Pengukuhan Majelis Duek Pakat Mukim (MDPM) Aceh Besar |
Oleh:
ASNAWI ZAINUN
Aceh
merupakan salah satu Provinsi di Indonesia ang memiliki keistimewaan
berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893). Disamping berstatus
istimewa Aceh juga provinsi yang memiliki kekhususan berdasarkan Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4633);
Undang-Undang
No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh telah memberikan landasan yang
lebih kuat dalam pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat di Aceh. Pasal 98
Undang-Undang tersebut memerintahkan untuk mengatur tugas, wewenang, hak dan
kewajiban dalam melaksanakan pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dengan
membentuk suatu Qanun Aceh.
Lembaga
adat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh sejak dahulu hingga
sekarang mempunyai fungsi dan berperan dalam membina nilai-nilai budaya,
norma-norma adat dan aturan untuk mewujudkan keamanan, keharmonisasian,
ketertiban, ketentraman, kerukunan dan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh
sebagai manifestasi untuk mewujudkan tujuan-tujuan bersama sesuai dengan
keinginan dan kepentingan masyarakat setempat.
Untuk
meningkatkan peran dan melestarikan lembaga adat, sebagai salah satu wujud
pelaksanaan kekhususan dan keistimewaan Aceh di bidang adat istiadat perlu
dilakukan pembinaan dan pemberdayaan yang berkesinambungan terhadap lembaga-lembaga
adat dimaksud sesuai dengan dinamika dan perkembangan masyarakat Aceh.
Dalam
kedudukannya sebagai Provinsi yang
berstatus istimewa dan khusus, Aceh memiliki ruang kewenangan untuk
mengembang dirinya sesuai dengan predikat keistimewaan dan kekhususannya itu.
Salah satu keistimewaan Aceh adalah bidang pelaksanaan Adat dan Adat Istiadat,
baik dalam pengembangan nilai-nilai adat maupun kelembangaan adat.
Lembaga
adat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh sejak dahulu hingga
sekarang mempunyai peranan penting dalam membina nilai-nilai budaya,
norma-norma adat dan aturan untuk mewujudkan keamanan, ketertiban, ketentraman,
kerukunan dan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh sesuai dengan nilai islami. Keberadaan lembaga adat perlu ditingkatkan perannya
guna melestarikan adat dan adat istiadat sebagai salah satu wujud pelaksanaan
kekhususan dan keistimewaan Aceh di bidang adat istiadat;
Untuk
merealisasikan cita-cita dimaksud maka sebagai pelaksanaan kebijakan
bidang keistimewaan Aceh telah dilahirkan
Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat
Istiadat dan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat. Kedua Qanun
Aceh ini merupakan sandaran penting dalam pembinaan kehidupan dan lembaga adat
di Aceh.
Menurut
Pasal 1 angka 9 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat, Lembaga Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh
suatu masyarakat hukum adat tertentu mempunyai wilayah tertentu dan mempunyai
harta kekayaan tersendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan
mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh. Dari
definisi ini, suatu lembaga diakui sebagai lembaga adat jika memiliki ciri-ciri
sebagi berikut:
1.
Suatu organisasi kemasyarakatan adat;
2.
Dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat;
3.
Memilki wiayah tertentu;
4.
Memiliki kekayaan sendiri;
5.
Berhak dan berwenang mengatur dan mengurus
serta menyelesaika hal hal yag berkenaan dengan adat Aceh.
Lembaga
Adat berfungsi sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan penyelesaian
masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan
Pasal 2 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008. Dalam ketentuan Pasal 2 ayat
(2) disebutkan jenis-jenis lembaga adat yang hidup dan berkembang di Aceh
adalah sebagai berikut:
a.
Majelis Adat Aceh;
b. Imeum mukim atau nama lain;
c. I
meum Chik atau nama lain;
d. Keuchik atau nama lain;
e.
Tuha Peut atau nama lain;
f. Tuha Lapan atau nama lain;
g. Imeum Meunasah atau nama lain;
h. Keujruen Blang atau nama lain;
i. Panglima Laot atau nama lain;
j. Pawang Glee/Uteun atau nama lain;
k
Petua
seuneubok atau nama lain;
l. Haria Peukan atau nama lain; dan
m. Syahbanda atau nama lain.
Selain
lembaga adat sebagaimana dimaksud di atas, lembaga lembaga adat lain yang hidup
di dalam masyarakat diakui keberadaannya, dipelihara dan diberdayakan.
Lembaga-lembaga adat Aceh bersifat otonom
dan independen sebagai mitra Pemerintah sesuai dengan tingkatannya.
Sesuai
dengan ketentuan Pasal 4 Qanun Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat dalam
menjalankan fungsinya sebagaimana disebutkan lembaga adat berwenang:
a. menjaga keamanan, ketentraman, kerukunan, dan
ketertiban masyarakat;
b. membantu Pemerintah dalam pelaksanaan
pembangunan;
c. mengembangkan dan mendorong partisipasi
masyarakat;
d. menjaga eksistensi nilai-nilai adat dan adat
istiadat yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam;
e. menerapkan ketentuan adat;
f.
menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan;/
g. mendamaikan sengketa yang timbul dalam
masyarakat; dan
h. menegakkan hukum adat.
Setiap
lembaga adat dapat berperan serta dalam proses perumusan kebijakan oleh
Pemerintah sesuai dengan tingkatannya yang berkaitan dengan tugas, fungsi, dan
wewenang masing-masing lembaga adat. Majelis Adat Aceh bertugas membantu Wali
Nanggroe dalam membina, mengkoordinir lembaga-lembaga adat sebagaimana dimaksud
di atas, pembentukan dan susunan organisasiya diatur dengan qanun Aceh.
Imeum
Mukim adalah kepala Pemerintahan Mukim. Sementara yang dimaksud dengan mukim
adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan
beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imeum
mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat. Imeum mukim atau
nama lain bertugas:
a.
melakukan pembinaan masyarakat;
b.
melaksanakan kegiatan adat istiadat;
c.
menyelesaikan sengketa;
d.
membantu peningkatan pelaksanaan syariat
Islam;
e.
membantu penyelenggaraan pemerintahan; dan
f.
membantu pelaksanaan pembangunan.
Imeum
Mukim atau nama lain dipilih oleh musyawarah mukim. Imeum Mukim atau nama lain diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota atas usulan Camat dari hasil musyawarah mukim. Pembentukan susunan organisasi,
kedudukan, tugas, fungsi, dan alat kelengkapan Imeum Mukim atau nama lain
diatur dengan qanun kabupaten/kota.
Imeum
Chik atau nama lain adalah imeum masjid pada tingkat mukim orang yang memimpin kegiatan-kegiatan
masyarakat di mukim yang berkaitan dengan bidang agama Islam dan pelaksanaan
syari’at Islam. Imeum Chik atau nama lain bertugas:
a.
mengkoordinasikan pelaksanaan keagamaan dan
peningkatan peribadatan serta pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan
masyarakat;
b.
mengurus, menyelenggarakan dan memimpin
seluruh kegiatan yang berkenaan dengan pemeliharaan dan pemakmuran masjid; dan
c.
menjaga dan memelihara nilai-nilai adat, agar
tidak bertentangan dengan Syari’at Islam.
Imeum Chik atau nama lain dipilih
dalam musyawarah mukim yang dihadiri oleh Imeum Mukim atau nama lain, Tuha Peut
Mukim atau nama lain, Sekretaris Mukim atau nama lain, Pemangku Adat, Keuchik
atau nama lain, Imeum Masjid atau nama lain dan Imeum Meunasah atau nama lain
dalam mukim. Imeum Chik atau nama lain diangkat dan diberhentikan oleh Bupati
atas usul Imeum Mukim atau nama lain melalui Camat berdasarkan hasil kesepakatan
musyawarah mukim. Imeum Chik atau nama lain berhenti karena :
a.
meninggal dunia;
b.
mengajukan permohonan berhenti atas kemauan
sendiri;
c.
melalaikan tugasnya sebagai Imeum Chik atau
nama lain; dan
d.
melakukan perbuatan tercela yang bertentangan
dengan Syari’at Islam atau adat istiadat.
Selanjutnya Keuchik atau
nama lain merupakan kepala persekutuan masyarakat adat gampong yang bertugas
menyelenggarakan pemerintahan gampong, melestarikan adat istiadat dan hukum
adat, serta menjaga keamanan, kerukunan, ketentraman dan ketertiban masyarakat. Keuchik
atau nama lain bertugas:
a. membina
kehidupan beragama dan pelaksanaan Syari’at Islam dalam masyarakat;
b. menjaga dan memelihara adat dan adat istiadat
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat;
c.
memimpin penyelenggaraan pemerintahan gampong;
d.
menggerakkan dan mendorong partisipasi masyarakat
dalam membangun gampong;
e.
membina dan memajukan perekonomian masyarakat;
f.
memelihara kelestarian fungsi lingkungan
hidup;
g.
memelihara keamanan, ketentraman dan
ketertiban serta mencegah munculnya perbuatan maksiat dalam masyarakat;
h.
mengajukan rancangan qanun gampong kepada Tuha
Peut Gampong atau nama lain untuk mendapatkan persetujuan;
i.
mengajukan rancangan anggaran pendapatan
belanja gampong kepada tuha peut gampong atau nama lain untuk mendapatkan
persetujuan;
j.
memimpin dan menyelesaikan masalah sosial
kemasyarakatan; dan
k.
menjadi pendamai terhadap perselisihan antar
penduduk dalam gampong.
Keuchik atau nama lain dibantu oleh Imeum
Meunasah atau nama lain dan Tuha Peut Gampong atau nama lain.
Pasal 17 (1) Qanun Nomor 10 Tahun 2008 menyebutkan Tuha Peut Mukim
atau nama lain diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota atas usulan
Camat dari hasil musyawarah mukim. Selanjutnya dalam ayat (2) Tuha Peut Gampong
atau nama lain diangkat dan diberhentikan oleh Camat atas usulan Imeum Mukim
atau nama lain dari hasil musyawarah masyarakat gampong. Kemudian pada ayat (3)
menentukan Tuha Peut atau nama lain dipimpin oleh seorang ketua dan sekretaris
yang merangkap sebagai anggota.
Lebih lanjut Pasal 18 Qanun Nomor 10 Tahun 2008 menyebutkan Tuha
Peut Gampong atau nama lain mempunyai tugas:
a.
membahas dan menyetujui anggaran pendapatan
dan belanja gampong atau nama lain;
b.
membahas dan menyetujui qanun gampong atau
nama lain;
c.
mengawasi pelaksanaan pemerintahan gampong
atau nama lain;
d.
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan gampong atau nama lain;
e.
merumuskan kebijakan gampong atau nama lain
bersama Keuchik atau nama lain;
f.
memberi nasehat dan pendapat kepada Keuchik
atau nama lain baik diminta maupun tidak diminta; dan
g.
menyelesaikan sengketa yang timbul dalam
masyarakat bersama pemangku adat.
Pasal 21 ayat (1) Qanun Nomor 10 Tahun 2008 menyebutkan pada
tingkat Gampong atau nama lain dan Mukim dapat dibentuk Tuha Lapan atau nama
lain sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat yang dipilih melalui
musyawarah Gampong atau nama lain atau musyawarah mukim. Tuha Lapan atau nama
lain beranggotakan unsur Tuha Peut atau nama lain dan beberapa orang mewakili
bidang keahlian sesuai dengan kebutuhan Gampong atau nama lain atau Mukim. Pengangkatan
dan pemberhentian Tuha Lapan atau nama lain serta tugas dan fungsinya
ditetapkan dalam musyawarah gampong atau nama lain atau mukim.
Pasal 22 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2008 menyebutkan,
Imeum Meunasah atau nama lain dipilih dalam musyawarah gampong atau nama lain. Pengangkatan
dan pemberhentian Imeum Meunasah atau nama lain dilakukan oleh Camat atas nama
Bupati/Walikota.
Lebih
lanjut Pasal 23 menyebtkan Imeum Meunasah atau nama lain mempunyai tugas:
a.
memimpin, mengkoordinasikan kegiatan
peribadatan, pendidikan serta pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan
masyarakat;
b.
mengurus, menyelenggarakan dan memimpin
seluruh kegiatan yang berkenaan dengan pemeliharaan dan pemakmuran meunasah
atau nama lain;
c.
memberi nasehat dan pendapat kepada Keuchik
atau nama lain baik diminta maupun tidak diminta;
d.
menyelesaikan sengketa yang timbul dalam
masyarakat bersama pemangku adat; dan
e.
menjaga dan memelihara nilai-nilai adat, agar
tidak bertentangan dengan Syari’at Islam.
Mengacu kepada pandangan Prof Djuned seorang pakar hukum adat
Fakultas Hukum Unsyiah, dalam masyarakat adat Aceh disamping dikenal keberadaan
lembaga adat yang bersifat pemerintahan umum, seperti mukim dan gampong, juga
berkembang beberapa lembaga adat yang memiliki fungsi pelayanan atau kedinasan. Lembaga
lembaga adat yang bersifat pelayanan atau kedinasan antara lain, yaitu: Keunjruen Blang, Panglima Laot,
Panglima Uteun, Pawang Glee, Peutua Seuneubok, haria peukan dan syahbanda. Semua lembaga lembaga adat di atas memiliki
fungsi dan kewengan masing-masing di wilayah kerjanya.
Keujruen Blang adalah orang yang memimpin dan mengatur kegiatan
di bidang usaha persawahan. Pasal 24 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 10/2008
menyebutkan pembagian keujruen Blang atas dua tingkatan yakni Keujruen Muda di
tingkat gampong dan Keujruen Chik di
tingkat Mukim.
Pasal 24 ayat (2) Qanun Aceh Nomor 10/2008, menyebutkan pengaturan tugas, fungsi, wewenang dan persyaratan Keujruen Blang atau nama lain ditetapkan dalam musyawarah Keujruen Blang atau nama lain setempat. Selanjutnya dalam ayat (3) ditegaskan dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berkoordinasi dengan pihak terkait lainnya.
Pasal 25 Qanun Aceh Nomor 10/2008, menyebutkan Keujruen Blang mempunyai tugas sebagai berikut:
Pasal 24 ayat (2) Qanun Aceh Nomor 10/2008, menyebutkan pengaturan tugas, fungsi, wewenang dan persyaratan Keujruen Blang atau nama lain ditetapkan dalam musyawarah Keujruen Blang atau nama lain setempat. Selanjutnya dalam ayat (3) ditegaskan dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berkoordinasi dengan pihak terkait lainnya.
Pasal 25 Qanun Aceh Nomor 10/2008, menyebutkan Keujruen Blang mempunyai tugas sebagai berikut:
a.
menentukan dan mengkoordinasikan tata cara
turun ke sawah;
b.
mengatur pembagian air ke sawah petani;
c.
membantu pemerintah dalam bidang pertanian;
d.
mengkoordinasikan khanduri atau upacara
lainnya yang berkaitan dengan adat dalam usaha pertanian sawah;
e.
memberi teguran atau sanksi kepada petani yang
melanggar aturan-aturan adat meugoe (bersawah) atau tidak melaksanakan
kewajiban lain dalam sistem pelaksanaan pertanian sawah secara adat; dan
f.
menyelesaikan sengketa antar petani yang
berkaitan dengan pelaksanaan usaha pertanian sawah.
Lembaga adat yang memiliki kewengan dalam pengelolaan wilayah adat
laut disebut dengan Panglima laot. Panglima
laot atau nama lain adalah orang yang memimpin dan mengatur adat istiadat di
bidang pesisir dan kelautan. Sejalan dengan ketentuan Pasal 28 (1) Qanun
Nomor 10 Tahun 2008 Panglima Laot berwenang :
a.
menentukan tata tertib penangkapan ikan atau
meupayang termasuk menentukan bagi hasil dan hari-hari pantang melaut ;
b.
menyelesaikan sengketa adat dan perselisihan
yang terjadi di kalangan nelayan;
c.
menyelesaikan sengketa adat yang terjadi antar
Panglima Laot lhok atau nama lain;
d.
mengkoordinasikan pelaksanaan hukum adat laot,
peningkatan sumber daya dan advokasi kebijakan bidang kelautan dan perikanan
untuk peningkatan kesejahteraan nelayan.
Lembaga
adat yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan wilayah gle disebut dengan
Pawang Glee. Pawang Glee adalah
orang yang memimpin dan mengatur adat-istiadat yang berkenaan dengan
pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan. Berdasarkan ketentuan Pasal Pasal 31 Qanun
Aceh Nomor 10 Tahun 2008, Pawang Glee atau nama lain memiliki tugas sebagai
berikut:
a.
memimpin dan mengatur adat-istiadat yang
berkenaan dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan;
b.
membantu pemerintah dalam pengelolaan hutan;
c.
menegakkan hukum adat tentang hutan;
d.
mengkoordinir pelaksanaan upacara adat yang
berkaitan dengan hutan; dan
e.
menyelesaikan sengketa antara warga masyarakat
dalam pemanfaatan hutan.
Lembaga
adat yag memiliki kewenangan dalam pengelolaan kawasan perkebunan adat disebut
dengan Peutua Seuneubok. Peutua
Seuneubok atau nama lain adalah orang yang memimpin dan mengatur ketentuan adat
tentang pembukaan dan penggunaan lahan untukperladangan/perkebunan. Pasal 33
ayat (1) Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008, menyebutkan Petua Seuneubok mempunyai
tugas:
a.
mengatur dan membagi tanah lahan garapan dalam
kawasan Seuneubok atau nama lain;
b.
membantu tugas pemerintah bidang perkebunan
dan kehutanan;
c.
mengurus dan mengawasi pelaksanaan upacara
adat dalam wilayah Seuneubok atau nama lain;
d.
menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam
wilayah Seuneubok atau nama lain; dan
e.
melaksanakan dan menjaga hukum adat dalam wilayah
Seuneubok atau nama lain.
Lembaga
adat yang berwenang mengatur pasar pasar tradisional disebut dengan Haria
Peukan. Haria Peukan atau
nama lain adalah orang yang mengatur ketentuan adat tentang tata pasar,
ketertiban, keamanan, dan kebersihan pasar serta melaksanakan tugas-tugas
perbantuan.
Pasal 36 Qanun
Aceh Nomor 10 Tahun 2008, menentukan tugas harian peukan sebagai berikut:
a. membantu
pemerintah dalam mengatur tata pasar, ketertiban, keamanan, dan melaksanakan
tugas-tugas perbantuan;
b. menegakkan
adat dan hukum adat dalam pelaksanaan berbagai aktifitas peukan;
c. menjaga
kebersihan peukan atau nama lain; dan
d. menyelesaikan
sengketa yang terjadi di peukan atau nama lain.
Untuk mengurusi wilayah adat pelabuhan dibentuk lembaga adat
Syahbanda. Syahbanda atau
nama lain adalah orang yang memimpin dan mengatur ketentuan adat tentang tambatan
kapal/perahu, lalu lintas keluar dan masuk kapal/perahu di laut, danau dan
sungai yang tidak dikelola oleh Pemerintah. Ketentuan Pasal 38 ayat
(1) Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008menyebutkan Syahbanda atau nama lain dapat dibentuk
untuk pelabuhan rakyat. Sedang tugas Syahbanda berdasarkan Pasal 40 Qanun Aceh
Nomor 10/2008, adalah sebagai berikut:
a.
mengelola pemanfaatan pelabuhan rakyat;
b.
menjaga ketertiban, keamanan di wilayah
pelabuhan rakyat;
c.
menyelesaikan sengketa yang terjadi di wilayah
pelabuhan rakyat; dan
d.
mengatur hak dan kewajiban yang berkaitan
dengan pemanfaatan pelabuhan.
Dalam
kehidupan masyarakat Aceh, lembaga adat memiliki peran dan kedudukan yang
sangat penting. Pada tiap-tiap gampong dan juga Mukim memiliki kepemimpinan
adat seperti yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje berperan sebagai “ku ngon
ma”, yaitu sebagai bapak dan ibu biologis, yang menagyomi warga masyarakatnya
sebagai anaknya sendiri.
Sementara itu menurut Prof.
Djuned, lembaga-lembaga adat pelayanan atau kedinasan, memiliki tiga peran
penting yakni, pertama menciptakan lapangan kerja bagi warganya. Setiap orang
diterima untuk bekerja di wilayah suatu lembaga adat. Kedua, memberi kesempatan
kepada setiap orang untuk berusaha dalam bidang ekonomi produktif, seperti
bertani, berkebun, menangkap ikan, dan mengambil hasil hutan untuk dijual.
Ketiga, mendidik keahlian bagi anggotanya, seperti teknik bertani, berkebun,
melaut dan menangkap ikan serta solidaritas antar sesama anggota.
Mengacu pada kajian pasal perpasal Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat di atas, nyatalah bahwa Lembaga Adat di Aceh memiliki kedudukan dan peranan yang sangat strategis di tengah-tengah masyarakat. Oleh diperlukan uapaya serius dan terus menerus untuk memperkuat keberadaan, kedudukan, peran dan tugas lembaga adat agar mampu memberikan andil yang kuat dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan negara.[]
Mengacu pada kajian pasal perpasal Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat di atas, nyatalah bahwa Lembaga Adat di Aceh memiliki kedudukan dan peranan yang sangat strategis di tengah-tengah masyarakat. Oleh diperlukan uapaya serius dan terus menerus untuk memperkuat keberadaan, kedudukan, peran dan tugas lembaga adat agar mampu memberikan andil yang kuat dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan negara.[]