Ilustrasi Dampak Pemanasan Global
R a n u b si G a p u e
Assalamu'alaikumwarahmatullah...
Jaroe duablah ateuh jeumala,
Saleum ulon brie keu syedara meutuwah,
Neubrie ya Allah mandum sijahtra...
Amiin Ya Rabbal A'lamiin...
Dengan segala kerendahan hati, kami menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua Pengunjung blog baleeMUKIM. Meski dalam format dan tata saji yang amat sederhana, kami memberanikan diri untuk mendedikasikan blog ini untuk mengawal, mempertahankan dan mengembangkan keberadaan komunitas dan Lembaga Pemerintahan Mukim di Aceh pada umumnya, atau Mukim Siem - Darussalam khususnya.
Kami mengundang pengunjung sekalian agar berkenan berpartisipasi mewujudkan Visi dan Missi dari blog baleeMUKIM ini. Sumbangan pikiran, pendapat, komentar, kritik, saran, dan apapun yang sifatnya konstruktif, merupakan cemeti yang seharusnya mendorong kita untuk lebih maju.
Pengunjung sekalian...sekecil apupun keterlibatan anda dalam upaya pencapaian tujuan mengawal, mempertahankan dan mengembangkan eksistensi komunitas Mukim di Aceh, menurut kami mesti diapresiasikan sebagai perjuangan menuju kehidupan lebih terhormat dan bermartabat di atas landasan budaya kita sendiri.
Ayo..., lakukan ...!!! Bersama Kita Bisa...!!!
"Rhoek ngen bara bak ureung Nanggroe, Pasoe bajoe bak ureung tuha, Tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteeh itam bak ulama."
Pengunjung sekalian..., mari wujudkan cita-cita besar ini, mulailah dengan sebuah langkah kecil. ingat...!!! Perjalanan ribuan kilometer selalu diawali dengan sebuah langkah kecil...lakukan sekarang...!
Wassalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuh
teurimong gaseh.
admin.
CBO Siem Gelar Bazar Program
Anggota CBO (Comunity Based Organitation) Gampong Siem sedang mempresentasikan Program kerja Pembangunan Gampong di hadapan para perwakilan SKPD/SKPA, dan LSM lokal/nasional/Internasional di Aula Pasca Sarjana IAIN, hari Rabu 27 Januari 2010.
Mendengar kata "Bazar" sebahagian besar dari kita mungkin cendrung memaknainya dengan kegiatan berupa pasar tempat menjual atau menawarkan berbagai produk berwujud material kepada pengunjung atau konsumen. Namun yang dilakukan oleh CBO Gampong Siem Darussalam dalam bazar ini adalah upaya mereka menawarkan program kerja sama dengan berbagai pihak untuk merealisasikan beberapa program kerja yang telah mereka susun secara partipatif, dan melalui proses bertahap.
Program Kerja yang mereka susun diberi nama Perencanaan Jangka Menengah Program Penanggulangan Kemiskinan (PJM PRONANGKIS) Perspektif Gender. Sesuai dengan namanya, maka sebahagian besar dari program kerja yang mereka rencanakan akan terwujud dalam rentang tiga tahun berupa kegiatan berorientasi kepada pemberdayaan wanita dan generasi muda, diantaranya dapat disebutkan: Pelatiahan ketrampilan untuk generasi muda, pelatihan hukum untuk perempuan, kampanye kesehatan reproduksi, taman bacaan gampong, pendidikan anak usia dini, pengembangan kelompok tani, dll.
Kegiatan yang fasilitasi oleh Yayasan An-Nisa' Centre, dihadiri utusan dari SKPD Kabupaten Aceh Besar, unsur SKPA Provinsi Aceh, dan beberapa utusan LSM lokal dan Internasional. Direktur An-Nisa Centre dalam sambutannya menjelaskan bahwa program kerja yang ditawarkan oleh para anggota CBO murni hasil karya masyarakat gampong bersama anggota CBO Gampong. Penyusunan program kerja ini dilakukan dengan pendekatan partisipatif dan button up planing. Dengan demikian diharapkan program kerja pembangunan gampong yang disusun akan sesuai dengan realitas kebutuhan masyarakat gampong. Disamping itu dengan pendekatan ini diharapkan juga akan timbul rasa memiliki dari setiap anggota masyarakat terhadap program pembangunan yang dijalankan.
Pemaparan program yang disampaikan secara bergantian oleh Sri dan Yanti, dua dari anggota CBO Siem mendapat sambutan yang cukup antusias dari peserta Bazar. Pada umumnya mereka memberi apresiasi yang sangat positif terhadap upaya yang dilakukan oleh para anggota CBO yang 75 % terdiri kaum perempuan.
Mengakhiri presentasi yang berlangsung sampai siang itu, mereka sangat mengharapkan dukungan dan kerjasama dengan semua pihak. Kami sangat terbuka untuk bekerj sama dengan semua pihak, agar program yang telah kami susun ini dapat direalisasikan ujar Sri. Untuk komunikasi lebih lanjut Sri menganjurkan para peserta yang berminat bekerja sama atau mendukung program mereka agar dapat menghubungi langsung Keuchik Gampong Siem Ir. Faisa dengan nomor HP +628126909492.
Blang Padang Siapa Punya?
RAGU-RAGU, PULANG...!!! Palang tulisan yang barangkali dimaksudkan untuk memicu keteguhan dan ketangguhan hati prajurit, sering kita temui di kawasan pemusatan latihan sampai komplek perumahan Militer di Indonesia. Dokrin "tak ragu-ragu" ini menjadi penting bagi prajurit dalam menghadapi berbagai tantangan dan rintangan dalam mengamankan negara dari berbagai ancaman yang datang dari luar maupun dari dalam. Di Aceh, sikap tak ragu-ragu ini ternyata juga ditunjukkan Militer ketika mengklaim Blang Padang sebagai tanah Milik TNI. Tanpa Ragu-ragu dan bahkan "tanpa malu-malu" pihak Kodam Iskandar Muda berusaha untuk mempertahankan sikapnya tersebut dengan mengajukan berbagai dalih dan landasan pijak untuk membenarkan klaim sepihak mereka. Di Pihak lain Pemerintah Kota Banda Aceh, berpendapat bahwa sesungguhnya tanah Blang Padang itu adalah tanah Milik Rakyat Aceh, bujkan milik militer. Bahkan Ketua DPRA Hasbi Abdullah mendorong Pemerintah Aceh agar segera mengurus sertifikat tanah Blang Padang tersebut pada Badan Pertanahan Nasional. Hal inilah yang hari ini menjadi topik perdebatan sengit antara Kodam Iskandar Muda dan rakyat Aceh pada umumnya. Tapi, siapakah sebenarnya pemilik tanah Blang Padang tersebut ? Berikut ini kami kutip tulisan dari Bapak M Adli Abdullah, yang berhasil mengorek sejarah tentang status tanah Blang Padang yang menjadi objek sengketa tadi. Tulisan ini tentu sangat bermanfaat sebagai penguak tabir yang selama ini gelap, tentang sejarah dan fakta status tanah Blang Padang. Selamat membaca...
SENGKETA tanah Blang Padang kembali mencuat. Kasus ini bergemuruh setelah Kodam Iskandar Muda memasang papan nama, bahwa lahan public seluas delapan hektar lebih ini sebagai miliknya. Di pihak lain, DPR Aceh mendesak pemerintah Aceh untuk mengurus sertifikat tanah ke Badan Pertanahan Negara ( BPN). Opini dan iklan dukungan bermunculan di media massa hingga mengalir deras ke jejaring sosial. Pertanyaannya, siapakah sebenarnya pemilik lapangan ini?
Hampir seminggu saya mengotak atik dan menelusuri asbabul nuzul Desah Arafah alias Blang Padang. Akhirnya saya menemukan tulisan Karel Frederik Hendrik (KFH) Van Langen, pegawai pemerintah Belanda yang pernah ditugaskan di Kalimantan dan Sumatra Barat. Pada tahun 1879, dia diperbantukan pada kantor Gubernur Aceh dan daerah taklukannya, Aceh Barat, Aceh Tengah, Aceh Besar. Dia pula yang membiayai percetakan buku monumental karya Snouck Horgronje “ Atheheers” (E Gobee dan C Adriaanse: 1990). Van Langen pernah dipercayakan empat kali sebagai pejabat sementara Gubernur Aceh ( dari 1898 sampai dengan 1895) hingga ia meninggal dunia pada 18 April 1915 di Kota Ede, Gelderland, Belanda.
Van Langen menulis beberapa pengalamannya selama di Aceh. Di antaranya “De Inrichting Van Het Atjehschee Staatbestur Onder Het Sultanaat” pada tahun 1888 yang kemudian diterjemahkan oleh Prof Abubakar Aceh dengan judul Susunan Pemerintahan Aceh semasa kesultanan. Dalam buku ini disebutkan bahwa Blang Padang dan Blang Punge adalah Umeung Musara (tanah wakaf) Mesjid Raya Baiturrahman yang tidak boleh diperjualbelikan atau dijadikan harta warisan dan tidak ada pihak yang dapat menggangu gugat status keberadaan hak miliknya.
Tanoh meusarah digunakan sebagai sumber penghasilan imeuem Mesjid Raya Baiturrahman. Jika penghasilan dari tanah wakaf masjid ini tidak cukup membiayai Masjid Raya, maka dibantu oleh zakat padi atau barang barang lainnya dari penduduk yang berkediaman di sekitar masjid raya. Hasil tanah wakaf ini khusus untuk pemeliharaan masjid, seperti keperluan muazin, bilal, khatib dan kebutuhan lainnya. Jika ada perbaikan berat maka diminta bantuan pada penduduk.
Alkisah, ketika genderang perang Aceh vs Belanda dimulai pada 26 Maret 1873, Belanda melakukan kesalahan besar dalam sejarah invasi kolonialnya dengan menduduki dan membakar Masjid Raya Baiturrahman dengan melempar 12 granat pada Kamis, 10 April 1873. Rakyat Aceh makin marah, akibatnya berselang empat hari kemudian Belanda harus membayar mahal dengan tewasnya Jenderal J.H.R. Kohlier di halaman Masjid Raya pada 14 April 1873. Serdadu Belanda kabur ke Batavia pada 17 April 1873 (Paul Van Vier: 1979).
Belanda kembali melakukan invasi kedua pada 9 Desember 1873 dan 24 Januari 1874. Istana kesultanan Aceh berhasil diduduki setelah Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874M) meninggalkannya dan mengungsi ke Lueng Bata. Maka saat itu Letnan Jenderal Van Swieten mengumumkan pada dunia Internasional bahwa “Kerajaan Aceh, sesuai dengan hukum-perang (humaniter ) menjadi hak-milik Kerajaan Belanda” (Talsya: 1982). Seluruh kekayaan pribadi dan aset istana dirampas dan dijadikan milik pemerintah Belanda sesuai dengan asas hukum perang Reght van Over Winning (H.C. Zentgraaff:1981 ). Bekas istana ini dan aset pribadi Sultan Aceh ini kemudian dikuasai oleh KNIL Jepang, seperti Kuta Alam, Neusu, Kraton dan sejumlah asset lain yang sudah dialih fungsi saat ini.
Namun Masjid Raya dan aset wakafnya, ternyata tidak dirampas oleh Belanda untuk dijadikan sebagai harta rampasan hak menang perang sebagaimana berlaku asas Reght van Over Winning. Karena menurut Belanda ini (perang Aceh dengan Belanda ) bukan perang agama (perang Suci ), sehingga Masjid Raya Baiturahman yang telah dibakar pada 10 April 1873 dibangun kembali oleh Belanda pada Tahun 1879 oleh Gubernur Aceh Jenderal K Van der Heijden. Van Langen menulis dalam bukunya, bahwa tanah tersebut sebagai tanah meusara Masjid Raya dan tidak bisa dipindahtangankan. (Van Langen: 1888).
Jadi, secara jelas dapat dikatakan bahwa serambi Masjid Raya Baiturrahman adalah Blang Padang yang sempat digunakan sebagai lapangan olahraga dan pada tahun 1981 berganti nama menjadi desah arafah dan tempat arena MTQ Nasional. Karenanya, tidak heran di Blang Padang dari dulu menjadi tempat salat hari raya idul fitri dan idul adha, tidak dilaksanakan di lapangan lain karena tanah itu adalah milik Masjid Raya Baiturrahman. Dan keberadaan Blang Padang merupakan denyut nadi kehidupan masjid Mesjid Raya Baiturrahman dan Belanda Belanda sangat menghormatinya.
Menindaklanjuti polemik saling klaim antara pemerintah Aceh dan Kodam Iskandar Muda, dan hampir setiap hari ada iklan dukungan dari pemerintah kabupaten/ kota agar pemerintah Aceh dapat mensertifikasi tanah Blang Padang atasnama pemerintah Aceh sedang pihak TNI mengklaim itu adalah miliknya.Maka yang perlu dilakukan agar kedua belah pihak ikhlas mengembalikan tanah Blang Padang sebagai aset wakaf dan menjadi musara Mesjid Raya Baiturrahman yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan umum seperti yang dilakukan sebelumnya .
Sebenarnya, masih banyak tanah tanah wakaf di Aceh yang masih perlu dibenahi sehingga tidak beralih fungsi dan kepemilikannya. Sebagaimana tulisan saya sebelumnya (Serambi, 29 November dan 6 Desember 2009), agar pemerintah Aceh mampu dan mau meluruskan tanah tanah wakaf di Aceh yang sudah tidak jelas statusnya saat ini.
Pemerintah Aceh harus belajar terhadap hal yang dilakukan Baitul Asyi di Mekkah al Mukaramah Saudi Arabia. Mereka mampu mengelola tanah tanah wakaf Aceh sudah ratusan tahun, meskipun sudah sekian kali dinasti berkuasa berganti. Sampai sekarang hasilnya masih bisa diperoleh para jamaah asal Aceh yang menunaikan ibadah haji. Para jamaah Aceh diberikan ganti berupa uang pemondokan jamaah haji sesuai dengan amanah wakaf di waktu kerajaan Aceh dahulunya. Dan mudah-mudahan tulisan ini bisa menjinakkan “nafsu ingin menguasai” harta milik Allah itu, dan Blang Padang dapat dikembalikan sebagai aset mesjid Raya Baiturrahman kembali. Sebab penjajah Belanda saja sangat menghormatinya, kenapa kita tidak.
M Adli Abdullah – Opini
* Penulis adalah dosen pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Nonton TV, Pemicu Penyakit Jantung
Terlalu banyak menonton Televisi, ternyata lebih banyak mudharatnya dibandingkan manfaat yang kita dapatkan. Kita telah sering mendengar warning dari berbagai kalangan tentang bahaya menonton televisi ditinjau dari berbagai perspektif. Berikut kami sajikan kepada anda laporan sebuah hasil penelitian yang dipublikasikan oleh situs Web Circulation, sebuah jurnal Asosiasi Jantung Amerika (American Heart Association, yang kami kutip dari Compas.Com. Semoga informasi ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama dapat menjadi pendorong bagi kita untuk mengontrol anak-anak kita agar tidak terlalu banyak menonton Televisi
Sebuah penelitian baru menunjukkan, terlalu banyak menonton televisi dapat memangkas umur manusia. Berdasarkan penelitian yang diterbitkan di situs Web Circulation, sebuah jurnal Asosiasi Jantung Amerika (American Heart Association), ditemukan bahwa semakin lama seseorang menonton televisi, semakin besar pula risiko kematian dini–terutama penyakit jantung.
Sebagaimana dikutip dari CNN Health, penelitian tersebut berlangsung selama lebih dari enam tahun dan memonitor kehidupan 8.800 orang dewasa di Australia yang tidak memiliki sejarah penyakit jantung dalam enam tahun terakhir.
Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa dari jumlah total partisipan yang menonton televisi selama empat jam atau lebih, sebanyak lebih dari 80 persen punya kemungkinan meninggal akibat penyakit jantung dan lebih dari 46 persen mungkin meninggal akibat penyebab lain.
Setiap tambahan satu jam di depan televisi meningkatkan risiko meninggal akibat penyakit jantung sebanyak 18 persen dan risiko kematian secara keseluruhan sebanyak 11 persen.
Pola ini tetap berlaku walaupun tingkat pendidikan dan kesehatan partisipan secara keseluruhan–termasuk umur, merokok atau tidak, level kolesterol, dan tekanan darah–turut diperhitungkan.
Menurut David Dunstan PhD, ketua penelitian dan kepala laboratorium kegiatan fisik di Baker IDI Heart and Diabetes Institute, sebuah pusat riset nasional di Victoria, Australia, yang membahayakan bukan televisi itu, tetapi posisi duduk ketika menonton televisi.
"Menonton televisi berkepanjangan sama dengan terlalu banyak duduk, yang berarti ketidakhadiran pergerakan otot ... (sehingga) dapat mengganggu metabolisme Anda," kata Dunstan. (KOMPAS.com —)
Sebuah penelitian baru menunjukkan, terlalu banyak menonton televisi dapat memangkas umur manusia. Berdasarkan penelitian yang diterbitkan di situs Web Circulation, sebuah jurnal Asosiasi Jantung Amerika (American Heart Association), ditemukan bahwa semakin lama seseorang menonton televisi, semakin besar pula risiko kematian dini–terutama penyakit jantung.
Sebagaimana dikutip dari CNN Health, penelitian tersebut berlangsung selama lebih dari enam tahun dan memonitor kehidupan 8.800 orang dewasa di Australia yang tidak memiliki sejarah penyakit jantung dalam enam tahun terakhir.
Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa dari jumlah total partisipan yang menonton televisi selama empat jam atau lebih, sebanyak lebih dari 80 persen punya kemungkinan meninggal akibat penyakit jantung dan lebih dari 46 persen mungkin meninggal akibat penyebab lain.
Setiap tambahan satu jam di depan televisi meningkatkan risiko meninggal akibat penyakit jantung sebanyak 18 persen dan risiko kematian secara keseluruhan sebanyak 11 persen.
Pola ini tetap berlaku walaupun tingkat pendidikan dan kesehatan partisipan secara keseluruhan–termasuk umur, merokok atau tidak, level kolesterol, dan tekanan darah–turut diperhitungkan.
Menurut David Dunstan PhD, ketua penelitian dan kepala laboratorium kegiatan fisik di Baker IDI Heart and Diabetes Institute, sebuah pusat riset nasional di Victoria, Australia, yang membahayakan bukan televisi itu, tetapi posisi duduk ketika menonton televisi.
"Menonton televisi berkepanjangan sama dengan terlalu banyak duduk, yang berarti ketidakhadiran pergerakan otot ... (sehingga) dapat mengganggu metabolisme Anda," kata Dunstan. (KOMPAS.com —)
Lokakarya Penguatan Kapasitas Mukim dan Gampong dalam Pengelolaan Kawasan
Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI) bekerjasama dengan Majelis Duek Pakat Mukim (MDPM) Aceh Rayeuk, beberapa waktu yang lalu telah melaksanakan kegiatan Penguatan kapasitas Mukim dan Gampong dalam Pengelolaan Kawasan. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 12 - 14 Desember 2009 bertempat di aula kantor YRBI di kawasan lampeuneuruet, Banda Aceh.
Adapun laporan kegiatan dimaksud adalah sebagai berikut:
LAPORAN KEGIATAN
Lokakarya Penguatan Kapasitas Mukim dan Gampong dalam Pengelolaan Kawasan
Banda Aceh, 12-14 Desember 2009
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
1. Latar Belakang
Pengakuan Mukim sebagai bagian dari sistem pemerintahan di Aceh yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan suatu peluang bagi kebangkitan Lembaga Mukim di Aceh. Demikian lamanya Lembaga Mukim di Aceh terbenam dalam ketidakpastian peran dan fungsinya, sehingga manakala terbuka peluang untuk menjalankan mandat sesuai amanah yang melekat pada kelembagaannya, maka tidak sedikit muncul kegamangan dan keraguan untuk berbuat dan bersikap. Kemandirian akan dapat dicapai apabila semua elemen dari kelembagaan mukim memiliki visi dan misi yang sama khususnya dalam upaya mencapai kesejahteraan bersama berdasarkan kapasitas sumber daya wilayah yang mereka miliki, kemampuan manajerial yang baik serta semangat yang kuat melindungi kawasan dan sumber daya dari upaya-upaya pengalihan fungsi dan hak terhadap pihak asing.
Oleh sebab itu guna mendukung upaya kemandirian Lembaga Mukim serta mendorong meningkatkan kemampuan Mukim dalam Pengelolaan Kelembagaan dan kawasan maka Yayasan Rumpun Bambu mencoba menawarkan serangkaian kegiatan yang sebelumnya menjadi rumusan bersama dari masyarakat dalam suatu program yang dikemas dengan judul Program“Penguatan Kapasitas Mukim dan Gampong dalam Pengelolaan Kawasan”. Program ini merupakan tahap kedua, dimana sebelumnya telah dilaksanakan dengan lokasi focus Mukim Lamteuba kecamatan Seulimeum Aceh Besar serta Gampong Panton Luas Mukim Trieng Meuduro kecamatan Sawang Aceh Selatan.
Guna mendapatkan masukan dan kemudahan serta kelancaran dalam pelaksanaan program nantinya maka dipandang perlu untuk melakukan kegiatan pendahuluan berupa Lokakarya Program yang nantinya akan diikuti baik oleh wakil dari masyarakat dampingan maupun dari wakil masyarakat pasca program tahap pertama serta tokoh-tokoh masyarakat dari beberapa mukim tetangga serta multi stakeholder di level pemerintahan baik kabupaten maupun propinsi.
2. Tujuan & Hasil yg diharapkan
Tujuan dari pelaksanaan lokakarya ini adalah :
1. Mensosialisasikan dan mendiseminasikan Program ”Penguatan Kapasitas Gampong/Mukim Dalam Pengelolaan Kawasan” ini kepada multi stakeholder khususnya masyarakat diwilayah fokus dampingan
2. Mendorong lahirnya partisipasi aktif dari berbagai elemen guna mencapai hasil maksimal dalam perjalanan program.
3. Untuk mendapatkan masukan positif dari berbagai elemen terhadap metoda dan agenda kegiatan yang telah dirumuskan.
4. Membangun konsolidasi dan sinergisasi antar semua komponen masyarakat yang akan terlibat dalam pelaksanaan Program Penguatan Kapasitas Gampong/Mukim dalam Pengelolaan Kawasannya.
3. Hasil Yang Ingin dicapai
1. Adanya pemahamam yang sama terhadap ide-ide rumusan program baik oleh pelaksana maupun oleh penerima manfaat program dan para pihak yg akan dilibatkan.
2. Adanya tanggapan kritis & masukan dari berbagai pihak mengenai program penguatan kapasitas gampong/mukim dan berbagai upaya penyempurnaan rencana pelaksanaannya.
3. Adanya rumusan bersama antara pelaksana program dan penerima manfaat terhadap beberapa agenda waktu, tempat dan jenis kegiatan yang akan dilaksanakan
4. Pemerintah daerah & organisasi masyarakat sipil yang diudang memberikan apresiasi positif & dukungan atas program penguatan kapasitas gampong/mukim dalam pengelolaan kawasan ini.
4. Tema Kegiatan:
”Membangun kedaulatan Mukim dan Gampong atas Sumber Daya Alam melalui penguatan adat”
5. Pelaksanaan Kegiatan
a. Tempat dan Waktu
Lokakarya ini dijadwalkan berlangsung selama 3 hari, yaitu pada hari Sabtu - Senin tanggal 12 s/d 14 Desember 2009 pukul 08.30 sampai dengan pukul 17.00 wib, bertempat di Aula Sekretariat YRBI Banda Aceh.
b. Peserta:
Dari 35 orang yang diundang untuk mengikuti lokakarya ini hanya dihadiri sebanyak 25 orang, yang terdiri dari peserta aktif & undangan. komposisi kepesertaan sudah cukup terwakili dari rencana peserta yang telah diundang. Beberapa calon peserta aktif dari Lampanah dan Undangan dari Pemda TK II & DPR ada yang tidak hadir.
Peserta aktif adalah peserta yang mengkuti proses lokakarya secara penuh (selama 3 hari kegiatan), sementara peserta undangan adalah peserta yang dilibatkan pada hari terakhir dari proses lokakarya (1 hari).
Peserta aktif terdiri dari :
a) Imuem Mukim di kawasan Seulawah, meliputi mukim: Lampanah, Lamteuba, Lamkabeu, Gunong Biram, Saree, dan Laweung
b) Tokoh Masyarakat/Adat Mukim Lamteuba & Krueng Raya
c) Majelis Duek Pakat Mukim Aceh Besar
d) Imuem Mukim Lam Ara-Mibo
e) Imuem Mukim Syech Abdur Rauf
f) Imuem Mukim Samahani
g) Tokoh Masyarakat Layeun
Dan para tamu undangan terdiri dari :
h) Pemerintah Kecamatan Mesjid Raya
i) Forum LSM Aceh
j) WALHI Aceh
c. Moderator/Fasilitator:
- Sanusi M Syarief (YRBI)
- Agus Halim Wardana (YRBI)
d. Panitia
Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI) bekerjasama dengan Majelis Duek Pakat Mukim (MDPM) Aceh Besar & Perwakilan Masyarakat Mukim Lampanah
e. Peserta
Berjumlah lebih kurang 50 orang, terdiri dari, Dewan Adat JKMA Pulo Weh,
Peserta: Pengurus & Dewan JKMA, Tokoh adat, Imuem mukim, Keuchik, Tokoh perempuan, dan Panglima Laot. Kongres juga dihadiri Undangan dari perwakilan JKMA Aceh, JKMA Tamiang, JKMA Aceh Barat, YRBI. Pada hari pertama Kongres dihadiri oleh Wakil Walikota & Beberapa Undangan dari Instansi terkait (MPU, Muspida dan Muspika)
f. Panitia Pelaksana
Pengurus dan Sekretariat JKMA Pulo Weh.
g. Metode pelaksanaan kegiatan
Metode yg digunakan dalam kegiatan Kongres ini adalah agenda seremonial (pembukaan & penutupan), diskusi kelompok & pleno. Proses musyawarah dipimpin oleh Pimpinan Sidang.
h. Proses Kegiatan
Alur Kegiatan Lokakarya
Hari I ; Sabtu/12 Desember 2009:
Pembukaan Orientasi Lokakarya Perkenalan Eksplore Issue
↓
Pengelolaan Kawasan Gampong/Mukim Review Perkembangan Program
Hari II ; Minggu/13 Desember 2009
Eksplore Permasalahan/Identifikasi Perkembangan Analisis SWOT Draft Rekomendasi
Hari III; Senin/14 Desember 2009
Penyempurnaan Rekomendasi & Dialog dengan Para Pihak Rencana Tindak Lanjut
↓
Penutupan
Lokakarya selama 3 hari ini dibuka dengan acara protokoler
i. Metoda
Adapun metoda yang digunakan dalam Lokakarya ini adalah:
- Penyampaian materi dari narasumber yang terpilih yang dilanjutkan dengan tanyajawab dipandu oleh seorang moderator.
- Diskusi Kelompok dan Pleno yang dipandu oleh seorang fasilitator.
6. Hasil Kegiatan & Analisis
a. IDENTIFIKASI ISSUE
- Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA)
- Batas gampong:
- antar gampong, termasuk wilayah pemukiman & glee
- antar mukim
- Perlindungan kawasan dari penebangan (koh kayee di glee)
- Pembangunan Tanggul di kawasan pemukiman Lampageu.
- Ada banyak lahan milik pejabat nanggroe di wilayah hutan Mukim Samahani è lahan ternak tergusur
- Penggusuran ladang masyarakat yang menanam di lahan HTI è Gunung Biram
- Banjir
- Masalah Tanah è sertifikasi & kepemilikan tanah = Mukim tdk dilibatkan dalam proses jual beli tanah
- Pemanfaatan wilayah krueng.= meujang (Syeh Abdul Rauf)
- Bineh Pasie: akan dibangun pelabuhan, blm ada kesepakatan dalam pengelolaan & penguasaan wilayah bineh pasienya è Mukim Syeh Abdul Rauf
- Pengelolaan persawahan
- Klaim tanah padang meurabe Krueng Raya oleh Brimob
- Mukim tidak difungsikan secara maksimal, khususnya dalam hal pengelolaan SDA, penguasaan lahan, dan administrasi pemerintahan. Mukim hanya difungsikan sbg penyelesai masalah/sengketa/perkara masyarakat.
- Pendataan Potensi & aset-aset SDA produktif di gampong/mukim: tambak terlantar,HTI.
- Peghijauan kawasan DAS Banda Aceh dg tnmn jati
- Ketidakseimbangan kepemilikan lahan: didominasi kelompok modal, militer & pejabat.
- Kewenangan, fungsi & peran keuchik/mukim dalam pengelolaan Sumber Daya Alam yang belum terimplementasi dg benar.
PERMASALAHAN Pengelolaan Sumber Daya Alam
- SUMBER DAYA ALAM: HUTAN, KRUENG, SUMBER MATA AIR,KAWASAN KELOLA GAMPONG & MUKIM
- HUTAN LINDUNG è Kawasan Seulawah
- Sumber-sumber Air
- Waduk
- Galian C
- Pesisir: Bineh Pasie
- Krueng : Hulu – Hilir
- PENATAAN RUANG
- PENGUASAAN LAHAN KOMUNAL oleh Militer (Brimob, KODIM), HTI, Perkebunan, Perusahaan, Pejabat.
