Ketua DPRK /Wakil Bupati Aceh Besar menghadiri Raker MDPM Aceh Besar |
“umong meu ateung,
lampoh meu pageu,
uteun meu taloe,
nanggroe meu raja”
nanggroe meu raja”
Banda Aceh –
Perdebatan publik atas Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) cukup
hangat diberitakan akhir-akhir ini. Pemerintah Aceh menyatakan bahwa
Qanun RTRWA 2013-2033 sudah diserahkan kepada Pemerintah Pusat untuk
disetujui. UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa
penyelenggaraan tata ruang harus memperhatikan aspek geopolitik dan hak
untuk terlibat, mengajukan dan melakukan pengawasan dalam rangka
penyusunan rencana tata ruang. Dalam UU No.11 tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh dalam Bab
XX Pasal 142 ayat (5) disebutkan bahwa Masyarakat berhak untuk
memberikan masukan secara lisan maupun tertulis dalam perencanaan,
pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang Aceh dan
kabupaten/kota. Selanjutnya pada Pasal 143 Ayat (2) UUPA dipertegas
tentang pentingnya memperhatikan, menghormati, melindungi, memenuhi dan
menegakkan hak-hak masyarakat Aceh.
MUKIM merupakan salah satu bentuk kekhususan di Aceh sudah ada sejak jaman kesultanan Aceh dan terus berkembang sejarah perjalanan peradaban Aceh, ibarat pepatah ta rah han basah, ta teut han tutong. Mukim
adalah
suatu kesatuan masyarakat dalam wilayah Aceh yang terbentuk melalui
persekutuan beberapa gampong dengan batas wilayah tertentu dan harta
kekayaan sendiri. Mukim bukan hanya sebagai identitas komunal masyarakat
adat di Aceh, tetapi juga sebagai bagian dari struktur pemerintahan
sekaligus sebagai pengelola wilayah dan pengatur kehidupan sosial kemasyarakatan. Mukim mempunyai kewenangan mengurus harta kekayaan dan sumber pendapatan mukim. Saat ini, keberadaanmukim telah
diakui melalui Undang Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh. Di beberapa kabupaten sudah dihasilkan qanun, seperti Qanun
Kabupaten Aceh Besar No. 8 Tahun 2009 tentang Pemerintahan Mukim. Walau
dalam kehidupan sehari-hari dan dalam undang-undang keberadaan MUKIM
sudah diakui, namum dalam kebijakan pelaksanaannya MUKIM masih
diabaikan.
Mukim se-Aceh Besar yang terhimpun dalam wadah Majlis Duek Pakat Mukim Aceh Besar (MDPM-AB)
menilai dalam proses penyusunan RTRWA, pemerintahan Aceh tidak
melibatkan mukim sebagai salah satu pemangku kepentingan. Juru bicara
MDPM-AB, Asnawi Zainun, Selasa (2/4/2013) dalam konfrensi pers di Zakir
Warkop Banda Aceh mengatakan: “Selain tidak dilibatkan, informasi yang
berkaitan dengan dokumen tersebut pun tidak sampai kepada mukim. Padahal
kebijakan RTRWA itu pada pelaksanaan akan menggunakan wilayah dan ruang
kelola mukim. Bukankah RTRWA merupakan kebijakan penting daerah yang
harus diketahui masyarakat?”
MDPM-AB
menyadari bahwa RTRWA merupakan kerangka acuan bagi pembangunan dan
berbagai aktivitas pemanfaatan ruang di Aceh untuk masa waktu 20 tahun
kedepan. RTRW Aceh harus dapat mensejahterakan, menyelamatkan
sumber penghidupan, keseimbangan alam, dan harmonisasi sosial. RTRW Aceh
harus lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat daripada kepentingan
segelintir orang. Asnawi menegaskan, ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan oleh Pemerintah Aceh sebelum RTRWA disahkan. Pertama,
keberadaan mukim yang sudah diakui di Aceh harus dipertegas wilayah
kedudukannya dalam RTRWA. Penegasan wilayah administrative mukim harus
tergambar dalam wilayah setiap Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota. Kedua, RTRWA harus menegaskan pengakuan keberadaan Wilayah Kelola Mukim di daratan maupun di
perairan, seperti: perkampungan (hunian), blang(sawah), uteun (hutan), paya (rawa), lampoh/seunebok (kebun rakyat), padang meurabee (kawasan padang penggembalaan), peukan (pasar), bineh pasi (pantai), panton/bineh krueng, batang air (krueng/sungai, alur, tuwie,lubuk),
danau, laot, dan kawasan mukim lainnya yang menjadi ulayat mukim
setempat. Ulayat mukim dimaksud juga merupakan penjabaran dari Qanun
No.4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim pasal 18 yang ditegaskan
Qanun Aceh Besar No.8 tahun 2009 Pasal 28 bahwaHarta kekayaan
Mukim. Selanjutnya, RTRWA wajib memberikan perlindungan atas Wilayah
Kelola Mukim tersebut dari kegiatan pembangunan dan
proyek-proyek ekploitatif yang merusak dan mengancam sumber-sumber
penghidupan
masyarakat dan berpotensi menimbulkan bencana. Asnawi menegaskan
bahwa: sebagai salah satu produk kebijakan strategis daerah untuk masa
waktu 20 tahun kedepan pengakuan atas Wilayah Kelola Mukim harus sudah
dimasukkan dalam RTRW Aceh yang selanjutnya dapat dijabarkan dalam RTRW
Kabupaten/Kota. MDPM-AB siap jika diajak duduk berdialog dengan semua
pihak untuk membicarakan Konsep Wilayah Kelola Mukim ini. Ketiga, RTRWA harus memberi pengakuan terhadap Hak Kelola Mukim atas
wilayahnya, meliputi: a) hak kepemilikan, b) hak akses dan pemanfaatan
c) hak pengaturan/pengelolaan. Mukim berdasarkan hak asal usul dan hukum
formal memiliki kewenangan untuk mengurus harta kekayaan dan
sumber-sumber pendapatan mukim yang secara kewilayahan ada pada wilayah
kelola mukim. Pengelolaan wilayah mukim diatur dengan aturan adat mukim
setempat dibawah koordinasi Imeum Mukim; hak buya lam krueng, hak
rimung bak bineh rimba. Hak kelola mukim kawasan hutan adalah sejauh si uro jak wo. Dalam
pelaksanaan teknisnya pada setiap kawasan kelola mukim dilakukan oleh
lembaga adat di mukim setempat. Kawasan Peukan atau Pasar Rakyat dalam
wilayah mukim dikelola oleh haria peukan. Kawasan laot dikelola olehPanglima Laot. Masyarakat mukim harus diberi akses dan ruang pemanfaatan sebesar-besarnya atas Wilayah Mukim, dan Keempat, dalam
semua proses penataan ruang Aceh (perencanaan, pelaksaaan dan
pemantauan) Pemerintah Aceh harus melibatkan mukim. Pemerintahan Mukim
harus mendapat informasi yang lengkap atas dokumen RTRWA. Selain itu masyarakat mukim harus diberi kewenangan untuk menyatakan boleh atau tidak atas penggunaan wilayah kelola mukim oleh pihak luar mukim.
Menurut
Asnawi, “akan sangat disesalkan jika RTRWA tidak mengakui keberadaan
mukim dan Wilayah Kelola Mukim. Pengabaian Hak Mukim dalam RTRWA adalah
bentuk pelanggaran konstitusi yang serius. MDPM-AB berharap, RTRWA ini
tidak menimbulkan konflik berbasis ruang di masa depan. Tetapi justru
akan mensejahterakan masyarakat dan menyelamatkan keberlanjutan
peradaban Aceh”. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar