Ragam |
WASPADA ONLINE BANDA ACEH - Kebiasaan masyarakat menyambut bulan Ramadhan di Provinsi Aceh diawali dengan "meugang" (hari penyembelihan hewan ternak), dua hari sebelum bulan mulia itu tiba. Tradisi ini sudah dilaksanakan secara turun temurun dalam kehidupan masyarakat daerah tersebut. Tradisi "meugang" merupakan kegiatan kekeluargaan. Pada hari itu, semua keluarga dekat berkumpul di rumah orangtua sambil menikmati masakan daging yang disediakan. Anak cucu menyisihkan waktu untuk pulang ke rumah orangtua atau mertua di hari 'meugang' seperti ini. Biasanya, orangtua atau mertua sudah menyiapkan beberapa kilogram daging menunggu pulangnya anak cucu dan saudara dekat lainnya. Kebiasaan ini juga dimanfaatkan sebagai sarana silaturrahmi dan pertemuan saling memaafkan menjelang pelaksanaan ibadah puasa. Kebiasaan menyambut Ramadhan di kalangan masyarakat Aceh tempo dulu bukan hanya "meugang", tetapi meliputi berbagai kebutuhan yang diperlukan sepanjang bulan suci seperti mencari kayu bakar di hutan-hutan secara berkelompok, yang dilakukan kaum perempuan. Seorang ibu rumah tangga, Chairani, mengatakan, kegiatan menyambut puasa dalam masyarakat di Aceh dimulai dari pembersihan lingkungan rumah masing-masing. Hal ini biasanya dilakukan kaum laki-laki dan orangtua, sementara kaum perempuan mencari kayu bakar. "Pembersihan dan memperindah pekarangan rumah merupakan salah satu kegiatan menyambut puasa yang dilakukan masyarakat Aceh tempo dulu. Semua ini dilakukan sebagai upaya memberi ketenangan saat melaksanakan ibadah puasa," katanya. Selain itu, masyarakat terutama kaum perempuan juga berusaha mencari kayu bakar dan menumbuk tepung beras untuk memenuhi kebutuhan sepanjang Ramadhan. Tidak ada kesibukan saat menunaikan ibadah puasa karena semua sudah disiapkan dan tenang. Perempuan antrean Upaya mencari kayu bakar di huran-hutan kini sudah jarang terlihat karena hampir semua masyarakat menggunakan fasilitas lain untuk menyiapkan bahan berbuka puasa. Tidak bisa dilihat lagi antrean kaum perempuan memanggul kayu bakar di pematang sawah seperti tempo dulu. "Kini antrean perempuan remaja di pematang sawah itu tidak bisa dilihat lagi, kecuali di gampong (desa) daerah pedalaman," katanya. Masyarakat kini tidak ada lagi yang mencari kayu bakar secara kelompok menjelang Ramadhan karena rakyat pada umumnya sudah menggunakan kompor untuk menanak nasi. Kalaupun ada, di daerah pedalaman dan tentunya tidak seperti yang terlihat tempo dulu. Begitu juga dengan kegiatan menumbuk tepung beras sudah langka terjadi, karena selain tersedia tepung terigu hasil rekayasa teknologi Alat penumbuk padi, termasuk menumbuk tepung beras saja sudah langka, di mana mau dilihat perempuan menumbuk tepung beras lagi, ujarnya. "Kita bersyukur, berkat teknologi manusia dapat melakukan segala sesuatu secara cepat, namun yang penting tidak mengurangi antusiasme masyarakat menyambut kedatangan Ramadhan," kata Chairani yang menjadi Calon Anggota Legislatif (Caleg) 2009 tersebut. Jika masyarakat Aceh tempo dulu mencari kayu bakar di hutan-hutan dan menumbuk tepung beras sebagai persiapan menyambut bulan suci Ramadhan sudah menjadi tradisi, kini berkat teknologi semua itu sudah diproses dan diganti minyak tanah atau gas elpiji dan tepung terigu. Sebetulnya ini meringankan beban kaum perempuan setiap menghadapi Ramadhan. Dengan begitu kaum perempuan dapat melakukan kegiatan lainnya seperti membersih pekarangan rumah agar lebih indah dan nyaman saat berpuasa. "Kini, kita sudah jarang menyaksikan atrean perempuan di pematang sawah karena tradisi mencari kayu di hutan tidak lazim lagi dilakukan. Demikian juga menumbuk tepung beras dengan alat tradisonal (jingki)," kata Chairani. Menjadi tradisi Selain menyiapkan berbagai kebutuhan menyambut Ramadhan sesuai perkembangan era kemajuan, masyarakat Aceh terlihat masih tetap mengutamakan nilai ibadah termasuk mengadakan meugang dan makan bersama sanak keluarga. Tradisi meugang yang sudah berlangsung ratusan tahun itu kini juga dilakukan instansi pemerintah, swasta dan organisasi kemasyarakatan di Aceh. Penyembelihan hewan ternak menjelang Ramadhan di kantor-kantor, biasanya dibagikan kepada pegawai dan mitra kerjanya. “Ini sudah menjadi tradisi dan kami mengutamakan karyawan dan masyarakat kurang mampu di sekitar kantor. Pembagian daging kepada orang kurang mampu menjelang Ramadhan seperti ini juga menjadi ibadah dan Insya Allah dibalas dengan pahala," kata seorang panitia. Kebiasaan menyambut puasa, terutama harus membeli daging di kalangan masyarakat menjadi salah satu perilaku yang menyebabkan harga jual daging lebih mahal dibanding hari biasa. Harganya kini Rp100.000-Rp120.000/Kg, kata Wakil Gubernur Muhammad Nazar. Perilaku masyarakat yang mengharuskan makan daging satu-dua hari sebelum Ramadhan bisa saja menjadi momentum bagi pedagang musiman untuk menaikkan harganya, karena dalam hukum ekonomi disebut mahalnya harga suatu mata barang karena tingginya permintaan. Begitupun, kata Wagub Muhammad Nazar, mahalnya harga jual daging seperti ini didukung kualitas ternak yang disembelih masyarakat atau pedagang. Kualitas ternak sapi di Provinsi Aceh lebih baik dibanding ternak lainnya. Apalagi dagingnya enak dan lezat, ujarnya. Semua tradisi masyarakat menyambut Ramadhan tetap dalam koridur yang sudah ditetapkan dalam ajaran Islam. Masyarakat berlomba memperbanyak ibadah menjelang Ramadhan dengan menyiapkan semua kebutuhan bagi ketenangan untuk meraih investasi ukhrawi. "Ini menjadi prioritas dalam setiap kegiatan menjelang dan sepanjang Ramadhan. Tradisi menyambut Ramadhan seperti yang kita lakukan termasuk meugang menyambut Ramadhan, dilakukan hanya karena Allah dan untuk ketenangan menjalankan ibadah puasa," kata Chairani. (dat05/ann) |
R a n u b si G a p u e
Assalamu'alaikumwarahmatullah...
Jaroe duablah ateuh jeumala,
Saleum ulon brie keu syedara meutuwah,
Neubrie ya Allah mandum sijahtra...
Amiin Ya Rabbal A'lamiin...
Dengan segala kerendahan hati, kami menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua Pengunjung blog baleeMUKIM. Meski dalam format dan tata saji yang amat sederhana, kami memberanikan diri untuk mendedikasikan blog ini untuk mengawal, mempertahankan dan mengembangkan keberadaan komunitas dan Lembaga Pemerintahan Mukim di Aceh pada umumnya, atau Mukim Siem - Darussalam khususnya.
Kami mengundang pengunjung sekalian agar berkenan berpartisipasi mewujudkan Visi dan Missi dari blog baleeMUKIM ini. Sumbangan pikiran, pendapat, komentar, kritik, saran, dan apapun yang sifatnya konstruktif, merupakan cemeti yang seharusnya mendorong kita untuk lebih maju.
Pengunjung sekalian...sekecil apupun keterlibatan anda dalam upaya pencapaian tujuan mengawal, mempertahankan dan mengembangkan eksistensi komunitas Mukim di Aceh, menurut kami mesti diapresiasikan sebagai perjuangan menuju kehidupan lebih terhormat dan bermartabat di atas landasan budaya kita sendiri.
Ayo..., lakukan ...!!! Bersama Kita Bisa...!!!
"Rhoek ngen bara bak ureung Nanggroe, Pasoe bajoe bak ureung tuha, Tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteeh itam bak ulama."
Pengunjung sekalian..., mari wujudkan cita-cita besar ini, mulailah dengan sebuah langkah kecil. ingat...!!! Perjalanan ribuan kilometer selalu diawali dengan sebuah langkah kecil...lakukan sekarang...!
Wassalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuh
teurimong gaseh.
admin.
Tradisi "meugang" sambut Ramadhan di Aceh
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
ureung saba luwah lampoh peng sireubee tinggai sireutoh Hadih Maja atau Nariet Maja adalah ungkapan bijak warisan indatu tentan...
-
Menurut UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Aceh, Pemerintah Gampong adalah strata pemerintahan terendah di bawah Mukim. Secara nasi...
-
Berikut saya sajikan kepada pengunjung blogspot BaleeMukim, Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat, selamat melumatkannya, semo...
-
QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG PEMBINAAN KEHIDUPAN ADAT DAN ADAT ISTIADAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM, DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUA...
-
Pejuang Aceh Tempo Doeloe Republika - Jumat, 28 Januari REPUBLIKA.CO.ID, AMSTERDAM--Apa kaitan antara Aceh dan Afghanistan? Selai...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar