Adat bak Poteumeureuhoem, Hukoem bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana”~~~~~~~ Adat ban adat, hukom ban hukom, hanjeut meuron-ron krie-krie nyang hawa, watee meupakat adat ngon hukom, nanggroe rukon, hana le goga~~~ Roek ngon bara bak ureung naggroe, pasoe bajoe bak ureung tuha, tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteh itam bak ulama~~~Gaseh keu aneuk beuget tapapah, gaseh keu nangbah beuget tajaga~~~Raseuki deungon tagagah ....Tuah deungon tamita.....Tuah meubagi-bagi.......Raseuki meujeumba-jeumba~~~~~Teupat ke pangkai, akay keu laba~~~ KRAB TAJAK GEUBRIE SITUEK, JAREUNG TADUEK GEUJOK TIKA~~~~~ ASAI CABOK NIBAK KUDE, ASAI PAKE NIBAK SEUNDA ~~~~~~~~ Duek, duek aree, jak, jak langay~~~~Meunyoe ate hana teupeh pade bijeh geupeutaba, tapi meunyoe ate ka teupeh bu leubeh han meuteumeung rasa~~~Jaroe bak langay, mata u pasay~~~Singet bek rhoe beuabeh~~~ Nibak puntong get geunteng, nibak buta get juleng~~~Mate aneuk meupat jeurat, mate adat pat tamita~~~Tameh surang sareng, asay puteng jilob lam bara~~~tameungeuy ban laku tuboh, tapajoh ban laku atra ~~~Uleu beumate, ranteng bek patah~~~Kameng blang pajoh jagong, kameng gampong keunong geulawa~~~lagee manok toh boh saboh, jeut lampoh soh jimeuseurapa, dipinyie jitoh siribee, hana jithee le silingka~~~ lagee bubee duwa jab, keunoe toe keudeh pih rhab~~~bak adat han jikab, bak hukom han ji talum~~~paleh sagoe meuleuhob jurong, paleh gampong tan ureung tuha~~~hak ube jiplueng, bulueng ube jiteuka~~~meunyoe na ate, pade tatob, hana bak droe talakee bak gob~~~rayek rumoh rayek keunaleung, rayek bateueng rayek sawa, rayek pageu rayek beunteueng, rayek ureung rayek keureuja~~~PUTOH NGON MUPAKAT, KUWAT NGON MEUSEURAYA~~~~~~blink>Diet Peugah Duem Peubuet Banja Beusanteut Mukim Siem Tapuga

R a n u b si G a p u e


Assalamu'alaikumwarahmatullah...
Jaroe duablah ateuh jeumala,
Saleum ulon brie keu syedara meutuwah,
Neubrie ya Allah mandum sijahtra...
Amiin Ya Rabbal A'lamiin...

Dengan segala kerendahan hati, kami menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua Pengunjung blog baleeMUKIM. Meski dalam format dan tata saji yang amat sederhana, kami memberanikan diri untuk mendedikasikan blog ini untuk mengawal, mempertahankan dan mengembangkan keberadaan komunitas dan Lembaga Pemerintahan Mukim di Aceh pada umumnya, atau Mukim Siem - Darussalam khususnya.
Kami mengundang pengunjung sekalian agar berkenan berpartisipasi mewujudkan Visi dan Missi dari blog baleeMUKIM ini. Sumbangan pikiran, pendapat, komentar, kritik, saran, dan apapun yang sifatnya konstruktif, merupakan cemeti yang seharusnya mendorong kita untuk lebih maju.
Pengunjung sekalian...sekecil apupun keterlibatan anda dalam upaya pencapaian tujuan mengawal, mempertahankan dan mengembangkan eksistensi komunitas Mukim di Aceh, menurut kami mesti diapresiasikan sebagai perjuangan menuju kehidupan lebih terhormat dan bermartabat di atas landasan budaya kita sendiri.
Ayo..., lakukan ...!!! Bersama Kita Bisa...!!!

"Rhoek ngen bara bak ureung Nanggroe, Pasoe bajoe bak ureung tuha, Tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteeh itam bak ulama."
Pengunjung sekalian..., mari wujudkan cita-cita besar ini, mulailah dengan sebuah langkah kecil. ingat...!!! Perjalanan ribuan kilometer selalu diawali dengan sebuah langkah kecil...lakukan sekarang...!

Wassalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuh
teurimong gaseh.
admin.

Kawah Lumpur di Lintas Lamklat

     Sebagai wilayah yang dipengaruhi oleh iklim tropis maka kepulauan Nusantara hanya mengenal dua musim yakni musim kemarau dan musim hujan.  Ketika memasuki bulan-bulan yang berakhiran "ber" bagi masyarakat penghuni kepulauan nusantara menjadi pertanda akan memasuki musim penghujan.  Musim penghujan ditandai dengan meningkatnya curah hujan dibandingkan biasanya dalam jangka waktu tertentu secara tetap. 
     Secara umum musim penghujan dipandang sebagai musim pembawa rahmat atau berkah bagi sebagian besar rakyat, karena musim penghujan dihubungkan dengan saatnya untuk menanam,  terutama tanaman padi.  Dibalik itu bukan berarti kedatangan musim penghujan tanpa mengikut sertakan persoalan bagi masyarakat.  Hal inilah yang menghantui masyarakat gampong Lamklat Mukim Siem Aceh Besar.  Ketika musim penghujan tiba, maka pada saat bersamaan di lintas gampong Lamklat akan bermunculan kawah-kawah lumpur yang sangat menyiksa pengguna jalan lintas Lamklat tersebut.
    Amatan baleeMUKIM kawah-kawah lumpur tersebut menghiasi hampir sepanjang jalan lintas Lamklat yang merupakan jalan utama memasuki Gampong Lamklat dan gampong-gampong lainnya di lintasan tadi, seperti Lam Asan, Lamgawee, Lamujong hingga gampong-gampong di kawasan Cot Keu-eung.  Diamater kawah lumpur di kawasan ini  rata-rata mencapai tiga meter sehingga nyaris menutupi semua badan jalan.  Konsekwensinya bila pengguna jalan hendak melintas di jalan tersebut, baik penjalan kaki maupun pengguna kenderaan bermotor,  sepatu/sandal atau ban kenderaan terpaksa menyelam ke dasar kawah. 
     Menurut keterangan masyarakat yang berdiam disepanjang lintasan gampong Lamklat jalan utama lintas antar gampong tersebut tidak pernah tersentuh perbaikan sejak selesai dikerjakan pada tahun 1991. "Pemerintah Kabupaten Aceh Besar memang tidak memandang sebelah mata wilayah kita di sini. Buktinya Pemerintah hanya membangun kawasan-kawasan tertentu saja, yaitu kawasan yang disebut oleh masyarakat Aceh Besar sebagai kawasan LSM, sementara masyarakat diluar kawasan tersebut selalu dianaktirikan" ujar seorang warga yang tidak mau disebut namanya.
     Bila kita menyusuri jalan-jalan utama antar gampong dalam Wilayah Mukim Siem, maka sebenarnya kawah lumpur itu tidak hanya terdapat di lintasan Lamklat, namun pemandanangan yang sama, hampir merata disemua lintasan antar gampong dalam wilayah Mukim Siem.  Pemandangan lebih parah justru terlihat di lintasan gampong Siem dan Gampong Lamreh sampai ke lintasan yang menghubungkan gampong-gampong di wilayah Mukim Leupung XXVI Kecamatan Kuta Baro. 
     Para Keuchik dan Imeum Mukim Siem  sebenarnya telah berkali-kali menyurati Pemerintah Kabupaten Aceh Besar, agar berkenan memperbaiki jalan antar gampong dalam wilayah Mukim Siem yang panjang lintasannya mencapai lebih kurang 3 KM, namun hingga saat ini belum mendapat respon positif dari pemerintah.  Padahal jalan jalan dalam wilayah dimaksud belum tersentuh perbaikan sejak  lebih kurang 19 tahun terakhir.
     Realitas ini bagai membenarkan anggapan masyarakat di wilayah pesisir Aceh Besar, bahwa kawasan ini kurang mendapat perhatian dalam pembangunan.  Anggapan masyarakat tadi ternyata sesuai juga dengan hasil kajian Lembaga GERAK Aceh Besar terhadap APBK Aceh Besar tahun 2007, 2008, 2009 dan 2010 yang  dalam laporannya melansir bahwa pembagian kue pembangunan Aceh Besar hingga saat ini belum merata. Hal ini berarti bahwa paradigma pembangunan Aceh Besar belum berubah,  maksudnya masih menumpuk di kawasan-kawasan tertentu, yaitu kawasan yang disebut oleh masyarakat Aceh Besar sebagai kawasan LSM.
     Tidak rela secara terus menerus diperlakukan tidak adil, maka tidak berlebihan jika ada seorang tokoh masyarakat di gampong Lamklat mengusulkan agar masyarakat pesisir yang berdekatan dengan Kota Banda Aceh seperti Kecamatan Darussalam diberikan hak untuk melaksanakan referendum guna menanyakan pendapat rakyat kawasan ini apakah tetap bergabung dengan Aceh Besar atau bergabung dengan Kota Banda Aceh. "Meunyoe lagee nyoe sabe leubeh get geutanyoe ta meusahoe droe ngen Banda Aceh manteng" tukas sang tokoh tersebut.  Ayoo ...!!! Pakriban...??? (bM)
    
      

Sistem Drainase Primitif

Thu, Dec 23rd 2010, 09:48
Izarul Machdar - Opini
KONSEP “the solution of pollution is dilution” atau menyelesaikan masalah pencemaran dengan cara pengenceran sudah dilakukan saat pembangunan sistem saluran air Bazalgette, London tahun 1858 yang selesai dikerjakan pada 1865. Melihat masanya, proyek ini dikerjakan pada rentang 3 generasi yang lalu. Sistem ini terdiri dari beberapa saluran pengumpul air dan stasiun pompa yang akhirnya bermuara ke Sungai Thames di Inggris.

Pada saat itu belum dipahami kapasitas asimilasi sungai terhadap bahan pencemar yang terbawa melalui saluran air pembuangan, dan juga belum ada pengertian bahwa air limbah harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke air permukaan (sungai atau danau). Akibatnya, sungai Thames tercemar parah, sehingga sejak saat itu dikeluarkan larangan yang berlaku hingga kini, bahwa buangan limbah cair dari suatu kota harus dilakukan pengolahan terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air.

Konsep drainase, sewer, atau saluran air perkotaan dapat dibagi dua cara. Pertama, combined system (metode kombinasi), di mana saluran dibuat untuk mengalirkan air yang berasal dari gabungan limpasan air hujan dan air limbah domestik. Cara kedua, menggunakan separated system (metode terpisah), yaitu saluran dibuat terpisah antara saluran untuk air hujan dan limbah domestik.

Untuk sistem pertama, aliran air harus melalui sistem pengolahan limbah cair sebelum dibuang ke badan air. Pada sistem kedua, hanya saluran yang membawa limbah domestik yang melalui unit pengolahan air, sedangkan saluran air hujan dapat diarahkan langsung ke sungai atau laut. Melihat kedua metode di atas, sistem kombinasi lebih disukai di negara-negara berkembang karena biaya konstruksi yang relatif lebih murah. Walaupun demikian, permasalahan akan timbul seandainya hujan lebat atau limbah terkontaminasi oleh sampah. Logikanya memang demikian, sistem pengolahan limbah cair tidak didesain untuk mengolah sampah padat.

Sistem-sistem drainase perkotaan yang dipakai di Indonesia sulit mencari dasar referensinya, apakah mengikuti metode pertama atau kedua. Contohnya saja apa yang kita lihat di Jakarta . Proyek saluran air yang dibangun melalui kegiatan Jakarta Sewerage and Sanitation Project (JSSP tahun 1982-1996) dari pinjaman IBRD sungguh kita tidak tahu dasar berpijak dari desain yang digunakan.

Proyek ini prioritasnya untuk menangani banjir tapi juga sebagai saluran untuk limbah domestik yang akan diolah pada dua kolam besar yang berada di Distrik Setiabudi. Apa yang terjadi? Sistem tidak bekerja secara efektif menanggulangi insiden banjir di Jakarta disebabkan banyak saluran tersumbat sampah dan pendangkalan oleh lumpur limbah domestik. Hal ini terjadi karena sebagian sistem yang digunakan open channel (terbuka), sehingga sampah mudah masuk ke dalam saluran ditambah lagi unjuk kerja unit pengolahan limbah tidak mampu mengolah limbah, sehingga terjadi penyumbatan karena lumpur yang terbentuk.

Di sisi lain dapat kita amati, betapa kotornya saluran drainase di Jakarta akibat limbah domestik dari septik tank penduduk, limbah dari bengkel serta limbah industri kecil yang dikoneksikan langsung pada saluran drainase. Sampai-sampai kita tidak dapat membedakan air drainase dengan oli bekas. Kalau hal ini menjadi referensi disain drainase Kota Banda Aceh yang sedang giat-giatnya dilakukan saat ini, kita hanya menunggu waktu. Tak lama lagi, hal yang sama, yang terjadi saat ini di ibukota negara akan terjadi di ibukota Provinsi Aceh.

Menilik hasil kerja dari Sea Defence Consultant berkenaan dengan desain pencegahan banjir dan drainase kota (Flood Protection & Urban Drainage, Banda Aceh Zone-1, 2007), di sana sama sekali tidak menyinggung apakah metode kombinasi atau metode terpisah yang akan digunakan di dalam menata drainase Kota Banda Aceh. Pendekatan utama desain tersebut hanya untuk merehabilitasi alur Kreung Doy, Krueng Daroy, dan Kreung Neng di dalam mengatasi limpasan air hujan untuk mencegah banjir. Padahal diketahui bahwa alur-alur tersebut juga menerima limbah domestik dari penduduk di sekitar Zone-1 yang luasannya mencapai 1.130 ha.

Prinsip pengolahan limbah cair primitif (dengan melakukan penggelontoran ke sungai) yang seharusnya tidak dilakukan lagi, masih tetap digunakan di dalam desain drainase Kota Banda Aceh. Hal ini dapat dibaca dari rekomendasi laporan tersebut yang menyebutkan “Untuk menghindari kualitas air yang jelek selama musim kemarau, air kotor dari saluran kolektor Timur dialirkan langung ke Krueng Neng melalui saluran penangkap dan tidak ke kolam”. Di sini konsep pencegahan pencemaran dengan melakukan pengenceran terasa sangat kental.

Selanjutnya apabila konsep desain Zone-1 di dalam usaha pengendalian banjir diterapkan untuk zona lain di Banda Aceh, seperti yang sedang dilakukan saat ini tentunya kita layak bertanya tentang visi Kota Banda Aceh. Visi dengan konsep menggelontorkan limbah ke sungai tanpa pengolahan sungguh suatu konsep pembangunan yang surut 3 generasi ke belakang. Dalam menjaga lingkungan, Kota Banda Aceh masih berpedoman pada suatu metode yang 150 tahun lalu sudah banyak ditinggalkan oleh penduduk bumi ini. Dengan kata lain, fisik kita berada di abad milenium, tetapi konsep perlindungan lingkungan masih sangat primitif.

Sistem drainase di Jakarta selayaknya menjadi suatu pembelajaran bagi pengelola Kota Banda Aceh. Kita sudah memahami bersama, konsep pengendalian banjir dengan sistem saluran terbuka sangat berpotensi untuk gagal akibat terjadi penyumbatan baik dari sampah atau akibat lumpur hasil deformasi limbah domestik yang juga terkoneksi padanya.

Kota-kota kecil di India layak untuk dicontoh bagaimana mereka mendesain sistem drainase perkotaan. Walaupun diketahui tingkat pendapatan per kapita mereka yang masih rendah, infrastruktur yang terbatas, dan jumlah penduduk yang padat, tapi sistem pengelolaan limbah domestik yang dikombinasi dengan limpasan air hujan sudah terpasang di setiap kota. Sistem yang digunakan berupa perpipaan berdiameter besar yang ditanam dalam tanah. Limbah domestik dari septik tank, limbah industri kecil, limbah dari aktifitas bisnis, serta limpasan hujan dialirkan ke dalam suatu saluran yang mengarah ke suatu unit pengolahan limbah sebelum dibuang ke sungai.

Karena sifatnya tertutup, saluran bawah tanah ini tidak punya akses atau tidak terkontaminasi oleh sampah dan mempunyai by-pass langsung ke sungai apabila terjadi hujan lebat. Unit pengolahan limbah dipilih yang ekonomis dan mudah di dalam perawatan. Memang dalam hal ini keberadaan saluran drainase yang terencana dengan baik di India akibat dari proyek Gangga Action Plan. Proyek ini telah menyelamatkan kota-kota kecil di India dari marabahaya akibat pencemaran limbah penduduk seperti diare, malaria, dan kholera.

Kesan dari frasa headline Serambi (20/12/2010) “Proyek Drainase Mengusik Kota” masih sangat sopan digunakan oleh tim wartawan yang meliput berbagai permasalahan selama konstruksi drainase yang notebene dilakukan oleh kontraktor “kelas kakap” (istilah seorang kepala dinas). Kata “mengusik” dapat dipahami hanya mengganggu sementara waktu, yang memang telah diselesaikan secara “kesatria” dengan mengucapkan permohonan maaf yang hampir satu halaman Serambi oleh para pengusik.

Tapi melihat metode drainase yang digunakan, saya pribadi agak pesimis. Kita sedang mengulang kesalahan orang lain yang justru sekarang sedang berlangsung di depan mata kita. Terjungkal pada lubang yang sama memang sangat memalukan.

* Dr. Ir. Izarul Machdar, M. Eng adalah dosen Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala.
 

Peringatan 6 Tahun Tsunami Aceh Diisi dengan Dzikir Bersama

Minggu, 26/12/2010 13:25 WIB

Didit Tri Kertapati - detikNews




Jakarta - Suasana sakral sangat terasa dalam acara peringatan tragedi tsunami di Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Dalam memperingati tragedi bencana yang terjadi 6 tahun silam itu banyak diisi dengan acara dzikir bersama.

"Kegiatannya diarahkan kepada kerohanian. Hampir di semua masjid-masjid melakukan dzikir bersama. Dan biasanya ditutup dengan makan bersama," ujar Vice Director Tsunami and Disaster Mitigation Research Banda Aceh, Dr M Ridha, saat berbincang dengan detikcom, Minggu (26/12/2010).

Menurut Ridha, pada tahun ini acara dipusatkan di Pelabuhan Ulele, Banda Aceh. Dalam acara yang dihadiri sekitar 5 ribu warga Aceh tersebut diisi oleh tausiah dan dzikir bersama.

Tampak hadir Gubernur Nangroe Aceh Darussalam Irwandi Yusuf, Wakil Gubernur M Nazar dan sejumlah anggota DPRD Propinsi NAD serta perwakilan orang Aceh yang berada di Jakarta. Turut hadir dan juga memberikan ceramah pada acara tersebut Menkominfo Tifatul Sembiring.

Ridha menambahkan, sejauh ini perbaikan infrastruktur yang mengalami kerusakan akibat terjangan tsunami belum merata. Ada daerah yang hingga kini belum mendapatkan perbaikan yang cukup.

"Recovery dari segi fisik kalau melihat Banda Aceh sudah cukup bagus. Tapi kalau Meulaboh, Calang, ke arah pantai barat masih kurang, masih belum selesai," tambahnya.

Lebih lanjut Ridha mengatkan, sejumlah warga sudah mampu melupakan tragedi yang terjadi selepas waktu Subuh tersebut. Namun masih ada juga warga yang mengaku trauma setiap kali mengenang peristiwa yang terjadi pada 26 Desember 2004 lalu tersebut.

"Sebagian sudah bisa melupakan terutama yang sudah berkeluarga kembali. Tapi ada sebagian yang masih trauma seperti mereka yang kehilangan anaknya. Mereka khawatir kalau anaknya masih hidup dan dibawa oleh orang," jelas Ridha.

Selain dzikir bersama, untuk mengingatkan seluruh warga Aceh tentang tsunami. Pemerintah setempat menginstrusikan agar seluruh warga Aceh untuk mengibarkan bendera setengah tiang.

"Disini warga diminta untuk mengibarkan bendera setengah tiang mulai hari ini selama tiga hari sampai tanggal 28 Desember," tuntas Ridha.

(ddt/ndr)

Meluruskan Salah Kaprah Peringatan Hari Ibu


                         

Oleh: Widyastuti Purbani


KLA.org - Pemahaman kita tentang Hari Ibu, 22 Desember, mencerminkan pikiran yang kacau. Peringatan Hari Ibu terpolusi oleh Mother’s Day yang diperingati di banyak negara, terutama Amerika Serikat. Kini, Hari Ibu di Indonesia diperingati untuk mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada para ibu, memuji ke-ibu-an para ibu.

Berbagai kegiatan pada peringatan itu merupakan kado istimewa, penyuntingan bunga, surprise party bagi para ibu, aneka lomba masak dan berkebaya, atau membebaskan para ibu dari beban kegiatan domestik sehari-hari. Perjuangan perempuan Memang tidak ada yang salah dengan aneka ungkapan seperti itu. Tidak ada salahnya pula mengucapkan terima kasih atas jasa dan jerih payah ibu.

Tetapi, jika merunut sejarah terjadinya Hari Ibu di Indonesia, sebenarnya bukan itu misi sejatinya. Misi sejati peringatan Hari Ibu adalah mengenang perjuangan kaum perempuan menuju kemerdekaan dan pembangunan bangsa. Tahun 1959, Presiden Soekarno menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu melalui Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1959. Tanggal 22 Desember dipilih untuk mengenang diselenggarakannya Kongres Perempuan pertama, 31 tahun sebelumnya, yakni tahun 1928 di gedung yang kemudian dikenal sebagai Mandalabhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto, Jogjakarta.

Peristiwa itu dianggap sebagai salah satu tonggak penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia. Pada tanggal keramat tersebut para pemimpin organisasi perempuan dari berbagai wilayah se-Nusantara berkumpul menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Berbagai isu yang saat itu dipikirkan untuk digarap adalah persatuan perempuan Nusantara; pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan; pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa; perdagangan anak-anak dan kaum perempuan; perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita; pernikahan usia dini bagi perempuan, dan sebagainya. Tanpa diwarnai gembar-gembor kesetaraan jender, para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa.

Dari paparan tersebut tercermin, misi diperingatinya Hari Ibu lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Dari situ pula tercermin semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama. Yang lebih hebat, pemikiran dan aneka upaya penting itu terjadi jauh sebelum kemerdekaan negeri ini diraih dan jauh sebelum konsep-konsep adil jender dan feminisme berkembang di negeri ini. Kata “ibu” Yang barangkali telah merancukan pemaknaan Hari Ibu adalah digunakannya kata “ibu”, dan bukan “perempuan”. Masalahnya, jika ditilik dari apa yang dilakukan para pejuang saat itu, titik sentral yang digarap adalah kaum perempuan secara umum, bukan sebatas kaum ibu. Jadi, menilik sejarahnya, mestinya bukan the state of being mother-nya yang diapresiasi, tetapi keperempuanan dan semangat juang mereka yang hebat.

Penggunaan kata ibu ini pulalah yang tampaknya telah membuat pemaknaan Hari Ibu terseret ke arah pemaknaan Mother’s Day, yang lebih ditujukan untuk memberi puja-puji terhadap ke-ibu-an (motherhood) dan perannya sebagai “yang telah melahirkan dan menyusui”, sebagai pengasuh anak, sumber kasih sayang, pemandu urusan domestik, dan pendamping suami. Hal-hal inilah yang menjadi titik sentral peringatan Mother’s Day di sebagian negara Eropa dan Timur Tengah, yang mendapat pengaruh dari kebiasaan memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronus, dan ibu para dewa dalam sejarah Yunani kuno. Maka, di negara-negara tersebut, peringatan Mother’s Day jatuh pada bulan Maret. Di Amerika Serikat dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong, peringatan Mother’s Day jatuh pada hari Minggu kedua bulan Mei karena pada tanggal itu pada tahun 1870 aktivis sosial Julia Ward Howe mencanangkan pentingnya perempuan bersatu melawan perang saudara.

Akan tetapi, seperti terjadi di Indonesia, makna itu mengalami pendangkalan akibat komersialisasi dan bisnis media lebih ke arah hari makan-makan atau pemberian kado bagi para ibu. Dari paparan tersebut, tampak peringatan Hari Ibu 22 Desember di Indonesia amat tidak konsisten karena secara makna lebih cenderung mengarah ke worshiping motherhood, seperti di Eropa dan Timur Tengah, dan praktiknya cenderung mengopi apa yang dilakukan masyarakat Amerika Serikat, tetapi dari segi waktu maunya memakai tanggal di mana pejuang perempuan bangsa bersatu. Jika kita ingin dianggap jelas dalam berpikir, seharusnya mengembalikan hari penting itu kepada makna sejatinya, yakni mengenang perjuangan dan keterlibatan perempuan dalam usaha perbaikan nasib bangsa yang belum lepas dari berbagai kemalangan, tanpa harus menghilangkan rasa terima kasih dan puja-puji terhadap jasa dan perjuangan kaum ibu. Atau jika penekanannya lebih kepada yang disebut terakhir, kita ciptakan Mother’s Day pada bulan Maret atau Mei. Selamat Hari Ibu.

Selamat berjuang, kaum perempuan!!!

Widyastuti Purbani, Dosen FBS Universitas Negeri Jogjakarta; Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia


Mukim: Berjuang Untuk Sebuah Legitimasi


Oleh: Dewa Gumay


Setelah diakui keberadaanya oleh Undang-Undang otonomi khusus, Pemerintahan Mukim kembali diakui secara de jure dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Secara de facto, keberadaan mukim masih cukup eksis dan diakui di seluruh Nanggroe Aceh, sekalipun antara warga masyarakat Aceh terdapat beragam suku dan kultur. Masalahnya, eksistensi mukim ini sekarang di Aceh bukanlah sebagai lembaga pemerintah. Mukim hanya lembaga adat yang tak punya kuasa memerintah. Sekian lama mukim hanya menjadi simbol adat, dan dipentingkan ketika ada upacara-upacara adat belaka. Misalnya, kahuri blang, kahuri laoet, dan kahuri-kahuri lainnya. Fakta seperti ini tentu sangat berbeda dengan eksistensi mukim pada masa kesultanan Aceh tempoe doeloe, hingga awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia.

Sebetulnya, bukan hanya Pemerintahan Mukim di Aceh yang mengalami staknasi, Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat dan Pemerintahan Marga di Sumatera Selatan merupakan salah satu dari sekian banyak Pemerintahan adat yang tidak berfungsi dengan keluarnya Undang-Undang Pemerintahan Desa. Wacana maupun tindakan kongkriet untuk mengembalikan keberadaan mukim di Aceh telah dirintis, mulai dari Undang-Undang otonomi khusus hingga Undang-Undang Pemerintahan Aceh, tetapi tetap saja tak semudah membalikkan telapak tangan untuk mengubah kondisi yang telah berlangsung puluhan tahun.

Tempo doeloe, keberadaan mukim tidak saja mendapat pengakuan sosio-antropologis masyarakatnya, bahkan mendapat dukungan juridis politis dan legitimasi dari pemegang kekuasaan pada masa itu. Sejarah mencatat bahwa lembaga mukim tersebut terbentuk seiring dengan masuknya agama Islam ke Aceh. Mukim merupakan sistem pemerintahan tersendiri yang dipimpin oleh Imum Mukim. Imum Mukim dipilih secara langsung oleh tokoh-tokoh dalam kemukiman tersebut, yang terhimpun dalam tuha lapan. Karenanya, ia tidak tunduk pada kekuasaan di atasnya.


Mukim mempunyai harta kekayaan serta sumber keuangan sendiri dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Pada masa kolonial Belanda keberadaan Imum Mukim tetap diakui. Bahkan diatur secara khusus dalam Besluit van den Governeur General van Nederland Indie Nomor 8 Tahun 1937. Masa penjajahan Jepang, pemerintahan oleh Imum Mukim pun tetap diakui berdasarkan Osamu Seirei Nomor 7 Tahun 1944. Setelah Indonesia Merdeka ketentuan-ketentuan tentang pemerintahan mukim tetap diberlakukan, yaitu berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.

Untuk mempertahankan kedudukan mukim dalam struktur pemerintahan desa, Keresidenan Aceh mengeluarkan Peraturan Keresidenan Aceh Nomor 2 dan Nomor 5 Tahun 1946, yang menurut kedua peraturan tersebut, Pemerintahan Mukim diberlakukan untuk seluruh Aceh. Akan tetapi kedudukannya tidak lagi berada di bawah Ulhee Balang, karena lembaga ini sudah dihapus dengan kedua peraturan tersebut, sehingga. Mukim berada di bawah camat dan membawahi beberapa gampong.

Pemerintahan Mukim dilaksanakan oleh tiga unsur. Pertama, unsur adat yang diwakili oleh imum mukim. Kedua, unsur agama yang diwakili oleh imeum masjid, ketiga, unsur dewan yang diwakili oleh tuha lapan. Meskipun ketiga unsur itu dipilah kewenangannya, namun dalam pengambilan keputusan diperlukan adanya persetujuan bersama. Pelaksanaan putusan dipresentasikan oleh imum mukim, sehingga putusan yang diambil merupakan keputusan yang kuat karena merupakan keputusan semua unsur pimpinan yang mewakili masyarakat. Sebab itu pula dapat diperkirakan didukung oleh semua unsur yang ada dalam masyarakat.

Seurikat Mukim Aceh Jaya

Tempo doeloe adalah sejarah, sejarah tentang kebesaran dan pengakuan segenap orang terhadap kedudukan Mukim. Sekarang adalah hari ini dimana Mukim tidak memiliki dukungan juridis politis serta legitimasi dari pemegang kekuasaan, secara de facto Mukim tetaplah sebuah lembaga adat tanpa Power untuk mengeksekusi. Untuk itu diperlukan kerja keras bagi para Mukim itu sendiri untuk mengembalikan harkat dan martabatnya seperti tempo doeloe, bukan hanya sekedar catatan sejarah yang digores tinta emas.

Apa yang harus dilakukan ? Apa saja prasyaratnya ? Mari kita tinggalkan sejarah dan tinta emas, kita arahkan pandangan kita sedikit ke sebuah Kabupaten yang terletak di pantai barat, Kabupaten Aceh Jaya. Mari kita sedikit belajar dari apa yang telah dilakukan para Imum Mukin di Kabupaten ini, berjuang untuk mendapatkan harkat dan martabatnya kembali. Berjuang tidak ber-arti berkonotasi “negatif”, berjuang adalah upaya untuk mendapatkan sesuatu yang dulu pernah ada, sebuah pengakuan atau legitimasi. Legitimasi ini perlu untuk direbut kembali, karena secara hukum (Undang-Undang Pemerintahan Aceh) mengatur soal legitimasi Mukim, persoalannya legitimasi ini belum diberikan secara mutlak. Ini tidak salah, karena Undang-Undang yang memandatkan demikian.

Dua tahun lalu, tepatnya 7 Agustus 2005 Miladiah bertepatan dengan 2 Rajab 1426 Hijriyah, Organisasi yang diberi nama Seurikat Mukim Aceh Jaya didirikan, tujuannya adalah untuk meningkatkan martabat dan harkat mukim serta memaksimalkan peran dan fungsi mukim dalam tatanan pemerintahan dan pengelolaan sumber daya alam. Apa yang melatarbelakangi pendirian Seurikat Mukim Aceh Jaya ini ?. Menurut Anwar Ibrahim Imum Mukim Rigaih, Seurikat Mukim Aceh Jaya didirikan sebagai tempat untuk menyalurkan aspirasi, membuat konsep atau acuan kepada Bupati atau pihak lain, memudahkan perencanaan mukim dan membangun hubungan dengan instansi lain, menguatkan lembaga adat yang ada di Aceh Jaya, dan membantu memudahkan urusan-urusan dengan masyarakat.

“Lebih dari itu, Seurikat Mukim Aceh Jaya didirikan untuk mengangkat harkat dan martabat mukim yang berada di Kabupaten Aceh Jaya,” tegas Anwar Ibrahim. Menurut pengurus Seurikat Imum Mukim Aceh Jaya ini, banyak hal yang harus diperbaiki dan diperjuangkan, untuk mengangkat harkat dan martabat para Imum Mukim kembali seperti tempo doeloe, dan itu pekerjaan yang sangat besar dan mulia.

Waktu terus berjalan, pengakuan itu harus direbut bukan hanya sekedar berbicara dan berwacana tentang masa lalu, prinsip ini sangat kuat dan teguh dipegang oleh para Imum Mukin di Aceh Jaya. Sampai hari ini banyak hal yang telah dilakukan oleh Seurikat Mukim Aceh Jaya, mulai dari meng-inisiasi penyusunan Tata Ruang Aceh Jaya dengan melibatkan masyarakat gampong, bernegosiasi tentang keberadaan HPH yang ada di Aceh Jaya, dan terlibat aktif dalam upaya pelestarian lingkungan hidup khususnya di Aceh Jaya.
Secara organisasi, Seurikat Mukim sedang melakukan upaya pembenahan organisasi kedalam dan terus terlibat aktif memberikan masukan-masukan kepada Pemerintah, Seurikat Mukim adalah partner bagi semua pihak yang akan memberikan masuka-masukan konstruktif. Walaupun masih seumur jagung, organisasi ini adalah embrio yang akan mengkonsolidasikan kekuatan Mukim di Kabupaten Aceh Jaya.

Jika demikian, beranikah kita bermimpi tentang kejayaan Pemerintahan Mukim seperti tempo doeloe, sebagaimana yang telah dituliskan oleh tinta emas sejarah kedaulatan Mukim ?. Jawabannya ya, dengan catatan bahwa Mukim tetap harus berjuang tanpa akhir untuk merebut harkat dan martabatnya. Jika tidak, sampai ratusan kali Undang-Undang yang mengatur tentang Pemerintahan Mukim dibuat oleh Pemerintah, ratusan kali pula legitimasi itu tak akan pernah sampai kepada tangan-tangan Imum Mukim. Sementara sejarah, tetap saja terus mencatat. (*) dwg/FFI AP

Papua dan Aceh, Daerah Kaya Tapi Miskin


Minggu, 28 November 2010 | 11:50 WIB
Fokus
Provinsi Papua dan Aceh memiliki kabupaten daerah tertinggal terbanyak.

Selasa, 23 November 2010, 21:58 WIB
Arinto Tri Wibowo
VIVAnews - Data Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal menyebutkan Provinsi Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam sebagai dua wilayah yang paling banyak memiliki kabupaten daerah tertinggal.

Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, Helmy Faishal Zaini, mengatakan, daerah tertinggal di Indonesia mencapai 183 kabupaten. Berdasarkan data Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, dari 183 kabupaten itu, Provinsi Papua memiliki kabupaten daerah tertinggal terbanyak, yakni 27 kabupaten.

Sementara itu, Aceh memiliki 12 kabupaten daerah tertinggal. Jumlah kabupaten daerah tertinggal di Aceh sedikit lebih banyak dibanding Provinsi Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah.

"Target selama periode Kabinet Indonesia Bersatu II adalah keluarnya 50 kabupaten dari ketertinggalan," kata Helmy dalam keterangannya yang diterima VIVAnews.com di Jakarta.

Hasil pencacahan sensus penduduk 2010 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk Provinsi Papua mencapai 2,85 juta jiwa. Dengan luas wilayah 317.062 km persegi, kepadatan penduduk Papua mencapai sembilan orang per km persegi.

Sementara itu, untuk Provinsi Aceh, dengan jumlah penduduk berdasarkan hasil pencacahan sensus penduduk tercatat 4,48 juta jiwa. Dengan luas wilayah 58,37 ribu km persegi, kepadatan penduduk Aceh sebanyak 77 orang per km persegi.

Namun, yang memprihatikan adalah soal kemiskinan. Hasil sensus nasional terbaru BPS menyebutkan angka kemiskinan di wilayah paling ujung timur dan barat Indonesia itu masih menghadapi persoalan kemiskinan yang cukup parah. Persentase angka kemiskinan di Papua, Papua Barat, dan Aceh jauh lebih besar dibanding rata-rata nasional 13,33 persen.

Angka kemiskinan di Provinsi Papua Barat mencapai 36,80 persen, sedangkan Papua 34,88 persen. Aceh menempati peringkat ke-7 dengan persentase angka kemiskinan mencapai 20,98.

"Kemiskinan adalah salah satu masalah mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah negara manapun," kata Kepala BPS Rusman Heriawan dalam penjelasan hasil sensus nasional yang dirilis baru-baru ini.

Yang dimaksud dengan penduduk miskin adalah masyarakat yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Angka garis kemiskinan pada Maret 2010 adalah Rp211.726 per kapita per bulan.

Untuk mengentaskan daerah-daerah tertinggal itu, Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal meluncurkan program Bedah Desa sebagai instrumen untuk percepatan pembangunan daerah tertinggal.

Menurut Helmy, program Bedah Desa bertumpu pada tiga pilar pendekatan yakni agribisnis, berbasis mata pencaharian berkelanjutan, dan hak. Ini bertumpu pada partisipasi, penguatan akses dan reformasi agraria, serta akuntabilitas. Target Bedah Desa adalah kemandirian, demokrasi, dan kesejahteraan.

Daerah Kaya Tapi Miskin
Jika membandingkan antardaerah, BPS mencatat sejumlah wilayah masih menghadapi persoalan kemiskinan yang tinggi. Bahkan, angka kemiskinan yang tertinggi itu justru terjadi di wilayah dengan kekayaan sumber alam melimpah, seperti Papua dan Papua Barat, serta Aceh.

Di wilayah Papua terdapat salah satu raksasa bisnis Amerika di Indonesia, yakni Freeport McMoRan Copper & Gold. Melalui PT Freeport Indonesia, perusahaan emas kelas dunia asal Amerika itu menjadi salah satu penambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia.

Freeport beroperasi di daerah dataran tinggi di Mimika. Kompleks tambang di Grasberg itu merupakan salah satu penghasil tunggal tembaga dan emas terbesar di dunia. Wilayah ini juga mengandung cadangan tembaga dan emas terbesar sejagat. Tahun lalu, Freeport menghasilkan sekitar 86 ton emas.

Berdasarkan data Freeport-McMoran per akhir 2009, Freeport Indonesia merupakan penyumbang pendapatan terbesar bagi induk perusahaan tambang emas yang berpusat di Phoenix, Arizona, AS itu. Freeport Indonesia membukukan pendapatan US$5,9 miliar, jauh melampaui perusahaan Freeport yang beroperasi di Amerika Utara dengan pendapatan US$4,8 miliar.

Namun, tak bisa dipungkiri Freeport juga membayarkan manfaat langsung bagi Indonesia.
Freeport Indonesia telah menyetor kepada pemerintah Indonesia senilai US$1,01 miliar. Selama periode April-Juni 2010, Freeport Indonesia juga telah melakukan kewajiban pembayaran kepada pemerintah Indonesia sebesar US$634 juta atau sekitar Rp5,7 triliun.

Kondisi hampir serupa juga terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kajian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Jerman menemukan potensi minyak (hidrokarbon) dalam jumlah sangat besar sekitar 107,5-320,79 miliar barel di perairan timur laut Pulau Simeulue, Aceh.

Potensi kekayaan tersebut cukup signifikan jika dibandingkan cadangan minyak Arab Saudi yang mencapai 264,21 miliar barel. Bila potensi minyak itu terbukti, Aceh bisa lebih kaya dari Arab Saudi.

Selain kekayaan sumber alam seperti minyak bumi dan gas alam di Aceh Utara dan Aceh Timur. Provinsi di ujung barat Indonesia itu juga terkenal dengan sumber hutannya yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan, dari Kutacane, Aceh Tenggara, Seulawah, Aceh Besar, hingga Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) juga terdapat di Aceh Tenggara.

Sebelum bencana tsunami 26 Desember 2004, perikanan merupakan salah satu pilar ekonomi lokal di Aceh. Data Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2005 menyebutkan, perikanan menyumbangkan 6,5 persen dari pendapatan daerah bruto (PDB) senilai Rp1,59 triliun selama 2004.

Aceh juga memiliki sejumlah industri besar di antaranya PT Arun, yang merupakan kilang pencairan gas alam, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Asean Aceh Fertilizer, PT Kertas Kraft Aceh, PT SAI-Lafarge, Semen Andalas, dan ExxonMobil untuk industri kilang gas alam.

Selain itu, Aceh memiliki pertambangan emas di antaranya di Woyla, Seunagan (Aceh Barat), Pisang Mas (Beutong), serta Payakolak, Takengon (Aceh Tengah).
(hs)

Berharap Kasih si Jantung Hati

Gedung Rektor Unsyiah
Jum’at, 16 Oktober 2010, saat menjelang siang, cuaca di Banda Aceh seakan memanggang. Aku terus memacu sepeda motor secepat mungkin, meski harus berliuk-liuk diantara desak-desakan sepeda motor dan mobil yang memadati ruas jalan kota Banda Aceh. Saat itu yang tepikir olehku hanyalah bagaimana caranya agar secepat mungkin sampai di rumahku di kawasan Mukim Siem Darussalam Aceh Besar, karena waktunya telah terjepit dengan waktu pelaksanakaan ibadah shalat jum’at. 

Memasuki kampus Darussalam keadaan berubah seketika. rimbunan pepohonan yang menghiasi lingkungan kampus segera menyulap udara panas membakar dengan hawa sejuk nan segar. Ketika berada di depan gedung Dayan Dawood segera pula mataku melihat jejalan papan bunga ucapan selamat pelantikan rektor baru dari dua Perguruan Tinggi Negeri di Aceh yaitu Universitas Malikul Shaleh dan Universitas Syiah Kuala. Aku baru teringat bahwa sesuai dengan pemberitaan dari media hari ini Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh akan melantik rektor dari dua perguruan tinggi ternama di Aceh, yakni Prof DR. Darni Daud, MA sebagai rektor Unsyiah dan Apridar, SE, M.Si sebagai rektor Unimal.

Gerombolan orang yang sebagian berjas dan berdasi dengan ekspresi kecerian dan mengumbar tawa hahahahihihi.....masih berkerumun di pelataran gedung yang cukup megah itu. Entah kenapa,  tiba-tiba pikiranku terlempar jauh ke belakang, jauh ke masa kerajaan Aceh Darussalam. Menurut penuturan orang-orang tua di kampungku, pada masa kerajaan Aceh Darussalam, kawasan yang hari ini dibangun Kampus Darussalam merupakan kawasan hunian penduduk yang sangat padat. Dahulu kawasan ini termasuk dalam Wilayah Ulee Balang IX Mukim Tungkob, Sagoe XXVI Mukim. Dikisahkan, penduduk yang mendiami wilayah IX Mukim Tungkob dan Mukim Kayee Adang (wilayah termasuk lokasi Kopelma Darussalam sekarang ini) pada masa Kerajaan Aceh Darussalam merupakan kawasan yang sangat padat dengan perumahan penduduk . Diilustrasikan pula, rumah-rumah yang berjejer disepanjang jalan sangat padat (pok due), sehingga bila orang-orang dari dari Mukim Lambaro Angan pergi ke pasar Aceh pada saat hujan, maka dengan berjalan di bawah kolong/emperan rumah masyarakat, maka mereka akan terlindung dari hujan, hingga sampai ke pusat kota kerajaan Banda Aceh Darussalam. 

Namun pada masa perang Belanda, terutama pada saat Teuku Umar telah membelot kepihak kolonial pada tahun 1893, banyak perkampungan penduduk yang dibumihanguskan hingga rata dengan tanah. Dengan berbelotnya Teuku Umar yang sangat memahami taktik perang rakyat Aceh, maka pada saat itu Kolonial Belanda banyak mendapatkan kemenangan dalam berbagai front pertempuran dengan rakyat Aceh. Oleh kerena Teuku Umar dianggap berjasa dalam berbagai front pertempuran dengan rakyat Aceh, maka pada tanggal 1 Januari 1894, Gubernur Van Teijn  menganugerahkan gelar kehormatan Johan Pahlawan kepada Teuku Umar  dan diizinkan pula untuk membentuk legiun pasukan sendiri yang berjumlah 250 tentara dengan senjata lengkap.

Rakyat yang berdiam di wilayah IX Mukim Tungkob merupakan salah satu wilayah yang paliiiiiiiiiiing menderita akibat perang itu. Terlebih lagi masyarakat yang mendiami kawasan lokasi pembangunan kampus sekarang ini, karena kawasan ini dapat dikatakan sebagai gerbang menuju wilayah IX Mukim Tungkob. Rumah-rumah di sini habis dibakar, dan penduduknya ditembak, diperangi serdadu belanda, sementara sebagian rakyat lari dan mengungsi keberbagai wilayah lain seluruh Aceh, bahkan sampai keluar Aceh. Tanah yang ditinggalkan oleh masyarakat ini, kemudian dikuasai oleh Pemerintah kolonial Belanda. Gubernur Jendral Pemerintah Kolonial Belanda kemudian menjadikan kawasan ini sebagai tanah perkebunan dan pengelolaannya diserahkan kepada Perusahaan Swasta dengan status hak erfpacht. 

Pada saat Prof. Ali Hasjmy  menjadi gubernur pasca pemberontakan DI/TII di Aceh, beliau bertekad membangun Aceh melalui pembangunan bidang pendidikan. Untuk mewujudkan tekad itu, maka pemerintah Provinsi Aceh di bawah kepemimpinan beliau mencanangkan pembangunan Kota Pelajar Mahasiswa, yang akan menjadi pusat pendidikan di Aceh. Lokasi yang dipilih sebagai kampus adalah bekas tanah perkebunan Belanda sebagaimana disebutkan di atas. Di lokasi ini awalnya direncanakan menjadi kampus 4 perguruan tinggi, masing-masing Universitas Syiah Kuala, IAIN Ar-Raniry, Dayah Manyang Tgk Chik Pante Kulu dan APDN Aceh. Pembangunan Kota Pelajar Mahasiswa (KOPELMA) Darussalam ini ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Ekonomi pada tanggal 29 Mei 1959, dan peristiwa bersejarah ini diperingati sebagai hari Pendidikan Daerah Aceh. 

Pembangunan Kampus Darussalam pada awalnya juga melibatkan masyarakat sekitarnya. Setiap hari masyarakat yang mendiami kawasan Mukim Tungkob dan sekitarnya ikut berpartisipasi bergotong royong membersihkan lahan yang digunakan sebagai Kampus Darussalam. Tentunya masyarakat melakukannya dengan suka rela, dengan senang hati, dengan harapan keberadaan kampus Darussalam akan sangat bermanfaat bagi pembangunan masyarakat Aceh pada umumnya wabilkhusus tentunya masyarakat yang berdiam di sekitarnya. 

Hari ini, di atas tanah darah dan air mata rakyat wilayah Ulee Balang IX Mukim Tungkob ini telah berdiri gedung – gedung megah dari berbagai fakultas baik yang ada di lingkungan IAIN Ar-Raniry maupun di lingkungan Universitas Syiah Kuala. Kedua perguruan tinggi yang terletak di Kampus Darussalam ini telah menjadi idaman putra dan putri seluruh Aceh agar bisa menuntut ilmu di sana. Sekarang Kampus Darussalam benar-benar telah menjadi kampus jantoong Hate (jantung hati) seluruh rakyat Aceh. Namun bagaimana dengan mayoritas masyarakat kampung yang berdiam di sekitar kampus ? Apakah si jantung hati benar benar dapat memenuhi harapan mereka ? Intinya bagaimana hubungan masyarakat kampus dengan masyarakat kampung di sekitarnya ? Adakah hubungan antara kedua komunitas ini berjalan harmonis ? Adakah antara keduanya terdapat hubungan saling mempengaruhi dan saling menguntungkan ? Ya ada segudang pertanyaan, dan tentu kita juga punya banyak pilihan jawaban. Semua jawaban tentunya sangat tergantung dari persepsi dan sisi pandang kita masing-masing. 

Sebagai putra kampung yang berdekatan dengan kampus Darussalam, aku juga memiliki pandangan sendiri terhadap rentetan persoalan di atas. Secara kasat mata, pengalaman ku bertahun-tahun sebagai putra kampung, aku sama sekali tidak melihat adanya upaya atawa kebijakan dari petinggi kampus untuk membangun hubungan yang harmonis dengan masyarakat kampung di sekitarnya. Singkat kata, pendek cerita mereka sangat cuek dengan masyarakat disekelilingnya. Sebaliknya yang nyata terlihat adalah adanya rivalitas antara masyarakat kampung dengan masyarakat kampus. Dengan jelas kita dapat melihat bagaimana masyarakat kampus berusaha sekuat tenaga agar mereka menjadi komunitas yang eksklusif. Lihatlah bagaimana masyarakat kampus berusaha membangun greatwall, tembok berlin dan menggali khandak (parit) yang lebar untuk memisahkan kampus dan kampung. Dan proyek besar ke depan adalah membangun jalan lingkar kampus dan menutup jalan besar yang membelah kampus, agar akses orang-orang kampung ke kampus benar-benar tertutup rapat. 

Dan bila kita mencoba membuat daftar persoalan lainnya, maka dengan mudah kita akan menemukan fakta yang sangat tragis, ironis dan menyesakkan dada. Cobalah buka mata dan hati.? Lihat masyarakat petani yang ada di Limpok dan Barabung. Kedua gampong ini adalah kampung yang berbatas langsung dengan kampus. Petani di sini, dari proses produksi sampai pemasaran hasil produksi pertanian masih dilakukan dengan cara-cara yang sangat tradisional, jauh dan sangat jauh dengan manajemen pertanian modern . Padahal di sebelahnya ada Fakultas Pertanian dengan segala jurusannya dan pakar-pakar ilmu pertanian dengan segala bidangnya. Apa yang telah mereka lakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani di sana ? Untuk pertanyaan ini maka saya berani menjawab, tidak,  tidak ada. Tidak ada program yang berarti. Di bidang kesehatan, untuk diketahui bahwa kampung-kampung di seputar kampus adalah kawasan endemi penyakit DBD, padahal tidak jauh dari sana ada Fakultas Kedokteran. Setiap tahunnya banyak binatang ternak masyarakat yang terjangkit berbagai penyakit yang mematikan sehingga banyak masyarakat perternak yang mengalami kerugian, tapi apa yang telah dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Hewan. 

Untuk diketahui, sebahagian besar bahkan hampir semua aparat pemerintahan gampong dari kampung-kampung seputar kampus tidak memahami manajemen pemerintahan gampong yang baik. Yang lebih parah lagi mereka juga sangat kesulitan untuk membuat aturan-aturan gampong tertulis (qanun/reusam gampong), padahal tuntutan di lapangan kadang-kadang telah membutuhkan. Menyikapi persoalan ini sebenarnya para pakar di Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum bisa membantu, tapi jujur saja, apa yang telah mereka lakukan. Jawabannya tidak ada, ya tidak ada...!!! Pertanyaan akan lebih panjang bila kita mengurut peran semua fakultas yang ada di lingkungan Unsyiah dan juga IAIN Ar-Raniry. 

Terlepas dari segala persoalan tadi, maka dengan adanya pelantikan Rektor baru (sebenarnya rektor lama, tapi dilantik baru untuk masa jabatan 2010 - 2014) aku berharap, aku berdo'a semoga kedepan ada perubahan dalam tata hubungan masyarakat kampus dengan masyarakat kampung yang ada di sekitarnya. Aku berharap ada orang-orang kampus yang membaca tulisan ini dan mereka tersentuh hatinya untuk membuat program-program yang beorientasi kepada peningkatan kesejahteraan orang-orang kampung di sekitarnya. Semoga kakek-nenek kami yang terusir dari tanah darah dan air mata mereka, di tanah yang hari ini dibangun kampus Darussalam, dengan gedung-gedung yang megah dan perumahan elit untuk petinggi-petingginya, akan lebih tenang di alam sana, ketika mengetahui anak-anak cucu mereka telah menjalani hidup lebih baik. Dalam keraguan aku mencoba berani berharap, berharap kasih dari si jantung hati (jantoong hatee) Kampus Darussalam. Semoga. Wallahu'alam.

Hambatan Penguatan Mukim

Tue, Oct 5th 2010, 08:40 Sumber : Opini Serambi Indonesia
KETIKA saya menjadi pemateri diskusi tentang Penguatan Mukim yang diselenggarakan Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh di Sabang baru-baru ini, seorang Imuem Mukim menceritakan hal yang menarik. Ia sudah menjabat Imuem Mukim selama 17 tahun. Dalam masa tersebut, ia merasakan bahwa posisi Mukim sangat jauh dari apa yang ia ketahui dari sejarah Mukim itu sendiri. Malah sekarang, menurutnya, Mukim persis seperti harimau ompong. Mukim memiliki kewenangan yang sangat terbatas, tapi untuk menjalankan kewenangan yang sangat terbatas itu saja Mukim tidak cukup kuasa.

Sehabis ia berbicara, sebagian peserta yang umumnya Imuem Mukim dan tetua adat, ikut bertepuk tangan. Saya berasumsi, bahwa tepuk tangan tersebut sebagai tanda setuju dengan pendapatan Imuem Mukim yang bersangkutan.

Dalam seminar tersebut, ada empat pemateri yang memberikan bahasannya, yakni dalam konteks normatif, adat, sejarah, dan pemerintahan. Saya sendiri mendapat bagian pembahasan dari sisi normatif. Dan di dalam regulasi yang ada, tampak jelas apa yang dirasakan seorang Imuem Mukim yang sudah menjabat selama 17 tahun tersebut di atas.

Bila kita toleh kembali ke belakang, posisi Mukim baru ada kembali pasca diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Adat.

Pengakuan terhadap Mukim sebenarnya sudah dinyatakan sebelumnya dengan Perda No. 2 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat-istiadat, Kebiasaan Masyarakat beserta Lembaga Adat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Namun pengakuan tersebut sifatnya sangat terbatas. Dalam Perda tersebut, posisi Mukim memang diakui, tapi konteksnya sangat terbatas dan hanya terfokus pada adat dan kebiasaan.

Dalam sejarah Mukim setelah Indonesia merdeka, kita bisa melihatnya dalam tiga babak. Pertama, masa Orde Lama, posisi Mukim masih termasuk dalam urutan jenjang pemerintahan. Urutannya adalah Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Provinsi, Pemerintahan Keresidenan, Pemerintahan Kabupaten, Pemerintah Kewedanaan, Pemerintahan Mukim, dan Pemerintahan Gampong. Kedua, masa Orde Baru, jenjang pemerintahan disederhanakan menjadi lima tingkat, yakni Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Daerah Tingkat I, Pemerintahan Daerah Tingkat II, Pemerintah Kecamatan, dan Pemerintahan Desa/Pemerintah Kelurahan. Ketiga, masa Reformasi, urutan pemerintahan terdiri atas Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Provinsi, Pemerintahan Kabupaten/kota, Pemerintah Kecamatan, Pemerintahan Mukim, dan Pemerintahan Gampong.

Kembang-kempis pengakuan posisi Mukim di Indonesia sebenarnya terkait dengan perubahan regulasi yang terjadi. Konsep otonomi yang bergeser adalah satu hal penting yang mendasari proses regulasi Mukim tersebut. Perubahan dari UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah menjadi UU No. 22 Tahun 1999 sekaligus turut memberi angin segar dalam konteks Pemerintahan Mukim di Aceh. Konsep tersebut, kini semakin dikokohkan dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU tersebut menjadi satu regulasi penting setelah perdamaian Aceh dari konflik dan pulih Aceh dari tsunami. Artinya semua ketentuan perundang-undangan yang dibentuk mengenai Aceh, harus menjadikan UU Pemerintahan Aceh tersebut sebagai dasarnya.

Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa Aceh dibagi atas Kabupaten/Kota. Kabupaten/Kota dibagi atas Kecamatan. Kecamatan dibagi atas Mukim. Mukim dibagi atas Gampong. Dalam UU juga disebutkan bahwa tugas camat termasuk membina penyelenggarakan pemerintahan Mukim.

Bila menilik secara detail dalam UU Pemerintahan Aceh, maka setidaknya ada tiga pemosisian Mukim yang harus dimaknai. Pertama, Mukim sebagai lembaga pemerintahan. Dalam konteks ini, Mukim mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan peningkatan pelaksanaan Syariat Islam. Fungsi mukim adalah penyelenggaraan pemerintahan [azas desentralisasi, dekonsentrasi, urusan tugas pembantuan], pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, peningkatan percepatan pelayanan, dan penyelesaian sengketa. Dalam wilayah ini, salah satu aturan pelaksana yang sudah berhasil diselesaikan adalah Qanun No. 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara pemilihan dan Pemberhentian Imuem Mukim. Kedua, Imuem Mukim sebagai lembaga adat. Dalam konteks ini, secara jelas telah tergambar dalam aturan pelaksana Qanun No. 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Adat dan Qanun No. 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Ketiga, Mukim sebagai kesatuan masyarakat hukum, yang memiliki wilayahnya sendiri. Konsep ini terlihat dalam konsep sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (19) UU Pemerintahan Aceh.

Ketiga pemosisian ini sangat penting dimaknai dalam satu konsep. Memisahkan satu dengan yang lainnya, menurut saya akan berimplikasi kepada kepincangan dari konteks penguatan Mukim itu sendiri. Tidak bisa dilakukan proses revitalisasi, bila kita tidak beranjak dari kesatuan konsep dari tiga pemosisian mukim tersebut di atas.

Pemersatuan konsep ini menjadi satu tantangan tersendiri. Tantangan ini kemudian ditantang lagi dengan hambatan lainnya, di mana dari 23 Kabupaten/Kota di Aceh, ternyata baru tiga Kabupaten saja yang baru menyelesaian Qanun Kabupaten/Kota tentang Mukim. Sekitar enam Kabupaten/Kota yang sedang membahas. Sedangkan sisanya, masih belum dibahas sama sekali.

Hal ini jelas menjadi hambatan karena UU Pemerintahan Aceh jelas menyebutkan bahwa dalam hal tugas, fungsi, dan kelengkapan mengenai Mukim diatur dengan Qanun Kabupaten/Kota. Memang untuk Kabupaten/Kota yang belum memiliki Qanun, akan berlaku Qanun 4 tahun 2003 tentang Mukim. Tapi esensi dari keinginan perubahan regulasi adalah memperbesar kewenangan Mukim dalam hal yang telah disebutkan, dimana dalam Qanun sebelumnya masih memiliki keterbatasan.

Hambatan ini masih dihantui pula dengan substansi Mukim yang akan diatur dengan Qanun Kabupaten/Kota. Apakah ada visi untuk memadukan konsep Mukim sebagai lembaga pemerintahan, lembaga adat, dan masyarakat hukum adat sekaligus? Karena hal tersebut akan menentukan sejauhmana Mukim akan memiliki kewenangan baik dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, maupun dalam hal menyelesaikan persoalan di tingkat Mukim dan dalam hal pengelolaan sumberdaya alamnya.

Bolehlah dikatakan bahwa cerita (sekaligus kegundahan) seorang Imuem Mukim yang sudah memegang jabatan 17 tahun di awal tulisan ini, merupakan kegundahan rasional yang penting untuk mendapat perhatian kita. Mereka merasakan ketidakberdayaan mereka untuk mengatur dirinya. Kita berharap semoga dalam proses regulasi, para pembentuk Qanun Kabupaten/Kota sangat memahami kegundahan tersebut. Wallahu a‘alam.

* Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Unsyiah

CATATAN DARI KOMNAS HAM TENTANG TIMUR

komisaris Jenderal Timur Pradopo
         Sumber: Kompas - Selasa, 5 Oktober
JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berharap Komisi III DPR mempertimbangkan rekam jejak Komisaris Jenderal Timur Pradopo saat menjabat Kepala Polres Jakarta Barat tahun 1997-1999 jika melakukan uji kepatutan dan kelayakan sebagai calon Kepala Polri.

"Catatan Komnas HAM secara objektif, bagaimana pun Timur Pradopo pernah menjabat Kapolres Jakarta Barat saat kerusuhan Semanggi I dan II," kata Wakil Ketua Komnas HAM, Rida Saleh, ketika dihubungi Kompas.com, Selasa ( 5/10/2010 ).

Rida menjelaskan, Komnas HAM telah menyampaikan catatan itu ketika dimintai pertimbangan oleh Komisi Nasional Kepolisian (Kompolnas). Timur adalah salah satu dari delapan perwira tinggi Polri yang dimintai pertimbangan Kompolnas. Nama lain yakni Komjen Nanan Soekarna, Komjen Imam Sudjarwo, dan Komjen Ito Sumardi. "Semua calon ada catatan dari Komnas HAM," ucap dia.

Untuk diketahui, selain kepada Komnas HAM, Kompolnas juga meminta masukan dari KPK dan PPATK terhadap delapan nama. Hasil pertimbangan, Kompolnas lalu merekomendasikan tiga nama kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dua nama diantaranya yakni Nanan dan Imam.

Dikatakan Rida, selain masalah tragedi Semanggi I dan II, Komnas HAM juga memberikan beberapa catatan lain terhadap Timur selama menduduki beberapa jabatan. Namun, dia menolak mengungkap apa catatan lain itu. "Kami tidak bisa sampaikan karena yang kami sampaikan rahasia. Tapi itu (tragedi Semanggi I dan II) catatan paling penting untuk Timur," ujarnya.

Rida kembali menolak menjawab ketika ditanya apakah Komnas HAM melihat ada pelanggaran HAM dalam tragedi itu. "Yang jelas kita berikan catatan-catatan itu," elak dia.

Rida menambahkan, "Kita berharap Komisi III mempertimbangkan track record ini. Perlu dipertanyakan saat dia menjabat Kapolres Jakbar, apa yang dia lakukan."

Terungkap, Biang Insiden Penusukan Jemaat HKBP Adalah HKBP Sendiri

Jum'at, 17 Sep 2010

JAKARTA (voa-islam.com) – Biang keladi insiden penusukan jemaat gereja ilegal HKBP Pondok Timur Indah Bekasi adalah provokasi jemaat HKBP sendiri. Demikian pernyataan pengurus Dewan Pimpinan Pusat Front Pembela Islam (FPI), Munarman SH dalam pertemuan bertema “Dialog Terbuka Mencari Solusi HKBP” di Hotel Marcopolo Menteng Jakarta Pusat (Kamis, 16/9/2010).
Selain itu, Munarman juga mengklarifikasi berbagai berita media massa dengan mengungkapkan 7 fakta di balik insiden 12 September itu. Inilah klarifikasi atas insiden penusukan jemaat gereja ilegal HKBP Pondok Indah Bekasi:
1. Dua puluh tahun, umat Islam Bekasi telah menunjukkan ketinggian sikap toleransi dan kebesaran jiwa terhadap Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dengan membiarkan jemaat HKBP melakukan kebaktian setiap Minggu di rumah tinggal seorang warga perumahan Mustika Jaya, Ciketing, Bekasi Jawa Barat.
Dalam kurun waktu dua puluh tahun tersebut, umat Islam Bekasi tidak pernah keberatan, apalagi usil dan mengganggu ibadah Jemaat HKBP di tempat tersebut. Selama dua puluh tahun, umat Islam Bekasi tetap tidak protes dengan adanya Jemaat HKBP yang datang dari luar perumahan, bahkan luar Bekasi, ke tempat tersebut.
…Jemaat HKBP mulai arogan, tidak ramah lingkungan, tidak menghargai warga sekitar yang mayoritas muslim, seenaknya menutup jalan perumahan untuk setiap kegiatan mereka, bertingkah bak penguasa, merusak tatanan kehidupan bertetangga, menciptakan berbagai problem sosial dan hukum…
Namun, setelah dua puluh tahun, seiring dengan makin banyaknya Jemaat HKBP yang datang ke tempat tersebut dari berbagai daerah, maka Jemaat HKBP mulai tidak terkendali. Bahkan Jemaat HKBP mulai arogan, tidak ramah lingkungan, tidak menghargai warga sekitar yang mayoritas muslim, seenaknya menutup jalan perumahan untuk setiap kegiatan mereka, bertingkah bak penguasa, merusak tatanan kehidupan bertetangga, menciptakan berbagai problem sosial dan hukum. Puncaknya, HKBP ingin menjadikan rumah tinggal tersebut sebagai gereja liar.
Setelah dua puluh tahun, umat Islam Bekasi, khususnya warga perumahan Pondok Timur Indah Bekasi, mulai gerah dan merasa terganggu dengan pola tingkah Jemaat HKBP yang semakin hari semakin arogan, bahkan nekad memanipulasi perizinan warga sekitar untuk gereja liar mereka.
Sekali pun kesal, kecewa dan marah, umat Islam Bekasi tetap patuh hukum dan taat undang-undang. Gereja liar HKBP di Ciketing diprotes dan digugat melalui koridor hukum yang sah, sehingga akhirnya gereja liar tersebut disegel oleh Pemkot Bekasi. Tapi HKBP tetap ngotot dengan gereja liarnya, bahkan solusi yang diberikan Pemkot Bekasi untuk dipindahkan ke tempat lain secara sah dan legal pun ditolak.
…Warga mulai gerah dan merasa terganggu dengan pola tingkah Jemaat HKBP yang semakin hari semakin arogan, bahkan nekad memanipulasi perizinan warga sekitar untuk gereja liar mereka…
2. HKBP menebar fitnah bahwa umat Islam Bekasi melarang mereka beribadah dan mengganggu rumah ibadah mereka. Lalu secara demonstratif jemaat HKBP setiap Minggu keliling melakukan konvoi ritual liar dengan berjalan kaki, dari gereja liar yang telah disegel ke lapangan terbuka dalam perumahan di depan batang hidung warga muslim Ciketing, dengan menyanyikan lagu-lagu gereja, tanpa mempedulikan perasaan dan kehormatan warga muslim di sana.
Akhirnya, terjadi insiden bentrokan antara HKBP dengan warga muslim Ciketing pada Minggu 8 Agustus 2010, tiga hari sebelum Ramadhan 1431 H. Dalam insiden tersebut, dua pendeta HKBP sempat mengeluarkan pistol dan menembakkannya.
…HKBP menebar fitnah bahwa umat Islam Bekasi melarang mereka beribadah dan mengganggu rumah ibadah mereka. Dua pendeta HKBP sempat mengeluarkan pistol dan menembakkannya …
3. Di saat umat Islam Bekasi masih dalam suasana Idul Fitri, pada Minggu 12 September 2010 M, Pendeta dan ratusan Jemaat HKBP kembali melakukan provokasi dengan menggelar konvoi ritual liar sebagaimana yang dulu sering mereka lakukan. Sehingga, terjadilah insiden bentrokan antara 200 orang HKBP dengan 9 aktivis Islam warga Bekasi yang berpapasan saat konvoi. Peristiwa tersebut didramatisir oleh HKBP sebagai penghadangan dan penusukan pendeta.
Media pun memelintir berita peristiwa tersebut, sehingga terjadi penyesatan opini. akhirnya, banyak anggota masyarakat menjadi korban media, termasuk Presiden sekali pun.
4. Peristiwa Minggu 12 Septembar 2010 M, bukan perencanaan tapi insiden, bukan penghadangan tapi perkelahian, bukan penusukan tapi tertusuk, karena 9 warga Bekasi yang dituduh sebagai pelaku adalah pemuda Muslim yang sedang lewat berpapasan dengan konvoi ritual liar yang dilakukan 200 HKBP bersama beberapa pendetanya di lingkungan perkampungan warga muslim Ciketing. Lalu terjadi perkelahian, saling pukul, saling serang, saling tusuk dan saling terluka.
Pendeta dan jemaat HKBP yang dirawat di rumah sakit dibesuk pejabat tinggi, mendapat perhatian khusus Presiden, Menteri dan DPR RI, namun siapa peduli dengan warga Bekasi yang juga terluka dan dirawat di Rumah Sakit? Bahkan salah seorang dari 9 warga Bekasi tersebut, justru ditangkap saat sedang dirawat di sebuah Rumah Sakit akibat luka sabetan senjata tajam HKBP.
…Pendeta dan jemaat HKBP yang dirawat di rumah sakit dibesuk pejabat tinggi, mendapat perhatian khusus Presiden, Menteri dan DPR, namun siapa peduli dengan warga Bekasi yang juga terluka dan dirawat di Rumah Sakit? Bahkan salah seorang dari 9 warga Bekasi tersebut, justru ditangkap saat sedang dirawat di sebuah Rumah Sakit akibat luka sabetan senjata tajam HKBP…
Karena itu, mari gunakan logika sehat: Jika peristiwa tersebut perencanaan, mana mungkin 9 pemuda Muslim melakukannya secara terang-terangan dengan busana muslim dan identitas terbuka! Jika peristiwa tersebut penghadangan, mana mungkin 9 orang menghadang 200 orang, apa tidak sebaliknya?! Jika peristiwa tersebut penusukan, mana mungkin 9 pemuda Muslim lebam-lebam, luka, patah tangan, bahkan ada yang tertusuk juga !
5. Soal penonaktifan Ketua FPI Bekasi Raya oleh DPP-FPI bukan karena melakukan kesalahan, tapi untuk melancarkan roda organisasi FPI Bekasi Raya yang teramat berat tantangannya, sekaligus meringankan beban tugas sang ketua yang sedang menghadapi ujian berat dalam menghadapi tuduhan dan proses hukum. Jadi, putusan tersebut sudah tepat.
6. Ketua FPI Bekasi Raya, baru disebut-sebut namanya saja oleh pihak kepolisian, sudah dengan gagah langsung menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya secara sukarela didampingi DPP-FPI untuk diperiksa. Dan siap menjalani proses hukum bila dinilai bertanggung-jawab dalam insiden Bekasi, walau pun beliau tidak ada di lokasi kejadian. Bandingkan dengan sikap pengecut Pemred Playboy Erwin Arnada yang melarikan diri dari vonis dua tahun penjara yang sudah ditetapkan Mahkamah Agung sejak 29 Juli 2009.
…Ketua FPI Bekasi Raya, baru disebut-sebut namanya saja oleh pihak kepolisian, sudah dengan gagah langsung menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya secara sukarela didampingi DPP-FPI untuk diperiksa. Dan siap menjalani proses hukum bila dinilai bertanggung-jawab dalam insiden Bekasi, walau pun beliau tidak ada di lokasi kejadian…
7. Bagi segenap pengurus, anggota, aktivis, laskar dan simpatisan FPI dari Pusat hingga ke Daerah, bahwa Ketua FPI Bekasi Raya adalah pejuang bukan pecundang. Beliau tidak ada di lokasi kejadian saat peristiwa. Beliau hanya kirim SMS ajakan kepada umat Islam untuk membela warga Ciketing beberapa hari sebelum peristiwa, tapi dituduh sebagai provokator, sedang Para Pendeta HKBP yang mengajak, membawa dan memimpin massa Kristen serta memprovokasi warga muslim dengan konvoi ritual liar, tak satu pun yang  diperiksa.
Senada itu, Sekretaris Presidium Kongres Umat Islam Bekasi (KUIB), H Shalih Mangara Sitompul menjelaskan bahwa insiden penusukan jemaat gereja ilegal HKBP Bekasi itu murni dipicu oleh sikap angkuh gereja HKBP yang membangkang terhadap peraturan pemerintah yang telah disepakati oleh semua instisusi agama di Indonesia.
“Akar masalah yang terjadi di Ciketing adalah ketidakpatuhan pihak HKBP terhadap aturan pemerintah yang telah ditetapkan,” tegas Shalih yang juga Kuasa Hukum 10 tersangka penusukan jemaat HKBP.

Ingkar Janji, HKBP Tidak Fair!

Sayangnya, acara yang dimaksudkan dapat mencari solusi atas insiden penusukan jemaat gereja ilegal HKBP itu tak dihadiri oleh pihak HKBP Bekasi. Hanya ada dua kubu yang hadir dalam pertemuan tersebut, yaitu pihak umat Islam Ciketing diwakili oleh Sekretaris Presidium Kongres Umat Islam Bekasi (KUIB), H Shalih Mangara Sitompul, sementara pihak FPI – yang dituduh ikut bertanggung jawab atas peristiwa 12 September– diwakili oleh Munarman SH.
Padahal, menurut Koordinator Nasional Gerakan Peduli Pluralisme, Demian Dematra, acara tersebut sebenarnya diprakarsai oleh HKBP sendiri untuk berdialog dengan umat Islam. Namun sampai acara berakhir, perwakilan dari HKBP tak ada yang hadir tanpa alasan yang jelas.
“Sangat disayangkan mereka tidak ada yang hadir, padahal kita sudah merencanakan membuat rekomendasi untuk masalah ini,” kata Demian yang juga menjadi host pada acara tersebut.
…Sayangnya, acara yang dimaksudkan dapat mencari solusi atas insiden penusukan jemaat gereja ilegal HKBP itu tak dihadiri oleh pihak HKBP. Padahal acara tersebut sebenarnya diprakarsai oleh HKBP sendiri …
Ketidakhadiran HKBP tidak diketahui dengan jelas alasannya, padahal menurut Demian, dia sudah berkali-kali mengkonfirmasi pihak HKBP untuk menyempatkan waktu pada acara yang mereka usulkan sendiri tersebut.
“Saya sudah berulang kali mengkonfirmasi mereka, tapi saya tidak tahu alasan mereka apa, mengapa tidak bisa hadir? Padahal acara ini usulan dari mereka untuk menyelesaikan masalah ini,” ungkap pria berambut gondrong tersebut. [adrian, aa, taz]

Berhari Raya Seperti Rasulullah

Makna ied:
Kata  Ied  diambil dari kata  Al ‘aud  yang artinya kembali karena ia kembali berulang dan datang dengan kegembiraan.
Adab-adab dalam ied :
Berhias dan berpakaian yang baru dihari raya:
Diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari kakeknya radhiallahu anhuma berkata : ( Bahwa Rasulullah shallawahu ‘alaihi wasallam memakai pakaian burdah dari Yaman yang berhias di setiap hari raya.) HR Imam Syafi’ie
Disunahkan makan dan minum sebelum sholat hari raya :
Di dalam riwayat Anas radhiallahu 'anhu berkata: "adalah Nabi shallawahu ‘alaihi wasallam tidak berangkat shalat 'ied sehingga Beliau makan kurma dan Beliau makan dalam jumlah ganjil." (HR Ahmad dan Bukhari).
Diriwayatkan juga dari Buraidah radhiallahu 'anhu berkata : "adalah Nabi shallawahu ‘alaihi wasallam tidak berangkat shalat 'Ied sampai beliau makan, dan beliau tidak makan pada hari raya iedul adha sampai beliau pulang (dari sholat) lalu Beliau makan dari sembelihannya. (HR Ibnu Majah dan Turmudi dan Ahmad).
Berkata Muhallab dalam hal ini : hikmah disunahkan makan sebelum shalat supaya tidak ada sangkaan wajib berpuasa sampai shalat 'Ied kelihatannya Beliau ingin menutup pintu kesalahan ini.
Berkata Ibnu Abi Hamzah:  ketika kewajiban berbuka jatuh setelah kewajiban puasa maka disunahkan menyegerakan berbuka sebagai wujud melaksanakan perintah Allah Ta’ala.
Berkata Ibnu Qudamah: dan hikmah mengakhirkan makan sesudah shalat 'Iedul Adha bahwa hari itu disyariatkan menyembelih dan makan darinya, maka disunahkan berbuka dari sembelihannya.
Disunahkan mengeluarkan seluruh kaum muslimin di hari raya termasuk wanita:
Diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah radhiallahu 'anha berkata: "Rasulullah shallawahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan wanita-wanita di hari raya 'Iedul Fitri dan Adha yaitu wanita-wanita yang baligh dan haidh dan sedang dipingit, adapun wanita-wanita yang haidh mereka menjauhi tempat shalat." Dalam lafadz lain, "menjauhi tempat shalat dan menyaksikan kebaikan dan doa kaum muslimin, maka aku berkata: wahai Rasulullah, sebagian kami tidak memiliki jilbab, Beliau berkata: hendaklah sebagian meminjamkan untuk saudaranya." (HR Bukhari dan Muslim dan yang lainnya).
Berkata Imam Syaukani: "hadits tersebut dan semacamnya menjelaskan disyariatkannya mengikutkan wanita dalam dua hari raya ke tempat shalat tanpa membedakan antara gadis atau yang menikah, yang masih muda atau nenek, yang haidh atau tidak, kecuali yang sedang dalam iddahnya atau adanya fitnah atau yang sedang dalam uzur."
Namun tempat wanita terpisah dari laki-laki sehingga tidak terjadi ikhtilath yang menyebabkan fitnah sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir radhiallahu anhu : "….ketika Rasulullah selesai memberi nasihat kepada kaum pria beliau turun mimbar lalu mendatangi wanita dan mengingatkan mereka." (HR Muslim).
Berkata Imam Syaukani: "dalam hadits menunjukkan memisahkan tempat wanita apabila mereka menghadiri perkumpulan laki-laki karena ikhtilath merupakan sebab bagi fitnah yang ditimbulkan karena melihat dan lainnya."
Disunahkan mendatangi tempat sholat dengan berjalan kaki :
Apabila tempat shalat mungkin dicapai dengan berjalan kaki maka disunahkan mendatanginya dengan berjalan kaki sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiallahu 'anhu berkata: "adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar ketempat shalat 'Ied dengan berjalan kaki dan pulang juga berjalan kaki." (HR Ibnu Majah dan dishahihkan Syaikh Albani dalam Shahiul Jami’nya nomer :4932).
Disunahkan melalui jalan berbeda ketika pergi dan pulang dari sholat ied:
Diriwayatkan dari Jabir radhiallahu 'anhu berkata: "adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila ke tempat shalat 'Ied Beliau melewati jalan berbeda ketika pergi dan pulang." (HR Imam Bukhari).
Hadits ini dan yang semacamnya menunjukkan disunahkan pergi ke shalat 'Ied melalui jalan yang berbeda ketika pulang bagi Imam dan Makmum dan ini pendapat kebanyakan ulama seperti dikatakan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.
Dan hikmah membedakan jalan pergi dan pulang sebagaimana dikatakan Al Manawi dalam Faidhul Qadir: "supaya selamat dari gangguan orang yang ada di kedua jalan, atau untuk tabarruk (meminta berkah), atau untuk memenuhi hajat kedua jalan itu, atau untuk menampakkan syiar islam pada keduanya, atau supaya membuat marah orang-orang munafik yang ada dikedua jalan itu."
Ibnul Qayyim rahimahullah menambahkan: "yang paling benar adalah untuk semua hikmah yang disebutkan atau yang lainnya."
Disunahkan takbir pada hari raya dijalanan dan tempat sholat sampai imam keluar :
Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhu: "bahwa beliau apabila berangkat ketempat shalat bertakbir dan beliau bertakbir dengan suara kencang."
Dalam riwayat lain: "beliau berangkat ketempat shalat pada hari raya apabila matahari telah terbit lalu bertakbir sampai mendatangi tempat shalat lalu bertakbir di tempat shalat sampai ketika imam telah duduk beliau berhenti bertakbir."
Keduanya riwayat Imam Syafi’ie dan dishahihkan dalam Shahihul Jami’ nomer : 4934.
Berkata Al Manawi dalam Faidhul Qadir: "beliau keluar dalam dua hari raya ketempat shalat yang ada pada gerbang timur Madinah yang berjarak seribu hasta dari pintu masjid."
Berkata ibnu Syaibah: berkata Ibnul Qayyim: "beliau tidak pernah shalat 'Ied di masjidnya kecuali sekali karena hujan bahkan beliau selalu melakukannya di lapangan. Dan madhab Hanafi: "bahwa shalat di lapangan lebih utama dari di masjid." Dan berkata Malikiyah dan Hanbaliyah: "kecuali di Makah." Dan berkata ulama Syafiiyyah: "kecuali di tiga masjid lebih utama karena keutamaan ketika masjid tersebut."
Sifat takbir :
Berkata Imam Syaukani dalam Nailul Authar: "adapun sifat takbir maka riwayat yang paling shahih yang dikeluarkan Abdur Razaq dengan sanad yang shahih dari Salman berkata: "bertakbirlah Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar."
Dan diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair dan Mujahid dan Abdur Rahman bin Abi Laila dikeluarkan Al-Firyani dalam kitab “Iedaini” juga pendapat Imam Syafi’ie dengan tambahan : Walillahil hamdu.
Dalam riwayat lain: bertakbir tiga kali dan menambah Laa Ilaaha Illallah Wahdahu Laa Syariika Lahu
Dalam riwayat lain: "bertakbir dua kali dan setelahnya Laa Ilaaha Illallah wallahu Akbar Allahu Akbar walillahil hamdu," diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Mas’ud dan dipegang oleh Imam Ahmad dan Ishaq.
Adapun di zaman ini ada beberapa tambahan dalam lafaz takbir yang tidak ada asalnya. Wallahu a’lam.

(Abu Roidah, Lc/voa-islam)

Pemain Sepak Bola Muslim Tetap Berpuasa Ramadhan

dari Voice of al-Islam
Bagi striker Sevila, Frederick Kanoute, bulan Ramadhan bukanlah halangan baginya untuk tetap menjalakan puasa sekaligus membela klubnya di pentas La Liga. Baginya, masih memungkinkan untuk setiap pemain bola tetap berada di puncak kondisi fisiknya selama Ramadahan ini.


“Saya berusaha menghormati keyakinan saya dan mengikuti sebaik yang saya bisa. Kadang-kadang lebih sulit untuk mempertahankan puasa karena di sini, di Spanyol selatan sangat panas, tapi saya bisa melakukannya, Segala Puji Bagi Allah,” kata Kanoute.
"Di negara-negara Eropa yang memiliki kompetisi sepak bola terbaik di dunia, seperti Inggris, Spanyol, Italia, Jerman, Perancis dan beberapa negera lainnya, banyak pemain-pemain Muslim yang bermain di liga tersebut tetap menjalankan keyakinan mereka dan tetap puasa selama Ramadhan, namun hal itu bukanlah suatu hal yang ingin mereka katakan kepada dunia," lanjut kanoute.

Pemain-pemain seperti Mahamadou Diara, Lassana Diara, Karim Benjema dari Real Madrid, Frang Ribery dari Bayern Munchen, Nikolas Anelka dari Chelsea Hosein kharja dari Genoa, Mohammad sissoko dari Juventus  juga tetap menjalankan puasa Ramadhan meskipun mereka harus menjalankan pertandingan dengan klub masing-masing. (aa/dbs)

IkATIMS adakan khitanan massal

Aduh....!!! Saket...!!!
Awas...!!! Hati-hati Bang..!

        
Muda Balia siap dipotong...
                Memanfaatkan momentum liburan Ramadhan Ikatan Alumni Tarbiyah Islamiyah Masjid Siem (IkATMS) menyelenggarakan kegiatan Khitanan Massal terhadap anak-anak dari keluarga kurang mampu dalam wilayah Mukim Siem.  Kegiatan khitanan yang berlangsung pada hari Ahad, 19 Ramadhan 1431 H atau bertepatan 29 Agustus 2010 H dipusatkan di lingkungan Masjid Jamik Baitul Ahad Mukim Siem Kecamatan Darussalam Aceh Besar. 
       Proses khitanan yang ditangani oleh 4 (empat) orang tenaga medis dari kalangan Ikatims yakni Amirullah Mahmud, Husaini Hasyim, Iskandar Tsani dan Ilham Ali hingga pukul 11.30 siang berhasil meyelesaikan prosesi khitanan 14 orang anak yang dikhususkan untuk anak dari keluarga kurang mampu.  Pelaksanaan kegiatan khitanan Massal di Mukim Siem ini ikut disaksikan oleh dr. H. Syamaun Ibrahim yang juga merupakan salah seorang alumni senior dari Lembaga Tarbiyah Islamiyah Masjid Siem.  Disamping itu hadir pula pada kesempatan tersebut Direktur Umum Lembaga Tarbiyah Islamiyah Masjid Siem Drs. Tgk. H. Burhan Ali. 
       Pelaksanaan kegiatan khitanan Massal ini merupakan bentuk kepedulian sosial dari para alumni Tarbiyah Islamiyah Masjid Siem  terhadap keluarga-keluarga kurang mampu yang ada dilingkugannya.  Dengan kegiatan ini diharapkan dapat membantu meringankan beban biaya para keluarga miskin dalam pelaksanaan khitan terhadap anak-anak mereka. 
       Husaini Hasyim, salah seorang tenaga medis sekaligus koordinator kegiatan menyebutkan pada awalnya kegiatan ini menargetkan 20 orang anak-anak penerima manfaat kegiatan.  Namun hingga saat pelaksanaan kegiatan berakhir  ada beberapa orang yang tidak mengkonfirmasikan kesediaannya untuk ikut dikhitan pada kesempatan tersebut. 
      Husaini menjelaskan juga bahwa kegiatan ini murni kegiatan swadaya dari Ikatan Alumni Tarbiyah Islamiyah Masjid Siem (IkATMS),  tanpa dukungan atau bantuan dari sponsor manapun.  Oleh sebab itu jumlah penerima manfaat dari kegitan sunatan massal Ikatan Alumni Tarbiyah Islamiyah Masjid Siem (IkATMS)  pada tahun ini sengaja diseleksi secara ketat, karena keterbataan kemampuan dari alumni Tarbiyah Islamiyah Masjid Siem (IkATMS).  Oleh sebab itu pada kesempatan yang akan datang beliau mengimbau dan mengharapkan adanya kepedulian dari semua pihak terhadap kegiatan-kegiatan sosial yang bermanfaat untuk masyarakat kecil seperti kegiatan khitanan ini.
       Kegiatan Khitanan Massal merupakan salah satu kegiatan prioritas Ikatan Alumni Tarbiyah Islamiyah Masjid Siem (IkATMS) disamping beberapa kegiatan lainnya seperti Safari Ramadhan, Buka Puasa Bersama, Pelatihan Kader Khatib, Kegiatan Tahsin Qira'ah bagi para Imam dan pembantu Masjid dan Meunasah dalam wilayah Mukim Siem.   Disamping itu Ikatan Alumni Tarbiyah Islamiyah Masjid Siem (IkATMS), dalam rangka mengisi bulan Ramadhan ini juga merencanakan untuk mengadakan kegiatan Pelatihan Fardhu Kifayah.
       Kegiatan-kegiatan tersebut dapat terselenggara dengan baik, diantaranya didorong oleh partisipasi aktif dari para alumni Tarbiyah Islamiyah Masjid Siem (IkATMS),  dan juga dukungan yang sangat berarti dari Ketua Dewan Pimpinan Alumni Tarbiyah Islamiyah Masjid Siem (IkATMS) Tgk. H. Waisul Qarani Aly.  Sukses untuk IkATIMS, mengabdi tiada henti..!!! (bM) 

Jadwal Shalat