- Pengelolaan Sumber Daya Sosial & Manajement
- Kekompakkan ureung2 tuha gampong perlu diperkuat.
- Hubungan gampong-mukim
- Peran pemuda mukim
- Kinerja Mukim & Kelembagaan Adat Kembali
- SARAN/USULAN
- Bagaimana caranya agar masyarakat gampong bisa berfikiran positif & mendukung pembangunan
- Petunjuk pelaksanaan baru mengenai tugas2 mukim sbg bahan bg pelaksanaan tugas kelembagaan adat mukim/gampong.
- Pembekalan ilmu-ilmu adat bagi para pejabat pamong tingkat kecamatan (setingkat Kasie).
- Buat kampanye besar2an & terus menerus utk memperkuat mukim.
- Seruan bersama keuchik/mukim utk pengakuan wilayah mukim / gampong.
b. HASIL DISKUSI
HASIL DISKUSI KLP. I
1) Kewenangan mukim tidak terlibat sepenuhnya dalam mengelola SDA
2) Mukim & perangkat adat jarang dilibatkan dalam menentukan tapal batas gampong
3) Keterlibatan mukim dalam pemberian izin usaha mengelola SDA tdk ada
4) Kurang serius pemerintah menanggapi laporan mukim mengenai persoalan Illegal Logging, seperti kasus di Seulawah
5) Minimnya pengetahuan manajemen dan kelembagaan
6) Kebijakan pemerintah dalam penataan ruang dan pelestarian lingkungan tidak melalui pendekatan adat (tata ruang tdk berbasis mukim).
7) Belum semua mukim dilibatkan dalam mengetahui Surat Jual Beli Tanah.
8) Tidak ada keserasian antara Undang-Undang/Kenbijakan Pemerintah dengan peraturan gampong/mukim
9) Tidak ada anggaran dana utk mukim
10) Koordinasi gampong-mukim dalam perencanaan & pengelolaan SDA masih kurang.
11) Koordinasi mukim – camat dalam perencanaan & pengelolaan SDA
12) Koordinasi mukim – Bupati
13) Koordinasi mukim – DPRK
Anggota Kelompok I. : Burhanuddin, Ridwan Ibrahim, A.Hamid Raden, Taufik, Jauzi Ramadan, Sofyan B, Fachri Kamal,Saifuddin.
KLP.II. Pengelolaan Sumber Daya Sosial & Sistem Manajement
1) Setiap penyelesaian permasalahan digampong,harus diketahui oleh mukim
2) Struktur gampong dan mukim harus dikuatkan melalui kerjasama yang baik antara keuchik, tuhapeut, tokoh pemuda dan semua komponen perangkat adat gampong dan mukim.
3) Setiap pembangunan yang masuk ke wilayah gampong harus mengetahui keuchik dan mukim
4) Kinerja mukim harus ditingkatkan
5) Fasilitas gampong & mukim harus disediakan
6) Penguatan lembaga gampong & mukim perlu ditegakkan
7) Setiap jual beli tanah harus mengetahui mukim
Anggota Kelompok II: Nasrudin, Yusni Husen, Mufliadi, Muhammad Abdullah, Muhammad, & Muklis
c. ANALISIS SWOT
I. KONDISI INTERNAL
SUMBER DAYA MANUSIA
KELEMAHAN
Kurang ilmu pengetahuan perangkat adat gampong & mukim tentang adat, pembangunan dan sumber daya gampong/mukim.
Masyarakat belum paham tentang adat di gampong dan mukim
Dipolitisir pd saat pemilihan: penggunaan cara2 tdk sehat dalam pemilihan Keuchik & Imuem Mukim?
Tidak ada panutan
Pemimpin gampong/mukim kurang mendapat kepercayaan & dukungan dari masyarakat
Tidak ada pengalaman dalam memimpin
Keuchik & Imuem Mukim tidak memenuhi syarat ideal sebagai keuchik & imuem mukim sebagaimana ketentuan adat
Tata cara pemilihan keuchik & imuem mukim tidak berdasarkan adat
Kondisi ekonomi masyarakat gampong yang masih lemah
Sedikitnya lahan warga yang dapat menjadi sumber ekonominya
Adanya kesenjangan sosial dalam masyarakat
Sikap apatis dan tidak peduli dari sebagian besar masyarakat
Kurangnya rasa memiliki terhadap gampong
Kharisma pemimpin gampong dan mukim masih kurang
Sedikit pemimpin yang berjiwa ikhlas & peduli thd warganya
KEKUATAN
Imuem mukim mendapat dukungan dari para mitra kerjanya (keuchik & perangkat gampong)
Memiliki kemampuan dalam secara individu
Memiliki ilmu pengetahuan dalam memimpin
Percaya diri yg tinggi
Punya pengalaman dan wawasan luas
Cerdik lebih penting dalam kepemimpinan
Diakui oleh komunitasnya
Berwibawa & jujur
Kemauan & keinginan
Masih ada sedikit masyarakat yang berjiwa sosial yang mau menjadi pengelola gampong & mukim
Sudah ada lembaga adat mukim
Ada kawasan yang menjadi kawasan kelola mukim/gampong
Organisasi
Kelemahan:
Mukim tidak memilik kantor
Staff Mukim belum lengkap
Tidak ada pendataan yang akurat tentang potensi kemukiman
Komitmen & absraksi (berita acara, absensi rapat….)
Kekuatan:
Memiliki kantor yang representatif
Memiliki transportasi yang memadai
Sistem manajement yg lancar
Mempunyai struktur lembaga yang baku
Adanya evaluasi sebulan sekali terhadap kinerja mukim
Adanya sumberdaya dalam pengelolaan manajemen mukim, antara lain: laut, hutan, sungai, sawah & kebun.
Anggota Klp. I: A.Hamid Raden, Fari Kamal, Sofyan B, Mufliadi, Saifuddin, Muchlis, Jauzi
II. EKSTERNAL
ANCAMAN
- Belum ada peraturan/petunjuk pelaksana untuk implementasi qanun yang berkenaan dengan wewenang, tugas & fungsi mukim di tingkat gampong/mukim.
- Banyaknya Peraturan Daerah tentang Galian C
- Perda Penetapan tata ruang yang tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan dan adat gampong/mukim
- Undang-undang tentang pengelolaan & penguasaaan hutan lindung sebagai kawasan peruntukan lain (pendidikan…)
- Anggaran dana yang kurang
- Pendidikan yang berorientasi “barat”
- Pembukaan lahan perkebunan di wilayah mukim
- Kebijakan ekomoni daerah yg tdk memihak kepentingan rakyat
- Dukungan Pemda yang lemah terhadap upaya pemberantasan illegal logging oleh masyarakat
- Kondisi sosial & psikologis masayrakat gampong/mukim
- Visi ACEH GREEN dengan Issue perdagangan karbon dan penentuan kawasan ekosistem ulue masen
- Kurangnya dukungan pemerintah daerah terhadap keberadaan kelembagaan adat gampong & mukim
- Lemahnya kontrol dari masayarkat terhadap kebijakan pengelolaan sumber daya alam & pembangunan
- Banyaknya mafia pembangunan dalam penyusunan rencana pembangunan & implementasinya
- Transparansi atas rencana pembangunan dan pelaksanaan pembangunan
- Masih ada para pihak pelaksana pembangunan yang masih menggunakan car-cara lama
- Sosialisasi kebijakan tentang illegal logging dan implementasinya yang tidak jelas
PELUANG
- UU. No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
- Qanun No.4 th 2003 ttg Pemerintahan Mukim NAD
- Qanun No.5. th 2003 ttg Pemerintahan Gampong NAD
- Qanun No.9 th 2009 tentang Pemerintahan mukim Aceh Besar NAD
- Adanyta LSM lokal, nasional & internasional
- Adanya forum- masyarakaty yang berasal dari komunitas adat, seperti: MAA, Majelis Duek Pakat Mukim, Forum keuchik
- Mukim sudah menjadi issue central di Aceh
- Banykanya kawasan hutan dan sumber daya alam di wilayah gampong & mukim
- Perlu pengaturan agar bermanfaat bagi kepentingan masyarakat
- Kebijakan logging yang menjamin kepentingan masyarakat melalui pelimpahan kewenanagan terhadap mukim
- Adanya kerjasama antar komponen masyarakat dalam melindungi kawasannya
- Masih ada komitment dari para imuem mukim & perangkatnya dalam membangun kedaulatan gampong & mukim
- Pembagian hak pengelolaan hasil hutan bagi masyarakat
- Ada alokasi dana yang besar untuk Aceh selama 15 tahun ke depan pasca MoU.
Anggota Klp. II: Nasruddin, Yunus Ibrahim, Muhammad Abdulllah, Muhammad, Rizwam Ibrahim, Tauifik
d. REKOMENDASI LOKAKARYA
1. Penerapan qanun mukim secara sempurna
a. Pihak-pihak Pemda (Camat s/d Propinsi) harus mensosialisasikan & menerapkan qanun secara benar
b. Pihak Mukim & Gampong harus mengetahui & mampu menterjemahkan isi qanun mengenai mukim/gampong kedalam berbagai kehidupan sosial masyarakt gampong/mukim
2. Setiap pembangunan di wilayah gampong/mukim wajib diketahui mukim.
3. Keuchik melibatkan mukim & warga gampong dalam perencanaan pembangunan. Mukim mendapat tembusan RKPG & RPJMG
4. Meneruskan Konsep Majelis Duek Pakat Mukim Aceh Besar mengenai 3 Issue Strategis Mukim, meliputi:
a. Koordinasi & tata pemerintahan
b. Pengelolaan Sumber Daya Alam
c. Implementasi qanun/kebijakan yang berkenaan dengan mukim
5. Perbaikan tata ruang dengan memperhatikan aspek kelestarian lingkungan & sistem adat Aceh
6. Untuk kebutuhan lokal, masyarakat boleh menebang kayu dan menggunakan kayu hutan yang berada dalam wilayah mukim . Pemanfaatan kayu hasil hutan untuk kepentingan lokal diatur dengan adat istiadat di tingkat gampong & mukim dengan baik.
7. Ada komitmen dari pemerintah pusat sampai dengan tingkat kecamatan untuk menjadikan mukim sebagai mitra kerja dalam pembangunan
8. Kegiatan pembangunan dan aktifitas usaha harus memperhatikan kelestarian lingkungan dan sumber-sumber penghidupan masyarakat
9. Penyelesaian kasus “pengambilalihan lahan padang meurabe” menjadi wilayah klaim/milik Brimob POLDA NAD
10. Pengakuan negara atas tanah yang direkomendasikan oleh mukim/keuchik
11. Ada informasi yang jelas bagi masyarakat atas kegiatan pembangunan
12. Adanya dukungan kongkrit dri Pemda atas upaya yang telah dilakukan warga untuk melindungan & menjaga kelestarian hutan; tindakan kongkrit penghentian penebanagn hutan di wilayah hutan lindung seulawah
13. Keuchik dan mukim diberi kewenangan untuk pengelolaan sumber daya alam dalam wilayahnya
14. Ada dukungan politik & hukum dalam penyelesaian kasus-kasus /sengketa pengelolaan SDA
15. Perangkat gampong & mukim secara terus menerus harus meningkatkan pengetahuan mengenai qanun & kebijakan daerah mengenai gampong & mukim
RENCANA TINDAK LANJUT
1. Diskusi/Lokakarya ttg Hak Ulayat ; didukung oleh FORUM LSM Aceh
2. FGD Kajian QANUN; diskusi di tiap gampong yg berminat, didukung oleh FORUM LSM Aceh
3. FGD ttg TATA RUANG ; didukung oleh Walhi Aceh
4. FGD ttg Tata Cara Penebangan Kayu Hutan & Pemanfaat Hasil Hutan di Wilayah Mukim ; mukim dalam kawasan Seulawah
5. Diskusi ttg EKOSISTEM SEULAWAH ; didukung oleh Walhi Aceh
6. TULISAN ttg Ekosistem Seulawah, berkaitan dg Kajian Sosial & Adat
7. Lokakarya REDD
8. Dengar Pendapat Dengan DPRK ttg Konsep Mukim & Hasil Lokakarya: Forum LSM Aceh harus diajak
9. DISKUSI TTG ADAT DI KRUENG RAYA???
FGD ttg Hak Jurong & Hak Ie dalam masyarakat
Penyelesaian masalah batas & Pengambilalihan lahan oleh POLDA
Pelestarian Pesisir pantai
Kegiatan FGD dapat dihadiri oleh Tokoh msyarakat, Pemuda mukim, Mukim2 terkait, para pihak.
10. Mukim Laweung & Gurah sbg lokasi FGD ttg Hak Ulayat
11. FGD Sosialisasi Qanun Mukim di Layuen, Leupung; Bekerjasama dg Camat Leupung
12. Diskusi Qanun Mukim & Gampong di Kec.Kuta Malaka
13. Lamteuba; FGD ttg Batas-Batas Wil. Dan Panas Bumi
14. Gunung Biram: FGD ttg Batas
15. Syeh Abd Rauf: FGD Penyempurnaan Lembaga Mukim
16. Lamkabeu : FGD ttg Konsep Batas
17. Saree: FGD ttg Isue Air, REDD dan Ekosistem Seulawah
18. LAMPANAH: Abrasi Laut, Issue Batas, Tanah Hak Ulayat
Muatan RENCANA Tindak Lanjut
Rancangan Topik Diskusi Reguler (di Mibo & lapangan)
Kesepakatan kesediaan menjadi tuan rumah untuk diskusi lapangan
Kriteria calon peserta untuk ikut Lokakarya & Training Tuhapeut
Kriteria calon peserta untuk ikut Training Resolusi Konflik
Prosedur & Sistem Kontribusi untuk Pemetaan Mukim
Memastikan Calon Peserta REDD
Kriteria Peserta Lokakarya/Training
Lokakarya Tuhapeut Training Tuhapeut Resolusi Konflik
Umur 40 keatas Hana batas Hana batas
Pernah menjabat sbg Tuhapeut, Keuchik atau Tengku Meunasah Ada kemampuan komunikasi Ada kemampuan komunikasi
Ada keterwakilan dr Tengku Meunasah Ada keterwakilan dr Tengku Meunasah Ada keterwakilan dr Tengku Meunasah
Ada keterwakilan perempuan Ada keterwakilan dr Mahasiswa Ada keterwakilan dr Mahasiswa
Mahasiswa Calon peserta Pelatihan Tuhapeut
ASNADI: Mukim Syeh Abdul Rauf
JUFRI: Mukim Lampanah
KHAIDIR: Mukim Krueng Raya
Ayub : Mukim Lamkabeu
Syakirin Usman: Mukim Samahani
Khairuddin: Mukim Lamteuba
Abdul Munir Jalil: Mukim Laweung
Firdaus: Mukim Lam Ara Mibo
M.Zaki: Mukim Lamtamot
Baihaqi: Mukim Leupung 26 Kota Baru
Mahdalena: Mukim Saree
Calon Peserta REDD (18-19 Des 09)
1. M.Ali Raman (Ketua Uteun Mukim Laweung)
2. Maimun (Keuchik Meunasah Tunong, Lamkabeu)
3. Saree: Imuem Mukim (dlm konfirmasi)
4. Krueng Raya: dlm konfirmasi
5. Layeung: dlm konfirmasi
6. Lamteuba: Imuem Mukim
7. Lampanah: Sekretaris Mukim
8. Lam Ara: dalam konfirmasi
9. Gurah: Imuem Mukim
10. Lamtamot/Gunung Biram: Imuem Mukim
11. Syeh Abdul Rauf: Sekim
12. Imuem Mukim Leupung 26
13. Samahani: Ibrahim Ahmad (Tokoh Mukim)
14. Lampanah: Keuchik Muslim
15. Lamteuba: Ketua Forsela & Ketua Pemuda Mukim
16. Laweung: keuchik atau sekgam (konfirmasi Rabu)
17. Lamkabeu: Ketua pemuda Gampong Batee Lhee Indra
18. Lamtamot: konfirmasi rabu
19. Lampageu: Imuem Mukim
20. Mukim Peyeung: Imuem Mukim
21. Mukim Glee Yeung: Imuem Mukim
22. Jantho: Imuem Mukim
23. Mukim Cot Saluran: Imuem Mukim
24. Mukim Lam Blang: Imuem Mukim
25. Mukim Seulimuem: Imuem Mukim
Prosedur & Sistem Kontribusi untuk Pemetaan Mukim
Lampanah: Pendekatan mukim & gampong
Samahani: Pendekatan gampong & mukim
Syeh Abdul Rauf: Peta perairan ulayat & bineh pasie
Mibo, Mukim Lam Ara :
Prosedur
a. Tim YRBI akan sosialisasi di gampong
b. Ada kejelasan sumbangan gampong dalam kegiatan pemetaan (untuk pemetaan kawasan perumahan)
c. Ada kontribusi masyarakat mukim dalam pengambilan titik koordinat peta mukim
d. Peta gampong diprioritaskan di wilayah gampong yg paling kecil.
e. Gampong yg tdk ada sengketa batas dengan gampong lain dapat dijadikan daerah prioritas.
f. Titik batas yg masih ada sengketa tidak dilakukan pengambilan titik definitif
g. Peta kawasan perumahan gampong tdk memunculkan garis batas dg gampong lain
h. Mukim yg ada sengketa batas dg mukim yg lain perlu membangun perundingan
7. Penutup
Demikianlah laporan ini dibuat sebagai bentuk pertanggung jawaban dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Semoga beguna.
Saleum.
Lampiran:
- Notulensi
- Materi Lokakarya
- Rekomendasi Lokakarya
- Rincian Keuangan
- Foto-foto Kegiatan
- Daftar Peserta
Perbaiki Proses Rekrutmen Anggota WH
Ta harap keu pageue
Pageue pajoh pade
Kasus dugaan perkosaan terhadap tahanan oleh oknum anggota WH Kota Langsa, masih menjadi gunjingan paling hangat pekan ini di seantaro Aceh. Kasus ini menjadi pukulan paling telak terhadap lembaga WH, yang keberadaannya justru dimaksudkan sebagai pengawal tegak syariat di bumi Serambi Makkah. Jika melihat ke belakang, sebenarnya tercatat sederetan kasus memalukan yang juga melibatkan para oknum anggota WH, seperti terlibat khalwat dan memback-up kegiatan maksiat. Namun tidak terlihat adanya upaya yang benar-benar serius dari para pengambil kebijakan di Aceh untuk mengatasi persoalan tersebut. Bahkan terkesan kasus-kasus tadi dibiarkan hilang terkubur tergilas waktu.
Sampai terjadilah peristiwa yang menghentakkan di kota Langsa. Kita seakan tak percaya dengan kejadian ini, meski aromanya telah menusuk hidung dan faktanya telah mencolok mata. Kejadian ini benar-benar bagaikan gempa dan tsunami dalam perjalanan penerapan syariat Islam di Aceh.
Berbagai elemen masyarakat Aceh bereaksi keras terhadap kasus ini, baik secara pribadi maupun secara kelembagaan. Hujatan-hujatan yang ditujukan kepada lembaga WH dan pihak terkait lainnya bagaikan hujan deras memenuhi lembaran halaman pembaca atau SMS pembaca beberapa media cetak lokal di Aceh. Tak kalah gencarnya, tercatat pula banyak LSM yang meneriakkan protes dan kekesalannya, diantaranya LBH Apik, Koalisi NGO HAM, Pos Bantuan Hukum dan HAM Aceh Timur (PB HAM Aceh Timur), Kelompok Kerja Transpormasi Gender Aceh, Pusat Study Hukum dan HAM Universitas Syiahkuala, GWG, Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan, Flower Aceh, Solidaritas Perempuan Aceh, Balai Syura Ureung Inong Aceh. Juga, Forum Ulama Perempuan Aceh Barat, Forum Tuha Peut Aceh Barat, Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah Aceh, KontraS Aceh, LBH Anak, Lembaga Kajian Perlindungan Perempuan dan Anak -Aceh Barat, Yayasan Bungong Jeumpa, Yayasan An-Nisa' Banda Aceh, Yayasan JARI Lhokseumawe, Prodelat, Leuham, Yayasan Sri Ratu Safiatuddin, Fatayat NU, SHEEP Aceh, CCDE, Liga Inong Aceh wilayah Bireun dan Aceh Timur, Serikat Inong Aceh.
Lembaga WH yang berada di bawah instansi Satpol-PP dan WH menjadi bulan-bulanan kritikan masyarakat. Tetapi lembaga ini seakan diam seribu bahasa. Entah apa yang mereka harapkan, barangkali mereka berharap biarlah kasus kembali hilang terbawa waktu, seperti kasus-kasus sebelumnya. Tiada penjelasan yang menyejukkan yang dapat membawa harapan baru kepada masyarakat yang begitu sangat tersakiti dengan kasus ini.
Sejatinya kita bisa belajar banyak dari kasus-kasus sebelumnya. Lalu berusaha sungguh-sunguh dan sekeras-kerasnya untuk memperbaiki berbagai kelemahan dalam penerapan syariat Islam. Upaya ini sangat diperlukan untuk menghidari insiden-insiden yang justru mencederai keluhuran Syariat Islam itu sendiri. Kecerobohan-kecerobohan yang kita lakukan dalam implementasi syariat Islam di Aceh merupakan pengkhianatan dan penghinaan dalam bentuk lain terhadap syariat Islam.
Kedepan tak ada pilihan lain, kecuali kita mesti berusaha semaksimal mungkin untuk memperbaiki berbagai sisi kelemahan dalam pelaksanaan syariat. Salah satu yang perlu diperbaiki adalah proses rekrutmen anggota WH. Informasi yang berkembang di masyarakat, proses rekrutmen anggota WH dewasa ini, tidak berbeda dengan proses rekrutmen PNS lainnya, yang cenrung ternodai dengan pendekatan kolusi dan nepotisme. Akibatnya banyak anggota WH yang direkrut, tidak mengerti syariat dan tidak bermental syariat. Mereka menjadi anggata WH semata-mata untuk mencari makan, tanpa komitmen sedikitpun untuk penegakan syariat.
Semestinya yang menjadi anggota WH, disamping orang-orang yang benar-benar mengerti syariat, mereka juga orang-orang yang teruji memiliki komitmen yang tinggi terhadap pelaksanaan syariat. Mereka adalah orang-orang yang sungguh-sungguh memiliki kepekaan syariat (senses of Sharia) yang tinggi dan agung. Sosok yang mau dan mampu mengorban apapun untuk kepentingan tegaknya hukum Allah di bumi ini. Dan tentu ada berbagai syarat ideal lainnya yang mesti dipenuhi oleh sang pengawal tegaknya syariat.
Untuk menjaring sosok seperti ini, maka yang mesti diperbaiki adalah proses rekrutmennya. Kita mesti memiliki pola rekrutmen yang handal guna menyeleksi calon anggota WH yang sesuai dengan kualifikasinya. Hal ini menjadi amanah dan PR bagi pejabat-pejabat instansi terkait, bagi pemikir-pemikir, bahkan seluruh komponen masyarakat Aceh untuk menemukan pola rekrutmen terbaik. Semoga ke depan akan ditemukan sosok WH sejati, dan syariat Islam akan dijalankan dengan sepenuh hati... Wallahu'alam.
Rukun Wisata Aceh, antara Café dan kaphe..!
membahas penguatan mukim di kedai kopi |
Duek, duek aree
Jak, jak langay
Meugrak jaroe, meu-eek igoe
Meski perdebatan belum berujung, namun kebiasaaan nongkrong di warung kopi telah terlanjur di labelkan sebagai budaya orang Aceh. Pelabelan ini tentunya bukan tanpa alasan, namun didukung oleh data dan fakta di lapangan. Siapapun yang datang menginjakkan kakinya di bumi Aceh, maka dengan mudah akan menemukan warung-warung kopi yang bertaburan di mana saja. Nyaris di semua sudut bumi Aceh kita dapat menemukan warung kopi, dari yang wujudnya sederhana sampai dengan warung kopi mewah dengan sentuhan modern. Dan bisa dipastikan pula bahwa semua warung kopi itu nyaris tak pernah sepi di kunjungi oleh penikmat-penikmatnya. Lebih seru lagi, dikalangan pendatang yang berwisata ke Aceh, malah beredar pameo seolah-olah kalau ke Aceh, lalu tidak sempat nongkrong di warung kopi, maka hal itu dipandang sebagai sesuatu yang tidak memenuhi salah satu rukun wisata Aceh, dan ketinggalan rukun itu tidak dapat diganti dengan kafarat lainnya, sehingga perjalanan wisata ke Aceh dianggap tidak sah.
Dikalangan tokoh-tokoh masyarakat Aceh, anggapan kebiasaan nongkrong di warung kopi sebagai bagian dari budaya Aceh masih menjadi topic perdebatan seru. Ada yang pro dan ada yang kontra, tentunya dengan berbagai argument dan dalil masing-masing. Salah seorang tokoh yang sangat berkompeten terlibat dalam perdebatan ini adalah Ketua Majelis Adat Aceh Bapak Tgk. H. Badruzzaman Ismail, SH. M.Hum. Beliau adalah sosok yang dengan jelas dan tegas menolak anggapan bahwa kebiasaan nongkrong di warung kopi sebagai bagian dari budaya Aceh. Dalam berbagai kesempatan termasuk ketika menjadi pembicara pada kegiatan Mukerkim Siem tanggal 16 Agustus 2009, beliau menegaskan bahwa, fenomena nongkrong di warung kopi sebagaimana berkembang saat ini, tidak dijumpai dalam masyarakat Aceh dulu. Dulu warung kopi hanya ada di pasar (peukan) dan kaum lelaki yang dulu biasanya berbelanja di Peukan memanfaat jasa keudee Kupi sebagai tempat istirahat sejenak sambil meneguk segelas kopi. Orang-orang tua di Aceh dulu melarang keras anaknya duduk-duduk di warung kopi, bahkan orang-orang tua yang kebutulan duduk di warung kopi akan mengusir jika ada anak-anak yang mencoba untuk nongkrong di warung kopi.
Fakta di lapangan membuktikan bahwa pada sebahagian besar pengguna jasa warung kopi, menjadikan warung kopi sebagai sarana untuk menyalurkan kebiasaan bermalas-malas. Padahal mereka nongkrong di warung pada saat jam-jam produktif. Pemandangan seperti ini tidak hanya terjadi kalangan masyarakat petani di desa-desa, tapi juga terjadi dikalangan pegawai negeri sipil. Tidak sulit kita menemukan pada saat-saat jam sibuk, para abdi Negara ini justru terlihat santai di warung-warung kopi, meski sekarang karena telah ada larangan dari gubernur, kadang-kadang mereka harus bermain kucing-kucingan dengan petugas Satpol-PP.
Perilaku bermalas-malasan sejatinya sangat dikecam dalam budaya Aceh. Perilaku bermalas-malasan sering dipandang sebagai budaya WWT singkatan dari Wa-Wa Teuoet, dan orangnya disebut sebut sebagai orang raya gatok. Secara lugas malah budaya Aceh menghujat pemalas dengan sebutan “Lagee leumoe eeh yub trieng”. Sebaliknya budaya Aceh mengajarkan masyrakat untuk selalu aktif, kreatif dan pantang menyerah dalam perjuangan hidup. Ajaran ini bisa kita gali dari berbagai amanah indatu dalam bentuk hadih maja. Hadih-hadih maja yang mengajarkan hal ini jumlahnya sangat banyak, namun diantaranya dapat disebutkan antara lain: gaki jak urat meunari, na tajak na raseuki; meugrak jaroe, meu-ek gigoe; raseuki ngen tagagah, tuwah ngen tamita; tapeujeumot droe, throe pruet.
Hujatan tadi bukannya tanpa pembelaan dari pihak yang pro dengan budaya nongkrong di warung kopi. Para actor intelektual dari pendukung budaya nongkrong di warung kopi, tak kalah seru juga mempermainkan dalil-dalil bijak untuk melegitimasi kebiasaan mereka. Hadih maja yang sering ditunggangi untuk pencapaian maksud tersebut adalah hadih maja: duek, duek aree, jak, jak langay. Mereka menegaskan bahwa prosesi nongkrong di warung kopi juga dapat menjadi hal-hal yang produktif. Perumpamaan sukatan (aree) dalam hadih maja di atas, ketika dalam posisi diam, sukatan juga diisi dengan gabah atau hasil pertanian lainnya untuk disukat.
Di warung kopi, mereka dapat melakukan berbagai hal dan membicarakan berbagai persoalan dari setiap dimensi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Maka tak heran bila team-team suksesi kepemimpinan di Aceh mebicarakan taktik dan strategi pemenangan pemilihan di warung kopi. Warung kopi juga dimanfaatkan sebagai ruang untuk membicarakan urusan-urusan bisnis. Lobby proyek besar sering menghasilkan kesepakatan di warung kopi. Oleh sebab itu nongkrong di warung kopi tak jarang bernilai milyaran rupiah bagi orang-orang terentu. Yang tidak dapat dikesampingkan adalah banyak ide-ide brilliant di Aceh justru lahir dari perbincangan ringan di warung kopi. Ya…bagi sebagian orang Aceh, nongkrong di warung kopi memang telah menjadi ritual yang tidak bias ditinggalkan. Sehari saja tidak nongkrong di warung kopi akan menimbulkan siksaan psikologis bagi mereka.
Tak ayal budaya nongkrong di warung kopi, realitasnya menjadi unik. Perdebatan itu sendiri, meski sulit menemukan titik temunya, menurut saya menjadi sesuatu yang amat memperkaya khazanah pengetahuan kita. Tentunya ketika perdebatan itu tetap berada dalam koridor damai, tanpa menghujat tanpa mengejek.
Di sinilah dibutuhkan kecerdasan kita untuk menyikapi fenomena-fenomena terkini dalam hidup kekiniaan kita. Bahwa prosesi nongkrong di warung kopi lebih banyak mudzaratnya, adalah realitas tak terbantahkan. Dan bila dijalani dengan benar, juga ada mafaatnya, ada benarnya…! Kecerdasan yang mesti kita miliki adalah bagaimana cara memperkecil mudharat dan memperbesar manfaat.
Untuk urusan kecil ini, saya pikir kita mesti rela memberikan energi yang besar, agar dapat menemukan solusi yang terbaik. Di tengah menjamurnya bisnis warung kopi atau café di Aceh, pemikiran cemerlang sangat mendesak untuk dikerahkan dengan kekuatan penuh. Secara ekonomi warung kopi dan café-café menjadi sangat menjanjikan, menguntungkan. Dapat menjadi asset wisata kuliner yang mantrab dan maknyus…! Namun dibalik itu ada persoalan yang cukup merisaukan kita sebagai ureung Aceh. Rasanya tak sulit bagi bagi siapapun untuk menemukan pula sajian praktek-praktek budaya kaphe (Kafir) yang diperankan oleh generasi muda Aceh di café-café yang tersebar diseluruh pelosok Aceh. Café-café itu menjadi tempat terindah bagi mereka untuk melakukan transaksi maksiat. Yaa…di Aceh…yang disebut Serambi Makkah negeri bersyariah….! (Wallahu’alam)
Hadih Maja Maudlu' dan asbabul wurudznya
ureung saba luwah lampoh
peng sireubee tinggai sireutoh
peng sireubee tinggai sireutoh
Hadih Maja atau Nariet Maja adalah ungkapan bijak warisan indatu tentang nilai-nilai dan filosofis kehidupan masyarakat Aceh yang diungkapkan dengan singkat, padat dan dengan sentuhan bahasa puitis. Hadih Maja mengajarkan berbagai dimensi nilai dan filosofis, agar menjadi pegangan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Sebahagian besar dari hadih maja merupakan kristalisasi dari nilai-nilai agama dalam sistem budaya masyarakat Aceh. Hampir bisa dipastikan semua hadih maja memuat nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran agama yang dianut masyarakat Aceh yaitu Agama Islam. Hal ini sejalan dengan ungkapan salah satu hadih Maja yang sangat masyhur yakni : Adat bak poeteu Meureuhom, hukom bak Syiah Kuala. Adat ngen Hukom lagee Zat ngen Sifeut. Hadih maja ini menggambarkan secara tepat bagaimana adat dan hukum (syariat Islam) telah terintegrasi secara utuh dan harmonis, sehingga tidak mungkin memisahkan antara keduanya.
Hadih Maja yang lain seperti, " meunyoe teupat niet ngen kasat laot darat Tuhan peulara" Hadih Maja ini mengajarkan tentang pentingnya "Niat" dan "keikhlasan" ketika kita melakukan sesuatu. Tentu Hadih Maja ini sangat sejalan dengan ajaran agama Islam yang dianut masyarakat Aceh.
Banyak juga ditemui Hadih Maja yang menggambarkan bagaimana sifat dan karakter masyarakat Aceh. Hadih Maja yang ada hubungannya dengan penggambaran ini misalnya: "Lagee Crah meunah beukah"; "Meunyoe ate hana teupeh, pade bijeh dipeutaba, tapi meunyoe ate ka teupeh bu leubeh han meuteumee rasa" ; "Cap di batee, labang di papeun, lagee ka lon kheun hanjeut meutuka" ; "meunyoe na ate, pade ta tob, hana bak droe, talakee bak gob" dan banyak lagi lainnya yang menggambarkan karakter keeleganan, kesetiakawanan, konsistensi dan keberanian manusia Aceh.
Kita juga menemukan berbagai hadih Maja yang mengajarkan nilai-nilai musyawarah dan demokratis. Antara lain terlihat pada hadih maja berikut : "meunyoe ka pakat, lampoh jeurat tapeugala"; "Jak meubareh meuireng-ireng, meuduk pakat, peusaho haba, bahle tameh surang sareng, asai puteng jilob lam bara"; "sensiu beuneung tawoe bak pruet, karue buet tawoe bak punca"; "bak rang patah bek ta peeh binteh, bak ubong tireh bek taleung tika, bak buet pakat ate beugleh, bek arang abeh beusoe han peuja"; Hadih Maja tentang penghormatan dan penegakan Hukum : "Adat meukoh reubong, Hukom Meukoh arieh (bambu keras yang digunakan sebagai tangga), Adat jeut meuranggahoe takong, hukom hanjeut meuranggahoe takieh"; "kameng blang pajoh jagong, kameng gampong keunong geulawa"; "cak creuh di geunireng, cak ceng di ateuh, nyang teupat meupalet, nyang sulet lheuh". Hadih Maja tentang etos kerja: "meunyoe hana tauseuha, panee teuka rhot di manyang"; "gaki jak urat meunari, na tajak na raseuki"; jaroe bak langai, mata u pasai". Skill; "meunyoe jeut buet jaroe u cong duroe pih seulamat, meunyoe hanjeut buet jaroe atra lam peutoe pih kiamat...!!!". Eunterprenership : "Peureulee keu laba, dong bineh rugoe"; pangkai siploh peubloe sikureung, lam ruweung meuteumee laba"; "meunyoe ken majun, ragoe, meunyoe ken laba...rugoe..!"; meunyoe jeut ta antok, lam bak jok ji teubit saka". Memandang jauh kedepan: pang ulee buet beuna pike; ngat na hase takeureuja"; meuranggapeu buet tapike ilee, meunyoe ka malee hana le guna"; Inisiatif sendiri : "geupeuna utak geuyue seumike, geupeujeut ate geuyu meurasa, panee na ek gob peugah sabe, leubeh meusampe ingat keudroe lam dada". Keadilan : "Banja ube jiplueng, bulueng ubee teuka"; "hana leubeh hana kureung, ban nyang bileung na di gata"; pentingnya pendidikan : "meuranggapeu buet tameuguree, bek ta tiree han samporeuna". Hidup Seimbang : "tameungui ban laku tuboh, tapajoh ban lku atra" "grob guda grob keuleudee, grob gob ureung kaya, grob tanyoe sigeumadee". Objektif : "Peugah ube buet, peubuet lagee na". "Mariet bek upak apek, olheuh tapeunyoe dudoe tabalek." Belajar sejak dini: "yoh masa reubong han ta tem ngieng-ngieng, oh kajeut keutrieng han ek ta puta".
Wooow ....!! Mungkin ada puluhan ribu hadih maja lainnya yang beredar ditengah-tengah masyarakat Aceh, yang tentunya memiliki makna yang luar biasa bila kita tanamkan dan terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Namun dalam perkembangannya sekarang ini, banyak dijumpai hadih-hadih maja palsu (maudlu') yang sesat dan menyesatkan. Hadih-hadih maja ini biasanya bertentangan dengan nilai-nilai agama yang diyakini oleh masyarakat Aceh.
Salah satu Hadih Maja Maudlu' adalah: "ureung saba luwah lampoh, peng siribee, tinggai sireutoh" Hadih Maja ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan Islam. Islam mengajarkan ummatnya agar senantiasa bersabar dalam mengarungi kehidupan di permukaan bumi ini. Bersabar dalam segala hal, baik dalam duka juga dalam suka, bersabar untuk tidak melakukan perbuatan maksiat, dan sabar dalam menjalankan ibadat.
Asbabul Wurudl Hadih Maja Maudlu' ini
Hadih Maja maudlu' yang baru disebutkan di atas jelas memperolok-olok ajaran tentang kesabaran yang ditanamkan dalam agama Islam. Sekarang yang menjadi pertanyaan dari mana dan kapan muncul hadih maja tersebut ???. Kisah berawal pada saat Prof. Ali Hasjmy yang menjadi gubernur Aceh pasca pemberontakan DI/TII di Aceh. Beliau bertekad membangun Aceh melalui pembangunan bidang pendidikan. Untuk mewujudkan tekad itu, maka pemerintah Provinsi Aceh di bawah kepemimpinan beliau mencanangkan pembangunan Kota Pelajar Mahasiswa, di lokasi yang saat ini di gelar dengan Darussalam. Di lokasi ini awalnya direncanakan menjadi kampus 4 perguruan tinggi, masing-masing Universitas Syiah Kuala, IAIN Ar-Raniry, Dayah Manyang Tgk Chik Pante Kulu dan APDN. Pada tanggal 17 Agustus 1958 peletakan batu pertama pembangunan Kopelma Darussalam dilakukan oleh Menteri Agama KH Mohd Ilyas atas Pemerintah Pusat. Satu tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 2 September 1959 Kota Pelajar Mahasiswa darussalam, diresmikan oleh presiden Soekarno yang ditandai dengan pembukaan selubung Tugu Darussalam dan kuliah perdana di Fakultas Ekonomi. Peristiwa bersejarah ini kemudian diperingati sebagai hari Pendidikan Daerah Aceh.
Tanah lokasi pembangunan Kopelma Darussalam, merupakan bekas tanah Hak erfpacht, yaitu tanah yang dikuasai oleh pemerintah kolonial belanda, dan diberikan hak kepada pengusaha untuk dikelola sebagai area perkebunan. Area tanah hak erfpacht ini membentang dari kawasan Limpok sampai ke kawasan Alu Naga.
Bila kita jeli, maka akan timbul pertanyaan berikutnya. Bagaimana mungkin ditengah-tengah pemukiman penduduk terdapat tanah hak erffpacht ? Sejarahnya cukup panjang dan berliku. Dikisahkan, penduduk yang mendiami wilayah IX Mukim Tungkob (Kawasan Kopelma Darussalam termasuk dalam wilayah ini) dan Mukim Kayee Adang pada masa Kerajaan Aceh Darussalam sangat padat. Diilustrasikan bahwa pada saat itu rumah masyarakat yang dibangun sepanjang jalan dari Mukim Lambaro Angan sampai ke pusat kota Bandar Aceh Darussalam, saling berdempetan (Pok Due), sehingga orang-orang dari Mukim Lambaro Angan, meski dalam keadaan hujan lebat, tetap dapat berangkat ke ibu kota Bandar Aceh Darussalam, dengan menyusuri kolong atau emperan rumah masyarakat di sepanjang jalan.
Namun pada saat perang dengan Belanda, terutama pada saat Teuku Umar telah membelot kepihak kolonial, belanda menjalankan prinsip bumi hangus dalam menumpas perjuangan rakyat Aceh. Rakyat yang berdiam di wilayah IX Mukim Tungkob merupakan salah satu wilayah yang paliiiiiiiiiiing menderita akibat perang itu. Terlebih lagi masyarakat yang mendiami kawasan lokasi pembangunan kampus sekarang ini, karena kawasan ini dapat dikatakan sebagai gerbang menuju wilayah IX Mukim Tungkob. Rumah-rumah di sini habis dibakar serdadu belanda, sementara rakyatnya mengungsi keberbagai wilayah lain seluruh Aceh, bahkan sampai keluar Aceh. ( warning: terlepas dari bahasan ini, informasi tadi mestinya menjadi catatan penting bagi insan-insan kampus ternama di Aceh saat ini yakni Unsyiah dan IAIN Ar-Raniry, bahwa tanah yang menjadi lokasi pembangunan Kopelma Darussalam pada hakekatnya adalah tanah milik rakyat IX Mukim Tungkob. Mereka meninggalkan tanah tersebut karena diperangi oleh Belanda, keluarga mereka dibunuh dan rumah mereka dibakar...!!! Di atas tanah darah dan air mata inilah, hari ini dibangun gedung-gedung megah dan juga perumahan bagi insan-insan kampus. Sementara masyarakat yang tinggal di sekeliling kampus, tak tersentuh, kurang terberdayakan, bahkan petinggi kampus berusaha membangun "parit (khandak)" dan "tembok berlin" sebagai jurang pemisah antara insan kampus dan orang kampung)
Nah..!!! Tanah yang ditinggalkan oleh masyarakat inilah, oleh kolonial Belanda dianggap sebagai tanah negara, dan diberikan hak pengelolaannya kepada pengusaha untuk membuka perkebunan. Pasca kemerdekaan tanah ini menjadi tanah kosong yang tidak ada pengelolanya dan oleh pemerintah Provinsi Aceh tanah tersebut juga dianggap sebagai tanah negara.
Waktu berlalu, masyarakat yang mendiami sekitar lokasi tersebut, seperti masyarakat Limpok, Rukoh, Barabueng, Tanjaong Seulamat dan lain-lain, mulai memanfaatkan lahan kosong tersebut untuk kepentingan bercocok tanam, beternak atau tempat membuat kandang sapi (weu Leumo). Pemanfaatan ini tentu atas inisiatif mereka masing-masing, dan tentunya tanpa menempuh proses hukum tertentu.
Karena lahan tersebut dianggap sebagai tanah negara, maka ketika pemerintah membutuhkan untuk pembangunan, Pemerintah tentu saja berwenang untuk memerintahkan masyarakat agar angkat kaki dari lokasi tersebut. Meski untuk itu Pemerintah juga memberikan sekedar biaya ganti rugi atau sekedar uang angkat kaki. Ganti rugi diberikan dalam bentuk uang yang pada umumnya adalah lembaran dengan angka nominal Rp 1000,- . Katakanlah setiap orang mendapat ganti rugi sekitar beberapa ribu rupiah, angka yang cukup besar pada saat itu.
Seperti biasanya masyarakat yang sedang mendapat rezeki nomplok, banyak dari mereka langsung membelanjakan uang tersebut untuk membeli berbagai keperluan dan perabot rumah tangga, seperti sepeda, mesin jahit, ranjang, rak piring, dan sebagainya. Perilaku komsumtif dari sebagian anggota masyarakat ini, mendapat sorotan dari sebagian anggota masyarakat lainnya. Prilaku ini dipandang sebagai prilaku yang tidak sabar dalam mengatur penggunaan uang.
Beriringan dengan kejadian ganti rugi ini, kondisi perpolitikan Indonesia juga sedang memanas, karena Pemerintah sedang berupaya memadamkan pemberontakan PDRI/Permesta. Pemberontakan ini terjadi karena ketidakpuasan beberapa daerah di Sulawesi dan Sumatera terhada pemerintah pusat dalam alokasi pembangunan yang dianggap tidak adil. Pemberontakan ini banyak mendapat dukungan dari kalangan militer yang ada di kedua pulau tersebut, dengan membentuk Dewan Dewan daerah. Sebutlah, di Sumatera Barat dibentuk Dewan Banteng pada tanggal 20 Desember 1956, dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein, di Medan dibentuk Dewan Gajah yang dipimpin oleh kolonel Maluddin Simbolon, pada tanggal 22 Desember 1956, begitu juga di Manado dibentuk Dewan Manguni oleh Letkol Ventje pada tanggal 18 February 1957. Proklamasi PRRI sendiri diumumkan di Padang pada tanggal 15 Februari 1958 dan mendapat sambutan luas di Indonesia Timur.
Untuk mendukung perjuangan tersebut, PRRI/Permesta banyak "menguasai" uang di Bank-Bank yang ada di Sulawesi dan Sumatera. Dan uang tersebut umumnya adalah lembaran uang dengan jumlah nominal Rp 1.000,- Karena itu, sebagai salah satu taktik untuk melumpuhkan pemberontakan PRRI/Permesta, Presiden Soekarno, mengumumkan penurunan nilai mata uang seribu. Pada saat itu ditetapkan, nilai mata uang Rp 1.000,- sama dengan nilai mata uang Rp 100 . Di sinilah awalnya lahir ungkapan "Peng seuribee tinggai seureutoh".
Kebijakan ini tentu sangat berdampak kepada masyarakat penerima uang ganti rugi dalam rangka pembangunan kampus Darussalam dari Gubernur Aceh. Mereka yang belum sempat membelanjakan uangnya dipastikan mengalami kerugian dengan kebijakan pemerintah tersebut. Lalu timbullah ungkapan ejekan dari golongan masyarakat yang telah membelanjakan uang tadi : "ureung saba luwah lampoh, peng seuribee tinggai seureutoh, abeh saba babasampoh". Wallahu'alam.
Beriringan dengan kejadian ganti rugi ini, kondisi perpolitikan Indonesia juga sedang memanas, karena Pemerintah sedang berupaya memadamkan pemberontakan PDRI/Permesta. Pemberontakan ini terjadi karena ketidakpuasan beberapa daerah di Sulawesi dan Sumatera terhada pemerintah pusat dalam alokasi pembangunan yang dianggap tidak adil. Pemberontakan ini banyak mendapat dukungan dari kalangan militer yang ada di kedua pulau tersebut, dengan membentuk Dewan Dewan daerah. Sebutlah, di Sumatera Barat dibentuk Dewan Banteng pada tanggal 20 Desember 1956, dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein, di Medan dibentuk Dewan Gajah yang dipimpin oleh kolonel Maluddin Simbolon, pada tanggal 22 Desember 1956, begitu juga di Manado dibentuk Dewan Manguni oleh Letkol Ventje pada tanggal 18 February 1957. Proklamasi PRRI sendiri diumumkan di Padang pada tanggal 15 Februari 1958 dan mendapat sambutan luas di Indonesia Timur.
Untuk mendukung perjuangan tersebut, PRRI/Permesta banyak "menguasai" uang di Bank-Bank yang ada di Sulawesi dan Sumatera. Dan uang tersebut umumnya adalah lembaran uang dengan jumlah nominal Rp 1.000,- Karena itu, sebagai salah satu taktik untuk melumpuhkan pemberontakan PRRI/Permesta, Presiden Soekarno, mengumumkan penurunan nilai mata uang seribu. Pada saat itu ditetapkan, nilai mata uang Rp 1.000,- sama dengan nilai mata uang Rp 100 . Di sinilah awalnya lahir ungkapan "Peng seuribee tinggai seureutoh".
Kebijakan ini tentu sangat berdampak kepada masyarakat penerima uang ganti rugi dalam rangka pembangunan kampus Darussalam dari Gubernur Aceh. Mereka yang belum sempat membelanjakan uangnya dipastikan mengalami kerugian dengan kebijakan pemerintah tersebut. Lalu timbullah ungkapan ejekan dari golongan masyarakat yang telah membelanjakan uang tadi : "ureung saba luwah lampoh, peng seuribee tinggai seureutoh, abeh saba babasampoh". Wallahu'alam.
Langganan:
Postingan (Atom)
-
ureung saba luwah lampoh peng sireubee tinggai sireutoh Hadih Maja atau Nariet Maja adalah ungkapan bijak warisan indatu tentan...
-
Menurut UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Aceh, Pemerintah Gampong adalah strata pemerintahan terendah di bawah Mukim. Secara nasi...
-
Berikut saya sajikan kepada pengunjung blogspot BaleeMukim, Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat, selamat melumatkannya, semo...
-
QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG PEMBINAAN KEHIDUPAN ADAT DAN ADAT ISTIADAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM, DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUA...
-
Pejuang Aceh Tempo Doeloe Republika - Jumat, 28 Januari REPUBLIKA.CO.ID, AMSTERDAM--Apa kaitan antara Aceh dan Afghanistan? Selai...