Adat bak Poteumeureuhoem, Hukoem bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana”~~~~~~~ Adat ban adat, hukom ban hukom, hanjeut meuron-ron krie-krie nyang hawa, watee meupakat adat ngon hukom, nanggroe rukon, hana le goga~~~ Roek ngon bara bak ureung naggroe, pasoe bajoe bak ureung tuha, tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteh itam bak ulama~~~Gaseh keu aneuk beuget tapapah, gaseh keu nangbah beuget tajaga~~~Raseuki deungon tagagah ....Tuah deungon tamita.....Tuah meubagi-bagi.......Raseuki meujeumba-jeumba~~~~~Teupat ke pangkai, akay keu laba~~~ KRAB TAJAK GEUBRIE SITUEK, JAREUNG TADUEK GEUJOK TIKA~~~~~ ASAI CABOK NIBAK KUDE, ASAI PAKE NIBAK SEUNDA ~~~~~~~~ Duek, duek aree, jak, jak langay~~~~Meunyoe ate hana teupeh pade bijeh geupeutaba, tapi meunyoe ate ka teupeh bu leubeh han meuteumeung rasa~~~Jaroe bak langay, mata u pasay~~~Singet bek rhoe beuabeh~~~ Nibak puntong get geunteng, nibak buta get juleng~~~Mate aneuk meupat jeurat, mate adat pat tamita~~~Tameh surang sareng, asay puteng jilob lam bara~~~tameungeuy ban laku tuboh, tapajoh ban laku atra ~~~Uleu beumate, ranteng bek patah~~~Kameng blang pajoh jagong, kameng gampong keunong geulawa~~~lagee manok toh boh saboh, jeut lampoh soh jimeuseurapa, dipinyie jitoh siribee, hana jithee le silingka~~~ lagee bubee duwa jab, keunoe toe keudeh pih rhab~~~bak adat han jikab, bak hukom han ji talum~~~paleh sagoe meuleuhob jurong, paleh gampong tan ureung tuha~~~hak ube jiplueng, bulueng ube jiteuka~~~meunyoe na ate, pade tatob, hana bak droe talakee bak gob~~~rayek rumoh rayek keunaleung, rayek bateueng rayek sawa, rayek pageu rayek beunteueng, rayek ureung rayek keureuja~~~PUTOH NGON MUPAKAT, KUWAT NGON MEUSEURAYA~~~~~~blink>Diet Peugah Duem Peubuet Banja Beusanteut Mukim Siem Tapuga

R a n u b si G a p u e


Assalamu'alaikumwarahmatullah...
Jaroe duablah ateuh jeumala,
Saleum ulon brie keu syedara meutuwah,
Neubrie ya Allah mandum sijahtra...
Amiin Ya Rabbal A'lamiin...

Dengan segala kerendahan hati, kami menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua Pengunjung blog baleeMUKIM. Meski dalam format dan tata saji yang amat sederhana, kami memberanikan diri untuk mendedikasikan blog ini untuk mengawal, mempertahankan dan mengembangkan keberadaan komunitas dan Lembaga Pemerintahan Mukim di Aceh pada umumnya, atau Mukim Siem - Darussalam khususnya.
Kami mengundang pengunjung sekalian agar berkenan berpartisipasi mewujudkan Visi dan Missi dari blog baleeMUKIM ini. Sumbangan pikiran, pendapat, komentar, kritik, saran, dan apapun yang sifatnya konstruktif, merupakan cemeti yang seharusnya mendorong kita untuk lebih maju.
Pengunjung sekalian...sekecil apupun keterlibatan anda dalam upaya pencapaian tujuan mengawal, mempertahankan dan mengembangkan eksistensi komunitas Mukim di Aceh, menurut kami mesti diapresiasikan sebagai perjuangan menuju kehidupan lebih terhormat dan bermartabat di atas landasan budaya kita sendiri.
Ayo..., lakukan ...!!! Bersama Kita Bisa...!!!

"Rhoek ngen bara bak ureung Nanggroe, Pasoe bajoe bak ureung tuha, Tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteeh itam bak ulama."
Pengunjung sekalian..., mari wujudkan cita-cita besar ini, mulailah dengan sebuah langkah kecil. ingat...!!! Perjalanan ribuan kilometer selalu diawali dengan sebuah langkah kecil...lakukan sekarang...!

Wassalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuh
teurimong gaseh.
admin.

PEMBAGIAN PERAN LEWAT LEMBAGA ADAT GAMPONG

Oleh: Sulaiman Tripa Penulis & Pegiat Kebudayaan dikutip dari: http://www.acehinstitute.org/ SECARA antropologis, semua orang Aceh merupakan masyarakat teritorial keagamaan. Profesor M. Hakim Nya’ Pha (1998) menyebutkan bahwa sebagai masyarakat teritorial keagamaan di Aceh, kehidupan keluarga di Aceh yang bersifat parental dan dalam hal-hal tertentu bersifat bilateral, mendiami suatu wilayah yang disebut gampong dan kehidupannya berkisar pada meunasah atau masjid. 
        Snouck Hurgrunje (1985), berkata: gampong merupakan satuan teritorial terkecil. Sebuah gampong dilingkari pagar, dihubungkan oleh satu pintu gapura dengan jalan raya (rèt atau rót), suatu jalan yang melewati blang atau lampoih serta tamah yang menuju ke gampong lain. Dulu setiap gampong mencakup satu kawom (satuan-satuan baik dalam artian teritorial maupun kesukuan) atau sub-kawom yang hanya akan bertambah warganya dengan perkawinan dalam lingkungan sendiri, atau paling tidak, dengan meminta dari warga sesuku yang bermukim berdekatan. Sementara meunasah, Snouck punya pengertian sendiri, yakni sebagai tempat ibadah dan sebagai tempat menginap bagi kaum pria yang sudah aqil baligh serta pria gampong lain yang singgah di gampong itu. Gampong dan meunasah, adakalanya dipersepsikan dalam pemahaman terpisah. Ada yang memandang bahwa meunasah dan gampong sebagai wilayah atau teritorial. Ada pula yang memandang meunasah sebagai tempat ibadah saja. Dalam hal ini, meunasah adalah tempat aktivitas keagamaan dan aktivitas sosial dijalankan dalam sebuah gampong (Sulaiman Tripa, Serambi Indonesia, 18 Juli 2002). Namun, ada juga yang menegaskan bahwa meunasah merupakan sebutan lain dari sebuah gampong. Jika saja meunasah sebagai lembaga, dalam arti tempat beraktivitas keagamaan dan sosial, maka lembaga ini merupakan salah satu lembaga yang cukup besar peranan dalam membantu pelaksanaan pemerintahan. Mengingat lembaga ini sangat dekat kultur dan tata kehidupan masyarakat adat. Dalam hal ini, lembaga meunasah sebagai sarana masyarakat adat menjalankan roda pemerintahan tingkat gampong, dan keberadaan lembaga meunasah menggambarkan ciri khas sebuah gampong, karena setiap gampong ada meunasah. Kalau tidak ada meunasah, tidak dapat disebut gampong. (Iskandar A. Gani, 1998). Gampong dipimpin oleh keuchik –pimpinan yang menurun wewenang uleebalang di wilayah gampong itu. Dalam sejarahnya, jabatan itu turun-temurun. Keuchik didasarkan pada kenyataan hakiki bahwa dialah yang membela kepentingan dan keinginan warga, baik berhadapan dengan uleebalang maupun gampong lain. Keuchik menguasai satu gampong, namun ada juga yang mengepalai 2-3 gampong. Jadi keuchik betul-betul embah, teungku ma (keuchik sebagai bapak dan teungku sebagai ibu). (Snouck Hurgrunje, 1985). Dibandingkan dengan tugasnya dalam memelihara tertib-aman dan mengusahakan kesejahteraan penduduk dengan sepenuh kemampuannya, maka pendapatan keuchik sangatlah kurang. Menurut Snouck (1985), hanya sebatas ha’ katib atau hak cupéng (imbalan untuk bantuan yang diserahkan dari keuchik itu untuk pernikahan wanita warga gampongnya) saja, atau kira-kira tarif seperempat ringgit (semaih atau seemas). Sedangkan untuk jasa-jasa yang diberikan keuchik kepada warganya akan dikerjakan dengan ikhlas dan tekun, sesuai dengan jumlah hadiah yang diberi yang disebut ngoen bloe ranub (uang pembeli sirih). Ada dua wewenang keuchik: memelihara tertib-aman, serta mengusahakan kesejahteraan. Berkaitan dengan kesejahteraan penduduk, keuchik berwenang mengatur pemindahan keluarga ke gampong lain, di mana harus dengan seizin keuchik, hal ini berhubungan dengan berkebun; sama dengan orang yang bermukim di gampong; perkawinan juga harus mendapatkan izin dari keuchik, terutama berkenaan dengan usia sigadis apakah masih di bawah umur atau sudah dewasa, atau perkawinan yang bertentangan dengan hukum adat, yang berarti bertentangan dengan hukum syariat (Snouck Hurgrunje, 1985). Sedangkan menyangkut nama Keuchik –pimpinan gampong­—ada yang menyebut Geusyik. Teuku Djuned (1997) menyebut geuchik. Hal yang sama disebut dalam Perda Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat, juga disebutkan dengan Geusyik. Keuchik (geuchik) dalam perspektif gampong, tidak hanya berkedudukan sebagai pemimpin masyarakat dan wilayah. Keuchik juga sebagai pemangku adat di tingkat gampong. Dalam melaksanakan tugasnya dalam kehidupan masyarakat, Keuchik dibantu Tuha Peut (sekumpulan orang yang dituakan karena memiliki beberapa kelebihan). Tuha Peut umumnya memikul tugas rangkap; di samping sebagai penasehat Keuchik, juga sebagai pemikir, penimbang, dan penemu dasar-dasar hukum atas sesuatu keputusan atau ketetapan adat. Kecuali itu, dalam kasus-kasus tertentu mereka kadang-kadang harus berposisi sebagai dewan juri. (Hakim Nya’ Pha, 1998). Dalam sebuah gampong terdapat pula unsur-unsur pimpinan lain yang dinamakan waki, yang merupakan wakil dari keuchik. Gampong merupakan pemerintahan di bawah mukim. Mukim adalah gabungan beberapa gampong yang merupakan perangkat pemerintahan. Namun, berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, maka kedudukan mukim seperti itu tak ada lagi, selain koordinasi saja. (Rusdi Sufi, 2002). Sementara teungku sendiri (di kalangan Melayu, gelar tungku diberikan hanya untuk keturunan bangsawan), gelar yang digunakan untuk beberapa kategori (Snouck Hurgrunje, 1985), antara lain: (a) Untuk seorang leubè (lebai atau santri) yang sungguhpun bukan termasuk ulama, namun tekun melakukan ibadah maupun seorang haji yang telah menunaikan ibadah haji di Mekah. (b) Bagi seorang malém (mualim; bahasa Arab, artinya guru) yang berpengetahuan mengenai kitab-kitab keagamaan, dan bagi seorang além (alim, orang yang berilmu) yang telah melengkapi pendidikan agama. (c) Dipakai terhadap pria dan wanita yang memberi pengajaran dasar mengaji al-Quran di meunasah-meunasah. (d) Kepada kadi (kali) yang bertindak sebagai hakim agama dalam wilayah uleebalang. Dalam sejarahnya, gelar teungku tak hanya diperuntukkan untuk orang malém. Tidak semua teungku pandai tampil menjadi imam shalat lima waktu. Penghasilan teungku sendiri berasal dari fitrah (bila malém juga ada penghasilan lain dari pengobatan orang), jakeut (zakat), imbalan uang pengurusan pernikahan, hak taleukin (uang talkin) pada peristiwa pemakaman, dan uang jasa dari keuchik bila turut serta pada kunjungan uleebalang dalam menyelesaikan perkara (Snouck Hurgrunje, 1985). Sistem kedaulatan dan demokrasi yang berlangsung di tingkat gampong, benar-benar dilaksanakan. Dalam gampong dikenal dengan mupakat (muwafakat, bahasa Arab), yakni segala persoalan diselesaikan secara pertukaran pendapat secara beramai-ramai. Jadi segala persoalan gampong, juga diumumkan secara mupakat pula. Hubungannya dengan Lembaga Adat DI gampong terdapat beberapa lembaga adat yang sifatnya sangat profesional. Lembaga adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat di Aceh adalah: Tuha Peut, Imum Meunasah, Keujruen Blang, Panglima Laot, Peutua Seuneubok, Haria Peukan, Syahbanda dan lembaga-lembaga adat yang disebut dengan nama lain, tetapi mempunyai fungsi dan tujuan yang sama dengan lembaga-lembaga adat (Pasal 2 ayat (1) Perda No. 2 Tahun 1990). Dalam Pasal 5 ayat (2) Perda Nomor 7 Tahun 2000, disebutkan dengan jelas lembaga-lembaga adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, antara lain: Imuem Mukim, Geusyik, Tuha Peut, Tuha Lapan, Imuem Meunasah, Keujruen Blang, Panglima Laot, Peutua Seuneubok, Haria peukan. Lembaga-lembaga itulah yang melaksanakan pembagian tugas dalam setiap gampong. Panglima Laot untuk membantu Keuchik di bidang kelautan, Peutua Suneubok untuk pimpinan urusan kehutanan-perkebunan dan perladangan, Keujreun Blang untuk membantu Keuchik salam urusan pembagian pengairan dan persawahan, serta Haria Pekan untuk membantu Keuchik di bidang ketertiban, keamanan, kebersihan, serta mengutip retribusi pasar gampong. Panglima Laot, dalam hal ini juga dibantu Syahbanda, yakni orang yang memimpin dan mengatur perahu, lalu lintas kapal/perahu (Lihat Pasal 1 ayat (13), (14), (15), (16), dan ayat (17) Perda Nomor 7 Tahun 2000). Diperjelas lagi oleh Hakim Nya’ Pha (2001), bahwa dalam menjalankan roda pemerintahan dan kehidupan gampong, Keuchik dan Teungku Imeum Meunasah dibantu oleh berbagai lembaga adat lainnya yang biasanya dipimpin oleh ahlinya sesuai dengan bidangnya. Bidang administrasi dibantu waki (Keurani); dalam bidang pendidikan dibantu Teungku Inoeng, Teungku Cut, Leubè, Teungku Leubè; bidang pengambilan keputusan ada Tuha Peut dan Tuha Lapan; bidang mata pencaharian ada Keujreun Blang, Peutua Seuneubok, Panglima Laot, Pawang Gléé; bidang perkawinan ada seulangké, peunganjo; bidang kesehatan ada dukon, ma blién; bidang hukum ada lembaga weuk waséé, lembaga suloh, lembaga hak langgéh; bidang perekonomian ada lembaga mugè, meusyarikat, gala, mawaih, meudua laba, dan lain-lain. Menurut Perda Nomor 2 Tahun 1990, kedudukan lembaga adat adalah sebagai unsur pembantu Keuchik/Kepala Desa dan Kepala Kelurahan dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari sepanjang yang menyangkut dengan hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat (Pasal 2 ayat(1)). Di samping yang telah disebutkan, dalam masyarakat Aceh juga dikenal adanya beberapa lembaga. Misalnya, lembaga ekonomi dalam masyarakat gampong, sebagai sumber keuangan untuk biaya pemeliharaan Meunasah dan membiayai sebagian honor Imeum Meunasah, digunakan umoeng meusara. Umoeng musara itu sebagai tanah yang diwakafkan untuk kemaslahatan gampong oleh orang tertentu. Hasil penggarapan tanah inilah yang digunakan (Alfian, dalam Syafei Ibrahim, 1999). Melihat yang diatur dalam Qanun Kabupaten Pidie Nomor 8 tentang Sumber Pendapatan Gampong, disebutkan bahwa kekayaan Gampong terdiri atas tanah kas gampong, tanah meusara, pasar gampong, bangunan gampong, objek rekreasi gampong, hutan dan jalan gampong, perairan/pantai yang diurus gampong, tempat pemancingan, pelelangan ikan, serta bentuk-bentuk lainnya (Pasal 3). Sebenarnya, hasil umoeng meusara atau tanah meusara ini juga digunakan untuk kegiatan-kegiatan sosial. Untuk membantu orang yang terkena musibah di gampong, misalnya. Sumber pendapatan itu juga biasanya untuk membantu pengajian, dan kegiatan-kegiatan yang sifatnya sosial (Syafei Ibrahim, 1999). Keujreun Blang KEUJREUN blang merupakan lembaga adat yang cukup strategis dan mempunyai peran yang sangat besar, khususnya dalam meningkatkan produksi pertanian. Berfungsi untuk menggerakkan tali air (lueng) di persawahan, mengatur pembagian air, memilih bibit yang baik, menentukan waktu turun ke sawah, dan memimpin khanduri blang. Menurut Snouch Hugrunje (1985), khanduri blang atau khanduri (kenduri) turun ke sawah dimaksudkan untuk kemakmuran tanah bersama yang baru saja menghasilkan, dilaksanakan di awal musim luaih blang di hari yang ditetapkan pengurus gampong. Khanduri blang dikoordinir keujreun blang, turut pula dimusyawarahkan di pertemuan khanduri tentang tali air, dan lain-lain, dijaga bersama, begitu juga dengan penyakit padi (Hoesin, 1970). Di samping itu, keujreun blang dalam kenyataannya sangat membantu dalam penyuluhan dan bimbingan yang sangat disegani masyarakat adat. Wewenang dan kekuasaan keujreun blang hanya terbatas pada pengoperasian dan pembagian tali air serta memimpin khanduri blang. Atas jasanya, petani berkewajiban memberi sumbangan padi (beuheuk bruek umoeng) kepada keujreun blang di wilayah hidrologisnya (Isa Sulaiman, 1988). Kedudukan lembaga keujreun blang secara vertikal berstruktur atas keujreun blang syiek, peutua blang dan petani (T. Djuned, 1997). Pada masyarakat Aceh telah begitu lama menyadarkan kita pada budidaya padi dan permasalahannya. Figur keujreun blang berasal dari petani yang tekun dan disiplin (T. Djuned, 1997), berpengalaman dalam bidang kemasyarakatan, menguasai hukum adat pertanian, memahami keuneunong (keadaan yang dipengaruhi hidrologis wilayah). Keuneunong dalam perspektif persawahan, menurut Hurgrunje (1985), berarti keadaan cuaca yang melekat pada setiap bulan masehi, diberi bayangan bahwa musim-musim di Aceh ditentukan menurut kala dan bulan di langit. Pertemuan itulah yang dinamakan keunong (mengenai atau menyentuh), dan masyarakat Aceh menemukan semacam pedoman dalam jumlah hari yang selalu memisahkan bulan baru dari keunong yang selanjutnya, atau dengan dengan kata lain (oleh sebab bulan Islam mulai dengan bulan baru) dalam hari terjadinya keunong. Di samping itu, keujreun blang bersama pimpinan adat berwenang mengadili dan memberi sanksi pada pelanggar hukum adat bidang pertanian, baik pada prosesi pelaksanaan, maupun yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan adat pertanian. Misalnya, yang turun pertama ke sawah adalah orang yang berada, baik dari segi ilmu maupun segi harta.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jadwal Shalat