Rabu, 11 November 2009
Penulis : Taqwaddin, SH, SE, MS
DEWASA ini lembaga adat “Haria Peukan” nyaris tak terdengar lagi eksistensinya baik di dalam perbincangan sehari-hari maupun di arena Hukum Adat Aceh. Lembaga adat ini sedang mati suri seiring dengan dieliminirnya peran dan fungsi pemerintahan mukim oleh rezim Orde Baru. Telah terbukti bahwa kerasnya penetrasi system hukum dengan paradigma politik sentralitistik, mengakibatkan beragam budaya local dengan segala kearifan tradisonalnya menjadi terpinggirkan, lalu sirna ditelan masa.
Penulis : Taqwaddin, SH, SE, MS
DEWASA ini lembaga adat “Haria Peukan” nyaris tak terdengar lagi eksistensinya baik di dalam perbincangan sehari-hari maupun di arena Hukum Adat Aceh. Lembaga adat ini sedang mati suri seiring dengan dieliminirnya peran dan fungsi pemerintahan mukim oleh rezim Orde Baru. Telah terbukti bahwa kerasnya penetrasi system hukum dengan paradigma politik sentralitistik, mengakibatkan beragam budaya local dengan segala kearifan tradisonalnya menjadi terpinggirkan, lalu sirna ditelan masa.
Dihapuskannya lembaga mukim sebagai penyelenggaraan fungsi pemerintahan selama era kekuasaan Orde Baru, bahkan hingga saat ini, telah menimbulkan konsekuensi terpinggirkannya beberapa lembaga adat, yang pada masa sebelum Orde Baru cukup eksis menjalankan perannya dalam berbagai bidang urusan untuk membantu kuatnya pemerintahan mukim.
Kini, paska Reformasi, dengan paradigma system hukum, politik dan pemerintahan yang berbasis decentralisasi otonomi, maka jenjang pemerintahan tidak lagi dibagi atas hirarkhi daerah tingkat I, daerah tingkat II, dan desa sebagai unit pemerintahan terendah. Tetapi, decentralisasi kekuasaan dipilah menurut jenisnya, yaitu: daerah otonom provinsi, daerah otonom kabupaten, daerah otonom kota, dan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai daerah otonom yang asli. Mukim dan Gampong, menurut saya, merupakan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai daerah otonom yang asli.
Jenis, jumlah tugas dan kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom (otonomi daerah) tidak lagi bersifat seragam seluruhnya, tetapi hanya yang bersifat wajib saja yang sama, sedangkan kewenangan pilihan diserahkan sepenuhnya kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota untuk memilih jenis dan waktu pelaksanaannya. Ternyata hal ini senada dengan system pemerintahan mukim di Aceh masa sebelum adanya Indonesia.
Pendapat di atas, secara tegas mengakui keberadaan masyarakat hukum adat sebagai daerah otonom yang asli. Tentu saja sebagai suatu daerah otonom, mukim sebagai masyarakat hukum adat Aceh mempunyai pemerintahan tersendiri dengan segala tugas, fungsi dan kewenangannya sebagai otonomi daerah. Teori ini seharusnya senada dengan substansi aturan yang tertera dalam UUPA.
Lembaga-lembaga Adat dalam UUPA
Dalam Pasal 2 UUPA ditegaskan bahwa Daerah Aceh dibagi atas kabupaten/kota. Kabupaten/kota dibagi atas kecamatan. Kecamatan dibagi atas mukim. Dan, mukim dibagi atas kelurahan dan gampong. Pasal ini menegaskan diakuinya lagi eksistensi mukim sebagai daerah teritori. Selanjutnya, di dalam Pasal 98 UUPA ditegaskan lagi pengakuan terhadap lembag-lembaga adat Aceh, yaitu : Majelis Adat Aceh, Imeum Mukim, Imeum Chik, Keuchik, Tuha Peut, Tuha Lapan, Imeum Meunasah, Kejruen Blang, Panglima Laot, Pawang Glee, Peutua Seunebok, Haria Peukan, dan Syahbanda.
Semua lembaga adat yang disebutkan dalam Pasal 98 UUPA di atas, kecuali Majelis Adat Aceh (MAA), menurut sejarahnya pada masa lalu berada di bawah koordinasi imeum mukim sebagai kepala pemerintahan mukim. Kini, dalam UUPA dinyatakan bahwa lembaga-lembaga adat tersebut berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat serta untuk penyelesaian masalah social kemasyarakatan secara adapt.
Hemat saya, ketentuan dalam UUPA yang hanya menyatakan bahwa lembaga-lembaga adat hanya berfungsi sebagai wahana partisipasi, tidak seiring dengan trend paradigma otonomisasi. Hal ini karena, semua yang dikategorikan lembaga adat di atas, minus MAA, dulunya adalah institusi yang memiliki kewenangan pemerintahan dalam urusan tertentu.
Masing-masing lembaga adat tersebut menyelenggarakan tugas dan fungsinya masing-masing, yaitu :
1) Imeum Mukim bertindak sebagai Kepala Pemerintahan Mukim, yang membawahi federasi dari beberapa gampong.
2) Imeum Mesjid atau Imeum Chik adalah figur yang mengepalai urusan syariat dan peribadatan pada tingkat wilayah mukim.
3) Tuha Lapan adalah figur yang terdiri dari tokoh-tokoh warga mukim anggota musyawarah mukim, yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Imeum Mukim dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan mukim. Disebutkan angka lapan, maksudnya sebagai representasi delapan arah mata angin dari suatu daerah yang lebih luas dari gampong.
4) Keuchik adalah ketua gampong, yang memimpin dan mengetuai segala urusan tata kelola pemerintahan gampong. Ia dipilih secara demokratis menurut vesri masyarakat gampong.
5) Imeum Meunasah/ Teungku Gampong adalah pemimpin dan pembina bidang agama (Islam), yang sekaligus bertindak selaku pemimpin upacara keagamaan di gampong. Ia juga berperan memberikan pertimbangan dan penerapan hukum syariat di gampong.
6) Tuha Peut Gampong adalah para ureung tuha anggota musyawarah gampong yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Keuchik dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan gampong. Angka peut (empat) ini pada mulanya merujuk sebagai representasi teritoti dari empat arah mata angin dalam gampong. Namun kemudian, sebutan peut ini tidak hanya ditujukan sebagai perwakilan teritori, melainkan juga representasi personal dalam lembaga tuha peut, yaitu ; tuha, tuho, teupeu, dan teupat.
7) Keujrun Blang adalah ketua adat dalam urusan pengaturan irigasi, pengairan untuk persawahan, menentukan mulainya musim tanam, membina para petani, dan menyelesaikan sengketa persawahan.
8) Panglima Laot adalah ketua adat yang memimpin urusan bidang penangkapan ikan di laut, membina para nelayan, dan menyelesaikan sengketa laot.
9) Peutua Seuneubok adalah ketua adat yang mengatur tentang pembukaan hutan / perladangan/ perkebunan pada wilayah gunung/ lembah-lembah, dan menyelesaikan sengketa perebutan lahan.
10) Panglima Uteun/Kejruen Glee adalah ketua adat yang memimpin urusan pengelolaan hutan adat, baik kayu maupun non kayu (madu, getah rambung, sarang burung, rotan, damar, dll), meurusa, memungut wasee glee, memberi nasehat/petunjuk pengelolaan hutan, dan menyelesaikan perselisihan dalam pelanggaran hukum adat glee.
11) Syahbandar adalah pejabat adat yang mengatur urusan kepelabuhanan, tambatan kapal/ perahu, lalu lintas angkutan laut, sungai dan danau.
12) Haria Peukan adalah pejabat adat yang mengatur ketertiban, kebersihan pasar dan pengutip retribusi.
Dari semua lembaga adat di atas, kejruen blang, panglima laot, pawang glee, peutua seuneubok, haria peukan, dan syahbanda, dulunya merupakan lembaga-lembaga adat sebagai institusi teknis di bawah koordinasi imeum mukim yang memiliki peran, fungsi dan kewenangan untuk mengatur, mengawasi, dan mengelola sumber daya alam sebagai hak ulayat mukim.
Keberadaan lembaga-lembaga adat tersebut di suatu mukim tergantung pada letak geografi mukim bersangkutan. Sehingga, bisa jadi, pada suatu mukim ada lembaga adat yang tidak ada pada mukim lainnya. Misalnya, lembaga adat laoet hanya ada pada mukim yang wilayahnya di pesisir laut. Begitu pula lembaga adat hutan hanya ada pada mukim yang memiliki wilayah hutan. Namun ada pula mukim yang memiliki lembaga adat hutan dan juga lembaga adat laut, jika di kemukiman tersebut terdapat wilayah laut dan gunung.
Dengan mencermati pada deskripsi diatas, dalam konteks hari ini dapat dinyatakan bahwa lembaga adat Haria Peukan saat ini merupakan salah satu lembaga adat yang telah mendapat pengakuan kembali dalam tataran juridis formal. Bahkan pengakuan tersebut menjadi semakin kuat dengan disebutkannya di dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh.
Haria Peukan dalam Qanun Aceh
Kita patut bersyukur atas diakuinya kembali lembaga adat Aceh dalam UUPA. Hal ini tentu saja, idealnya, akan dapat menjadi spirit yang mendorong upaya penguatan dan revitalisasi adat budaya warisan indatu. Dengan stratening dan revitalisasi lembaga adat, dimaksudkan bukan hanya melulu untuk menghidupkan kembali lembaga-lembaga adat masa lalu dalam rangka melestarikannya. Tetapi, lebih daripada itu, guna menegaskan structural fungsionalnya seirama dengan modernitas perkembangan zaman dalam mempercepat proses pembangunan yang mensejahterakan masyarakat adatnya.
Dengan kerangka pikir di atas, ingin saya tegaskan, keberadaan lembaga-lembaga adat bukan hanya sebagai pelengkap lagee boh timon kueing. Lembaga-lembaga adat jangan lagi hanya dijadikan sebagai pajangan cerita masa lalu, yang kemudian para petuanya diperagakan dengan atribut yang penuh symbol. Lembaga-lembaga adat jangan lagi hanya sebagai pemanis sukses history Aceh di masa lalu. Jangan lagi lembaga-lembaga adat dibiarkan musnah tertelan masa. Tetapi mulai sekarang, mulai hari ini, mari kita bangkitkan kembali dari tidur panjang yang mati suri.
Dukungan hukum, politik dan kebijakan dari Pemerintahan Aceh serta pemerintahan kabupaten/kota diharapkan akan mempermudah proses percepatan revitalisasi fungsional lembaga-lembaga adat dimaksud. Sehingga, di suatu hari yang tak terlalu lama lagi, kita dan masyarakat luar Aceh akan dapat menyaksikan keistimewaan, kekhususan dan kekhasan system pemerintahan kita yang mengadopsi nilai-nilai adat, dengan merevitalisasi dan menstruktural-fungsikan lembaga-lembaga adat Aceh yang sesuai dengan trend kebutuhan kekinian.
Sebagai derivasi dari Pasal 98 UUPA, telah diundangkan dua qanun berkaitan dengan eksistensi adat Aceh, yaitu: (1) Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. (2) Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
Menurut kedua qanun tersebut, dimaksudkan dengan lembaga adat adalah Lembaga Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu mempunyai wilayah tertentu dan mempunyai harta kekayaan tersendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh.
Khusus mengenai Haria Peukan, di dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 diatur sebagai berikut :
Bagian Keduabelas
Haria Peukan atau Nama Lain
Pasal 34
(1) Haria Peukan atau nama lain dapat dibentuk untuk pasar-pasar tradisional.
(2) Pembentukan Haria Peukan atau nama lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk pasar-pasar tradisional yang belum ada petugas Pemerintah.
(3) Dalam hal Haria Peukan atau nama lain telah dibentuk, maka petugas Pemerintah yang ditunjuk harus bekerjasama dengan Haria Peukan atau nama lain.
(4) Pembentukan dan pengangkatan Haria Peukan atau nama lain dilakukan oleh Camat setelah berkonsultasi dengan tokoh-tokoh pedagang dan Keuchik atau nama lain setempat.
Pasal 35
Tatacara pembentukan, pengangkatan dan persyaratan Haria Peukan atau nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) ditetapkan melalui musyawarah tokoh-tokoh pedagang dan Keuchik atau nama lain setempat.
Pasal 36
Haria Peukan atau nama lain mempunyai tugas:
a. membantu pemerintah dalam mengatur tata pasar, ketertiban, keamanan, dan melaksanakan tugas-tugas perbantuan;
b. menegakkan adat dan hukum adat dalam pelaksanaan berbagai aktifitas peukan;
c. menjaga kebersihan peukan atau nama lain; dan
d. menyelesaikan sengketa yang terjadi di peukan atau nama lain.
Pasal 37
Haria Peukan atau nama lain berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. mengajukan permohonan berhenti atas kemauan sendiri;
c. melalaikan tugasnya sebagai Haria Peukan atau nama lain; dan
d. melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan syariat dan adat istiadat.
Dari berbagai tugas yang diemban oleh Haria Peukan, terdapat fungsi projustisia yang dapat diselenggarakannya, yaitu tugas menyelesaikan sengketa yang terjadi di peukan.
Berkaitan dengan fungsi penyelesaian sengketa secara adat, di dalam Pasal 13 Qanun 9/2008 telah diatur dengan tegas jenis-jenis perkara yang memiliki kewenangan untuk diselesaikan oleh pemerintahan gampong, yang dalam hal tertentu juga dapat melibatkan lembaga-lembaga adat , yaitu :
1. perselisihan dalam rumah tangga;
2. sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh;
3. perselisihan antar warga;
4. khalwat meusum;
5. perselisihan tentang hak milik;
6. pencurian dalam keluarga (pencurian ringan);
7. perselisihan harta sehareukat;
8. pencurian ringan;
9. pencurian ternak peliharaan;
10. pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
11. persengketaan di laut;
12. persengketaan di pasar;
13. penganiayaan ringan;
14. pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat);
15. pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;
16. pencemaran lingkungan (skala ringan);
17. ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan
18. perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.
Penyelesaian sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat sebagaimana disebutkan di atas diselesaikan secara bertahap. Dan, Aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di gampong atau nama lain. Tata cara dan syarat-syarat penyelesaian perselisihan/persengketaan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat setempat.
Kalimat di atas, disarikan dari ketentuan Pasal 13 ayat (2), ayat (3) dan Pasal 15 Qanun 9/2008. Dari ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa proses penyelesaian perselisihan atau perkara secara adat harus melalui tahapan penyelesaiannya pada tingkat gampong. Hal ini dimaksudkan untuk mengedepankan keharmonisan diantara para warga masyarakat gampong. Dalam prakteknya, seringkali demi mengutamakan kepastian hukum sehingga keharmonisan masyarakat terabaikan, sehingga tindakan dan putusan hukum tidak memberikan rasa keadilan kepada masyarakatnya. Inilah persoalan antara paradigma legisme peraturan perundang-undangan yang terlalu mendapat prioritas versus paradigm hukum historis dan sosiologis yang mementingkan living law untuk menimbulkan keharmonisan dan rasa keadilan.
Seiring dengan paradigm hukum sosiologis berdasarkan prinsip living law, maka aparat penegak hukum formal dimintakan untuk memberikan kesempatan terlebih dahulu bagi pemerintahan otonomi asli (gampong) guna menyelesaikan perkara atau perselisihan-perselisihan tertentu menurut mekanisme dan tatacara berdasarkan hukum adatnya masing-masing. Selama ini, di beberapa kabupaten para Polsek – dengan juga mempedomani SKEP Kapolri tentang Polmas – sudah mulai mempraktekkan bahwa jika ada perselisihan atau perkara sebagaimana disebutkan di atas, dianjurkan penyelesaiannya dilakukan secara adat oleh pemerintahan gampong.
Semoga semua lembaga adat yang telah diakui kembali oleh UUPA dapat direvitalisasi struktur dan fungsinya. Sehingga, eksistensinya dapat memberikan manfaat yang nyata bagi percepatan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan dalam masyarakat Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar