oleh : Sulaiman Tripa
Tue, Oct 5th 2010, 08:40 Sumber : Opini Serambi Indonesia
KETIKA
saya menjadi pemateri diskusi tentang Penguatan Mukim yang
diselenggarakan Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh di
Sabang baru-baru ini, seorang Imuem Mukim menceritakan hal yang
menarik. Ia sudah menjabat Imuem Mukim selama 17 tahun. Dalam masa
tersebut, ia merasakan bahwa posisi Mukim sangat jauh dari apa yang ia
ketahui dari sejarah Mukim itu sendiri. Malah sekarang, menurutnya,
Mukim persis seperti harimau ompong. Mukim memiliki kewenangan yang
sangat terbatas, tapi untuk menjalankan kewenangan yang sangat terbatas
itu saja Mukim tidak cukup kuasa.
Sehabis ia berbicara, sebagian peserta yang umumnya Imuem Mukim dan tetua adat, ikut bertepuk tangan. Saya berasumsi, bahwa tepuk tangan tersebut sebagai tanda setuju dengan pendapatan Imuem Mukim yang bersangkutan.
Dalam seminar tersebut, ada empat pemateri yang memberikan bahasannya, yakni dalam konteks normatif, adat, sejarah, dan pemerintahan. Saya sendiri mendapat bagian pembahasan dari sisi normatif. Dan di dalam regulasi yang ada, tampak jelas apa yang dirasakan seorang Imuem Mukim yang sudah menjabat selama 17 tahun tersebut di atas.
Bila kita toleh kembali ke belakang, posisi Mukim baru ada kembali pasca diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Adat.
Pengakuan terhadap Mukim sebenarnya sudah dinyatakan sebelumnya dengan Perda No. 2 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat-istiadat, Kebiasaan Masyarakat beserta Lembaga Adat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Namun pengakuan tersebut sifatnya sangat terbatas. Dalam Perda tersebut, posisi Mukim memang diakui, tapi konteksnya sangat terbatas dan hanya terfokus pada adat dan kebiasaan.
Dalam sejarah Mukim setelah Indonesia merdeka, kita bisa melihatnya dalam tiga babak. Pertama, masa Orde Lama, posisi Mukim masih termasuk dalam urutan jenjang pemerintahan. Urutannya adalah Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Provinsi, Pemerintahan Keresidenan, Pemerintahan Kabupaten, Pemerintah Kewedanaan, Pemerintahan Mukim, dan Pemerintahan Gampong. Kedua, masa Orde Baru, jenjang pemerintahan disederhanakan menjadi lima tingkat, yakni Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Daerah Tingkat I, Pemerintahan Daerah Tingkat II, Pemerintah Kecamatan, dan Pemerintahan Desa/Pemerintah Kelurahan. Ketiga, masa Reformasi, urutan pemerintahan terdiri atas Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Provinsi, Pemerintahan Kabupaten/kota, Pemerintah Kecamatan, Pemerintahan Mukim, dan Pemerintahan Gampong.
Kembang-kempis pengakuan posisi Mukim di Indonesia sebenarnya terkait dengan perubahan regulasi yang terjadi. Konsep otonomi yang bergeser adalah satu hal penting yang mendasari proses regulasi Mukim tersebut. Perubahan dari UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah menjadi UU No. 22 Tahun 1999 sekaligus turut memberi angin segar dalam konteks Pemerintahan Mukim di Aceh. Konsep tersebut, kini semakin dikokohkan dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU tersebut menjadi satu regulasi penting setelah perdamaian Aceh dari konflik dan pulih Aceh dari tsunami. Artinya semua ketentuan perundang-undangan yang dibentuk mengenai Aceh, harus menjadikan UU Pemerintahan Aceh tersebut sebagai dasarnya.
Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa Aceh dibagi atas Kabupaten/Kota. Kabupaten/Kota dibagi atas Kecamatan. Kecamatan dibagi atas Mukim. Mukim dibagi atas Gampong. Dalam UU juga disebutkan bahwa tugas camat termasuk membina penyelenggarakan pemerintahan Mukim.
Bila menilik secara detail dalam UU Pemerintahan Aceh, maka setidaknya ada tiga pemosisian Mukim yang harus dimaknai. Pertama, Mukim sebagai lembaga pemerintahan. Dalam konteks ini, Mukim mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan peningkatan pelaksanaan Syariat Islam. Fungsi mukim adalah penyelenggaraan pemerintahan [azas desentralisasi, dekonsentrasi, urusan tugas pembantuan], pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, peningkatan percepatan pelayanan, dan penyelesaian sengketa. Dalam wilayah ini, salah satu aturan pelaksana yang sudah berhasil diselesaikan adalah Qanun No. 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara pemilihan dan Pemberhentian Imuem Mukim. Kedua, Imuem Mukim sebagai lembaga adat. Dalam konteks ini, secara jelas telah tergambar dalam aturan pelaksana Qanun No. 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Adat dan Qanun No. 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Ketiga, Mukim sebagai kesatuan masyarakat hukum, yang memiliki wilayahnya sendiri. Konsep ini terlihat dalam konsep sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (19) UU Pemerintahan Aceh.
Ketiga pemosisian ini sangat penting dimaknai dalam satu konsep. Memisahkan satu dengan yang lainnya, menurut saya akan berimplikasi kepada kepincangan dari konteks penguatan Mukim itu sendiri. Tidak bisa dilakukan proses revitalisasi, bila kita tidak beranjak dari kesatuan konsep dari tiga pemosisian mukim tersebut di atas.
Pemersatuan konsep ini menjadi satu tantangan tersendiri. Tantangan ini kemudian ditantang lagi dengan hambatan lainnya, di mana dari 23 Kabupaten/Kota di Aceh, ternyata baru tiga Kabupaten saja yang baru menyelesaian Qanun Kabupaten/Kota tentang Mukim. Sekitar enam Kabupaten/Kota yang sedang membahas. Sedangkan sisanya, masih belum dibahas sama sekali.
Hal ini jelas menjadi hambatan karena UU Pemerintahan Aceh jelas menyebutkan bahwa dalam hal tugas, fungsi, dan kelengkapan mengenai Mukim diatur dengan Qanun Kabupaten/Kota. Memang untuk Kabupaten/Kota yang belum memiliki Qanun, akan berlaku Qanun 4 tahun 2003 tentang Mukim. Tapi esensi dari keinginan perubahan regulasi adalah memperbesar kewenangan Mukim dalam hal yang telah disebutkan, dimana dalam Qanun sebelumnya masih memiliki keterbatasan.
Hambatan ini masih dihantui pula dengan substansi Mukim yang akan diatur dengan Qanun Kabupaten/Kota. Apakah ada visi untuk memadukan konsep Mukim sebagai lembaga pemerintahan, lembaga adat, dan masyarakat hukum adat sekaligus? Karena hal tersebut akan menentukan sejauhmana Mukim akan memiliki kewenangan baik dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, maupun dalam hal menyelesaikan persoalan di tingkat Mukim dan dalam hal pengelolaan sumberdaya alamnya.
Bolehlah dikatakan bahwa cerita (sekaligus kegundahan) seorang Imuem Mukim yang sudah memegang jabatan 17 tahun di awal tulisan ini, merupakan kegundahan rasional yang penting untuk mendapat perhatian kita. Mereka merasakan ketidakberdayaan mereka untuk mengatur dirinya. Kita berharap semoga dalam proses regulasi, para pembentuk Qanun Kabupaten/Kota sangat memahami kegundahan tersebut. Wallahu a‘alam.
* Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Unsyiah
Sehabis ia berbicara, sebagian peserta yang umumnya Imuem Mukim dan tetua adat, ikut bertepuk tangan. Saya berasumsi, bahwa tepuk tangan tersebut sebagai tanda setuju dengan pendapatan Imuem Mukim yang bersangkutan.
Dalam seminar tersebut, ada empat pemateri yang memberikan bahasannya, yakni dalam konteks normatif, adat, sejarah, dan pemerintahan. Saya sendiri mendapat bagian pembahasan dari sisi normatif. Dan di dalam regulasi yang ada, tampak jelas apa yang dirasakan seorang Imuem Mukim yang sudah menjabat selama 17 tahun tersebut di atas.
Bila kita toleh kembali ke belakang, posisi Mukim baru ada kembali pasca diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Adat.
Pengakuan terhadap Mukim sebenarnya sudah dinyatakan sebelumnya dengan Perda No. 2 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat-istiadat, Kebiasaan Masyarakat beserta Lembaga Adat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Namun pengakuan tersebut sifatnya sangat terbatas. Dalam Perda tersebut, posisi Mukim memang diakui, tapi konteksnya sangat terbatas dan hanya terfokus pada adat dan kebiasaan.
Dalam sejarah Mukim setelah Indonesia merdeka, kita bisa melihatnya dalam tiga babak. Pertama, masa Orde Lama, posisi Mukim masih termasuk dalam urutan jenjang pemerintahan. Urutannya adalah Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Provinsi, Pemerintahan Keresidenan, Pemerintahan Kabupaten, Pemerintah Kewedanaan, Pemerintahan Mukim, dan Pemerintahan Gampong. Kedua, masa Orde Baru, jenjang pemerintahan disederhanakan menjadi lima tingkat, yakni Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Daerah Tingkat I, Pemerintahan Daerah Tingkat II, Pemerintah Kecamatan, dan Pemerintahan Desa/Pemerintah Kelurahan. Ketiga, masa Reformasi, urutan pemerintahan terdiri atas Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Provinsi, Pemerintahan Kabupaten/kota, Pemerintah Kecamatan, Pemerintahan Mukim, dan Pemerintahan Gampong.
Kembang-kempis pengakuan posisi Mukim di Indonesia sebenarnya terkait dengan perubahan regulasi yang terjadi. Konsep otonomi yang bergeser adalah satu hal penting yang mendasari proses regulasi Mukim tersebut. Perubahan dari UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah menjadi UU No. 22 Tahun 1999 sekaligus turut memberi angin segar dalam konteks Pemerintahan Mukim di Aceh. Konsep tersebut, kini semakin dikokohkan dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU tersebut menjadi satu regulasi penting setelah perdamaian Aceh dari konflik dan pulih Aceh dari tsunami. Artinya semua ketentuan perundang-undangan yang dibentuk mengenai Aceh, harus menjadikan UU Pemerintahan Aceh tersebut sebagai dasarnya.
Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa Aceh dibagi atas Kabupaten/Kota. Kabupaten/Kota dibagi atas Kecamatan. Kecamatan dibagi atas Mukim. Mukim dibagi atas Gampong. Dalam UU juga disebutkan bahwa tugas camat termasuk membina penyelenggarakan pemerintahan Mukim.
Bila menilik secara detail dalam UU Pemerintahan Aceh, maka setidaknya ada tiga pemosisian Mukim yang harus dimaknai. Pertama, Mukim sebagai lembaga pemerintahan. Dalam konteks ini, Mukim mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan peningkatan pelaksanaan Syariat Islam. Fungsi mukim adalah penyelenggaraan pemerintahan [azas desentralisasi, dekonsentrasi, urusan tugas pembantuan], pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, peningkatan percepatan pelayanan, dan penyelesaian sengketa. Dalam wilayah ini, salah satu aturan pelaksana yang sudah berhasil diselesaikan adalah Qanun No. 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara pemilihan dan Pemberhentian Imuem Mukim. Kedua, Imuem Mukim sebagai lembaga adat. Dalam konteks ini, secara jelas telah tergambar dalam aturan pelaksana Qanun No. 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Adat dan Qanun No. 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Ketiga, Mukim sebagai kesatuan masyarakat hukum, yang memiliki wilayahnya sendiri. Konsep ini terlihat dalam konsep sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (19) UU Pemerintahan Aceh.
Ketiga pemosisian ini sangat penting dimaknai dalam satu konsep. Memisahkan satu dengan yang lainnya, menurut saya akan berimplikasi kepada kepincangan dari konteks penguatan Mukim itu sendiri. Tidak bisa dilakukan proses revitalisasi, bila kita tidak beranjak dari kesatuan konsep dari tiga pemosisian mukim tersebut di atas.
Pemersatuan konsep ini menjadi satu tantangan tersendiri. Tantangan ini kemudian ditantang lagi dengan hambatan lainnya, di mana dari 23 Kabupaten/Kota di Aceh, ternyata baru tiga Kabupaten saja yang baru menyelesaian Qanun Kabupaten/Kota tentang Mukim. Sekitar enam Kabupaten/Kota yang sedang membahas. Sedangkan sisanya, masih belum dibahas sama sekali.
Hal ini jelas menjadi hambatan karena UU Pemerintahan Aceh jelas menyebutkan bahwa dalam hal tugas, fungsi, dan kelengkapan mengenai Mukim diatur dengan Qanun Kabupaten/Kota. Memang untuk Kabupaten/Kota yang belum memiliki Qanun, akan berlaku Qanun 4 tahun 2003 tentang Mukim. Tapi esensi dari keinginan perubahan regulasi adalah memperbesar kewenangan Mukim dalam hal yang telah disebutkan, dimana dalam Qanun sebelumnya masih memiliki keterbatasan.
Hambatan ini masih dihantui pula dengan substansi Mukim yang akan diatur dengan Qanun Kabupaten/Kota. Apakah ada visi untuk memadukan konsep Mukim sebagai lembaga pemerintahan, lembaga adat, dan masyarakat hukum adat sekaligus? Karena hal tersebut akan menentukan sejauhmana Mukim akan memiliki kewenangan baik dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, maupun dalam hal menyelesaikan persoalan di tingkat Mukim dan dalam hal pengelolaan sumberdaya alamnya.
Bolehlah dikatakan bahwa cerita (sekaligus kegundahan) seorang Imuem Mukim yang sudah memegang jabatan 17 tahun di awal tulisan ini, merupakan kegundahan rasional yang penting untuk mendapat perhatian kita. Mereka merasakan ketidakberdayaan mereka untuk mengatur dirinya. Kita berharap semoga dalam proses regulasi, para pembentuk Qanun Kabupaten/Kota sangat memahami kegundahan tersebut. Wallahu a‘alam.
* Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Unsyiah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar