TM ZOEL ~ BISNIS ACEHSelasa, 02 April 2013 21:59 WIBLink:http://www.bisnisaceh.com/umum/rtrw-aceh-langgar-hak-konstitusi-mukim/index.php
(sumber: Bisnis Aceh)
BANDA
ACEH - Mukim sebagai satu kesatuan wilayah di Aceh sama sekali tidak
dilibatkan dalam proses pembahasan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Aceh.
Juru bicara Majelis Duek Pakat Mukim Aceh Besar (MDPM-AB), Asnawi Zainun menyesalkan sikap DPR Aceh dan Pemerintah Aceh yang tidak melibatkan para Mukim sebagai salah satu pemangku kepentingan.
"Sudah tidak dilibatkan, draft dokumen RTRW Aceh saja tidak pernah kami ketahui seperti apa bentuknya," katanya kepada Bisnis Aceh hari ini, Selasa.
Ia menjelaskan, RTRW Aceh adalah produk kebijakan strategis daerah, yang disusun dan direncanakan untuk periodeisasi 20 tahun. "Seharusnya, pengakuan hak atas wilayah kelola Mukim harus dimasukkan dalam RTRW Aceh, dan dapat dijabarkan dalam RTRW kabupaten dan kota," ujarnya.
Untuk itu, katanya, pihaknya siap untuk berdialog dengan semua pihak untuk merumuskan konsep wilayah kelola mukim dalam RTRW Aceh. "Kami siap untuk mendiskusikan konsep kelola Mukim dalam rumusan RTRW Aceh," tukasnya.
Ia menyebutkan, seharusnya RTRW Aceh memberikan pengakuan terhadap hak kelola Mukim, yang meliputi hak kepemilikan, hak akses dan pemanfaatan, dan hak pengaturan serta pengelolaan. "Berdasarkan hak dan hukum formal, Mukim memiliki kewenangan dalam mengurus sumber-sumber pendapatan secara kewilayahan," paparnya.
Ia menerangkan, pengelolaan wilayah mukim diatur dengan aturan adat mukim setempat dibawah koordinasi Imeum Mukim. "Kiasan seperti hak buya lam krueng, hak rimung bak bineh rimba," ungkapnya.
Selain itu, lanjutnya, hak kelola mukim kawasan hutan adalah sejauh 'si uro jak wo'. "Dalam pelaksanaan teknisnya pada setiap kawasan kelola mukim dilakukan oleh lembaga adat di mukim setempat," terangnya.
Dilanjutkannya, kawasan Peukan atau Pasar Rakyat dalam wilayah mukim dikelola oleh haria peukan. Kawasan laot dikelola oleh Panglima Laot. "Masyarakat mukim harus diberi akses dan ruang pemanfaatan sebesar-besarnya atas Wilayah Mukim" tegasnya.
Oleh karena itu, tandasnya, masyarakat Mukim harus diberi kewenangan untuk menyatakan boleh atau tidak atas penggunaan wilayah kelola mukim oleh pihak luar mukim. "Tidak diakuinya hak Mukim dalam RTRW Aceh adalah bentuk pelanggaran konstitusi," tandasnya.
Karenanya, harap Asnawi, RTRW Aceh yang saat ini dalam proses finalisasi tidak memunculkan konflik berbasis ruang nantinya. " RTRW seharusnya mensejahterakan masyarakat dan menyelamatkan keberlanjutan peradaban Aceh," pungkasnya.
Juru bicara Majelis Duek Pakat Mukim Aceh Besar (MDPM-AB), Asnawi Zainun menyesalkan sikap DPR Aceh dan Pemerintah Aceh yang tidak melibatkan para Mukim sebagai salah satu pemangku kepentingan.
"Sudah tidak dilibatkan, draft dokumen RTRW Aceh saja tidak pernah kami ketahui seperti apa bentuknya," katanya kepada Bisnis Aceh hari ini, Selasa.
Ia menjelaskan, RTRW Aceh adalah produk kebijakan strategis daerah, yang disusun dan direncanakan untuk periodeisasi 20 tahun. "Seharusnya, pengakuan hak atas wilayah kelola Mukim harus dimasukkan dalam RTRW Aceh, dan dapat dijabarkan dalam RTRW kabupaten dan kota," ujarnya.
Untuk itu, katanya, pihaknya siap untuk berdialog dengan semua pihak untuk merumuskan konsep wilayah kelola mukim dalam RTRW Aceh. "Kami siap untuk mendiskusikan konsep kelola Mukim dalam rumusan RTRW Aceh," tukasnya.
Ia menyebutkan, seharusnya RTRW Aceh memberikan pengakuan terhadap hak kelola Mukim, yang meliputi hak kepemilikan, hak akses dan pemanfaatan, dan hak pengaturan serta pengelolaan. "Berdasarkan hak dan hukum formal, Mukim memiliki kewenangan dalam mengurus sumber-sumber pendapatan secara kewilayahan," paparnya.
Ia menerangkan, pengelolaan wilayah mukim diatur dengan aturan adat mukim setempat dibawah koordinasi Imeum Mukim. "Kiasan seperti hak buya lam krueng, hak rimung bak bineh rimba," ungkapnya.
Selain itu, lanjutnya, hak kelola mukim kawasan hutan adalah sejauh 'si uro jak wo'. "Dalam pelaksanaan teknisnya pada setiap kawasan kelola mukim dilakukan oleh lembaga adat di mukim setempat," terangnya.
Dilanjutkannya, kawasan Peukan atau Pasar Rakyat dalam wilayah mukim dikelola oleh haria peukan. Kawasan laot dikelola oleh Panglima Laot. "Masyarakat mukim harus diberi akses dan ruang pemanfaatan sebesar-besarnya atas Wilayah Mukim" tegasnya.
Oleh karena itu, tandasnya, masyarakat Mukim harus diberi kewenangan untuk menyatakan boleh atau tidak atas penggunaan wilayah kelola mukim oleh pihak luar mukim. "Tidak diakuinya hak Mukim dalam RTRW Aceh adalah bentuk pelanggaran konstitusi," tandasnya.
Karenanya, harap Asnawi, RTRW Aceh yang saat ini dalam proses finalisasi tidak memunculkan konflik berbasis ruang nantinya. " RTRW seharusnya mensejahterakan masyarakat dan menyelamatkan keberlanjutan peradaban Aceh," pungkasnya.