Fri, Sep 4th 2009, 10:26
Oleh Ir. H. Basri A. Bakar, M.Si
Pemred Gema Baiturrahman
“Tidak beriman seseorang di antara kamu, sebelum mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR Bukhari-Muslim).
KETIKA sebuah pabrik terbakar habis, pemiliknya yang sudah berusia lanjut menangis terisak-isak karena merasa sangat kehilangan. Melihat hal itu, salah seorang anaknya menghampiri sang ayah yang menangis tadi dan berusaha menenangkan sambil berkata, “Ayah, mengapa ayah menangis dan sedih? Apakah ayah sudah lupa bahwa pabrik yang terbakar itu sudah kita jual tiga hari lalu?”
Ucapan si anak serta merta menghentikan tangis sang ayah yang memang sudah agak pelupa. Bahkan wahahnya kembali berseri. Jika kita dalam posisi sang ayah tadi, apakah juga akan berhenti menangis ketika mengetahui bahwa musibah demi musibah ternyata tidak menimpa kita, melainkan orang lain? Mungkin jawabannya kebanyakan kita menjawab “ya”, karena pada hahikatnya kita adalah makhluk yang mementingkan diri sendiri.
Sesungguhnya dalam diri manusia terjadi tarik-menarik yang sangat kuat antara dua gaya gravitasi, yakni gravitasi bumi yang selalu menarik pada kenikmatan fisik serta gravitasi langit yang mengajak manusia untuk mendapatkan kenikmatan spiritual. Anehnya, tarik-menarik ini lebih sering dimenangkan oleh gravitasi bumi, karena hal-hal yang bersifat fisik lebih mudah dilihat dan diukur dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat spiritual yang serbaabstrak dan tak bisa diraba.
Gravitasi bumi yang sedemikian kuatnya tersebut, hanya dapat dikalahkan jika seseorang menyadari bahwa ia bukanlah makhluk fisik, melainkan makhluk spiritual. Ia menyadari bahwa jasad yang selama ini dibanggakan tak ada gunanya tanpa adanya roh atau nyawa. Oleh karena itu, untuk dapat mengakses gaya gravitasi langit, antara lain, dengan memikirkan tentang nasib orang lain. Walaupun sederhana, namun sangat sulit dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, sebagai manusia normal, banyak orang lebih senang diperhatikan daripada memperhatikan, lebih senang menerima ketimbang memberi. Padahal, Rasulullah bersabda yang artinya,
“Tidak beriman seseorang di antara kamu, sebelum ia mencintai orang lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” Hadis tersebut sebenarnya merupakan pernyataan yang cukup tegas, karena ukuran keimanan seseorang diukur sejauh mana kecintaan dan kasih sayangnya kepada orang lain. Mencintai sesama, terutama golongan yang kurang mampu, akan menimbulkan sebuah pertumbuhan spiritual yang luar biasa di dalam diri seseorang. Ia akan merasakan kenikmatan spiritual yang tiada tara, melalui upaya menyenangkan orang lain.
Puasa yang kita jalankan dengan penuh keikhlasan, justru diharapkan dapat meningkatkan gravitasi langit sekaligus mengurangi gravitasi bumi. Pada gilirannya orang yang berpuasa dilatih menumbuhkan sikap empati terhadap penderitaan orang lain, sehingga lahirlah sikap kedermawanan dalam dirinya, karena ia menyadari bahwa dalam harta yang dimilikinya, ada hak fakir miskin dan orang-orang lain yang wajib dikeluarkan. Allah berfirman dalam Surah Alma’un yang artinya, “Tahukah kamu orang-orang yang mendustakan agama? Itulah orang-orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang-orang miskin.”
Seyogianya, melalui puasa timbul kepekaan sosial dalam diri manusia, sehingga angka kemiskinan di Indonesia, khususnya Aceh, semakin menurun. Ini dapat dilihat dari sejauh mana perubahan yang terjadi setelah Ramadan berlalu, apakah seseorang makin merasa belas asih kepada orang-orang yang tak mampu atau justru sebaliknya, semakin tambah kikir dan serakah pada pesona keduniaan? Akankah gravitasi bumi tetap mengalahkan gravitasi langit? Jawabnya terpulang pada pribadi kita masing-masing. (*)
* Pemred Gema Baiturrahman
Oleh Ir. H. Basri A. Bakar, M.Si
Pemred Gema Baiturrahman
“Tidak beriman seseorang di antara kamu, sebelum mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR Bukhari-Muslim).
KETIKA sebuah pabrik terbakar habis, pemiliknya yang sudah berusia lanjut menangis terisak-isak karena merasa sangat kehilangan. Melihat hal itu, salah seorang anaknya menghampiri sang ayah yang menangis tadi dan berusaha menenangkan sambil berkata, “Ayah, mengapa ayah menangis dan sedih? Apakah ayah sudah lupa bahwa pabrik yang terbakar itu sudah kita jual tiga hari lalu?”
Ucapan si anak serta merta menghentikan tangis sang ayah yang memang sudah agak pelupa. Bahkan wahahnya kembali berseri. Jika kita dalam posisi sang ayah tadi, apakah juga akan berhenti menangis ketika mengetahui bahwa musibah demi musibah ternyata tidak menimpa kita, melainkan orang lain? Mungkin jawabannya kebanyakan kita menjawab “ya”, karena pada hahikatnya kita adalah makhluk yang mementingkan diri sendiri.
Sesungguhnya dalam diri manusia terjadi tarik-menarik yang sangat kuat antara dua gaya gravitasi, yakni gravitasi bumi yang selalu menarik pada kenikmatan fisik serta gravitasi langit yang mengajak manusia untuk mendapatkan kenikmatan spiritual. Anehnya, tarik-menarik ini lebih sering dimenangkan oleh gravitasi bumi, karena hal-hal yang bersifat fisik lebih mudah dilihat dan diukur dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat spiritual yang serbaabstrak dan tak bisa diraba.
Gravitasi bumi yang sedemikian kuatnya tersebut, hanya dapat dikalahkan jika seseorang menyadari bahwa ia bukanlah makhluk fisik, melainkan makhluk spiritual. Ia menyadari bahwa jasad yang selama ini dibanggakan tak ada gunanya tanpa adanya roh atau nyawa. Oleh karena itu, untuk dapat mengakses gaya gravitasi langit, antara lain, dengan memikirkan tentang nasib orang lain. Walaupun sederhana, namun sangat sulit dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, sebagai manusia normal, banyak orang lebih senang diperhatikan daripada memperhatikan, lebih senang menerima ketimbang memberi. Padahal, Rasulullah bersabda yang artinya,
“Tidak beriman seseorang di antara kamu, sebelum ia mencintai orang lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” Hadis tersebut sebenarnya merupakan pernyataan yang cukup tegas, karena ukuran keimanan seseorang diukur sejauh mana kecintaan dan kasih sayangnya kepada orang lain. Mencintai sesama, terutama golongan yang kurang mampu, akan menimbulkan sebuah pertumbuhan spiritual yang luar biasa di dalam diri seseorang. Ia akan merasakan kenikmatan spiritual yang tiada tara, melalui upaya menyenangkan orang lain.
Puasa yang kita jalankan dengan penuh keikhlasan, justru diharapkan dapat meningkatkan gravitasi langit sekaligus mengurangi gravitasi bumi. Pada gilirannya orang yang berpuasa dilatih menumbuhkan sikap empati terhadap penderitaan orang lain, sehingga lahirlah sikap kedermawanan dalam dirinya, karena ia menyadari bahwa dalam harta yang dimilikinya, ada hak fakir miskin dan orang-orang lain yang wajib dikeluarkan. Allah berfirman dalam Surah Alma’un yang artinya, “Tahukah kamu orang-orang yang mendustakan agama? Itulah orang-orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang-orang miskin.”
Seyogianya, melalui puasa timbul kepekaan sosial dalam diri manusia, sehingga angka kemiskinan di Indonesia, khususnya Aceh, semakin menurun. Ini dapat dilihat dari sejauh mana perubahan yang terjadi setelah Ramadan berlalu, apakah seseorang makin merasa belas asih kepada orang-orang yang tak mampu atau justru sebaliknya, semakin tambah kikir dan serakah pada pesona keduniaan? Akankah gravitasi bumi tetap mengalahkan gravitasi langit? Jawabnya terpulang pada pribadi kita masing-masing. (*)
* Pemred Gema Baiturrahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar