kita dapat
mengenali ”… Pengalaman keruhanian sebagai inti rasa keagamaan atau
religiusitas.” Hal ini, bagi kaum sufi, memiliki tingkat keabsahan yang paling
tinggi.
Dalam Islam, kurban[1] tidak berawal dari mitos, sebagaimana pengorbanan
agama-agama Kuno–Yunani, Mesir, dan India atau ’agama Maya’ di
Meksiko–terhadap para Dewa/ Tuhan dengan cara meninggalkan cabang bayi di atas
bukit atau melemparkan gadis suci ke dalam sungai ”keramat.” Dalam Islam,
kurban adalah wujud kepasrahan total, pengabdian dan kesalehan hamba. Bagi yang
memahami simbol Langit, kisah Ibrahim yang hendak mengorbankan anaknya adalah,
selain kepasrahan dan pengabdian total, juga bentuk kritik Tuhan terhadap
’mitos bumi.’
Yang sering terlupakan dalam ibadah kurban adalah bahwa ada dua dimensi yang
harus berjalan bersamaan: ilahiyyah dan insaniyyah—atau hablum minaLlah
(hubungan vertikal) dan hablum minannas (hubungan horizontal). Tegasnya, selain
kepasrahan, kurban juga harus membawa manfaat bagi manusia (sosial).
Bila kita menilik ke belakang, kurban sudah ada sejak sepasang suami-istri
pertama di bumi. Ia muncul dalam suasana persaingan antara Qabil dan Habil.
Kepada kedua anaknya, Adam memaklumkan berkurban.
Bagi yang diterima, ia berhak mempersunting
Iqlima, saudari kandung Qabil. Merasa kalah dalam ’kompetisi,’ dengan mata
menyala bagai api, Qabil mengintimidasi, ”Saya akan membunuhmu.” Dan dengan
nada teduh Habil mengingatkan, ”Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang
yang bertaqwa” (Q.S. Al-Maidah: 27).
Pada ruang yang tak sama dan
waktu yang berbeda Alquran merekam peristiwa lain: seorang ayah bermimpi selama
tiga malam berturut-turut agar menyembelih anaknya. Dengan suara berat, ia
teguhkan hati menyampaikan ”mimpi”-nya pada si buah hati. Tak disangka, anaknya
malah ’menantang’ sang ayah, ”Saya siap; satajiduni insy? Allah-u min al
sh?bir?n.” (Q.S. Ash Shoffaat: 102).
Ibadah kurban beda dengan mitos
(baca: agama) kuno. Ia adalah pengejawantahan dari pengabdian total dan
kesalehan hamba pada ”Langit.” Kurban Qabil tak diterima karena tanpa didasari
ketakwaan pada Tuhan (=tanpa hubungan vertikal). Berbeda dengan Habil: ia
berkurban dengan ketakwaan dan kepasrahan total, dan mengurbankan domba yang
baik (=hubungan vertikal dan horizontal).
Bagi yang memahami simbol
”Langit,” kisah Ibrahim yang hendak mengorbankan anaknya, adalah bentuk kritik
Tuhan terhadap ’mitos bumi.’ Tuhan sama sekali tidak ’serius’ memerintah
Ibrahim untuk menyembelih anaknya. Melalui ”monolog” itu Allah mengkritik
tradisi dan sosio-kultur masyarakat saat itu yang mengorbankan nyawa manusia
untuk sesembahan mereka. Tuhan tidak ’serius’ meminta Ibrahim mengurbankan
anaknya. Tuhan hanya menguji kepasrahan Ibrahim terhadapnya dengan mengorbankan
anak yang sejak kecil ia tinggalkan di tanah tandus: ya Ibrahim-u lam yakun al
murad-u dzab-ha al waladi, wa inna-ma al murad-u an tarudd-a qalbak-a ilaina. Falamm-a
radad-ta qalba-ka bikulliyatih-i ilaina, radad-na walada-ka ilai-ka.[2]
Dengan kritik itu pula, sekaligus
Tuhan mengajak Ibrahim untuk membumikan ”pengorbanan” yang humanis; sebuah
pengorbanan yang tak hanya berhubungan dengan Tuhan tapi juga membawa manfaat
bagi manusia—bukan malah membinasan manusia. Nyawa tidak boleh dikorbankan
meskipun terhadap ”tuhan.” Kedatangan malaikat membawa seekor kambing pada
Ibrahim sebagai ganti anaknya,[3] jelas menegasikan bentuk pengorbanan yang
sudah mengakar saat itu.
Dari pesan Allah pada Ibrahim
yang saya kutip di atas, jelas Ia tidak pernah meminta daging atau darah tapi
’pra-syarat’-nya, yaitu ketakwaan dan kepasrahan. Lihat pesan Langit: Falamm-a
radad-ta qalba-ka ilaina, radad-na walada-ka ilai-ka. Pesan ini sudah tak samar
lagi bahwa ketika seseorang ikhlas memasrahkan hati (=hewan kurban) pada-Nya,
maka yang ia terima adalah ’hati’ itu, bukan daging dan darahnya.
Dalam konteks kekinian, Allah tak
pernah meminta dikasih ’sesajen’ daging atau darah hewan yang disembelih tapi
ketakwaan, keikhlasan, dan kepasrahan orang yang berkurban[4], seperti—sekali
lagi saya mengutip nama—Ibrahim mengorbankan anaknya. Sedangkan dagingnya
dibagikan secara adil pada yang berhak: sepertiga untuk yang berkurban,
sepertiga lagi untuk kerabat dan sahabat walaupun orang kaya, dan sisanya untuk
fakir miskin[5]. Inilah sisi sosial ibadah kurban: semua dapat merasakan tanpa
membedakan status sosial. Sehingga mereka dapat merasakan kesempurnaan hari
raya Idul Adha dan Tasyriq dalam kesetaraan dan, bagi fakir miskin, sesekali
dapat menikmati ’makanan orang kaya.’
Selain itu, ibadah kurban juga
memberi rezeki tahunan para peternak dan/ atau penggembala domba. Misalnya,
bila biasanya hanya 3—4 ekor domba yang terjual perbulan, pada Idul Adha bisa
tiga sampai empat kali lipat. Dengan demikian, orang yang berkurban membantu
membantu perekonomian peternak domba. Dengan kata lain, si kaya, peternak, dan
orang miskin, semua turut berperan dalam ibadah kurban.
Dalam skala yang lebih besar,
ibadah kurban dapat memberikan masukan kas negara tak bisa dibilang sedikit. Kita
ambil contoh, berapa juta ekor domba yang disembelih di Arab Saudi? Bila
Indonesia mampu mengekspor domba atau sapi ke sana tentu ini dapat memberikan
masukan bagi kas negara yang tak bisa dibilang sedikit. Siapkah? Sayangnya,
kita orang-orang rapuh. Jangankan ekspor domba, beras pun masih mengimpor
padahal sawah di negeri ini tak bisa dibilang sedikit. Ironis, bukan? Kenapa?
Terhadap pertanyaan terakhir saya hanya mau berkomentar: terkadang kita
terpaksa ’tunduk’ pada ’misteri’?
*** Maka dari itu, kita perlu
menggali kembali hikmah ibadah kurban agar tidak terjebak dalam amalan lahiriah
an sich karena dengan menggali hikmah suatu ibadah kita dapat mengenali,
mengutip Nurcholis Madjid, ”Pengalaman keruhanian sebagai inti rasa keagamaan
atau religiusitas.” Hal ini, bagi kaum sufi, memiliki tingkat keabsahan yang
paling tinggi. Sebab, hikmah ibarat madu; kita tak bisa merasakan manisnya madu
sebelum mencicipinya. Kita pun tak dapat merasakan ’nikmatnya’ beribadah (dalam
konteks ini: ibadah kurban) tanpa mengenali hikmah ibadah yang kita kerjakan. Kita
perlu menggali kembali hikmah ibadah kurban karena ia rumusan yang ringkas dari
ikhtiar menjalin solidaritas sosial dan tenggang rasa dalam bangsa yang
multi-kultur. Dengan kata lain, kita perlu beribadah kurban untuk mengukuhkan,
bahwa disadari atau tidak, mau tak mau, kita hidup bermasyarakat. Kita
beribadah kurban, kita pun mengukuhkan solidaritas sosial. Dengan demikian,
Islam sebagai rahmat lil alamin tak sebatas retorika. []
Dipublikasikan pertama kali di,
Elwaha, Nopember 2009
Dimuat ulang:
http://kedungwungu.com/index.php?option=com_content&view=article&id=31%3Amenggali-hikmah-ibadah-qurban&catid=7%3Afikih-kontemporer&Itemid=2
*) Mahasiswa International
Islamic Call College, pemimpin umum jurnal Pemikiran dan Peradaban Mediaka, dan
koordinator Lajnah Ta’lif Wan Narys PCI NU Libya. Lebih lengkap tentang dan
pemikiran penulis, kunjungi www.achmadmuntaha.co.cc dan www.kedungwungu.com
**) fragmen ini hanya gagasan, pembaca bisa setuju, boleh menolak. Kita
bisa mendiskusikannya di blog saya.
[1] Dalam khazanah hukum Islam tidak ditemukan kata ”kurban,” tapi ”al
udhiyah.” Secara leksikal, derivasi ”qurban” dari
qoruba-yaqrubu-qurban-waqurb?nan-waqirb?nan, artinya dekat. Lihat: Ibn Mandzur.
1999. Lisan Al ‘Arab. Cetakan-3. Baerut-Dar Ehia Al Tourath Al Arabi. Juz 11.
Hal. 86. Mungkin karena tujuan penyembelihan hewan (al udhiyah) untuk
mendekatkan diri pada Allah, maka term ”qurban” lebih akrab dari pada ”al
udhiyah” yang merupakan istilah dalam khazanah hukum Islam, fikih.
[2] Al Qurthubi, Abi Abdillah Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Ai Bakr. 2006. Al Jami’-u Al Qur’an-i Al Karim-i: wa Al
Mubayyin-u lima
tadlammana-hu min-a al sunnat-i wa ?yi Al Furq?n-i. Cetakan-Pertama. Baerut: Al
Resalah Publishers. Juz XVIII. Hal. 71
[3] Ulama masih tarik-ulur anak
yang akan disembelih. Mayoritas riwayat yang mengatakan ia adalah Ishaq a.s.,
diantara perawi ini adalah Al ‘Abbas Ibn ‘Abdul Muthallib dan anaknya, ‘Abdullah.
Sedangkan menurut Abu Hurairah r.a. anak yang akan dijadikan kurban ialah
Isma’il a.s. Ibid hal. 61-65.
[4] Q.S Al H?jj: 37.
[5] Al Zuhaili, Wahbah. 1997.
Fiqh-u Al Islam Wa Adillatuh-u. Cetakan-4. Damascus: Darl El FIkr. Juz-IV. Hal.
2739—2740.