Berlakunya Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh sebenarnya telah memberikan angin segar terhadap
eksistensi masyarakat Adat di Aceh. Undang-undang ini memberikan harapan
kepada masyarakat adat untuk merebut kembali kewenangannya dari
pemerintahan yang sentralistik.
Menurut Imeum Mukim Siem, Asnawi, undang-undang tersebut yang lebih akrab disebut sebagai UUPA, secara ekplisit mengakui kembali keberadaan lembaga adat di Aceh.“Lembaga adat diberikan kewenangan memerintahkan pembinaan kehidupan adat di Aceh. Hal ini bisa dilihat pada ketentuan pasal 88 dan pasal 99 UUPA,” paparnya, saat ditemui beberapa waktu lalu.
Namun, ia menyadari dalam implementasi di lapangan, pengembangan masyarakat adat dan pembinaan kehidupan adat di Aceh tidak semulus yang dibayangkan. Salah satunya tidak ada political will dari Pemerintah Aceh untuk memberdayakan dan membina kehidupan adat di Tanah Serambi ini.
“Menghadapi kondisi ini, masyarakat adat tidak boleh tinggal diam, tidak bisa terus menerus menunggu. Menunggu sesuatu yang tidak pasti tidak ada gunanya, lagee tapreh boh ara hanyot. Masyarakat adat di Aceh mesti berinisiatif untuk bangkit guna merebut kembali hak dan kewenangannya,” tegas Asnawi.
Untuk merebut kembali hak dan kewenangan, ada beberapa hal yang telah dilakukan oleh masyarakat adat di Aceh. Antara lain memperkuat jaringan masyarakat adat di seluruh Aceh, memperkuat kelembagaan adat, meningkatkan kapasitas tokoh adat atau pemangku adat.
Adapun langkah strategis yang sangat penting adalah mengadvokasi pengambil kebijakan di Aceh dengan harapan akan melahirkan regulasi-regulasi yang memiliki keberpihakan kepada masyarakat adat.
Untuk mencapai semua mimpi-mimpi itu, masyarakat adat dan lembaga adat di Aceh mesti melakukan aksi. Di antara aksi itu, menurut Asnawi, adalah membangun dan memperkuat jaringan masyarakat adat yang ada di seluruh Aceh.
Keberadaan jaringan masyarakat adat ini dipandang penting karena dengan kuatnya masyarakat adat, diharapkan teriakan perjuangan masyarakat di Aceh untuk merebut hak dan kewengangannya akan semakin sering dan nyaring terdengar.
“Dengan adanya jaringan masyarakat adat, diharapkan juga akan menjadi wadah bagi lembaga adat dan pemangku adat untuk saling bertukar pengalaman bahkan saling mendukung dalam penguatan lembaga adat di masyarakat,” paparnya.
Di samping itu, jaringan masyarakat adat Aceh bersama dengan beberapa LSM yang peduli terhadap kehidupan masyarakat adat harus berupaya mengadvokasi Pemerintah Aceh maupun kabupaten/kota di Aceh untuk membuat regulasi-regulasi yang memiliki keberpihakan terhadap kehidupan masyarakat adat, misalnya pembuatan Qanun Pemerintah Mukim di seluruh Aceh. Masyarakat adat Aceh saat ini juga terus berjuang untuk mendapatkan kembali kedaulatan atas sumber daya alam sebagaimana dahulu telah ditentukan dalam aturan-aturan adat di Aceh.
KONTRIBUSI MASYARAKAT
Menyinggung soal pergerakan dan kemakmuran, kontribusi selalu dipertanyakan. Selama ini, banyak orang hanya menanyakan kontribusi pemerintah atau lembaga tertentu untuk kemakmuran rakyat. Namun, tatkala disinggung kontribusi masyarakat, banyak yang menjawab tendensius.
Tidak demikian dengan Imum Mukim Siem. Ia menyebutkan dalam sejarahnya, masyarakat adat telah memberikan konstribusi sangat berarti bagi mewujudkan keamanan, ketertiban, ketentraman, kerukunan, dan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh. Hanya saja, keberadaan masyarakat adat Aceh sempat tergusur bahkan terkubur ketika Pemerintah Pusat berusaha untuk menyeragamkan tata Pemerintahan Desa di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
“Pada saat itu lembaga-lembaga adat yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat banyak yang kehilangan hak dan peranannya,” ungkap Asnawi.
Hari ini, ketika kesempatan untuk kembali berperan telah terbuka dengan lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, masyarakat adat Aceh diharapkan kembali mengumpul kekuatan agar dapat sama-sama berperan dan memberi kontribusinya untuk membangun Aceh dalam menciptakan keamanan, ketertiban, ketentraman, kerukunan, dan kesejahteraan.
Tokoh-tokoh adat dengan lembaga-lembaga adatnya sudah mulai terlihat makin berkiprah dalam membangun masyarakat Aceh sesuai dengan bidang dan sektornya masing-masing. Untuk itu, masyarakat adat pun tidak boleh hanya menunggu diam, tetapi turut serta melakukan gerakan.[Rusli; RN]
Dimuat di Buletin Tuhoe Edisi XIV, Desember 2011
Menurut Imeum Mukim Siem, Asnawi, undang-undang tersebut yang lebih akrab disebut sebagai UUPA, secara ekplisit mengakui kembali keberadaan lembaga adat di Aceh.“Lembaga adat diberikan kewenangan memerintahkan pembinaan kehidupan adat di Aceh. Hal ini bisa dilihat pada ketentuan pasal 88 dan pasal 99 UUPA,” paparnya, saat ditemui beberapa waktu lalu.
Namun, ia menyadari dalam implementasi di lapangan, pengembangan masyarakat adat dan pembinaan kehidupan adat di Aceh tidak semulus yang dibayangkan. Salah satunya tidak ada political will dari Pemerintah Aceh untuk memberdayakan dan membina kehidupan adat di Tanah Serambi ini.
“Menghadapi kondisi ini, masyarakat adat tidak boleh tinggal diam, tidak bisa terus menerus menunggu. Menunggu sesuatu yang tidak pasti tidak ada gunanya, lagee tapreh boh ara hanyot. Masyarakat adat di Aceh mesti berinisiatif untuk bangkit guna merebut kembali hak dan kewenangannya,” tegas Asnawi.
Untuk merebut kembali hak dan kewenangan, ada beberapa hal yang telah dilakukan oleh masyarakat adat di Aceh. Antara lain memperkuat jaringan masyarakat adat di seluruh Aceh, memperkuat kelembagaan adat, meningkatkan kapasitas tokoh adat atau pemangku adat.
Adapun langkah strategis yang sangat penting adalah mengadvokasi pengambil kebijakan di Aceh dengan harapan akan melahirkan regulasi-regulasi yang memiliki keberpihakan kepada masyarakat adat.
Untuk mencapai semua mimpi-mimpi itu, masyarakat adat dan lembaga adat di Aceh mesti melakukan aksi. Di antara aksi itu, menurut Asnawi, adalah membangun dan memperkuat jaringan masyarakat adat yang ada di seluruh Aceh.
Keberadaan jaringan masyarakat adat ini dipandang penting karena dengan kuatnya masyarakat adat, diharapkan teriakan perjuangan masyarakat di Aceh untuk merebut hak dan kewengangannya akan semakin sering dan nyaring terdengar.
“Dengan adanya jaringan masyarakat adat, diharapkan juga akan menjadi wadah bagi lembaga adat dan pemangku adat untuk saling bertukar pengalaman bahkan saling mendukung dalam penguatan lembaga adat di masyarakat,” paparnya.
Di samping itu, jaringan masyarakat adat Aceh bersama dengan beberapa LSM yang peduli terhadap kehidupan masyarakat adat harus berupaya mengadvokasi Pemerintah Aceh maupun kabupaten/kota di Aceh untuk membuat regulasi-regulasi yang memiliki keberpihakan terhadap kehidupan masyarakat adat, misalnya pembuatan Qanun Pemerintah Mukim di seluruh Aceh. Masyarakat adat Aceh saat ini juga terus berjuang untuk mendapatkan kembali kedaulatan atas sumber daya alam sebagaimana dahulu telah ditentukan dalam aturan-aturan adat di Aceh.
KONTRIBUSI MASYARAKAT
Menyinggung soal pergerakan dan kemakmuran, kontribusi selalu dipertanyakan. Selama ini, banyak orang hanya menanyakan kontribusi pemerintah atau lembaga tertentu untuk kemakmuran rakyat. Namun, tatkala disinggung kontribusi masyarakat, banyak yang menjawab tendensius.
Tidak demikian dengan Imum Mukim Siem. Ia menyebutkan dalam sejarahnya, masyarakat adat telah memberikan konstribusi sangat berarti bagi mewujudkan keamanan, ketertiban, ketentraman, kerukunan, dan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh. Hanya saja, keberadaan masyarakat adat Aceh sempat tergusur bahkan terkubur ketika Pemerintah Pusat berusaha untuk menyeragamkan tata Pemerintahan Desa di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
“Pada saat itu lembaga-lembaga adat yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat banyak yang kehilangan hak dan peranannya,” ungkap Asnawi.
Hari ini, ketika kesempatan untuk kembali berperan telah terbuka dengan lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, masyarakat adat Aceh diharapkan kembali mengumpul kekuatan agar dapat sama-sama berperan dan memberi kontribusinya untuk membangun Aceh dalam menciptakan keamanan, ketertiban, ketentraman, kerukunan, dan kesejahteraan.
Tokoh-tokoh adat dengan lembaga-lembaga adatnya sudah mulai terlihat makin berkiprah dalam membangun masyarakat Aceh sesuai dengan bidang dan sektornya masing-masing. Untuk itu, masyarakat adat pun tidak boleh hanya menunggu diam, tetapi turut serta melakukan gerakan.[Rusli; RN]
Dimuat di Buletin Tuhoe Edisi XIV, Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar