Adat bak Poteumeureuhoem, Hukoem bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana”~~~~~~~ Adat ban adat, hukom ban hukom, hanjeut meuron-ron krie-krie nyang hawa, watee meupakat adat ngon hukom, nanggroe rukon, hana le goga~~~ Roek ngon bara bak ureung naggroe, pasoe bajoe bak ureung tuha, tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteh itam bak ulama~~~Gaseh keu aneuk beuget tapapah, gaseh keu nangbah beuget tajaga~~~Raseuki deungon tagagah ....Tuah deungon tamita.....Tuah meubagi-bagi.......Raseuki meujeumba-jeumba~~~~~Teupat ke pangkai, akay keu laba~~~ KRAB TAJAK GEUBRIE SITUEK, JAREUNG TADUEK GEUJOK TIKA~~~~~ ASAI CABOK NIBAK KUDE, ASAI PAKE NIBAK SEUNDA ~~~~~~~~ Duek, duek aree, jak, jak langay~~~~Meunyoe ate hana teupeh pade bijeh geupeutaba, tapi meunyoe ate ka teupeh bu leubeh han meuteumeung rasa~~~Jaroe bak langay, mata u pasay~~~Singet bek rhoe beuabeh~~~ Nibak puntong get geunteng, nibak buta get juleng~~~Mate aneuk meupat jeurat, mate adat pat tamita~~~Tameh surang sareng, asay puteng jilob lam bara~~~tameungeuy ban laku tuboh, tapajoh ban laku atra ~~~Uleu beumate, ranteng bek patah~~~Kameng blang pajoh jagong, kameng gampong keunong geulawa~~~lagee manok toh boh saboh, jeut lampoh soh jimeuseurapa, dipinyie jitoh siribee, hana jithee le silingka~~~ lagee bubee duwa jab, keunoe toe keudeh pih rhab~~~bak adat han jikab, bak hukom han ji talum~~~paleh sagoe meuleuhob jurong, paleh gampong tan ureung tuha~~~hak ube jiplueng, bulueng ube jiteuka~~~meunyoe na ate, pade tatob, hana bak droe talakee bak gob~~~rayek rumoh rayek keunaleung, rayek bateueng rayek sawa, rayek pageu rayek beunteueng, rayek ureung rayek keureuja~~~PUTOH NGON MUPAKAT, KUWAT NGON MEUSEURAYA~~~~~~blink>Diet Peugah Duem Peubuet Banja Beusanteut Mukim Siem Tapuga

R a n u b si G a p u e


Assalamu'alaikumwarahmatullah...
Jaroe duablah ateuh jeumala,
Saleum ulon brie keu syedara meutuwah,
Neubrie ya Allah mandum sijahtra...
Amiin Ya Rabbal A'lamiin...

Dengan segala kerendahan hati, kami menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua Pengunjung blog baleeMUKIM. Meski dalam format dan tata saji yang amat sederhana, kami memberanikan diri untuk mendedikasikan blog ini untuk mengawal, mempertahankan dan mengembangkan keberadaan komunitas dan Lembaga Pemerintahan Mukim di Aceh pada umumnya, atau Mukim Siem - Darussalam khususnya.
Kami mengundang pengunjung sekalian agar berkenan berpartisipasi mewujudkan Visi dan Missi dari blog baleeMUKIM ini. Sumbangan pikiran, pendapat, komentar, kritik, saran, dan apapun yang sifatnya konstruktif, merupakan cemeti yang seharusnya mendorong kita untuk lebih maju.
Pengunjung sekalian...sekecil apupun keterlibatan anda dalam upaya pencapaian tujuan mengawal, mempertahankan dan mengembangkan eksistensi komunitas Mukim di Aceh, menurut kami mesti diapresiasikan sebagai perjuangan menuju kehidupan lebih terhormat dan bermartabat di atas landasan budaya kita sendiri.
Ayo..., lakukan ...!!! Bersama Kita Bisa...!!!

"Rhoek ngen bara bak ureung Nanggroe, Pasoe bajoe bak ureung tuha, Tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteeh itam bak ulama."
Pengunjung sekalian..., mari wujudkan cita-cita besar ini, mulailah dengan sebuah langkah kecil. ingat...!!! Perjalanan ribuan kilometer selalu diawali dengan sebuah langkah kecil...lakukan sekarang...!

Wassalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuh
teurimong gaseh.
admin.

HARIA PEUKAN DALAM UUPA dan QANUN ACEH

Rabu, 11 November 2009
Penulis : Taqwaddin, SH, SE, MS

DEWASA ini lembaga adat “Haria Peukan” nyaris tak terdengar lagi eksistensinya baik di dalam perbincangan sehari-hari maupun di arena Hukum Adat Aceh. Lembaga adat ini sedang mati suri seiring dengan dieliminirnya peran dan fungsi pemerintahan mukim oleh rezim Orde Baru. Telah terbukti bahwa kerasnya penetrasi system hukum dengan paradigma politik sentralitistik, mengakibatkan beragam budaya local dengan segala kearifan tradisonalnya menjadi terpinggirkan, lalu sirna ditelan masa.


Dihapuskannya lembaga mukim sebagai penyelenggaraan fungsi pemerintahan selama era kekuasaan Orde Baru, bahkan hingga saat ini, telah menimbulkan konsekuensi terpinggirkannya beberapa lembaga adat, yang pada masa sebelum Orde Baru cukup eksis menjalankan perannya dalam berbagai bidang urusan untuk membantu kuatnya pemerintahan mukim. Kini, paska Reformasi, dengan paradigma system hukum, politik dan pemerintahan yang berbasis decentralisasi otonomi, maka jenjang pemerintahan tidak lagi dibagi atas hirarkhi daerah tingkat I, daerah tingkat II, dan desa sebagai unit pemerintahan terendah. Tetapi, decentralisasi kekuasaan dipilah menurut jenisnya, yaitu: daerah otonom provinsi, daerah otonom kabupaten, daerah otonom kota, dan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai daerah otonom yang asli. Mukim dan Gampong, menurut saya, merupakan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai daerah otonom yang asli. Jenis, jumlah tugas dan kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom (otonomi daerah) tidak lagi bersifat seragam seluruhnya, tetapi hanya yang bersifat wajib saja yang sama, sedangkan kewenangan pilihan diserahkan sepenuhnya kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota untuk memilih jenis dan waktu pelaksanaannya. Ternyata hal ini senada dengan system pemerintahan mukim di Aceh masa sebelum adanya Indonesia. Pendapat di atas, secara tegas mengakui keberadaan masyarakat hukum adat sebagai daerah otonom yang asli. Tentu saja sebagai suatu daerah otonom, mukim sebagai masyarakat hukum adat Aceh mempunyai pemerintahan tersendiri dengan segala tugas, fungsi dan kewenangannya sebagai otonomi daerah. Teori ini seharusnya senada dengan substansi aturan yang tertera dalam UUPA. Lembaga-lembaga Adat dalam UUPA Dalam Pasal 2 UUPA ditegaskan bahwa Daerah Aceh dibagi atas kabupaten/kota. Kabupaten/kota dibagi atas kecamatan. Kecamatan dibagi atas mukim. Dan, mukim dibagi atas kelurahan dan gampong. Pasal ini menegaskan diakuinya lagi eksistensi mukim sebagai daerah teritori. Selanjutnya, di dalam Pasal 98 UUPA ditegaskan lagi pengakuan terhadap lembag-lembaga adat Aceh, yaitu : Majelis Adat Aceh, Imeum Mukim, Imeum Chik, Keuchik, Tuha Peut, Tuha Lapan, Imeum Meunasah, Kejruen Blang, Panglima Laot, Pawang Glee, Peutua Seunebok, Haria Peukan, dan Syahbanda. Semua lembaga adat yang disebutkan dalam Pasal 98 UUPA di atas, kecuali Majelis Adat Aceh (MAA), menurut sejarahnya pada masa lalu berada di bawah koordinasi imeum mukim sebagai kepala pemerintahan mukim. Kini, dalam UUPA dinyatakan bahwa lembaga-lembaga adat tersebut berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat serta untuk penyelesaian masalah social kemasyarakatan secara adapt. Hemat saya, ketentuan dalam UUPA yang hanya menyatakan bahwa lembaga-lembaga adat hanya berfungsi sebagai wahana partisipasi, tidak seiring dengan trend paradigma otonomisasi. Hal ini karena, semua yang dikategorikan lembaga adat di atas, minus MAA, dulunya adalah institusi yang memiliki kewenangan pemerintahan dalam urusan tertentu. Masing-masing lembaga adat tersebut menyelenggarakan tugas dan fungsinya masing-masing, yaitu : 1) Imeum Mukim bertindak sebagai Kepala Pemerintahan Mukim, yang membawahi federasi dari beberapa gampong. 2) Imeum Mesjid atau Imeum Chik adalah figur yang mengepalai urusan syariat dan peribadatan pada tingkat wilayah mukim. 3) Tuha Lapan adalah figur yang terdiri dari tokoh-tokoh warga mukim anggota musyawarah mukim, yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Imeum Mukim dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan mukim. Disebutkan angka lapan, maksudnya sebagai representasi delapan arah mata angin dari suatu daerah yang lebih luas dari gampong. 4) Keuchik adalah ketua gampong, yang memimpin dan mengetuai segala urusan tata kelola pemerintahan gampong. Ia dipilih secara demokratis menurut vesri masyarakat gampong. 5) Imeum Meunasah/ Teungku Gampong adalah pemimpin dan pembina bidang agama (Islam), yang sekaligus bertindak selaku pemimpin upacara keagamaan di gampong. Ia juga berperan memberikan pertimbangan dan penerapan hukum syariat di gampong. 6) Tuha Peut Gampong adalah para ureung tuha anggota musyawarah gampong yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Keuchik dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan gampong. Angka peut (empat) ini pada mulanya merujuk sebagai representasi teritoti dari empat arah mata angin dalam gampong. Namun kemudian, sebutan peut ini tidak hanya ditujukan sebagai perwakilan teritori, melainkan juga representasi personal dalam lembaga tuha peut, yaitu ; tuha, tuho, teupeu, dan teupat. 7) Keujrun Blang adalah ketua adat dalam urusan pengaturan irigasi, pengairan untuk persawahan, menentukan mulainya musim tanam, membina para petani, dan menyelesaikan sengketa persawahan. 8) Panglima Laot adalah ketua adat yang memimpin urusan bidang penangkapan ikan di laut, membina para nelayan, dan menyelesaikan sengketa laot. 9) Peutua Seuneubok adalah ketua adat yang mengatur tentang pembukaan hutan / perladangan/ perkebunan pada wilayah gunung/ lembah-lembah, dan menyelesaikan sengketa perebutan lahan. 10) Panglima Uteun/Kejruen Glee adalah ketua adat yang memimpin urusan pengelolaan hutan adat, baik kayu maupun non kayu (madu, getah rambung, sarang burung, rotan, damar, dll), meurusa, memungut wasee glee, memberi nasehat/petunjuk pengelolaan hutan, dan menyelesaikan perselisihan dalam pelanggaran hukum adat glee. 11) Syahbandar adalah pejabat adat yang mengatur urusan kepelabuhanan, tambatan kapal/ perahu, lalu lintas angkutan laut, sungai dan danau. 12) Haria Peukan adalah pejabat adat yang mengatur ketertiban, kebersihan pasar dan pengutip retribusi. Dari semua lembaga adat di atas, kejruen blang, panglima laot, pawang glee, peutua seuneubok, haria peukan, dan syahbanda, dulunya merupakan lembaga-lembaga adat sebagai institusi teknis di bawah koordinasi imeum mukim yang memiliki peran, fungsi dan kewenangan untuk mengatur, mengawasi, dan mengelola sumber daya alam sebagai hak ulayat mukim. Keberadaan lembaga-lembaga adat tersebut di suatu mukim tergantung pada letak geografi mukim bersangkutan. Sehingga, bisa jadi, pada suatu mukim ada lembaga adat yang tidak ada pada mukim lainnya. Misalnya, lembaga adat laoet hanya ada pada mukim yang wilayahnya di pesisir laut. Begitu pula lembaga adat hutan hanya ada pada mukim yang memiliki wilayah hutan. Namun ada pula mukim yang memiliki lembaga adat hutan dan juga lembaga adat laut, jika di kemukiman tersebut terdapat wilayah laut dan gunung. Dengan mencermati pada deskripsi diatas, dalam konteks hari ini dapat dinyatakan bahwa lembaga adat Haria Peukan saat ini merupakan salah satu lembaga adat yang telah mendapat pengakuan kembali dalam tataran juridis formal. Bahkan pengakuan tersebut menjadi semakin kuat dengan disebutkannya di dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh. Haria Peukan dalam Qanun Aceh Kita patut bersyukur atas diakuinya kembali lembaga adat Aceh dalam UUPA. Hal ini tentu saja, idealnya, akan dapat menjadi spirit yang mendorong upaya penguatan dan revitalisasi adat budaya warisan indatu. Dengan stratening dan revitalisasi lembaga adat, dimaksudkan bukan hanya melulu untuk menghidupkan kembali lembaga-lembaga adat masa lalu dalam rangka melestarikannya. Tetapi, lebih daripada itu, guna menegaskan structural fungsionalnya seirama dengan modernitas perkembangan zaman dalam mempercepat proses pembangunan yang mensejahterakan masyarakat adatnya. Dengan kerangka pikir di atas, ingin saya tegaskan, keberadaan lembaga-lembaga adat bukan hanya sebagai pelengkap lagee boh timon kueing. Lembaga-lembaga adat jangan lagi hanya dijadikan sebagai pajangan cerita masa lalu, yang kemudian para petuanya diperagakan dengan atribut yang penuh symbol. Lembaga-lembaga adat jangan lagi hanya sebagai pemanis sukses history Aceh di masa lalu. Jangan lagi lembaga-lembaga adat dibiarkan musnah tertelan masa. Tetapi mulai sekarang, mulai hari ini, mari kita bangkitkan kembali dari tidur panjang yang mati suri. Dukungan hukum, politik dan kebijakan dari Pemerintahan Aceh serta pemerintahan kabupaten/kota diharapkan akan mempermudah proses percepatan revitalisasi fungsional lembaga-lembaga adat dimaksud. Sehingga, di suatu hari yang tak terlalu lama lagi, kita dan masyarakat luar Aceh akan dapat menyaksikan keistimewaan, kekhususan dan kekhasan system pemerintahan kita yang mengadopsi nilai-nilai adat, dengan merevitalisasi dan menstruktural-fungsikan lembaga-lembaga adat Aceh yang sesuai dengan trend kebutuhan kekinian. Sebagai derivasi dari Pasal 98 UUPA, telah diundangkan dua qanun berkaitan dengan eksistensi adat Aceh, yaitu: (1) Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. (2) Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Menurut kedua qanun tersebut, dimaksudkan dengan lembaga adat adalah Lembaga Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu mempunyai wilayah tertentu dan mempunyai harta kekayaan tersendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh. Khusus mengenai Haria Peukan, di dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 diatur sebagai berikut : Bagian Keduabelas Haria Peukan atau Nama Lain Pasal 34 (1) Haria Peukan atau nama lain dapat dibentuk untuk pasar-pasar tradisional. (2) Pembentukan Haria Peukan atau nama lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk pasar-pasar tradisional yang belum ada petugas Pemerintah. (3) Dalam hal Haria Peukan atau nama lain telah dibentuk, maka petugas Pemerintah yang ditunjuk harus bekerjasama dengan Haria Peukan atau nama lain. (4) Pembentukan dan pengangkatan Haria Peukan atau nama lain dilakukan oleh Camat setelah berkonsultasi dengan tokoh-tokoh pedagang dan Keuchik atau nama lain setempat. Pasal 35 Tatacara pembentukan, pengangkatan dan persyaratan Haria Peukan atau nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) ditetapkan melalui musyawarah tokoh-tokoh pedagang dan Keuchik atau nama lain setempat. Pasal 36 Haria Peukan atau nama lain mempunyai tugas: a. membantu pemerintah dalam mengatur tata pasar, ketertiban, keamanan, dan melaksanakan tugas-tugas perbantuan; b. menegakkan adat dan hukum adat dalam pelaksanaan berbagai aktifitas peukan; c. menjaga kebersihan peukan atau nama lain; dan d. menyelesaikan sengketa yang terjadi di peukan atau nama lain. Pasal 37 Haria Peukan atau nama lain berhenti karena: a. meninggal dunia; b. mengajukan permohonan berhenti atas kemauan sendiri; c. melalaikan tugasnya sebagai Haria Peukan atau nama lain; dan d. melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan syariat dan adat istiadat. Dari berbagai tugas yang diemban oleh Haria Peukan, terdapat fungsi projustisia yang dapat diselenggarakannya, yaitu tugas menyelesaikan sengketa yang terjadi di peukan. Berkaitan dengan fungsi penyelesaian sengketa secara adat, di dalam Pasal 13 Qanun 9/2008 telah diatur dengan tegas jenis-jenis perkara yang memiliki kewenangan untuk diselesaikan oleh pemerintahan gampong, yang dalam hal tertentu juga dapat melibatkan lembaga-lembaga adat , yaitu : 1. perselisihan dalam rumah tangga; 2. sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh; 3. perselisihan antar warga; 4. khalwat meusum; 5. perselisihan tentang hak milik; 6. pencurian dalam keluarga (pencurian ringan); 7. perselisihan harta sehareukat; 8. pencurian ringan; 9. pencurian ternak peliharaan; 10. pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan; 11. persengketaan di laut; 12. persengketaan di pasar; 13. penganiayaan ringan; 14. pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat); 15. pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik; 16. pencemaran lingkungan (skala ringan); 17. ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan 18. perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat. Penyelesaian sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat sebagaimana disebutkan di atas diselesaikan secara bertahap. Dan, Aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di gampong atau nama lain. Tata cara dan syarat-syarat penyelesaian perselisihan/persengketaan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat setempat. Kalimat di atas, disarikan dari ketentuan Pasal 13 ayat (2), ayat (3) dan Pasal 15 Qanun 9/2008. Dari ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa proses penyelesaian perselisihan atau perkara secara adat harus melalui tahapan penyelesaiannya pada tingkat gampong. Hal ini dimaksudkan untuk mengedepankan keharmonisan diantara para warga masyarakat gampong. Dalam prakteknya, seringkali demi mengutamakan kepastian hukum sehingga keharmonisan masyarakat terabaikan, sehingga tindakan dan putusan hukum tidak memberikan rasa keadilan kepada masyarakatnya. Inilah persoalan antara paradigma legisme peraturan perundang-undangan yang terlalu mendapat prioritas versus paradigm hukum historis dan sosiologis yang mementingkan living law untuk menimbulkan keharmonisan dan rasa keadilan. Seiring dengan paradigm hukum sosiologis berdasarkan prinsip living law, maka aparat penegak hukum formal dimintakan untuk memberikan kesempatan terlebih dahulu bagi pemerintahan otonomi asli (gampong) guna menyelesaikan perkara atau perselisihan-perselisihan tertentu menurut mekanisme dan tatacara berdasarkan hukum adatnya masing-masing. Selama ini, di beberapa kabupaten para Polsek – dengan juga mempedomani SKEP Kapolri tentang Polmas – sudah mulai mempraktekkan bahwa jika ada perselisihan atau perkara sebagaimana disebutkan di atas, dianjurkan penyelesaiannya dilakukan secara adat oleh pemerintahan gampong. Semoga semua lembaga adat yang telah diakui kembali oleh UUPA dapat direvitalisasi struktur dan fungsinya. Sehingga, eksistensinya dapat memberikan manfaat yang nyata bagi percepatan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan dalam masyarakat Aceh.

Dampak REDD terhadap Hak Masyarakat Adat

Oleh: zulfikar arma | 2 November 2009

Mekanisme pengurangan emisi karbon yang berasal dari deforestasi & degradasi lahan/hutan (Reducing Emission from Deforestation & Degradation atau biasa disngkat sebagai REDD) saat ini menjadi isu sentral dalam proses pengambilan keputusan di bidang pelestarian hutan dan perubahan iklim baik di tingkat internasional, nasional, maupun daerah termasuk di propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD).

Adanya peluang insentif finansial yang diberikan oleh negara maju yang membutuhkan kredit emisi dari upaya pemerintah negara berkembang dalam meredam laju deforestasi (pengalihan status kawasan hutan menjadi kawasan non-hutan demi kepentingan ekonomi seperti perkebunan, pemukiman, industri) serta degradasi (penurunan fungsi kawasan hutan akibat pembalakan liar, kebakaran hutan, pertambangan dalam kawasan hutan) menimbulkan kegairahan baru bagi pemerintah pusat maupun daerah dalam menjaga kelestarian hutan yang berada di dalam wilayah teritorialnya.

Propinsi NAD termasuk salah satu propinsi yang paling aktif dalam mempersiapkan diri untuk melaksanakan REDD di wilayahnya. Luasnya lahan hutan yang masih tersisa yang diikuti laju deforestasi dan degradasi yang masih relatif tinggi, menjadikan NAD sebagai tempat yang ideal untuk pelaksanakan proyek percontohon REDD (salah satunya proyek REDD di kawasan Ulu Masen yang dilakukan oleh pemerintah propinsi NAD dengan dukungan the Fauna and Flora International). Pada salah satu sesi di luar meja perundingan Konferensi Perubahan Iklim ke-13 di Bali, Gubernur Irwandi Yusuf memaparkan visi ’Aceh Hijau’, platform pembangunan propinsi NAD, yang memuat upaya peredaman laju deforestasi dan degradasi dalam skema penataan ulang lahan dan pengelolaan sumberdaya alam termasuk sumberdaya kehutanan berbasis pembangunan berkelanjutan dan pembatasan emisi gas rumah kaca penyebab utama perubahan iklim[1].

Baik visi ’Aceh Hijau’, draf Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan – Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) Komisi Pengurangan Emisi Dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (saat ini tengah dirancang oleh Departmen Kehutanan), maupun negosiasi REDD dalam Konferensi Bali satu tahun lalu dan perundingan internasional di Accra (Ghana) pada tahun ini[2] memiliki kesamaan sudut pandang dalam konteks hak atas lahan dan akses sumberdaya kehutanan masyarakat adat/komunitas lokal. Keempat-empatnya mempersyaratkan adanya keterlibatan aktif masyarakat adat/lokal dalam menjaga tingkat peredaman laju deforestrasi dan degradasi di sekitar wilayah mereka. Namun sejauhmana mekanisme REDD dapat meningkatkan perlindungan hak atas lahan dan akses sumberdaya kehutanan masyarakat adat/komunitas lokal yang kehidupan dan mata pencahariannya bergantung pada wilayah hutan yang akan menjadi obyek proyek REDD?



Elemen Kunci dalam Pelaksanaan REDD

Namun dari keberagaman konsep dan mekanisme di atas, dapat ditarik benang merah mengenai elemen kunci REDD yang tengah berkembang secara universal[3]:

1. 1. Baseline; merupakan periode yang menentukan jangka waktu penghitungan emisi karbon beserta GRK lainnya yang menggunakan perbandingan emisi karbon yang dihasilkan saat REDD belum/tidak dilaksanakan dan ketika proyek REDD dilaksanakan.
2. Permanency; merupakan metode penghitungan mengenai sejauh mana karbon yang disimpan dalam tutupan hutan obyek REDD dapat bertahan tanpa ada gangguan seperti kebakaran hutan, illegal logging dan segala bentuk alih fungsi lahan.
3. Leakage; merupakan metode penghitungan dalam mengetahui sejauh mana peredaman aktifitas deforestasi dan degradasi di suatu wilayah REDD dapat menimbulkan aktifitas deforestasi dan degradasi di tempat lain.
4. Additionality; pengurangan emisi karbon di suatu wilayah REDD tidak akan terjadi tanpa adanya proyek REDD di wilayah tersebut.
5. Sovereignty; negara yang menyediakan wilayah hutan sebagai obyek pelaksanaan REDD memiliki kedaulatan untuk mengikuti konsep dan mekanisme REDD tertentu atau mengatur secara khusus konsep dan mekanisme REDD yang paling sesuai dengan karakteristik wilayah dan pengelolaan sumberdaya alamnya.
6. Adanya keterlibatan masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan yang akan dijadikan obyek REDD.
7. Adanya mekanisme pembagian keuntungan yang adil di antara para pihak pelaksana proyek, meliputi; pemerintah, masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan, dan entitas lain yang turut melaksanakan proyek REDD
8. Kontrak perdagangan emisi yang menguntungkan pihak pengembang REDD dan pembeli, berdampak positif pada pembangunan berkelanjutan serta penanggulangan dampak negatif perubahan iklim, serta tidak bertentangan dengan hukum negara pelaksana proyek REDD dan negara maju pembeli kredit emisi.
9. Besarnya kompensasi; idealnya ditentukan setara atau lebih dari opportunity lost yang diperoleh oleh negara pelaksana proyek REDD jika upaya deforestasi dan degradasi tetap dilakukan (business as usual). Namun angka ini bisa berkurang atau bertambah tergantung seberapa baik tingkat permanency, leakage dan additionality proyek REDD tersebut.

Dengan kesembilan elemen terbebut diatas merupakan kunci atas dasar pelaksanaan program REDD baik di Aceh maupun di Indonesia. Pada kenyataannya tidak demikian berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh team JKMA (Jaringan Komunitas Masyarakat Aceh) yang dilakukan pada bulan September tahun 2008 yang lalu. Dari hasil penelitian tersebut terlihat bahwa banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahwa pemerintah Aceh (melalui FFI) akan melakukan program REDD di kawasan Ulu Masen yang tersebar di lima kabupaten (Aceh besar, Aceh pidie, Pidie Jaya, Aceh Jaya dan Aceh Barat) dan 61 Mukim.

Terkait dengan persoalan hutan misalnya, dalam UU Kehutanan ditentukan bahwa, hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat (Pasal 1 angka 6). Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: hutan negara dan hutan hak. (1) Hutan negara, dapat berupa hutan adat, (2) Pemerintah menetapkan status hutan, (3) hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya, (4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah (Pasal 5) Dalam ayat (3) di atas jelas disebutkan bahwa sepanjang kenyataan hutan adat dengan hak ulayatnya masih ada dan diakui keberadaannya, maka selama itu pula negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat.

Sebaliknya, apabila masyarakat adatnya tidak ada lagi, maka hak ulayat tersebut kembali ke pemerintah. Jadi syaratnya adalah ada fakta, ada pengakuan, dan adanya masyarakat hukum adat. Mencermati catatan-catatan dalam literatur sebelum kemerdekaan, di Aceh telah lama ada dan diakui keberadaan hak ulayat atas tanah, hutan, pantai, sungai, alur, dan lain-lain, yang antara satu daerah dengan daerah lainnya mempunyai nama yang berbeda-beda. Misalnya istilah bur prutemen untuk menunjukkan hak ulayat masyarakat adat Gayo Luwes dalam pengembalaan hewan. Masalahnya, keberadaan fakta saja tidak cukup, tetapi harus pula disertai dengan pengakuan secara hukum. Jadi harus ada aturan hukum yang menegaskan bahwa hak-hak ulayat dari masyarakat hukum adat tersebut memang senyatanya telah diakui. Pengakuan hukum tersebut dapat tertera dalam Qanun Provinsi atau Qanun Kabupaten atau pada peraturan yang lebih rendah.

Sehingga dengan adanya pengakuan juridis ini akan menjadi jelas apa, dimana, berapa luas, dan berbatasan dengan apa wilayah hutan adat hak ulayat masyarakat gampong atau mukim. Malah sebaiknya, setiap kabupaten di Aceh memiliki peta hak ulayat atau hutan adat masyarakatnya, yang dimuat sebagai lampiran peraturannya. Pengakuan secara Hukum ini menjadi makin penting, yaitu manakala Pemerintah akan melakukan berbagai programnya yang mengundang investasi asing di wilayah hak ulayat, yang mengharuskannya mempertimbangkan eksistensi masyarakat hukum adat.

Adanya penegasan juridis ini penting untuk mencegah terjadinya konflik antara masyarakat adat dengan para investor, dimana menurut Maria Sumardjono (1999), kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat dihubungkan dengan keberadaan hak ulayat tersebut adalah:

1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak ulayat,
2. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai ruang hidup yang merupakan obyek hak ulayat;
3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan tindakan tertentu yang berhubungan dengan tanah, sumber daya alam lain serta perbuatan-perbuatan hukum.

Persyaratan tersebut diatas tidak perlu dipenuhi secara kumulatif, hal itu merupakan petunjuk bahwa hak adat atas tanah dan sumber daya alam di kalangan masyarakat adat tersebut masih ada. Kriteria ini diharapkan bukan menjadi pembatas suatu komunitas dikatakan bukan masyarakat adat, tapi membantu para pengambil keputusan untuk menerima keberadaan suatu masyarakat adat. Sedangkan wewenang Masyarakat Adat atas Tanah dan Sumber Daya Hutan yang dimaksud umumnya mencakup;

1) Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemukiman, bercocok tanam, dll), persediaan (pembuatan pemukiman/persawahan baru dll), dan pemeliharaan tanah.

2) Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan hak tertentu kepada subyek tertentu)

3) Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah (jual beli, warisan dll).

Wewenang masyarakat adat tidak sekedar atas obyek tanah, tetapi juga atas obyek-obyek sumber daya alam lainnya yaitu semua yang ada di atas tanah (pepohonan, binatang, bebatuan yang memiliki makna ekonomis); didalam tanah bahan-bahan galian), dan juga sepanjang pesisir pantai, juga diatas permukaan air, di dalam air maupun bagian tanah yang berada didalamnya.

Terdapat banyak kekhawatiran bahwa penduduk asli atau masyarakat adat disekitar hutan tidak dapat menerima manfaat dari insentif untuk REDD, atau bahkan mendapatkan efek negatif apabila pemerintah yang otoriter atau pemilik lahan besar menggusur mereka agar dapat menerima insentif dari REDD (Griffiths, T. (2007) Melihat “RED”, Program Penduduk Kehutanan.).

Insentif untuk pengurangan emisi dari deforestasi dapat menawarkan potensi keuntungan dan juga resiko bagi penduduk disekitar hutan. Di kebanyakan wilayah tropis, penduduk asli tidak hanya mendapatkan keuntungan dari kegiatan yang menyebabkan deforestasi (pertanian industri, peternakan, dan pembalakan) tetapi juga kehilangan lahan, mata pencaharian dan cara hidup karenanya. Penghentian deforestasi itu sendiri dapat memberikan keuntungan bagi banyak kelompok penduduk asli.

Sistem nasional dapat dan seharusnya dirancang bersama-sama dengan penduduk asli dan memastikan bahwa mereka mendapatkan keuntungan. Dimana kita ketahui bahwa hutan memberikan sumber mata pencaharian bagi ratusan juta orang di seluruh dunia. Oleh karenanya, perhatian lebih harus diberikan pada kepemilikan lahan dan hak penggunaan secara adat sehingga masyrakat adat yang berada disekitar kawasan program REDD di Aceh maupun di seluruh Indonesia dapat sejahtera. Amin…

[1] Lihat di http://www.undp.or.id/pubs/docs/Green_Province.pdf , diakses pada tanggal 1 Desember 2008

[2] Lihat di http://unfccc.int/meetings/intersessional/accra/items/4437.php , diakses pada tanggal 1 Desember 2008

[3] Indonesian Forestry Climate Alliances (IFCA) Report on Reducing Emissions From Degradation and Forest Degradation in Indonesia, 2008.

REDD Dalam Kaitannya dengan Hak Masyarakat Adat di Aceh

Senin, 18 Mei 2009
Penulis : H. Taqwaddin, SH., SE., MS.
REDD Dalam Kaitannya dengan Hak Masyarakat Adat di Aceh

Untuk mengkaji dan menganalisis rencana Proyek REDD (Proyek Pengurangan Emisi dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan) dalam kaitannya dengan dan Hak Masyarakat Hukum Adat di Aceh, menurut saya, pertama sekali; harus dilakukan upaya harmoninasi ide, konsep, dan aksi yang berbasis pada Hukum Internasional dengan Hukum Nasional dan Hukum Adat Aceh. Ketiga hukum tersebut, sekalipun memiliki ruang keberlakuannya yang berbeda, tetapi harus diupayakan untuk terjadinya harmonisasi, sehingga substansi atau materi ketentuan dari dan antarhukum yang berbeda kelas tersebut tidak saling berbenturan.

Dalam hal-hal tertentu yang tidak rawan konflik, jika memungkinkan, dapat pula dilakukan upaya sinkronisasi dari hukum internasional ke hukum nasional lalu ke perubahan hukum adat. Namun, masalahnya, upaya sinkronisasi hukum seringkali mengeyampingkan eksistensi hukum pada tataran lebih rendah (hukum local), sebagaimana telah lama dipraktekkan pada masa rejim Orde Baru berkuasa di Indonesia. Akibatnya, disatu sisi, hukum asli (hukum adat) kehilangan jati diri; sementara disisi lain, intervensi hukum luar hanya menimbulkan kepatuhan semu. Artinya, hukum "asing" hanya dipatuhi dan dijadikan panduan jika kuatnya dukungan kekuasaan formal. Sedangkan manakala kekuasaan formal melemah, maka sejak saat itu pula masyarakat kembali kepada hukum asli atau hukum adatnya.


Karenanya, menurut saya, upaya harmonisasi hukum harus lebih dikedepankan dalam upaya implementasi proyek REDD ketimbang aksi sinkronisasi dari Kyoto Prorokol ke peraturan perundangan-undangan Indonesia untuk mempengaruhi atau merubah Hukum Adat Aceh.

Proyek REDD yang merupakan implementasi dari Kyoto Protokol -- sebagai hukum internasional – harus harmonis dan tidak bertentangan dengan: paling tidak,
(1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria,
(2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
(3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, dan
(4) Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagai hukum nasional Indonesia.

Selanjutnya, keberadaan Proyek REDD pada tataran implemetasinya, pun tidak boleh bertentangan dengan Hukum Adat Aceh, terutama Hukum Adat yang berkaitan dengan tata kelola Pemerintahan Mukim, Pemerintahan Gampong dan Hukum Adat mengenai penguasaan dan pengelolaan hutan.

Kedua, untuk dapat mengharmonisasikan antara hukum "luar", baik hukum internasional maupun hukum nasional, dengan hukum local yang unik dan khas (hukum adat) diperlukan pendekatan penelitian yang kualitatif dengan teknik-teknik tertentu yang grounded, verstehen, indept interview, observasi seksama serta partisipatory research. Sehingga dengan metode sedemikian, dapat memberikan pemahaman yang holistic terhadap eksistensi subjek masyarakat hukum adat yang distudi, paling tidak meliputi : hak, kewajiban, tanggungjawab, peranan, fungsi dan lain-lainnya yang merupakan budaya masyarakat adat Aceh dalam penguasaan dan pengelolaan hutan.

Berkaitan dengan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat di Aceh, dengan mendasarkan pada pendapat para ahli hukum adat (alm. Prof. Teuku Djuned), dan syarat-syarat yang ditegaskan pada Penjelasan Pasal 67 Undang-Undang Kehutanan, dapat dikemukakan bahwa Mukim adalah masyarakat adat Aceh.

Adapun syarat-syarat suatu masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud oleh Penjelasan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, adalah :
1. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap);
2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
3. ada wilayah hukum adat yang jelas;
4. ada pranata hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; dan
5. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Menurut hemat saya, semua persyaratan di atas dapat kita ketemukan dalam kehidupan sehari-hari di gampong-gampong dan mukim di Aceh.

Pertama, sebagian besar warga gampong masih memiliki ikatan geneologis dengan sesamanya. Sehingga kepedulian dan kebersamaan di gampong dan juga di dalam suatu kemukiman -- terutama yang bermukim bukan di perkotaan – saling keterikatan bukan hanya dikarenakan solidaritas territorial, tetapi memang merasa sekaum seketurunan (gemeenschap). Warga gampong masih memiliki perasaan bersalah atau berdosa jika tidak melayat ke rumah warga gampong kita yang tertimpa musibah. Begitu pula jika ada tetangga yang melakukan hajatan (meukereuja), para warga gampong sejak malam hari hingga selesainya khanduri tersebut terus membantu dengan segala upaya agar acara dimaksud sukses dengan tiada kekurangan sesuatu apapun. Bahkan, seringkali pula pihak yang melakukan hajatan melimpahkan sepenuh penyelenggaraan khanduri tersebut pada keuchik, selaku kepala gampong. Hal seperti ini Insya Allah masih kita temukan hingga esok hari. Dan, ini menunjukkan kehidupan masyarakat mukim atau gampong di Aceh yang masih gemeenschap, bukan gesselschap.

Kedua, di dalam kehidupan kemukiman di Aceh, kita masih menemukan adanya lembaga-lembaga adat beserta perangkat penguasa adatnya. Hingga ini hari, kita masih menemukan eksisnya:
1. lembaga pemerintahan mukim yang diketuai oleh imeum mukim,
2. lembaga keagamaan pemerintahan mukim yang dipimpin oleh imeum meseujid,
3. lembaga musyawarah mukim yang dipimpin oleh tuha lapan,
4. lembaga pemerintahan gampong dipimpin oleh keuchik,
5. lembaga keagamaan di gampong dipimpin oleh imeum meunasah,
6. lembaga musyawarah gampong oleh tuha peut.
7. lembaga adat persawahan yang dipimpin oleh kejruen blang,
8. lembaga adat laoet yang dipimpin oleh panglima laoet,
9. lembaga adat perkebunan yang dipimpin oleh peutua sineboek,
10. lembaga adat hutan yang dipimpin oleh panglima uteun atau pawang glee,
11. lembaga adat lalulintas laut yang dipimpin oleh syahbanda, dan
12. lembaga adat perdagangan yang dipimpin oleh haria peukan.

Keberadaan lembaga adat di suatu kemukiman tergantung pada dimana letak geografi kemukiman tersebut. Sehingga, bisa jadi, pada suatu kemukiman ada lembaga adat yang tidak ada pada kemukiman lainnya. Misalnya, lembaga adat laoet hanya ada pada kemukiman yang wilayahnya di pesisir laut. Begitu pula lembaga adat hutan hanya ada pada kemukiman yang memiliki wilayah hutan. Namun ada pula kemukiman yang memiliki lembaga adat hutan dan juga lembaga adat laut, jika di kemukiman tersebut terdapat wilayah laut dan gunung.

Ketiga, ada wilayah hukum adat yang jelas. Suatu kemukiman adalah suatu juridiksi territorial yang jelas dan tegas dalam masyarakat Aceh. Artinya, jelas wilayahnya dan jelas pula batas-batasnya. Hanya saja, seringkali batas-batas tersebut tidak tersurat didalam suatu naskah tertulis, tetapi hanya berupa batas-batas alam yang mengacu pada penuturan para nenek moyang (endatu) terdahulu. Batas ini dapat berupa : sungai (krueng), tebing (tereubeng), alur (alue), lorong (juroeng), pematang (ateung), parit (lueng), dan lain-lain.

Keempat, masih adanya peradilan adat. Pada masa Kerajaan Aceh hingga awal kemerdekaan, dan juga akhir-akhir ini – kecuali Era Orde Baru – di gampong-gampong dan juga di kemukiman memiliki system musyawarah penyelesaian sengketa. Pada masa Sultan Iskandar Muda, “perkara-perkara kecil biasanya diselesaikan oleh keuciek dengan tengku meunasah yang dibantu oleh tuha peut. Tanpa vonis, -- maksudnya, tanpa kalah menang -- persengketaan itu diselesaikan secara damai yang disebut dengan hukum peujroh (hukum kebaikan). Sehingga dari aspek historis, sejak dahulu kala gampong telah memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perkara-perkara kecil, pentjurian kecil, perkelahian, perkara-perkara sipil yang kecil-kecil yang nilai perkaranya tidak lebih dari 100 ringgit, dan lain-lain.

Sekarang, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, telah mulai lagi dilakukan penyelesaian perkara secara adat di gampong-gampong dan bahkan sampai pada tingkat kemukiman. Kini malah sistem penyelesaian sengketa secara adat telah mendapat pengaturannya yang cukup tepat di dalam satu bab tersendiri pada Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Adat.

Syarat kelima sebagai masyarakat hukum adat yaitu, masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Hemat saya, syarat ini masih terpenuhi di dalam masyarakat Aceh. Masih banyak warga gampong yang menggantungkan hidupnya pada hutan dengan memungut hasil hutan sebagai mata pencahariannya. Meu glee, meu awe, meu rusa, meu uno, dan lain-lain adalah kegiatan pemungutan hasil hutan di Aceh yang dilaksanakan dengan segala kearifan tradisional. Bahkan pemungutan hasil hutan berupa kayu pun lazim dilakukan oleh warga gampong yang berdomisili di sekitar hutan. Hanya saja dengan dikeluarkan Instruksi Gubernur Nomor 5 Tahun 2007 tentang Moratorium Logging, kegiatan ini banyak menimbulkan masalah saat ini.

Dengan terpenuhinya kelima syarat sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang kemudian juga dinyataan dalam Qanun NAD Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim, maka jelaslah sudah, dan tiada dakwa dakwi, bahwa pemerintahan mukim di Aceh merupakan masyarakat hukum adat Aceh.

Sehubungan dengan hak masyarakat adat (Mukim) atas tanah dan sumberdaya hutan di Aceh, menurut Hukum Adat Aceh dapat dikemukakan sebagai berikut. Mukim memiliki otorita terhadap seluruh wilayah teritorialnya, baik darat maupun laut. Di darat, mukim berkuasa atas : tuwie, sawang, sarah, tanoh jeut, paya, panton, padang, dan uteun rimba di wilayahnya.

Sehubungan dengan kekuasaan Mukim terhadap hutan di wilayahnya, yang dinamakan dengan uteun mukim, Prof Teuku Djuned -- Guru Besar Hukum Adat Aceh -- menegaskan bahwa kriteria pokok masyarakat hukum adat, bukanlah hanya pada adanya kewenangan memungut hasil hutan, melainkan yang lebih penting daripada itu adalah pada kewenangan menguasai dan memanfaatkan lingkungan hidup dan sumber daya alam, terutama untuk kepentingan warganya.

Di dalam literature yang lain, berkaitan dengan ketentuan hukum penguasaan hutan oleh mukim dan gampong, disebutkan bahwa mukim dan gampong memiliki hak menguasai (beschikkingsrecht) terhadap hutan di wilayahnya untuk kepentingan anggota-anggotanya atau orang-orang asing.

Dalam perspektif masyarakat Aceh, dikenal tiga jenis status lahan berdasarkan kepemilikannya, yaitu : tanoh dro, tanoh gob, dan tanoh potallah. Tanoh dro adalah tanah milik yang dikuasai dan dikelola sendiri oleh para anggota masyarakat. Tanoh gob adalah tanah yang dikuasai dan dimiliki serta dikelola oleh orang lain. Sedangkan selain dari tanah milik pribadi atau milik pihak lain, sisanya adalah tanoh potallah atau tanoh poe teu Allah, yaitu tanah milik Allah atau tanoh hak kullah.

Konsep kepemilikan seperti ini juga dipahami oleh masyarakat Aceh terhadap status kepemilikan hutan, sehingga dikenal adanya uteun potallah atau uteun po teu Allah atau Uteun Tuhan. Jadi uteun mukim merupakan bagian dari uteun Tuhan yang diklaim sebagai hutan ulayat kemukiman.

Berdasarkan perspektif di atas, maka dalam Pasal 18 Qanun NAD Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim, disebutkan bahwa harta kekayaan Mukim adalah harta kekayaan yang telah ada, atau yang kemudian dikuasai Mukim, berupa hutan, tanah, batang air, kuala, danau, laut, gunung, rawa, paya dan lain-lain yang menjadi ulayat Mukim sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Hutan Ulayat menurut Penjelasan Pasal 1 angka 7 qanun ini adalah hutan sejauh sehari perjalanan pulang pergi, di hutan ini semua penduduk boleh memungut dan mencari hasil hutan, dengan pembagian hasil disepakati antara pencari dan Imuem Mukim.

Mencermati perspektif dan ketentuan di atas, jelaslah bahwa mukim memiliki alas kekuasaan atau juridiksi terhadap hutan adatnya. Sehingga dengan formulasi yang demikian, idealnya, menurut saya, pengklasifikasian statusnya hutan di Aceh menjadi :
(1) hutan milik, (2) hutan gampong atau hutan mukim, dan sisanya (3) hutan negara.

Usulan di atas, tentu saja, saat ini berbenturan dengan ketentuan Pasal 5 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Pasal 5 Qanun NAD Nomor 14 Tahun 2002 tentang Kehutanan, yang menegaskan bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat. Ketentuan ini secara implisit bermakna bahwa hutan adat adalah bahagian dari hutan negara.

Pernyataan dalam perundang-undangan di atas bahwa hutan adat adalah hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat, telah menimbulkan polimik antara organisasi masyarakat hukum adat versus pemerintah. Bagi masyarakat hukum adat (mukim), keberadaan hutan adat telah lebih dulu ada dibandingkan adanya negara ini. Sehingga bukanlah negara yang memberikan hak pengelolaan atas hutan tersebut kepada masyarakat hukum adat, melainkan negara telah “merampas” hak masyarakat hukum adat mukim atas hutannya yang telah mereka kuasai dan kelola sejak dahulu kala. Sebaliknya, dari pihak pemerintah, hutan adat yang merupakan hak ulayat dalam artian publik adalah hutan negara, yang penguasaannya ada pada negara dan pengaturannya diselenggarakan oleh pemerintah.

Berikutnya, kekuasaan mukim atas hak kullah-nya, setelah melalui proses normatif tertentu maka kekuasaan penguasaan atas hak ulayat menjadi hak perseorangan (boinah), yang selanjutnya dikenal dengan hak milek. Proses tersebut, dalam Hukum Adat Aceh dikenal dengan hak dong tanoh, hak chah rimba, hak useuha, lalu menjadi hak milek.

Merujuk pada pemahaman dan perspektif masyarakat adat Aceh terhadap hak ulayatnya sebagai Hak Kullah Bertuan, maka dalam implementasi Proyek REDD, adalah sesuatu yang ideal dan tepat jika diberikan perlindungan hukum yang memadai terhadap klaim-klaim atas hutan yang sejak masa lalu berada dibawah kekuasaan mukim (uteun mukim).

Pada prinsipnya, uteun mukim hanya diperuntukkan bagi warga mukim setempat, baik untuk masa kini maupun untuk generasi masa depan yang panjang. Sehingga, dibiarkannya uteun mukim tanpa digarap (gohlom useuha) bukan dengan maksud untuk ditelantarkan, tetapi sebagai cadangan lahan bagi anak cucu mereka.

Masyarakat adat Aceh memiliki kearifan tersendiri dalam memelihara atau mengkonservasi hutan. Mereka punya aturan sendiri dalam memilih lokasi yang baik untuk berkebun (meulampoeh), yaitu dengan cara tidak merusak lingkungan, tidak mengganggu koridor satwa, dan melindungi sumber air. Mereka memiliki tatacara dan pantangan adat dalam melakukan kegiatannya di dalam hutan.

Selama ini, alas hak bukti kepemilikan atas lahan cukup hanya berdasarkan pengakuan keuchik atau imeum mukim, jika proses pemilikan tersebut melalui prosedur : hak dong tanoh, hak chah rimba, hak useuha, lalu menjadi hak milek. Sertifikat tanah adalah sesuatu yang "asing" bagi masyarakat adat, termasuk bagi masyarakat mukim yang berada di pedalaman sekitar kawasan hutan, dan perintah pensertifikatan tanah dipandang sebagai intervensi hukum asing. Karena tanpa sertifikat pun, sesama warga masyarakat dapat hidup damai dan saling pengertian. Dan jika pun ada konflik yang berkaitan dengan persoalan keabsahan pemilikan atau tapal batas, maka penyelesaiannya dapat ditempuh melalui mekanisme musyawarah atau peradilan adat.

Mengenai tapal batas uteun ulayat Mukim, masyarakat adat Aceh memiliki kearifan tersendiri dalam penentuan tapal batas hutan dalam kekuasaannya yang didasarkan pada batasan-batasan alami seperti: sungai, alur, jurang, jalan, bukit, gunung, tebing, pohon besar, lembah, dan lain-lain. Dari perspektif hukum positif yang juridis-formal, bisa jadi penentuan batas sedemikian itu dapat menimbulkan ketidak pastian. Namun dari pandangan hukum adat, penentuan batas yang seperti itu tidak ada masalah bagi mereka. Hanya saja, sebaiknya, tapal batas yang dituturkan oleh para tokoh-tokoh adat mukim (imeum mukim, tuha lapan, keuchik, tuha peut, dan lain-lain) dapat dibantu oleh pihak pendamping (LSM/NGO) untuk dicatat, didokumentasi, dan dibuatkan peta wilayah hutan adat berdasarkan klaim masyarakat adat setempat.

Akhirnya, yang paling penting bagi masyarakat adat Aceh adalah, hadirnya berbagai program dan proyek, termasuk Proyek REDD dan carbon trade, jangan sampai merusak Hukum Adat Aceh, merusak lingkungan, dan apalagi merugikan masyarakatnya. Mengenai pentingnya memelihara adat Aceh dinyatakan dengan ungkapan (naritmaja) "matee aneuk meupat jeurat, matee adat pat mita."


ADAT HUTAN ACEH

Rabu, 10 Juni 2009
Penulis : H. Taqwaddin, SH., SE., MS.
ADAT HUTAN ACEH

Ada perbedaan makna mendasar antara terminology Hutan Adat dan Adat Hutan (Uteun). Hutan Adat merupakan klaim atas territorial, sebagaimana telah saya kemukakan dalam opini saya terdahulu (Serambi, Sabtu, 12/4/2008), yang hingga hari ini masih belum jelas pengaturan dan perbatasannya di Aceh. Sehingga memunculkan pertanyaan, masih adakah Hutan Adat di Aceh? Sedangkan Adat Uteun dimaksudkan disini adalah tatanan normative dari tata kelola hutan berdasarkan kearifan lokal dari suatu masyarakat hukum adat di Aceh. Yang terakhir inilah yang menjadi topic pembahasan kali ini.




Dibandingkan dengan eksistensi dan popularitas lembaga Adat Laoet yang diselenggarakan oleh Panglima Laoet, maka keberadaan lembaga Adat Uteun pada aras realitas akhir-akhir ini tampaknya semakin melemah, memudar dan nyaris meredup. Fakta ini tidak saja karena kondisi sosio-ekonomi masyarakat, tetapi juga karena kurangnya pemihakan serta perhatian pemerintah dalam bidang ini. Padahal, res ipso quato (bukti telah berbicara), begitu sering terjadinya banjir bandang akhir-akhir ini yang disebabkan buruknya pengelolaan hutan kita. Seakan-akan, kita tak lagi memiliki norma dan lembaga adat yang “mengurusi dan menjaga” hutan. Masalahnya, masih mungkinkah kita merevitalisasi lembaga Adat Uteun untuk “mengamankan” hutan dalam kerangka pengelolaan lingkungan hidup?

Tradisi pengelolaan hutan yang arif bijaksana telah dipraktekkan secara turun temurun dalam masyarakat Aceh. Hal ini diselenggarakan melalui lembaga adat uteun yang dipimpin oleh Panglima Uteun. Panglima Uteun merupakan unsur Pemerintahan Mukim yang bertanggungjawab kepada Imum Mukim. Khazanah adat budaya ini masih melekat dalam kehidupan sebagian masyarakat Aceh sebagai sebuah kearifan lokal yang masih ada dan harus dipertahankan, terutama pada kemukiman yang wilayahnya berdekatan dengan kawasan hutan.

Dalam literatur lama, diterangkan beberapa fungsi utama yang harus dilakukan oleh Panglima Uteun, yaitu : Pertama, menyelenggarakan adat glee. Panglima uteun merupakan pihak yang memiliki otorita menegakkan norma-norma adat yang berkaitan dengan memasuki dan pengelolaan hutan adat (meuglee). Pangima Uteun atau Pawang glee (bawahan Panglima Uteun atau Kejruen Glee) memberi nasihat dalam mengelola (mamanfaatkan) hutan. Nasehat tersebut bersisikan tatanan normatif apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam kaitannya dengan pengurusan hutan adat. Selain itu, disampaikan pula petunjuk perjalanan dalam hutan sehingga jangan sampai orang tersesat, mendapat bahaya gangguan dari jin dan binatang-binatang buas.

Kedua, mengawasi dan menerapkan larangan adat glee. Dalam pengurusan hutan dilarang memotong pohon tualang, kemuning, keutapang, glumpang, beringin dan lain-lain kayu besar dalam rimba yang dirasa menjadi tempat bersarang lebah. Ini merupakan pantangan umum, yang apabila dilanggar dapat merugikan orang banyak, karena siapa saja boleh mengambil hasil-hasil madu yang bersarang dipohon-pohon besar itu. Dilarang memotong kayu-kayu meudang ara, bunga merbau, dan lain-lain kayu yang besar-besar yang dapat dibuat perahu atau tongkang, kecuali atas seizin dari Kedjroen atau Raja.

Tanda larangan orang banyak, yaitu dilarang memotong sebatang kayu dalam rimba/hutan yang sudah ditetak sedikit kulitnya dan di atasnya dililit akar kayu yang disangkut dengan daun-daun. Demikian juga, dilarang orang mengambil kayu yang sudah ditumpuk-tumpuk oleh seseorang yang di atasnya diletakkan sebuah batu. Batu itu berarti sebagai suatu tanda (kode) bahwa kayu yang bertumpuk itu telah ada yang punya. Panglima Uteun memiliki kompetensi melakukan pengawasan penerapan larangan adat glee, agar semua larangan tersebut dilaksanakan oleh setiap orang.

Ketiga, Panglima Uteun berfungsi sebagai pemungut wasee glee. Dimasudkan dengan wasee glee adalah segala hasil hutan seperti cula badak, air madu, lebah, gading gadjah, getah rambung (perca), sarang burung, rotan, kayu-kayuan bukan untuk rumah sendiri (dijual), damar, dan sebagainya. Besarnya wasee (cukai) adalah 10 % untuk radja (kerajaan).

Keempat, Panglima berfungsi menjadi hakim dalam menyelesaikan sesuatu perselisihan dalam pelanggaran hukum adat glee. Dalam suatu perundingan (musapat), Panglima Uteun atau kejruen glee terlebih dahulu meminta dan mendengar keterangan dari pawang-pawang glee, kemudian setelah itu barulah kejruen glee memberi hukum atau keputusan.

Berdasarkan fungsi diatas dapatlah dipahami bahwa Panglima Uteun dalam masyarakat Aceh mempunyai peran strategis dalam upaya pengelolaan lingkungan, khususnya dalam hal pemanfaatan hutan dan hasilnya.

Selanjutnya, dalam mengelola hutan adat untuk dimanfaatkan sebagai ladang atau kebun (meuglee), sistem pengelolaannya berkaitan erat dengan adat Sineboek. Sineboek adalah suatu wilayah baru di luar gampong, yang pada mulanya berupa hutan adat yang dikemudian dijadikan kebun (ladang).

Pembukaan sineboek harus selalu memperhatikan aspek lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi anggota sineboek dan lingkungan hidup itu sendiri, terutama bagi perlindungan sumber kawasan air. Sehingga, dalam pembukaan sineboek yang akan dijadikan kebun, terdapat aturan-aturan yang telah dipahami dan dipraktekkan oleh masyarakat, seperti larangan penebangan pohon dalam radius atau jarak tertentu.

Dalam hal ini, Tengku A. Rahman Kaoy, salah seorang tokoh adat Aceh, pernah mengemukakan pada diskusi kecil di WWF, bahwa, dalam rangka perlindungan sumber kawasan air dan sekaligus pengelolaan lingkungan hutan, terdapat beberapa larangan adat yang harus dipatuhi oleh setiap orang, yaitu; Pertama, adalah jarak 1200 depa (kira-kira 600 meter) dari sumber mata air (danau, waduk, alue, dan lain-lain) tidak boleh atau terlarang dilakukan aktivitas penebangan dan pemanenan pohon. Bahkan untuk kepentingan raja sang penguasa sekalipun tetap tidak boleh. Tetapi menanam sangatlah dianjurkan.

Kedua, jarak 120 depa dari kiri-kanan sungai besar tidak boleh ditebang pohon, tidak boleh dimiliki, karena adalah milik adat yang manfaatnya juga untuk kepentingan bersama. Itu adalah untuk penyangga bencana dari datangnya banjir dan tanah longsor.

Ketiga, 60 depa dari kiri-kanan anak sungai (alue) tidak boleh ditebang pohon, namun menanamnya sangat dianjurkan sebagai milik bersama. Larangan ini dimaksudkan untuk menjaga kelestarian fungsi ekosistem kawasan sungai agar tidak terjadi banjir besar, karena air hujan yang deras diserap ke dalamnya dan terdapat dedaun yang menahan laju derasnya hujan hingga sampai kebawahpun air akan tertahan oleh tumpukan dedaunan yang mengendap jatuh hingga kepermukaan tanah.

Keempat tidak boleh ditebang pohon di puncak gunung dan daerah lereng yang terjal. Juga tak boleh ditebang pohon dipinggiran jurang yang jaraknya kira-kira dua kali kedalaman jurang. Larangan ini dimaksudkan agar tidak terjadinya longsor yang dapat merusak lingkungan, dan dapat pula menimbulkan kerugian bagi manusia itu sendiri.

Selanjutnya, dalam memilih lahan lokasi pembukaan kebun, menurut adat uteun dan adat sineubok perlu pula mempertimbangkan posisi letak lahan berdasarkan kemiringan utara-selatannya sesuai dengan siklus edar cahaya matahari. Dalam pemilihan lokasi atau lahan untuk kebun, --mungkin juga bagi peruntukkan lahan untuk kepentingan lainnya – perlu mempertimbangkan kearifan lokal kita yang dalam narit maja dinyatakan dengan : Tanoh siheet u timu pusaka jeurat, Siheet u barat pusaka papa, Siheet u tunong tanoh geulantan, dan Siheet u seulatan pusaka kaya.

Narit maja di atas, dapat diterjemahkan kira-kira, tanah yang miring atau menghadap timur pusaka kubur, miring ke barat pusaka papa, miring ke utara tanah yang menang, dan miring ke selatan pusaka kaya. Berarti, menurut kerangka pikir oreung tuha Aceh tempoe doeloe, lahan yang baik adalah lahan yang menghadap atau miringnya ke utara atau ke selatan. Hal ini dinyatakan dengan ”tanoh siheet u tunong geulantan, siheet u seulatan pusaka kaya”.

Tunong adalah utara. Geulantan berati kemenangan atau kejayaan. Sehingga, orang yang memiliki lahan dengan arah ke utara diasumsikan para penghuninya akan mendapat ”keberkatan”. Orang yang diberi berkat adalah orang yang medapat kemenangan dan kebahagiaan. Sedangkan pemilik lahan dengan arah ke selatan adalah ”pusaka kaya”, yang berarti, bakal menjadi kaya. Apakah narit maja adat ini masih benar? Dan masih layak dijadikan pertimbangan? Wallahu alam.

Selain tata cara memilih arah lahan, terutamanya untuk lokasi kebun, menurut adat uteun dan adat sineoboek dikenal pula beberapa pantangan, yang meliputi : Pertama, Pantangan Jambo. Artinya, jambo atau pondok (gubuk) untuk berteduh atau bermalam ataupun untuk dijadikan rumah, tidak boleh didirikan di tempat lintasan binatang buas dan makhluk halus penghuni rimba, dan bahan pondok tidak boleh menggunakan kayu bekas lilitan uroet karena dipercayai akan mengundang ular masuk ke pondok tersebut.

Kedua, Pantangan Darut (hama belalang). Dalam hal ini, para anggota sineboek (para peladang) pantang menggantung kain pada pohon, meneutak parang pada tunggul pohon, dan menebas semak (ceumecah) dalam hujan. Semua pantangan ini tidak boleh dilanggar, karena kalau dilanggar, dipercaya akan mendatangkan wabah belalang, dimana jutaan belalang akan menyerbu kebun tersebut.

Ketiga, Pantangan lainnya adalah dilarang berteriak-teriak sambil memanggil-manggil di ladang karena melanggar adat ini dipercaya dapat mendatangkan hama tikus, rusa, kijang, monyet, tikus dan landak. Inti dari larang ini adalah larangan ria dan bersenda gurau secara berlebihan.

Sebenarnya, kalau kita teliti lebih mendalam lagi, akan kita temukan lagi betapa kayanya tatanan normatif dalam bidang pengelolaan hutan kita. Yang semua itu, dimaksudkan guna memelihara lingkungan dan mengharmoniskan hubungan antara berbagai makhluk, baik harmonisasi antar makhluk hidup (manusia dengan binatang atau binatang dengan binatang), maupun antara makhluk hidup dengan makhluk tidak hidup (air, tanah, iklim, cuaca, dan lai-lain).
Masalahnya adalah, hampir semua tatanan norma tersebut sekarang telah tereliminir oleh berbagai peraturan perundang-undangan produk negara, yang tidak ditegakkan. Akibatnya, hutan kita makin hari makin rusak parah. Korban materil dan biaya untuk pemulihan lingkungan akibat banjir, yang disebabkan tidak harmonisnya pengelolaan hutan makin lama makin menjadi sangat tinggi. Hemat saya, dengan revitalisasi lembaga adat uteun dapat meminimalisasi gerakan perusakan hutan Aceh, sehingga perusakan hutan dapat diperkecil. Semoga !!

Mukim Sebagai Pengembang Hukum Adat Aceh

Mukim Sebagai Pengembang Hukum Adat Aceh
Oleh : H. TAQWADDIN, SH., SE., MS., CD.[2]
dikutip dari:
Blog:
www.green-aceh.blogspot.com

Dalam terms of reference (ToR) yang diajukan oleh panitia, tertera maksud atau tujuan umum kegiatan ini adalah untuk mengembangkan potensi hukum adat dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik. Sedangkan tujuan khususnya adalah dalam rangka membangun pemahaman dan penyamaan persepsi tentang hukum adat dengan hukum Nasional dan UU No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Berdasarkan tujuan umum dan tujuan khusus tersebut, dalam lokakarya ini, saya akan lebih fokus membicarakan tentang mukim sebagai pengembang hukum adat Aceh. Ada beberapa pertimbangan yang mengharuskan kita mendiskusikan tentang mukim: Pertama, mukim sebagai Acheh organisatie, sebagai masyarakat hukum adat Aceh. Kedua, pemerintahan mukim sebagai pemerintahan resmi dalam hukum positif Indonesia, Ketiga, mukim sebagai koordinator lembaga adat dan hukum adat Aceh.


Sejarah Mukim; dulu hingga sekarang.
Pada masa Kerajaan Aceh, struktur pemerintahan dibagi dalam lima tingkatan, yaitu : (1) Sultan yang memimpin kerajeun dan daerah taklukannya, serta mengkoordinir para Ulee Balang, (2) Panglima Sagoe yang membawahi beberapa daerah Ulee Balang. (3) Ulee Balang mengkoordinir beberapa mukim, (4) Imem mukim yang membawahi beberapa gampong, dan (5) Geusyiek yang memimpin gampong sebagai unit pemerintahan terendah.[3]
Mukim terbentuk bersamaan dengan masuknya Islam ke Aceh. Keberadaannya memiliki dasar yang kuat baik untuk pengaturan kehidupan sosial (adat) maupun untuk kehidupan beragama (hukom), dan juga kemudian pemerintahan. Dalam hubungannya dengan kehidupan beragama, terbentuknya mukim menjadi dasar bagi pelaksanaan kewajiban untuk mendirikan shalat Jum’at. Menurut Mazhab Syafi’i untuk mendirikan shalat Jum’at diperlukan kehadiran paling tidak 40 orang laki-laki yang telah dewasa.[4]
Pada mulanya pemimpin dari sebuah mukim adalah seorang imeum (Imam) yang mengemban tugas sepenuhnya atau sebagian bersifat keagamaan dengan mengusahakan agar tegaknya hukom (syariat) dan terlaksananya kewajiban ibadah. Gelar imeum berkaitan erat dengan meusigit (Mesjid) serta ibadah yang berlangsung di dalamnya.[5] Berdasarkan ulasan di atas, menunjukkan bahwa kesatuan masyarakat dalam sebuah mukim terbentuk dengan meusigit (Mesjid) sebagai pusat kehidupan sosial dan agama.
Selain itu, perubahan sebutan imeum menjadi imeum mukim dan lahirnya lembaga imeum chik atau imeum meseujid menunjukkan adanya proses evolusi dalam sistem kelembagaan pada tingkat mukim. Pada mulanya imeum menjalankan fungsi dan wewenangnya dalam bidang keagamaan, diantaranya mengatur dan mengurus kemakmuran mesjid serta masalah-masalah keagamaan lainnya, seperti pengaturan waktu khanduri moulud. Dalam perkembangannya kemudian ketika jumlah masyarakat dalam sebuah mukim semakin banyak dan hubungan antar gampong menjadi lebih kompleks, tentu saja diperlukan adanya lembaga atau pemimpin yang dapat mengkoordinir gampong-gampong dalam lingkup sebuah mesjid. Dari perkembangan dinamika sosial tersebut, Imeum yang sudah mendapatkan legalitas dari masyarakat sebagai pemimpin ummat yang bersifat spiritual dan ukhrawi, kemudian diangkat menjadi pemimpin adat yang bersifat duniawi. Sedangkan untuk mengurus hal-hal yang bersifat keagamaan (Hukom) yang sebelumnya diurus oleh imeum, dibentuk lembaga baru yang disebut dengan imeum meusigit atau imeum chik. Pada masa Kesultanan Aceh, jabatan imeum chik disebut juga sebagai Kadhi Mukim[6] atau tengku kadhi.
Walaupun imeum yang kemudian menjadi imeum mukim dan menjadi pemimpin adat, yang dipilih dari kalangan cerdik pandai atau pemuka masyarakat, namun pada jabatan imeum mukim masih melekat tanggung jawabnya dalam bidang keagamaan. Hal itu tercermin pada syarat yang bersifat agama untuk menjadi seorang imeum mukim, disamping syarat yang bersifat adat, seperti yang ditentukan dalam Qanun Syara’ Kesultanan Aceh. Syarat yang bersifat keagamaan tersebut seperti mengetahui hukum syara’ Allah dan hukum syari’at nabi, takut atas perbuatan salah, dapat mengerjakan fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, dapat menjadi imam shalat Jum’at, dan dapat menjadi Khatib pada hari Jum’at.[7]
Persyaratan yang bersifat keagamaan tersebut, tentu saja agar seorang imeum mukim dapat berperan untuk menjalankan peran dalam bidang keagamaan. Terutama ketika imeum mesjid tidak berada di tempat, seperti menjadi imam shalat berjamaah, menjadi khatib atau menjalankan fardhu kifayah lainnya. Kebutuhan akan adanya mukim dan prasyarat yang bersifat keislaman dalam pembentukan mukim dan pemerintahan mukim merupakan salah satu bentuk dari pelembagaan hal yang berkaitan dengan ibadah dalam kehidupan masyarakat Islam. Fakta yang ada dalam masyarakat Aceh, dalam hubungannya dengan penerapan sistem penyelenggaraan mukim, tampak jelas bahwa pemerintahan mukim dilaksanakan berdasarkan konsep Islam.
Paling tidak ada tiga ciri yang menunjukkan bahwa sistem pemerintahan mukim berasaskan Islam. Pertama, memperhatikan syarat-syarat keagamaan yang harus dipenuhi oleh para pimpinan pada tingkat mukim dan gampong. Kedua, dapat dilihat dalam sistem pengelolaan tanah-tanah umum yang belum dimiliki oleh siapapun, yang oleh masyarakat Aceh disebut sebagai tanoh Potallah atau tanah Tuhan. Dalam hal ini, siapa yang menghidupkan dan mengusahakan “tanah mati” tersebut, dialah yang berhak atas tanah tersebut, untuk dimiliki atau dialihkan kepada orang lain, tentu saja setelah syarat-syarat adat terpenuhi. Ketiga, dalam penyelesaian sengketa yang mengedepankan perdamaian melalui musyawarah dan bertujuan untuk membangun kembali harmonisasi pasca sengketa dalam kehidupan masyarakat. [8]
Dalam perkembangannya kemudian, khususnya di kawasan Aceh Besar, beberapa Mukim membentuk persekutuan atau federasi Mukim yang penamaannya disesuaikan dengan jumlah Mukim yang membentuk federasi tersebut, seperti III Mukim Kayee Adang, V Mukim Montasik dan sebagainya. [9]
Pada masa kolonial Belanda keberadaan Imum Mukim tetap diakui, bahkan diatur secara khusus dalam Besluit van den Governeur General van Nederland Indie van 18 November 1937 Nomor 8, dengan nama Imeumschaap. Masa penjajahan Jepang, pemerintahan oleh Imum Mukim pun tetap diakui berdasarkan Osamu Seirei Nomor 7 Tahun 1944. [10]
Setelah Indonesia Merdeka ketentuan-ketentuan tentang pemerintahan mukim tetap diberlakukan, yaitu berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Untuk mempertahankan kedudukan mukim dalam struktur pemerintahan desa, Keresidenan Aceh mengeluarkan Peraturan Keresidenan Aceh Nomor 2 dan Nomor 5
Tahun 1946,[11] yang menurut kedua peraturan tersebut, Pemerintahan Mukim diberlakukan untuk seluruh Aceh. Akan tetapi kedudukannya tidak lagi berada di bawah Ulhee Balang, karena lembaga ini sudah dihapus dengan kedua peraturan tersebut di atas, melainkan berada di bawah camat dan membawahi beberapa gampong.
Pada masa rezim Orde Baru, penyelenggaraan pemerintahan berlangsung secara sentralistik, yang diikuti dengan politik hukum univikasi untuk seluruh wilayah Indonesia. Sehingga, dengan paradigma seperti ini, maka sistem pemerintahan di daerah diupayakan berlangsung secara seragam se Indonesia. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, keberadaan pemerintahan Mukim ini tidak lagi mendapat pengakuan dari pemerintah. Dengan demikian, mukim tidak lagi berkedudukan sebagai unit pemerintahan dalam struktur pemerintahan di Aceh. Namun dalam prakteknya ternyata pemberlakuan kedua undang-undang tersebut tidak serta merta dapat menghapuskan keberadaan lembaga adat mukim yang ada di Aceh. Bahkan di beberapa daerah, lembaga Mukim beserta lembaga adat lainnya tetap dipertahankan oleh warga gampong, meskipun kedudukannya dalam hukum nasional menjadi melemah. [12]
Seiring dengan berjalannya proses reformasi sistem pemerintahan di Indonesia, pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini memberikan semangat baru untuk menghidupkan kembali sistem adat dan kelembagaan pada tingkat gampong di Aceh.
Khusus bagi Aceh, dalam rangka penyelesaian konflik, Pemerintah memberlakukan pula Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Penyelenggaraan keistimewaan tersebut menurut Pasal 3 ayat (2) meliputi: (1) penyelenggaraan kehidupan beragama, (2) penyelenggaraan kehidupan adat, (3) penyelenggaraan pendidikan, dan (4) peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Berdasarkan ketentuan di atas jelaslah bahwa undang-undang ini kembali memperkuat keberadaan lembaga adat, termasuk lembaga adat Mukim.
Selanjutnya, melalui Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Pemerintahan Mukim dimasukkan kembali dalam struktur pemerintahan di Aceh. Pengukuhan keberadaan mukim semakin kuat dengan diundangkannya Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim.
Saat ini, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tersebut telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, keberadaan mukim sebagai unit pemerintahan kembali mendapat pengakuan, pengaturan, dan pengukuhannya dalam satu bab tersendiri, yaitu Bab XV tentang mukim dan gampong.


Mukim sebagai Masyarakat Hukum Adat
Berdasarkan fakta sejarah di atas, sangatlah beralasan apabila kemudian Snouck Hugronje berpendapat bahwa pembagian kewilayahan dalam bentuk mukim telah mapan di Aceh dan dengan cara yang seragam, baik di kawasan Aceh Rayeuk maupun di kenegerian-kenegerian di luarnya.[13] Sehingga karenanya, H.M. Zainuddin menyatakan bahwa mukim merupakan Atjehche Organisasi atau sebuah organisasi khas Aceh.[14]
Sekalipun secara juridis lembaga pemerintahan mukim baru diakui kembali keberadaannya sejak tahun 2001 setelah diberlakukannya Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam, -- atau tepatnya pada tahun 2003 setelah diundangkannya Qanun NAD tentang Pemerintahan Mukim. Namun Secara de facto, keberadaan mukim masih cukup eksis dan diakui di seluruh Nanggroe Aceh, sekalipun antara warga masyarakat Aceh terdapat beragam suku dan kultur yang berbeda.[15]
Suatu masyarakat agar dapat dikatakan sebagai masyarakat hukum adat (rechtgemeinschaap), haruslah terpenuhi beberapa syarat sebagaimana sering dikemukakan oleh para ahli dan kemudian ditegaskan pula dalam peraturan perundang-undangan. Syarat dimaksud adalah :[16]
1. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap);
2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
3. ada wilayah hukum adat yang jelas;
4. ada pranata hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; dan
5. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Menurut hemat saya, semua persyaratan di atas dapat kita ketemukan dalam kehidupan sehari-hari di gampong-gampong di Aceh. Pertama, sebagian besar warga gampong masih memiliki ikatan geneologis dengan sesamanya. Sehingga kepedulian dan kebersamaan di gampong dan juga di dalam suatu kemukiman -- terutama yang bermukim bukan di perkotaan – saling keterikatan bukan hanya dikarenakan solidaritas territorial, tetapi memang merasa sekaum seketurunan (gemeenschap). Kita masih memiliki perasaan bersalah atau berdosa jika tidak melayat ke rumah warga gampong kita yang tertimpa musibah. Begitu pula jika ada tetanggan yang melakukan hajatan (meukereuja), kita sejak malam hari hingga selesainya khanduri tersebut terus membantu dengan segala upaya agar acara dimaksud sukses dengan tiada kekurangan sesuatu apapun. Bahkan, seringkali pula pihak yang melakukan hajatan melimpahkan sepenuh penyelenggaraan khanduri tersebut pada geusyiek, selaku kepala gampong. Hal seperti ini Insya Allah masih kita temukan hingga esok hari. Dan, ini menunjukkan kehidupan kita yang masih gemeenschap, bukan gesselschap.
Kedua, di dalam kehidupan kemukiman di Aceh, kita masih menemukan adanya lembaga-lembaga adat beserta perangkat penguasa adatnya. Hingga ini hari, kita masih menemukan eksisnya:
1. lembaga pemerintahan mukim yang diketuai oleh imeum mukim,
2. lembaga keagamaan yang dipimpin oleh imeum meseujid,
3. lembaga musyawarah mukim yang dipimpin oleh tuha lapan,
4. lembaga pemerintahan gampong dipimpin oleh geusyiek,
5. lembaga keagamaan di gampong dipimpin oleh imeum meunasah, dan
6. lembaga musyawarah gampong oleh tuha peut.
7. lembaga adat persawahan yang dipimpin oleh kejruen blang,
8. lembaga adat laoet yang dipimpin oleh panglima laoet,
9. lembaga adat perkebunan yang dipimpin oleh peutua sineboek,
10. lembaga adat hutan yang dipimpin oleh panglima uteun atau pawang glee,
11. lembaga adat lalulintas laut yang dipimpin oleh syahbanda, dan
12. lembaga adat perdagangan yang dipimpin oleh haria peukan.
Masing-masing lembaga adat tersebut menyelenggarakan tugas dan fungsinya masing-masing, yaitu :
1) Imeum Mukim bertindak sebagai Kepala Pemerintahan Mukim, yang membawahi beberapa gampong.
2) Imum Mesjid atau Imum Chik adalah figur yang mengepalai urusan syariat dan peribadatan pada tingkat wilayah kemukiman.
3) Tuha Lapan/Peut Mukim adalah figur yang terdiri dari tokoh-tokoh warga kemukiman anggota musyawarah kemukiman, yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Imum Mukim dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan mukim.
4) Keuchik adalah Kepala gampong, yang memimpin dan mengetuai segala urusan tata kelola pemerintahan gampong.
5) Imeum Meunasah/ Teungku Gampong adalah pemimpin dan pembina bidang agama (Islam), yang sekaligus bertindak selaku pemimpin upacara kematian di gampong.
6) Tuha Peut Gampong adalah para ureung tuha anggota musyawarah gampong yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Keuchik dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan gampong.
7) Keujrun Blang adalah ketua adat dalam urusan pengaturan irigasi, pengairan untuk persawahan, menentukan mulainya musim tanam, membina para petani, dan menyelesaikan sengketa persawahan.
8) Panglima Laot adalah ketua adat yang memimpin urusan bidang penangkapan ikan di laut, membina para nelayan, dan menyelesaikan sengketa laot.
9) Peutua Seuneubok adalah ketua adat yang mengatur tentang pembukaan hutan / perladangan/ perkebunan pada wilayah gunung/ lembah-lembah, dan menyelesaikan sengketa perebutan lahan.
10) Haria Peukan adalah pejabat adat yang mengatur ketertiban, kebersihan dan pengutip retribusi pasar.
11) Syahbandar adalah pejabat adat yang mengatur urusan tambatan kapal/ perahu, lalu lintas angkutan laut, sungai dan danau.
12) Panglima Uteun/Kejruen Glee adalah ketua adat yang memimpin urusan pengelolaan hutan adat, baik kayu maupun non kayu (madu, getah rambung, sarag burung, rotan, damar, dll), meurusa, memungut wasee glee, memberi nasehat/petunjuk pengelolaan hutan, dan menyelesaikan perselisihan dalam pelanggaran hukum adat glee.
Keberadaan lembaga adat di suatu kemukiman tergantung pada dimana letak geografi kemukiman tersebut. Sehingga, bisa jadi, pada suatu kemukiman ada lembaga adat yang tidak ada pada kemukiman lainnya. Misalnya, lembaga adat laoet hanya ada pada kemukiman yang wilayahnya di pesisir laut. Begitu pula lembaga adat hutan hanya ada pada kemukiman yang memiliki wilayah hutan. Namun ada pula kemukiman yang memiliki lembaga adat hutan dan juga lembaga adat laut, jika di kemukiman tersebut terdapat wilayah laut dan gunung.
Ketiga, ada wilayah hukum adat yang jelas. Suatu kemukiman adalah suatu juridiksi territorial yang jelas dan tegas dalam masyarakat Aceh. Artinya, jelas wilayahnya dan jelas pula batas-batasnya. Hanya saja, seringkali batas-batas tersebut tidak tersurat didalam suatu naskah tertulis, tetapi hanya berupa batas-batas alam yang mengacu pada penuturan para endatu terdahulu. Batas ini dapat berupa krueng, tereubeng, alue, juroeng, ateung, lueng, dan lain-lain.
Keempat, masih adanya peradilan adat. Pada masa Kerajaan Aceh hingga awal kemerdekaan, dan juga akhir-akhir – kecuali Era Orde Baru – di gampong-gampong dan juga di kemukiman memiliki system musyawarah penyelesaian sengketa. Pada masa Sultan Iskandar Muda, “perkara-perkara kecil biasanya diselesaikan oleh keuciek dengan tengku meunasah yang dibantu oleh tuha peut. Tanpa vonis, -- maksudnya, tanpa kalah menang -- persengketaan itu diselesaikan secara damai yang disebut dengan hukum peujroh (hukum kebaikan). Sehingga dari aspek historis, sejak dahulu kala gampong telah memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perkara-perkara kecil, pentjurian kecil, perkelahian, perkara-perkara sipil yang kecil-kecil yang nilai perkaranya tidak lebih dari 100 ringgit, dan lain-lain.[17]
Sekarang, dengan berlakunya Undang-Undang Pemerintahan Aceh telah mulai lagi dilakukan penyelesaian perkara secara adat di gampong-gampong dan bahkan sampai pada tingkat kemukiman.[18] Penulis, dalam kapasitas selaku tuha peut gampong Tanjong Deah Kecamatan Darussalam Kabupaten Aceh Besar, sudah pula pernah secara aktif beberapa kali melakukan persidangan adat guna menyelesaikan perkara (peukara) di dalam gampong. Kini malah sistem penyelesaian sengketa secara adat telah mendapat pengaturannya yang cukup tepat di dalam satu bab tersendiri pada Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Adat.
Syarat kelima sebagai masyarakat hukum adat yaitu, masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Hemat saya, syarat ini masih terpenuhi di dalam masyarakat kita. Masih banyak warga gampong yang menggantungkan hidupnya pada hutan dengan memungut hasil hutan sebagai mata pencahariannya. Meu glee, meu awe, meu rusa, meu uno, dan lain-lain adalah kegiatan pemungutan hasil hutan di Aceh yang dilaksanakan dengan segala kearifan tradisional. Bahkan pemungutan hasil hutan berupa kayu pun lazim dilakukan oleh warga gampong yang berdomisili di sekitar hutan. Hanya saja dengan dikeluarkan Instruksi Gubernur Nomor 5 Tahun 2007 tentang Moratorium Logging, kegiatan ini banyak menimbulkan masalah saat ini.
Dengan terpenuhinya kelima syarat sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang kemudian juga dinyataan dalam Qanun NAD Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim,[19] maka jelaslah sudah, dan tiada dakwa dakwi, bahwa pemerintahan mukim di Aceh merupakan masyarakat hukum adat Aceh.
Mukim sebagai pemerintahan resmi
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditegaskan bahwa hirarkhi peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, adalah :
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden, dan
5. Peraturan daerah (atau qanun, pen)
Perlu saya tegaskan bahwa, sekarang ini, keberadaan Pemerintahan Mukim telah diatur secara cukup jelas dan tegas dalam undang-undang dan dalam qanun. Yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,[20] pada Bab XV dengan judul Mukim dan Gampong. Dan sebagai penjabaran atau peraturan pelaksanaan (organic) dari undang-undang tersebut telah pula diundangkan Qanun Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim. Bahkan di dalam Pasal 3 qanun tersebut dnyatakan bahwa, Mukim mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syari’at Islam.
Dengan telah dinyatakannya mukim sebagai penyelenggara pemerintahan -- apalagi dengan cara cukup eksplisit – dalam peraturan perundang-undangan (UU dan Qanun), maka keberadaannya telah mendapat pengakuan dan pengukuhannya dalam hukum positif Indonesia. Dengan demikian, keberadaannya tidak saja hanya diakui dalam tataran social budaya masyarakat Aceh, tetapi juga telah diadopsi kedalam tataran juridis formal. Sehingga, keberlakuan dan penegakan hukumnya telah mendapat dukungan kuat dari institusi resmi negara dan pemerintahan. [21]
Namun masalahnya adalah bagaimanakah upaya yang akan dilakukan dalam rangka memberlakukan dan menegakkan Qanun tentang Pemerintahan Gampong tersebut,[22] sehingga eksistensi mukim bukan lagi hanya sebagai lembaga adat yang tak punya kuasa memerintah. Mukim bukan hanya merupakan simbol adat yang lazim dipentingkan pada upacara-upacara adat belaka, semisal; khanduri blang, khanduri laoet, dan khanduri-khanduri lainnya. Ternyata, menurut wawancara dengan Imeum Mukim Blang Mee Lhoong dan Imeum Mukim Tungkop Darussalam Kabupaten Aceh Besar, kenyataan bahwa keberadaan mukim masih seperti pada masa Era Orde baru, yaitu yang tidak memiliki kuasa pemerintahan masih dialaminya hingga ini hari.[23]
Hemat saya, sebagai upaya untuk mengembalikan fitrah mukim sebagai lembaga pemerintahan yang handal di Aceh, perlu dilakukan berapa upaya dan strategi, yaitu :
Pertama, sosialisasi yang massif dan mencerdaskan kepada semua pihak terkait (stakeholders) untuk memberitahukan dan menegaskan bahwa pemerintahan mukim bukan lagi hanya pemerintahan adat yang tak memiliki kuasa memerintah. Tetapi kini, ia telah menjadi lembaga pemerintahan resmi di dalam Pemerintahan Aceh dan Republik Indonesia.
Kedua, pihak pemerintahan atasan harus memberikan porsi kekuasaan dan kewenangannya yang jelas dan tegas tentang organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan yang dituangkan dalam qanun kabupaten sebagaimana diamanahkan oleh Pasal 114 ayat (4) Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Ketiga, pihak kecamatan dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebaiknya melalui pemerintahan mukim. Tidak langsung ke pemerintahan gampong. Sebaiknya lagi, Sekretaris mukim diangkat dari atau menjadi pegawai negeri sipil, sebagaimana halnya sekretaris gampong.[24]
Keempat, masyarakat kemukiman harus kembali mendukung eksisnya pemerintahan mukim sebagai kekayaan warisan leluhur (indatu), dengan cara membantu, mendukung, dan mematuhi kebijakan yang ditempuh oleh pimpinan kemukiman (imeum mukim, imeum mesjid dan tuha lapan).
IV
Mukim sebagai Pengembang Lembaga Adat dan Hukum Adat
Dalam Pasal 8 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, tegas disebutkan bahwa mukim melaksanakan tugas :
a. melakukan pembinaan masyarakat;
b. melaksanakan kegiatan adat istiadat;
c. menyelesaikan sengketa;
d. membantu peningkatan pelaksanaan syariat Islam;
e. membantu penyelenggaraan pemerintahan; dan
f. membantu pelaksanaan pembangunan.
Pada bagian lalu sudah dijelaskan bahwa dalam wilayah kemukiman terdapat lembaga-lembaga adat yang sesuai dengan geografi, situasi dan kondisi masyarakatnya. Lembaga-lembaga adat tersebut, sekalipun ia bersifat otonomi dan independent,[25] tetapi dalam pelaksanaannya perlu selalu menjalin koordinasi dengan pimpinan pemerintahan mukim. Misalnya, harus ada koordinasi antara imeum-imeum meunasah di gampong dengan imeum mesjid dan imeum mukim dalam menjadwalkan khanduri muoloed agar tidak terjadi bersamaan waktu hari khanduri antar gampong di dalam satu mukim. Hal ini penting dipertimbangkan karena pada acara tersebut, lazimnya diundang juga sekitar 12-17 orang para warga gampong dalam kemukiman tersebut.
Begitupula halnya, perlu ada koordinasi antara kejreun blang dengan imeum mukim dalam menentukan masa bercocok tanam padi di sawah. Hal ini perlu dilakukan berkaitan dengan persoalan distribusi air, dan kebersamaan dalam mengelola sawah mulai membajak (mu uew), menanam (seumula), merawat (meraweut), hingga panen (kemeukoh). Kapan masa turun ke sawah dalam masyarakat Aceh, lazimnya dihitung dengan watee keneunong.
Formulasi keneunong dihitung dengan cara menjadikan angka 25 sebagai angka pembilang untuk selanjutnya dikurangi dengan angka bulan masehi dikali dua. Misal, sekarang bulan Februari, maka keneunong-nya adalah 21, yaitu 25 – (2 x 2) = 25 – 4 = 21. Rumusan perhitungan seperti ini sudah dikenal sejak “tempoe doeloe”, yang tidak diketahui percisnya sejak kapan. Pada pendudukan Belanda dulu pun, system perhitungan keneunong sudah dikenal. Dalam kaitannya dengan keneunong yang berkenaan dengan pola pengusahaan bercocok tanam padi, ada narit maja yang bunyinya sebagai berikut, yaitu :[26]
• Keunong 11, tabu beu jareung; (bulan Juli)
• Keunong 9, tabu beurata;(bulan agustus)
• Keunong 7, padee lam umong; (bulan September)
• Keunong 5, padee ka dara; (bulan Oktober)
• Keunong 3, padee ka roh; (bulan November)
• Keunong 1, padee ka tuha (bulan Desember)
Selain kearifan di atas, masih banyak lagi kebijakan local yang perlu didokumentasi dan dikembangkan untuk ditemukan nilai-nilai luhurnya. Misalnya :
• “bek teumebang watee padee mirah”, maknanya, dilarang menebang pokok kayu manakala padi akan dipanen karena hal ini akan mendatangkan hama “geusong” (wereng). Bagi yang melanggar akan dikenakan denda oleh Kejrun Blang.
• Juga dikenal adanya pantang darut, yaitu dilarang ceumecah (menebang semak belukar bukan pohon kayu besar) pada saat hujan atau sedang roh padee (padi mau berisi). Karena kalau pantangan ini dilanggar, maka mendatangkan petaka hama belalang, yaitu jutaan belalang akan memakan batang padi yang masih muda sehingga tidak bisa di panen.
• Dan saat roh padee pun dilarang membawa daun nipah secara terbuka. Kalau pantangan ini dilanggar akan tertimpa penyakit puteh padee, sehingga padi tersebut tidak berisi manakala dipanen.
Dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa pada tingkat kemukiman, imeum mukim bersama dengan imeum mesjid dan tuha lapan menerima peukara-peukara yang dilimpahkan oleh gampong, baik yang menyangkut kasus persengketaan antara para warga yang berbeda gampong dalam satu kemukiman, ataupun menyangkut dengan peukara dalam gampong yang tak dapat diselesaikan oleh pimpinan gampong. Dalam hal demikian, maka tentu saja harus ada koordinasi antara pemerintahan mukim dengan pemerintahan gampong.
Dalam penyelesaian peukara secara adat musyawarah, para pimpinan gampong atau pimpinan kemukiman berprinsip pada “but rayeuk, beu ubit; But ubit, beu ek tapeu gadoh” . Maknanya, perselisihan besar, diusahakan diperkecil; Sedangkan perselisihan kecil, diupayakan menjadi hilang. Dan kalaupun dibebani sanksinya, maka penerapan sanksinya berprinsip pada “uleu beu matee ranteeng beek patah Ta tarek panyang, ta lingka paneuk” (ular harus mati, tapi rantingnya jangan patah. Ditarik memanjang, melingkar jadi pendek) .
Begitu pula halnya mesti pula ada koordinasi antara petua seneuboek dan panglima uteun atau pawang glee dengan imeum mukim dalam kaitannya dengan usaha membuka hutan untuk kebun atau dalam hal memungut hasil hutan (kayu, dan lain-lain).
Sineboek adalah suatu wilayah baru di luar gampong, yang pada mulanya berupa hutan yang dikemudian dijadikan kebun (ladang). Pembukaan sineboek harus selalu memperhatikan aspek lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi anggota sineboek dan lingkungan hidup itu sendiri. Sehingga, dalam pembukaan sineboek untuk selanjutnya dijadikan kebun, terdapat aturan-aturan yang yang telah dipahami dan dipraktekkan oleh masyarakat, seperti larangan penebangan pohon dalam radius atau jarak sampai dengan :
• Kira-kira 500 meter dari tepi danau adat waduk,
• Kira-kira 200 meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai pada daerah rawa,
• Kira-kira 100 meter dari kiri kanan tepi sungai,
• Kira-kira 50 meter dari kiri kanan tep anak sungai (alue)
• Kira-kira dua kali kedalaman jurang dari tepi sungai.
Selanjutnya, dalam memilih lahan lokasi pembukaan kebun, menurut adat sineobeok perlu pula mempertimbangkan posisi letak kemiringan utara-selatan sesuai dengan siklus edar cahaya matahari. Dalam hal ini dikenal hadih maja :
• Tanoh siheet u timu pusaka jeurat, (miring ke timur pusaka kubur)
• Siheet u barat pusaka papa, (miring ke barat pusaka papa)
• Siheet u tunong geulantan, (miring ke utara tanah yang menang)
• Siheet u seulatan pusaka kaya ( miring ke selatan pusaka kaya)
Selain tata cara memilih lokasi kebun, menurut adat sineboek dikenal pula beberapa pantangan, yang meliputi :
• Pantangan Jambo (tempat jambo/pondok tidak boleh di tempat lintasan binatang buas dan makhluk halus penghuni rimba, dan bahan pondok tidak boleh menggunakan kayu bekas lilitan uroet karena dipercayai akan mengundang ular masuk ke pondok tersebut.
• Pantangan Darut (hama belalang). Anggota sineboek pantang menggantung kain pada pohon, meneutak parang pada tunggul pohon, dan menebas semak (ceumecah) dalam hujan karena dipercaya dapat mendatangkan hama darut.
• Pantangan lainnya adalah dilarang berteriak-teriak (meu uk-uk) sambil memanggil-manggil di ladang karena dipercaya dapat mendatangkan hama tikus, rusa, kijang, monyet, tikus dan landak.
Ladang kebun (lampoeh) orang Aceh tak ubahnya seperti hutan, karena dalam kebun tersebut ditanami berbagai jenis tanaman secara campuran. Bahkan beberapa jenis kayu hutan, seperti bak manee dan lain-lain, tetap dibiarkan hidup. Kebiasaan ini tentu saja dapat dipahami sebagai perwujudan dari nilai keanekaragaman dalam pengelolaan kebun oleh masyarakat Aceh.
Adat sineboek memiliki kearifan tersendiri untuk menciptakan pemulihan kesuburan tanah yaitu dengan cara Pula bak reudeup. Para aneuk sineboek menanam bak reudeup sebagai tanaman pelindung, sekaligus penyubur tanah. Tanaman bak reudeup relatif cepat tumbuhnya. Fungsi utama tanaman ini adalah untuk pelindung tanaman utama (kopi, pala, dll), mengembalikan kesuburan tanah dan meningkatkan persediaan air. Bak reudeup mulai ditanam ketika tanaman padi sedang bunting. Lalu, setelah panen padi dilanjutkan dengan menanam kopi. Bila bak reudeup sudah cukup besar baru ditanam pohon pala. Apabila bak reudeup sudah cukup besar, biasanya bak reudep ditebang kembali karena kehadirannya justru menghalangi masuknya cahaya matahari untuk tanaman pala.
Dalam lingkungan sineboek juga berlaku sejumlah larangan adat yang tak boleh dilanggar. Larangan adat tersebut antara lain :
• Memanjat atau melempar durian muda, dikenakan denda seekor kambing,
• Meracun ikan di sungai atau alur,
• Berkelahi sesama orang dewasa dalam kawasan sineboek,
• Mengambil hasil kebun orang lain, kecuali buah durian yang jatuh walaupun bukan di kebun miliknya.
Dalam menyelenggarakan adat glee, mesti ada pula koordinasi antara pawang glee atau panglima uteun dengan imeum mukim.[27] Dalam literatur lama, diterangkan beberapa fungsi utama yang harus dilakukan oleh Panglima Uteun,[28] yaitu : Pertama, menyelenggarakan adat glee. Panglima uteun merupakan pihak yang memiliki otorita menegakkan norma-norma adat yang berkaitan dengan memasuki dan pengelolaan hutan adat (meuglee). Pangima Uteun atau Pawang glee (bawahan Panglima Uteun atau Kejruen Glee) memberi nasihat dalam mengelola (mamanfaatkan) hutan. Nasehat tersebut bersisikan tatanan normatif apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam kaitannya dengan pengurusan hutan adat. Selain itu, disampaikan pula petunjuk perjalanan dalam hutan sehingga jangan sampai orang tersesat, mendapat bahaya gangguan dari jin dan binatang-binatang buas.
Kedua, mengawasi dan menerapkan larangan adat glee. Dalam pengurusan hutan dilarang memotong pohon tualang, kemuning, keutapang, glumpang, beringin dan lain-lain kayu besar dalam rimba yang dirasa menjadi tempat bersarang lebah. Ini merupakan pantangan umum, yang apabila dilanggar dapat merugikan orang banyak, karena siapa saja boleh mengambil hasil-hasil madu yang bersarang dipohon-pohon besar itu. Dilarang memotong kayu-kayu meudang ara, bunga merbau, dan lain-lain kayu yang besar-besar yang dapat dibuat perahu atau tongkang, kecuali atas seizin dari Kedjroen atau Raja.
Tanda larangan orang banyak, yaitu dilarang memotong sebatang kayu dalam rimba/hutan yang sudah ditetak sedikit kulitnya dan di atasnya dililit akar kayu yang disangkut dengan daun-daun. Demikian juga, dilarang orang mengambil kayu yang sudah ditumpuk-tumpuk oleh seseorang yang di atasnya diletakkan sebuah batu. Batu itu berarti sebagai suatu tanda (kode) bahwa kayu yang bertumpuk itu telah ada yang punya. Panglima Uteun memiliki kompetensi melakukan pengawasan penerapan larangan adat glee, agar semua larangan tersebut dilaksanakan oleh setiap orang.
Ketiga, Panglima Uteun berfungsi sebagai pemungut wasee glee. Dimasudkan dengan wasee glee adalah segala hasil hutan seperti cula badak, air madu, lebah, gading gadjah, getah rambung (perca), sarang burung, rotan, kayu-kayuan bukan untuk rumah sendiri (dijual), damar, dan sebagainya. Besarnya wasee (cukai) adalah 10 % untuk radja (kerajaan).
Keempat, Panglima berfungsi menjadi hakim dalam menyelesaikan sesuatu perselisihan dalam pelanggaran hukum adat glee. Dalam suatu perundingan (musapat), Panglima Uteun atau kejruen glee terlebih dahulu meminta dan mendengar keterangan dari pawang-pawang glee, kemudian setelah itu barulah kejruen glee memberi hukum atau keputusan.
Berdasarkan fungsi diatas dapatlah dipahami bahwa Panglima Uteun dalam masyarakat Aceh mempunyai peran strategis dalam upaya pengelolaan lingkungan, khususnya dalam hal pemanfaatan hutan dan hasilnya.

Berdasarkan ulasan tegaslah bahwa ; (1) dari aspek historis pemerintahan mukim telah demikian mengakar dalam masyarakat Aceh sejak zaman dahulu kala. (2) Mukim memenuhi syarat juridis untuk dapat dikatakan sebagai masyarakat hukum adat, (3) Pemerintahan Mukim bukan lagi hanya sebagai pemerintahan adat ansich, tetapi telah menjadi lembaga yang menyelenggarakan pemerintahan resmi dalam system pemerintahan Aceh (UUPA dan Qanun 4/2003). Maka oleh karenanya (4) sangat diharapkan eksistensi peran dan fungsi mukim yang lebih optimal lagi dalam mengembangkan nilai-nilai dan norma-norma adat Aceh.
________________________________________
[1]Disampaikan Pada Acara Workshop Penguatan Institusi Lembaga Adat Melalui Pendokumentasian Hukum Adat, diselenggarakan oleh Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh dan GenAsist di Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, Rabu, 11 Februari 2009.
[2] Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, yang juga sebagai tenaga ahli di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
[3] Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad, waspada, Medan, 1981, hal. 403.
[4] Selain pendapat bahwa tiap satu Mukim terdiri dari 40 orang laki-laki dewasa yang sudah wajib mendirikan shalat Jum’at, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa satu Mukim itu terdiri dari 1.000 orang laki-laki dewasa, sebagaimana pendapat HM Zainuddin, Tarich Atheh dan Nusantara, Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1961, hal. 315.
[5] Singarimbun, (et.al), Aceh Dimata Kolonialis,terjemahan dari The Achehnese, Snouck Hugronje, Yayasan Soko Guru, Jakarta, 1985, hal. 91-93.
[6] Ali Hasjmi, 59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, hal. 134.
[7]Ibid., Hal. 92.
[8] Sanusi M. Syarif., Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekonstruksi Pasca tsunami, Pustaka Latin, Bogor, 2005. hal. 63.
[9] Berdasarkan fakta sejarah, Selain di Aceh Besar (Aceh Rayeuk) , bentuk federasi Mukim dengan menyebut langsung jumlah Mukim yang bergabung, juga dapat ditemukan di wilayah Pidie, misalnya XII Mukim Pidie, II Mukim Aree, III Mukim Aroen, VI Mukim Ie Leubeu dan lain-lain. Lihat juga Ismail Suny, Bunga Rampai Tentang Aceh, Bharata Karya Aksara, Jakarta, 1980, Hlm. 192.
[10] Mahdi Syahbandir, Eksistensi dan Peranan Imuem Mukim dalam Pelaksanaan Pemerintahan Desa di Kabupaten Tingkat II Aceh Besar, Tesis Program Pascasarjana UNPAD, Bandung, 1995, hal.3.
[11] Pada masa ini Aceh merupakan suatu keresidenan dalam Provinsi Sumatera dengan Gubernur Mr. Teuku Muhammad Hasan, yang berkedudukan: di Medan untuk wilayah Sumatera bagian Utara, di Bukit Tinggi untuk wilayah Sumatera bagian Tengah, dan di Palembang untuk Sumatera bagian Selatan. Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia dibagi dalam 8 (delapan) provinsi, yaitu : Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Lihat, S.M. Amin, Kenang-Kenangan dari Masa Lampau, Pradya Paramita, Jakarta, 1978, hal. 40.
[12] Teuku Djuned, dkk, Pemerintahan Mukim Masa Kini, Laporan Penelitian, Pusat Studi Hukum Adat Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, 2003, hal. 38.
[13] Singarimbun, Op.cit., Hlm. 90-91.
[14] HM Zainuddin, Tarich Atheh dan Nusantara, Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1961, Hlm. 317.
[15] Teuku Djuned, dkk, Pemerintahan Mukim Masa Kini, Laporan Penelitian, Pusat Studi Hukum Adat Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, 2003, hal. 38.
[16] Lihat Penjelasan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
[17] Taqwaddin, Gampong sebagai Basis Perdamaian, makalah disampaikan pada Acara Lokakarya Perumusan Metoda Penerapan Nilai-nilai Kearifan Lokal untuk Mewujudkan Perdamaian Berkelanjutan di Aceh, diselenggarakan oleh JAPPP dan Badan Reintegrasi Aceh (BRA), Banda Aceh, 31 Januari 2009.
[18] Taqwaddin, Penyelesaian Perkara secara Adat Aceh, paper Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Darussalam, Banda Aceh, 3 Februari 2008.
[19] Lihat Penjelasan Umum Qanun NAD tentang Pemerintahan Mukim.
[20] Undang-undang ini menggantikan dan mencabut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sekalipun kelahiran UU Nomor 18 Tahun 2001 dalam kerangka semangat penyelesaian persoalan Aceh, namun dalam pelaksanaannya undang-undang tersebut juga belum cukup memadai dalam menampung aspirasi dan kepentingan pembangunan ekonomi dan keadilan politik. Sehingga hal demikian mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang mencabut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2001. Lihat ; Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.
[21] Taqwaddin, Keterpaduan Hukum Islam dan Hukum Adat dalam Pelaksanaannya pada Masyarakat Aceh, makalah Disampaikan sebagai bahan diskusi pada Training of Trainers Penguatan Kapasitas Tokoh Adat (Adat Capacity Enhancement), diselenggarakan oleh ACE-MAA, Banda Aceh, 24 Januari 2009.
[22] Secara teoritik, terdapat beberapa factor atau variable yang mempengaruhi teraktualisasinya suatu system hukum dalam dunia empiric, yaitu substance, structure, and culture. Lihat, Friedman, L.M., The Legal System; A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, 1975. Secara khusus untuk mengkaji hal ini, sebagai kerangka teoritiknya dapat juga dibaca dalam, Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1996.
[23] Wawancara dengan Imeum Mukim Abbas Ali (Blang Mee, Lhoong) dan Imeum Mukim Nur Hasballah (Tungkop, Darussalam, Sabtu, 7 Februari 2009.
[24] Menurut Pasal 116 ayat (2) Undang-Undang Pemerintahan Aceh, Sekretaris Gampong diangkat dari pegawai negeri sipil (PNS) yang memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
[25] Lihat Pasal 3 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
[26] Taqwaddin, Aspek Hukum dan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan DAS Krueng Sabee, makalah, WWF Indonesia, Program Aceh, 2008.
[27] Taqwaddin, Adat dalam Pelestarian Hutan Aceh, makalah disampaikan pada acara Seminar Sehari degan tema ”Moratorium Logging untuk Mewujudkan Hutan Aceh Lestari”, diselenggarakan oleh AJRC-UNDP, Banda Aceh 17 Nopember 2008.
[28] Taqwaddin, Adat Hutan Aceh, opini, Harian Serambi Indonesia, 3 Juni 2008. Lihat juga, Taqwaddin, Adat Aceh tentang Hutan, Majalah Jeumala, Majelis Adat Aceh Prov. NAD, No. 26 April

Pemanasan Global, Perubahan Iklim dan Kerusakan Lingkungan

Oleh Prof Dr Muhjidin Mawardi

KRISIS lingkungan yang terjadi saat ini baik dalam skala nasional maupun global, sudah sampai pada tahap yang serius dan mengancam eksitensi planet bumi di mana manusia, hewan dan tumbuhan bertempat tinggal dan melanjutkan kehidupannya. Manusia modern dewasa ini sedang melakukan perusakan secara perlahan, akan tetapi nyata terhadap sistem lingkungan yang menopang kehidupannya.


Oleh Prof Dr Muhjidin Mawardi
KRISIS lingkungan yang terjadi saat ini baik dalam skala nasional maupun global, sudah sampai pada tahap yang serius dan mengancam eksitensi planet bumi di mana manusia, hewan dan tumbuhan bertempat tinggal dan melanjutkan kehidupannya. Manusia modern dewasa ini sedang melakukan perusakan secara perlahan, akan tetapi nyata terhadap sistem lingkungan yang menopang kehidupannya.

Salah satu indikator kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh degradasi lahan cukup nyata di depan mata dan sudah sangat sering kita alami, seperti banjir tahunan yang semakin besar dan meluas, erosi dan sedimentasi sungai dan danau, tanah longsor, kelangkaan air (kuantitas dan kualitas) yang berakibat terjadinya kasus kelaparan di beberapa wilayah negara. Polusi air dan udara, pemanasan global, perubahan iklim, kerusakan biodiversitas, kepunahan spesies tumbuhan dan hewan serta ledakan hama dan penyakit merupakan gejala lain yang tak kalah seriusnya yang sedang mengancam kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan di planet bumi ini.
Mewabahnya penyakit hewan dan manusia yang mematikan akhir akhir ini, seperti demam berdarah, flu burung dan HIV, jika dicermati sebenarnya juga merupakan akibat telah terjadinya gangguan keseimbangan dan kerusakan lingkungan fisik maupun non fisik di permukaan bumi kita.
Berbagai kasus kerusakan lingkungan yang terjadi baik dalam lingkup global maupun nasional tersebut sebenarnya berakar dari perilaku manusia yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungannya. Sebagai contoh dalam lingkup lokal, penebangan liar dan perusakan ekosistem hutan yang terjadi hampir seluruh pulau di negara kita, pencemaran lingkungan yang telah akut di Sumatera Utara, serta kerusakan lingkungan dan pencemaran di Irian Jaya yang sebenarnya merupakan perbuatan manusia yang tidak bertanggungjawab.
Manusia merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan di permukaan bumi ini. Peningkatan jumlah penduduk dunia yang sangat pesat, telah mengakibatkan terjadinya eksplorasi intensif (berlebihan) terhadap sumber daya alam, terutama hutan dan bahan tambang yang akibatnya ikut memacu terjadinya kerusakan lingkungan terutama yang berupa degradasi lahan. Padahal lahan dengan sumberdayanya berfungsi sebagai penyangga kehidupan hewan dan tumbuhan termasuk manusia.
Orientasi hidup manusia modern yang cenderung materialistik dan hedonistik juga sangat berpengaruh. Kesalahan cara pandang atau pemahaman manusia tentang sistem lingkungannya, mempunyai andil yang sangat besar terhadap terjadinya kerusakan lingkungan yang terjadi dunia saat ini. Cara pandang dikhotomis yang memandang alam sebagai bagian terpisah dari manusia dan paham antroposentris yang menganggap bahwa manusia adalah pusat dari sistem alam mempunyai peran besar terjadinya kerusakan lingkungan (White,1967, Ravetz,1971, Sardar, 1984, Mansoor, 1993 dan Naess, 1993).
Cara pandang demikian telah melahirkan perilaku yang eksploitatif dan tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya. Di samping itu paham materialisme, kapitalisme dan pragmatisme dengan kendaraan sain dan teknologi telah ikut pula mempercepat dan memperburuk kerusakan lingkungan baik dalam lingkup global maupun lokal, termasuk di negara kita.
Upaya untuk penyelamatan lingkungan sebenarnya telah banyak dilakukan baik melalui penyadaran kepada masyarakat dan pemangku kepentingan (stakeholders), melalui pendidikan dan pelatihan, pembuatan peraturan pemerintah, Undang Undang, maupun melalui penegakan hukum. Penyelamatan melalui pemanfaatan sain dan teknologi serta program program lain juga telah banyak dilakukan.
Akan tetapi hasilnya masih belum nyata sebagaimana yang diharapkan, serta belum bisa mengimbangi laju kerusakan lingkungan yang terjadi. Perusakan lingkungan di beberapa tempat di muka bumi ini, termasuk di negara kita, masih tetap saja berlangsung, bahkan lebih cepat lajunya serta lebih intensif seolah upaya upaya pengendalian dan perbaikan yang telah dilakukan tak ada pengaruhnya sama sekali.
Akibat pemanasan global
Pemanasan global yang merupakan kejadian meningkatnya suhu permukaan bumi, lautan dan atmosfer sebenarnya merupakan peristiwa alam yang sudah sering terjadi semenjak awal kejadian bumi kurang lebih 4 miliar tahun yang lalu. Pemanasan global akan menjadi masalah apabila laju peningkatan suhu bumi melebihi batas ambang perubahan normal.
Akhir akhir ini, bumi mengalami pemanasan yang sangat cepat yang oleh para ilmuan dikatakan sebagai akibat aktifitas manusia. Penyebab utama pemanasan bumi ini, adalah pembakaran bahan baker fosil terutama batubara, minyak bumi dan gas alam yang melepas karbondioksida (C02), dan gas gas lainnya yang disebut sebagai gas rumah kaca ke atmosfer bumi. Gas rumah kaca ini berperan sebagai selimut (insulator) yang menahan panas yang berasal dari radiasi matahari.
Selama seratus tahun terakhir, rata rata suhu bumi telah meningkat sebesar 0,6 oC, dan diperkirakan akan meningkat sebesar 1,4 5,8 oC pada tahun 2050. Kenaikan suhu bumi ini akan mengakibatkan mencairnya es di kutub, menaikan suhu lautan sehingga volume dan muka air laut meningkat. Kenaikan volume dan permukaan air laut ini akan mengakibatkan banjir di wilayah wilayah pantai dan bisa menenggelamkan beberapa pulau.
Di beberapa wilayah yang mengalami kenaikan suhu ini akan mengalami perubahan iklim yang ditandai dengan curah hujan yang lebih tinggi, suhu udara meningkat dan pergeseran atau perubahan musim. Evaporasi akan semakin tinggi sehingga kelembaban tanah semakin cepat hilang dan tanah cepat mengering. Kekeringan ini akan mengakibatkan terjadinya gangguan produksi bahan makanan sehingga terjadi kekurangan bahan makanan dan kelaparan.
Hewan hewan akan bermigrasi ke daerah daerah yang suhunya lebih sesuai. Sedangkan spesies hewan dan tanaman yang tidak mampu berpindah dan menyesuaikan diri akan musnah. Potensi akibat yang ditimbulkan oleh pemanasan permukaan bumi dan atmosfer ini sangat besar dan dalam skala luas (global), sehingga penanganannya tidak bisa dilakukan oleh negara per negara, akan tetapi harus melalui kerjasama antar negara dan kerjasama internasional.
Beberapa akibat langsung
Pertama, pencairan es di kutub. Kedua, peningkatan volume dan muka air laut. Ketiga, perubahan cuaca dan iklim global. Keempat, sistem pertanian dan persediaan bahan makanan. Kelima, migrasi hewan dan penurunan jumlah spesies hewan dan tumbuhan. Keenam, krisis sumberdaya air yang mempunyai potensi untuk terjadinya konflik antar sektor dan antar pengguna. Ketujuh, gangguan keamanan. Dan kedelapan, kesehatan manusia, dengan munculnya berbagai penyakit hewan dan manusia (demam berdarah, flu burung, dsb)
Pengendalian
1.Mengurangi produksi gas karbon dioksida dengan mengurangai pemanfaatan bahan bakar fosil dan produksi gas gas rumah kaca yang lain. Hal ini sulit dilakukan karena negera negara industri (terutama AS) tidak bersedia mengurangi produksinya
2.Menekan atau menghentikan penggundulan hutan
3.Penghutanan kembali secara besar besaran untuk menciptakan wilayah serapan (sink) gas karbondioksida
4.Melokalisir gas karbondioksida atau dengan menangkap dan menyuntikkannnya ke dalam sumur sumur minyak bumi untuk mendorong minyak bumi ke permukaan. Teknologi sudah bisa dilakukan mengganti bahan baker fosil dengan bahan bakar alternative yang renewable dan ramah lingkungan.
Kerjasama internasional
1.Mendorong disepakati dan dilaksanakannya kesepakatan dan persetujuan internasional tentang pengurangan pemanasan global Earth summit Rio de Janairo, Protokol Kyoto, atau perlu dibentuk instrument perjanjian baru yang disepakati dan dipatuhi oleh semua negara ?).
2.Menekan negara negara penghasil gas rumah kaca terbesar (AS, Eropa dan sebagainya) untuk meratifikasi Protokol Kyoto.
3.Mendorong PBB untuk aktif melakukan tindakan pencegahan melalui perjanjian dan bagi negara yang tak mematuhi konvensi dan kesepakatan dunia (seperti sangsi PBB tentang pemanfaatan energi nuklir?)
Pendekatan agama
Naess (1993) salah seorang penganjur ekosentrisme dan deep ecology pernah menyatakan bahwa krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini hanya bisa diatasi dengan merubah secara fundamental dan radikal cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam lingkungannya. Tindakan praktis dan teknis penyelamatan lingkungan dengan bantuan sain dan teknologi ternyata bukan merupakan solusi yang tepat. Yang dibutuhkan adalah perubahan perilaku dan gaya hidup yang bukan hanya orang perorang, akan tetapi harus menjadi semacam budaya masyarakat secara luas. Dengan kata lain dibutuhkan perubahan pemahaman baru tentang alam semesta yang bisa melandasi perilaku manusia.
Agama, terutama Islam, sebenarnya mempunyai pandangan (konsep) yang sangat jelas tentang konservasi dan penyelamatan lingkungan. Islam merupakan agama yang memandang lingkungan sebagai bagian tak terpisahkan dari keimanan seseorang terhadap Tuhan. Dengan kata lain, perilaku manusia terhadap alam lingkungannya merupakan manifestasi dari keimanan seseorang.
Dalam Islam, memelihara lingkungan sama wajibnya dengan mendirikan sholat, membayar zakat, berpuasa di bulan Romadhan dan berhaji. Konsep Islam tentang lingkungan ini ternyata sebagian telah diadopsi dan menjadi prinsip etika lingkungan yang dikembangkan oleh para ilmuwan lingkungan. Prinsip prinsip pengelolaan dan etika lingkungan yang terdapat dalam ajaran Islam ternyata telah banyak pula yang dituangkan dalam beberapa pasal dalam Kesepakatan dan Konvensi dunia yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan.
Akan tetapi konsep (ajaran) Islam yang sangat jelas ini tampaknya masih belum banyak dipahami apalagi dijadikan pedoman dalam bersikap dan berperilaku terhadap lingkungannya oleh sebagian besar umat Islam yang jumlahnya tak kurang dari sepertiga penduduk dunia. Hal ini ditandai dari kerusakan lingkungan yang terjadi baik dalam lingkup nasional maupun global, ternyata sebagian besar terjadi di lingkungan yang mayoritas penduduknya muslim. Atau barangkali dalam hal ini disebabkan oleh terjadinya kesalahan dalam pemahaman ajaran agama, serta cara pendekatan yang dipilih oleh para pemeluk Islam di negara kita khususnya dan juga umat Islam pada umumnya.
Upaya upaya praktis penyelamatan lingkungan dengan memanfaatkan kemajuan sain dan teknologi rupanya tidak cukup untuk mengendalikan perusakan lingkungan yang dilakukan oleh manusia. Permasalahan lingkungan ternyata bukan hanya masalah teknis ekologi semata, akan tetapi juga menyangkut teologi. Permasalahan yang menyangkut lingkungan sangat komplek serta multidimensi. Oleh karena itu nilai nilai agama (ad diin) yang juga bersifat multidimensi bisa digunakan sebagai landasan berpijak dalam upaya penyelamatan lingkungan.***
Yogyakarta, Rabiul awwal, 1828 H
(Penulis adalah Ketua LLH, PP Muhammadiyah)


Jadwal Shalat