Adat bak Poteumeureuhoem, Hukoem bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana”~~~~~~~ Adat ban adat, hukom ban hukom, hanjeut meuron-ron krie-krie nyang hawa, watee meupakat adat ngon hukom, nanggroe rukon, hana le goga~~~ Roek ngon bara bak ureung naggroe, pasoe bajoe bak ureung tuha, tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteh itam bak ulama~~~Gaseh keu aneuk beuget tapapah, gaseh keu nangbah beuget tajaga~~~Raseuki deungon tagagah ....Tuah deungon tamita.....Tuah meubagi-bagi.......Raseuki meujeumba-jeumba~~~~~Teupat ke pangkai, akay keu laba~~~ KRAB TAJAK GEUBRIE SITUEK, JAREUNG TADUEK GEUJOK TIKA~~~~~ ASAI CABOK NIBAK KUDE, ASAI PAKE NIBAK SEUNDA ~~~~~~~~ Duek, duek aree, jak, jak langay~~~~Meunyoe ate hana teupeh pade bijeh geupeutaba, tapi meunyoe ate ka teupeh bu leubeh han meuteumeung rasa~~~Jaroe bak langay, mata u pasay~~~Singet bek rhoe beuabeh~~~ Nibak puntong get geunteng, nibak buta get juleng~~~Mate aneuk meupat jeurat, mate adat pat tamita~~~Tameh surang sareng, asay puteng jilob lam bara~~~tameungeuy ban laku tuboh, tapajoh ban laku atra ~~~Uleu beumate, ranteng bek patah~~~Kameng blang pajoh jagong, kameng gampong keunong geulawa~~~lagee manok toh boh saboh, jeut lampoh soh jimeuseurapa, dipinyie jitoh siribee, hana jithee le silingka~~~ lagee bubee duwa jab, keunoe toe keudeh pih rhab~~~bak adat han jikab, bak hukom han ji talum~~~paleh sagoe meuleuhob jurong, paleh gampong tan ureung tuha~~~hak ube jiplueng, bulueng ube jiteuka~~~meunyoe na ate, pade tatob, hana bak droe talakee bak gob~~~rayek rumoh rayek keunaleung, rayek bateueng rayek sawa, rayek pageu rayek beunteueng, rayek ureung rayek keureuja~~~PUTOH NGON MUPAKAT, KUWAT NGON MEUSEURAYA~~~~~~blink>Diet Peugah Duem Peubuet Banja Beusanteut Mukim Siem Tapuga

R a n u b si G a p u e


Assalamu'alaikumwarahmatullah...
Jaroe duablah ateuh jeumala,
Saleum ulon brie keu syedara meutuwah,
Neubrie ya Allah mandum sijahtra...
Amiin Ya Rabbal A'lamiin...

Dengan segala kerendahan hati, kami menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua Pengunjung blog baleeMUKIM. Meski dalam format dan tata saji yang amat sederhana, kami memberanikan diri untuk mendedikasikan blog ini untuk mengawal, mempertahankan dan mengembangkan keberadaan komunitas dan Lembaga Pemerintahan Mukim di Aceh pada umumnya, atau Mukim Siem - Darussalam khususnya.
Kami mengundang pengunjung sekalian agar berkenan berpartisipasi mewujudkan Visi dan Missi dari blog baleeMUKIM ini. Sumbangan pikiran, pendapat, komentar, kritik, saran, dan apapun yang sifatnya konstruktif, merupakan cemeti yang seharusnya mendorong kita untuk lebih maju.
Pengunjung sekalian...sekecil apupun keterlibatan anda dalam upaya pencapaian tujuan mengawal, mempertahankan dan mengembangkan eksistensi komunitas Mukim di Aceh, menurut kami mesti diapresiasikan sebagai perjuangan menuju kehidupan lebih terhormat dan bermartabat di atas landasan budaya kita sendiri.
Ayo..., lakukan ...!!! Bersama Kita Bisa...!!!

"Rhoek ngen bara bak ureung Nanggroe, Pasoe bajoe bak ureung tuha, Tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteeh itam bak ulama."
Pengunjung sekalian..., mari wujudkan cita-cita besar ini, mulailah dengan sebuah langkah kecil. ingat...!!! Perjalanan ribuan kilometer selalu diawali dengan sebuah langkah kecil...lakukan sekarang...!

Wassalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuh
teurimong gaseh.
Imeum Mukim Siem.

Mukim Sebagai Pengembang Hukum Adat Aceh

Mukim Sebagai Pengembang Hukum Adat Aceh
Oleh : H. TAQWADDIN, SH., SE., MS., CD.[2]
dikutip dari:
Blog:
www.green-aceh.blogspot.com

Dalam terms of reference (ToR) yang diajukan oleh panitia, tertera maksud atau tujuan umum kegiatan ini adalah untuk mengembangkan potensi hukum adat dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik. Sedangkan tujuan khususnya adalah dalam rangka membangun pemahaman dan penyamaan persepsi tentang hukum adat dengan hukum Nasional dan UU No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Berdasarkan tujuan umum dan tujuan khusus tersebut, dalam lokakarya ini, saya akan lebih fokus membicarakan tentang mukim sebagai pengembang hukum adat Aceh. Ada beberapa pertimbangan yang mengharuskan kita mendiskusikan tentang mukim: Pertama, mukim sebagai Acheh organisatie, sebagai masyarakat hukum adat Aceh. Kedua, pemerintahan mukim sebagai pemerintahan resmi dalam hukum positif Indonesia, Ketiga, mukim sebagai koordinator lembaga adat dan hukum adat Aceh.


Sejarah Mukim; dulu hingga sekarang.
Pada masa Kerajaan Aceh, struktur pemerintahan dibagi dalam lima tingkatan, yaitu : (1) Sultan yang memimpin kerajeun dan daerah taklukannya, serta mengkoordinir para Ulee Balang, (2) Panglima Sagoe yang membawahi beberapa daerah Ulee Balang. (3) Ulee Balang mengkoordinir beberapa mukim, (4) Imem mukim yang membawahi beberapa gampong, dan (5) Geusyiek yang memimpin gampong sebagai unit pemerintahan terendah.[3]
Mukim terbentuk bersamaan dengan masuknya Islam ke Aceh. Keberadaannya memiliki dasar yang kuat baik untuk pengaturan kehidupan sosial (adat) maupun untuk kehidupan beragama (hukom), dan juga kemudian pemerintahan. Dalam hubungannya dengan kehidupan beragama, terbentuknya mukim menjadi dasar bagi pelaksanaan kewajiban untuk mendirikan shalat Jum’at. Menurut Mazhab Syafi’i untuk mendirikan shalat Jum’at diperlukan kehadiran paling tidak 40 orang laki-laki yang telah dewasa.[4]
Pada mulanya pemimpin dari sebuah mukim adalah seorang imeum (Imam) yang mengemban tugas sepenuhnya atau sebagian bersifat keagamaan dengan mengusahakan agar tegaknya hukom (syariat) dan terlaksananya kewajiban ibadah. Gelar imeum berkaitan erat dengan meusigit (Mesjid) serta ibadah yang berlangsung di dalamnya.[5] Berdasarkan ulasan di atas, menunjukkan bahwa kesatuan masyarakat dalam sebuah mukim terbentuk dengan meusigit (Mesjid) sebagai pusat kehidupan sosial dan agama.
Selain itu, perubahan sebutan imeum menjadi imeum mukim dan lahirnya lembaga imeum chik atau imeum meseujid menunjukkan adanya proses evolusi dalam sistem kelembagaan pada tingkat mukim. Pada mulanya imeum menjalankan fungsi dan wewenangnya dalam bidang keagamaan, diantaranya mengatur dan mengurus kemakmuran mesjid serta masalah-masalah keagamaan lainnya, seperti pengaturan waktu khanduri moulud. Dalam perkembangannya kemudian ketika jumlah masyarakat dalam sebuah mukim semakin banyak dan hubungan antar gampong menjadi lebih kompleks, tentu saja diperlukan adanya lembaga atau pemimpin yang dapat mengkoordinir gampong-gampong dalam lingkup sebuah mesjid. Dari perkembangan dinamika sosial tersebut, Imeum yang sudah mendapatkan legalitas dari masyarakat sebagai pemimpin ummat yang bersifat spiritual dan ukhrawi, kemudian diangkat menjadi pemimpin adat yang bersifat duniawi. Sedangkan untuk mengurus hal-hal yang bersifat keagamaan (Hukom) yang sebelumnya diurus oleh imeum, dibentuk lembaga baru yang disebut dengan imeum meusigit atau imeum chik. Pada masa Kesultanan Aceh, jabatan imeum chik disebut juga sebagai Kadhi Mukim[6] atau tengku kadhi.
Walaupun imeum yang kemudian menjadi imeum mukim dan menjadi pemimpin adat, yang dipilih dari kalangan cerdik pandai atau pemuka masyarakat, namun pada jabatan imeum mukim masih melekat tanggung jawabnya dalam bidang keagamaan. Hal itu tercermin pada syarat yang bersifat agama untuk menjadi seorang imeum mukim, disamping syarat yang bersifat adat, seperti yang ditentukan dalam Qanun Syara’ Kesultanan Aceh. Syarat yang bersifat keagamaan tersebut seperti mengetahui hukum syara’ Allah dan hukum syari’at nabi, takut atas perbuatan salah, dapat mengerjakan fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, dapat menjadi imam shalat Jum’at, dan dapat menjadi Khatib pada hari Jum’at.[7]
Persyaratan yang bersifat keagamaan tersebut, tentu saja agar seorang imeum mukim dapat berperan untuk menjalankan peran dalam bidang keagamaan. Terutama ketika imeum mesjid tidak berada di tempat, seperti menjadi imam shalat berjamaah, menjadi khatib atau menjalankan fardhu kifayah lainnya. Kebutuhan akan adanya mukim dan prasyarat yang bersifat keislaman dalam pembentukan mukim dan pemerintahan mukim merupakan salah satu bentuk dari pelembagaan hal yang berkaitan dengan ibadah dalam kehidupan masyarakat Islam. Fakta yang ada dalam masyarakat Aceh, dalam hubungannya dengan penerapan sistem penyelenggaraan mukim, tampak jelas bahwa pemerintahan mukim dilaksanakan berdasarkan konsep Islam.
Paling tidak ada tiga ciri yang menunjukkan bahwa sistem pemerintahan mukim berasaskan Islam. Pertama, memperhatikan syarat-syarat keagamaan yang harus dipenuhi oleh para pimpinan pada tingkat mukim dan gampong. Kedua, dapat dilihat dalam sistem pengelolaan tanah-tanah umum yang belum dimiliki oleh siapapun, yang oleh masyarakat Aceh disebut sebagai tanoh Potallah atau tanah Tuhan. Dalam hal ini, siapa yang menghidupkan dan mengusahakan “tanah mati” tersebut, dialah yang berhak atas tanah tersebut, untuk dimiliki atau dialihkan kepada orang lain, tentu saja setelah syarat-syarat adat terpenuhi. Ketiga, dalam penyelesaian sengketa yang mengedepankan perdamaian melalui musyawarah dan bertujuan untuk membangun kembali harmonisasi pasca sengketa dalam kehidupan masyarakat. [8]
Dalam perkembangannya kemudian, khususnya di kawasan Aceh Besar, beberapa Mukim membentuk persekutuan atau federasi Mukim yang penamaannya disesuaikan dengan jumlah Mukim yang membentuk federasi tersebut, seperti III Mukim Kayee Adang, V Mukim Montasik dan sebagainya. [9]
Pada masa kolonial Belanda keberadaan Imum Mukim tetap diakui, bahkan diatur secara khusus dalam Besluit van den Governeur General van Nederland Indie van 18 November 1937 Nomor 8, dengan nama Imeumschaap. Masa penjajahan Jepang, pemerintahan oleh Imum Mukim pun tetap diakui berdasarkan Osamu Seirei Nomor 7 Tahun 1944. [10]
Setelah Indonesia Merdeka ketentuan-ketentuan tentang pemerintahan mukim tetap diberlakukan, yaitu berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Untuk mempertahankan kedudukan mukim dalam struktur pemerintahan desa, Keresidenan Aceh mengeluarkan Peraturan Keresidenan Aceh Nomor 2 dan Nomor 5
Tahun 1946,[11] yang menurut kedua peraturan tersebut, Pemerintahan Mukim diberlakukan untuk seluruh Aceh. Akan tetapi kedudukannya tidak lagi berada di bawah Ulhee Balang, karena lembaga ini sudah dihapus dengan kedua peraturan tersebut di atas, melainkan berada di bawah camat dan membawahi beberapa gampong.
Pada masa rezim Orde Baru, penyelenggaraan pemerintahan berlangsung secara sentralistik, yang diikuti dengan politik hukum univikasi untuk seluruh wilayah Indonesia. Sehingga, dengan paradigma seperti ini, maka sistem pemerintahan di daerah diupayakan berlangsung secara seragam se Indonesia. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, keberadaan pemerintahan Mukim ini tidak lagi mendapat pengakuan dari pemerintah. Dengan demikian, mukim tidak lagi berkedudukan sebagai unit pemerintahan dalam struktur pemerintahan di Aceh. Namun dalam prakteknya ternyata pemberlakuan kedua undang-undang tersebut tidak serta merta dapat menghapuskan keberadaan lembaga adat mukim yang ada di Aceh. Bahkan di beberapa daerah, lembaga Mukim beserta lembaga adat lainnya tetap dipertahankan oleh warga gampong, meskipun kedudukannya dalam hukum nasional menjadi melemah. [12]
Seiring dengan berjalannya proses reformasi sistem pemerintahan di Indonesia, pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini memberikan semangat baru untuk menghidupkan kembali sistem adat dan kelembagaan pada tingkat gampong di Aceh.
Khusus bagi Aceh, dalam rangka penyelesaian konflik, Pemerintah memberlakukan pula Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Penyelenggaraan keistimewaan tersebut menurut Pasal 3 ayat (2) meliputi: (1) penyelenggaraan kehidupan beragama, (2) penyelenggaraan kehidupan adat, (3) penyelenggaraan pendidikan, dan (4) peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Berdasarkan ketentuan di atas jelaslah bahwa undang-undang ini kembali memperkuat keberadaan lembaga adat, termasuk lembaga adat Mukim.
Selanjutnya, melalui Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Pemerintahan Mukim dimasukkan kembali dalam struktur pemerintahan di Aceh. Pengukuhan keberadaan mukim semakin kuat dengan diundangkannya Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim.
Saat ini, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tersebut telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, keberadaan mukim sebagai unit pemerintahan kembali mendapat pengakuan, pengaturan, dan pengukuhannya dalam satu bab tersendiri, yaitu Bab XV tentang mukim dan gampong.


Mukim sebagai Masyarakat Hukum Adat
Berdasarkan fakta sejarah di atas, sangatlah beralasan apabila kemudian Snouck Hugronje berpendapat bahwa pembagian kewilayahan dalam bentuk mukim telah mapan di Aceh dan dengan cara yang seragam, baik di kawasan Aceh Rayeuk maupun di kenegerian-kenegerian di luarnya.[13] Sehingga karenanya, H.M. Zainuddin menyatakan bahwa mukim merupakan Atjehche Organisasi atau sebuah organisasi khas Aceh.[14]
Sekalipun secara juridis lembaga pemerintahan mukim baru diakui kembali keberadaannya sejak tahun 2001 setelah diberlakukannya Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam, -- atau tepatnya pada tahun 2003 setelah diundangkannya Qanun NAD tentang Pemerintahan Mukim. Namun Secara de facto, keberadaan mukim masih cukup eksis dan diakui di seluruh Nanggroe Aceh, sekalipun antara warga masyarakat Aceh terdapat beragam suku dan kultur yang berbeda.[15]
Suatu masyarakat agar dapat dikatakan sebagai masyarakat hukum adat (rechtgemeinschaap), haruslah terpenuhi beberapa syarat sebagaimana sering dikemukakan oleh para ahli dan kemudian ditegaskan pula dalam peraturan perundang-undangan. Syarat dimaksud adalah :[16]
1. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap);
2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
3. ada wilayah hukum adat yang jelas;
4. ada pranata hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; dan
5. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Menurut hemat saya, semua persyaratan di atas dapat kita ketemukan dalam kehidupan sehari-hari di gampong-gampong di Aceh. Pertama, sebagian besar warga gampong masih memiliki ikatan geneologis dengan sesamanya. Sehingga kepedulian dan kebersamaan di gampong dan juga di dalam suatu kemukiman -- terutama yang bermukim bukan di perkotaan – saling keterikatan bukan hanya dikarenakan solidaritas territorial, tetapi memang merasa sekaum seketurunan (gemeenschap). Kita masih memiliki perasaan bersalah atau berdosa jika tidak melayat ke rumah warga gampong kita yang tertimpa musibah. Begitu pula jika ada tetanggan yang melakukan hajatan (meukereuja), kita sejak malam hari hingga selesainya khanduri tersebut terus membantu dengan segala upaya agar acara dimaksud sukses dengan tiada kekurangan sesuatu apapun. Bahkan, seringkali pula pihak yang melakukan hajatan melimpahkan sepenuh penyelenggaraan khanduri tersebut pada geusyiek, selaku kepala gampong. Hal seperti ini Insya Allah masih kita temukan hingga esok hari. Dan, ini menunjukkan kehidupan kita yang masih gemeenschap, bukan gesselschap.
Kedua, di dalam kehidupan kemukiman di Aceh, kita masih menemukan adanya lembaga-lembaga adat beserta perangkat penguasa adatnya. Hingga ini hari, kita masih menemukan eksisnya:
1. lembaga pemerintahan mukim yang diketuai oleh imeum mukim,
2. lembaga keagamaan yang dipimpin oleh imeum meseujid,
3. lembaga musyawarah mukim yang dipimpin oleh tuha lapan,
4. lembaga pemerintahan gampong dipimpin oleh geusyiek,
5. lembaga keagamaan di gampong dipimpin oleh imeum meunasah, dan
6. lembaga musyawarah gampong oleh tuha peut.
7. lembaga adat persawahan yang dipimpin oleh kejruen blang,
8. lembaga adat laoet yang dipimpin oleh panglima laoet,
9. lembaga adat perkebunan yang dipimpin oleh peutua sineboek,
10. lembaga adat hutan yang dipimpin oleh panglima uteun atau pawang glee,
11. lembaga adat lalulintas laut yang dipimpin oleh syahbanda, dan
12. lembaga adat perdagangan yang dipimpin oleh haria peukan.
Masing-masing lembaga adat tersebut menyelenggarakan tugas dan fungsinya masing-masing, yaitu :
1) Imeum Mukim bertindak sebagai Kepala Pemerintahan Mukim, yang membawahi beberapa gampong.
2) Imum Mesjid atau Imum Chik adalah figur yang mengepalai urusan syariat dan peribadatan pada tingkat wilayah kemukiman.
3) Tuha Lapan/Peut Mukim adalah figur yang terdiri dari tokoh-tokoh warga kemukiman anggota musyawarah kemukiman, yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Imum Mukim dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan mukim.
4) Keuchik adalah Kepala gampong, yang memimpin dan mengetuai segala urusan tata kelola pemerintahan gampong.
5) Imeum Meunasah/ Teungku Gampong adalah pemimpin dan pembina bidang agama (Islam), yang sekaligus bertindak selaku pemimpin upacara kematian di gampong.
6) Tuha Peut Gampong adalah para ureung tuha anggota musyawarah gampong yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Keuchik dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan gampong.
7) Keujrun Blang adalah ketua adat dalam urusan pengaturan irigasi, pengairan untuk persawahan, menentukan mulainya musim tanam, membina para petani, dan menyelesaikan sengketa persawahan.
8) Panglima Laot adalah ketua adat yang memimpin urusan bidang penangkapan ikan di laut, membina para nelayan, dan menyelesaikan sengketa laot.
9) Peutua Seuneubok adalah ketua adat yang mengatur tentang pembukaan hutan / perladangan/ perkebunan pada wilayah gunung/ lembah-lembah, dan menyelesaikan sengketa perebutan lahan.
10) Haria Peukan adalah pejabat adat yang mengatur ketertiban, kebersihan dan pengutip retribusi pasar.
11) Syahbandar adalah pejabat adat yang mengatur urusan tambatan kapal/ perahu, lalu lintas angkutan laut, sungai dan danau.
12) Panglima Uteun/Kejruen Glee adalah ketua adat yang memimpin urusan pengelolaan hutan adat, baik kayu maupun non kayu (madu, getah rambung, sarag burung, rotan, damar, dll), meurusa, memungut wasee glee, memberi nasehat/petunjuk pengelolaan hutan, dan menyelesaikan perselisihan dalam pelanggaran hukum adat glee.
Keberadaan lembaga adat di suatu kemukiman tergantung pada dimana letak geografi kemukiman tersebut. Sehingga, bisa jadi, pada suatu kemukiman ada lembaga adat yang tidak ada pada kemukiman lainnya. Misalnya, lembaga adat laoet hanya ada pada kemukiman yang wilayahnya di pesisir laut. Begitu pula lembaga adat hutan hanya ada pada kemukiman yang memiliki wilayah hutan. Namun ada pula kemukiman yang memiliki lembaga adat hutan dan juga lembaga adat laut, jika di kemukiman tersebut terdapat wilayah laut dan gunung.
Ketiga, ada wilayah hukum adat yang jelas. Suatu kemukiman adalah suatu juridiksi territorial yang jelas dan tegas dalam masyarakat Aceh. Artinya, jelas wilayahnya dan jelas pula batas-batasnya. Hanya saja, seringkali batas-batas tersebut tidak tersurat didalam suatu naskah tertulis, tetapi hanya berupa batas-batas alam yang mengacu pada penuturan para endatu terdahulu. Batas ini dapat berupa krueng, tereubeng, alue, juroeng, ateung, lueng, dan lain-lain.
Keempat, masih adanya peradilan adat. Pada masa Kerajaan Aceh hingga awal kemerdekaan, dan juga akhir-akhir – kecuali Era Orde Baru – di gampong-gampong dan juga di kemukiman memiliki system musyawarah penyelesaian sengketa. Pada masa Sultan Iskandar Muda, “perkara-perkara kecil biasanya diselesaikan oleh keuciek dengan tengku meunasah yang dibantu oleh tuha peut. Tanpa vonis, -- maksudnya, tanpa kalah menang -- persengketaan itu diselesaikan secara damai yang disebut dengan hukum peujroh (hukum kebaikan). Sehingga dari aspek historis, sejak dahulu kala gampong telah memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perkara-perkara kecil, pentjurian kecil, perkelahian, perkara-perkara sipil yang kecil-kecil yang nilai perkaranya tidak lebih dari 100 ringgit, dan lain-lain.[17]
Sekarang, dengan berlakunya Undang-Undang Pemerintahan Aceh telah mulai lagi dilakukan penyelesaian perkara secara adat di gampong-gampong dan bahkan sampai pada tingkat kemukiman.[18] Penulis, dalam kapasitas selaku tuha peut gampong Tanjong Deah Kecamatan Darussalam Kabupaten Aceh Besar, sudah pula pernah secara aktif beberapa kali melakukan persidangan adat guna menyelesaikan perkara (peukara) di dalam gampong. Kini malah sistem penyelesaian sengketa secara adat telah mendapat pengaturannya yang cukup tepat di dalam satu bab tersendiri pada Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Adat.
Syarat kelima sebagai masyarakat hukum adat yaitu, masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Hemat saya, syarat ini masih terpenuhi di dalam masyarakat kita. Masih banyak warga gampong yang menggantungkan hidupnya pada hutan dengan memungut hasil hutan sebagai mata pencahariannya. Meu glee, meu awe, meu rusa, meu uno, dan lain-lain adalah kegiatan pemungutan hasil hutan di Aceh yang dilaksanakan dengan segala kearifan tradisional. Bahkan pemungutan hasil hutan berupa kayu pun lazim dilakukan oleh warga gampong yang berdomisili di sekitar hutan. Hanya saja dengan dikeluarkan Instruksi Gubernur Nomor 5 Tahun 2007 tentang Moratorium Logging, kegiatan ini banyak menimbulkan masalah saat ini.
Dengan terpenuhinya kelima syarat sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang kemudian juga dinyataan dalam Qanun NAD Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim,[19] maka jelaslah sudah, dan tiada dakwa dakwi, bahwa pemerintahan mukim di Aceh merupakan masyarakat hukum adat Aceh.
Mukim sebagai pemerintahan resmi
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditegaskan bahwa hirarkhi peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, adalah :
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden, dan
5. Peraturan daerah (atau qanun, pen)
Perlu saya tegaskan bahwa, sekarang ini, keberadaan Pemerintahan Mukim telah diatur secara cukup jelas dan tegas dalam undang-undang dan dalam qanun. Yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,[20] pada Bab XV dengan judul Mukim dan Gampong. Dan sebagai penjabaran atau peraturan pelaksanaan (organic) dari undang-undang tersebut telah pula diundangkan Qanun Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim. Bahkan di dalam Pasal 3 qanun tersebut dnyatakan bahwa, Mukim mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syari’at Islam.
Dengan telah dinyatakannya mukim sebagai penyelenggara pemerintahan -- apalagi dengan cara cukup eksplisit – dalam peraturan perundang-undangan (UU dan Qanun), maka keberadaannya telah mendapat pengakuan dan pengukuhannya dalam hukum positif Indonesia. Dengan demikian, keberadaannya tidak saja hanya diakui dalam tataran social budaya masyarakat Aceh, tetapi juga telah diadopsi kedalam tataran juridis formal. Sehingga, keberlakuan dan penegakan hukumnya telah mendapat dukungan kuat dari institusi resmi negara dan pemerintahan. [21]
Namun masalahnya adalah bagaimanakah upaya yang akan dilakukan dalam rangka memberlakukan dan menegakkan Qanun tentang Pemerintahan Gampong tersebut,[22] sehingga eksistensi mukim bukan lagi hanya sebagai lembaga adat yang tak punya kuasa memerintah. Mukim bukan hanya merupakan simbol adat yang lazim dipentingkan pada upacara-upacara adat belaka, semisal; khanduri blang, khanduri laoet, dan khanduri-khanduri lainnya. Ternyata, menurut wawancara dengan Imeum Mukim Blang Mee Lhoong dan Imeum Mukim Tungkop Darussalam Kabupaten Aceh Besar, kenyataan bahwa keberadaan mukim masih seperti pada masa Era Orde baru, yaitu yang tidak memiliki kuasa pemerintahan masih dialaminya hingga ini hari.[23]
Hemat saya, sebagai upaya untuk mengembalikan fitrah mukim sebagai lembaga pemerintahan yang handal di Aceh, perlu dilakukan berapa upaya dan strategi, yaitu :
Pertama, sosialisasi yang massif dan mencerdaskan kepada semua pihak terkait (stakeholders) untuk memberitahukan dan menegaskan bahwa pemerintahan mukim bukan lagi hanya pemerintahan adat yang tak memiliki kuasa memerintah. Tetapi kini, ia telah menjadi lembaga pemerintahan resmi di dalam Pemerintahan Aceh dan Republik Indonesia.
Kedua, pihak pemerintahan atasan harus memberikan porsi kekuasaan dan kewenangannya yang jelas dan tegas tentang organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan yang dituangkan dalam qanun kabupaten sebagaimana diamanahkan oleh Pasal 114 ayat (4) Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Ketiga, pihak kecamatan dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebaiknya melalui pemerintahan mukim. Tidak langsung ke pemerintahan gampong. Sebaiknya lagi, Sekretaris mukim diangkat dari atau menjadi pegawai negeri sipil, sebagaimana halnya sekretaris gampong.[24]
Keempat, masyarakat kemukiman harus kembali mendukung eksisnya pemerintahan mukim sebagai kekayaan warisan leluhur (indatu), dengan cara membantu, mendukung, dan mematuhi kebijakan yang ditempuh oleh pimpinan kemukiman (imeum mukim, imeum mesjid dan tuha lapan).
IV
Mukim sebagai Pengembang Lembaga Adat dan Hukum Adat
Dalam Pasal 8 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, tegas disebutkan bahwa mukim melaksanakan tugas :
a. melakukan pembinaan masyarakat;
b. melaksanakan kegiatan adat istiadat;
c. menyelesaikan sengketa;
d. membantu peningkatan pelaksanaan syariat Islam;
e. membantu penyelenggaraan pemerintahan; dan
f. membantu pelaksanaan pembangunan.
Pada bagian lalu sudah dijelaskan bahwa dalam wilayah kemukiman terdapat lembaga-lembaga adat yang sesuai dengan geografi, situasi dan kondisi masyarakatnya. Lembaga-lembaga adat tersebut, sekalipun ia bersifat otonomi dan independent,[25] tetapi dalam pelaksanaannya perlu selalu menjalin koordinasi dengan pimpinan pemerintahan mukim. Misalnya, harus ada koordinasi antara imeum-imeum meunasah di gampong dengan imeum mesjid dan imeum mukim dalam menjadwalkan khanduri muoloed agar tidak terjadi bersamaan waktu hari khanduri antar gampong di dalam satu mukim. Hal ini penting dipertimbangkan karena pada acara tersebut, lazimnya diundang juga sekitar 12-17 orang para warga gampong dalam kemukiman tersebut.
Begitupula halnya, perlu ada koordinasi antara kejreun blang dengan imeum mukim dalam menentukan masa bercocok tanam padi di sawah. Hal ini perlu dilakukan berkaitan dengan persoalan distribusi air, dan kebersamaan dalam mengelola sawah mulai membajak (mu uew), menanam (seumula), merawat (meraweut), hingga panen (kemeukoh). Kapan masa turun ke sawah dalam masyarakat Aceh, lazimnya dihitung dengan watee keneunong.
Formulasi keneunong dihitung dengan cara menjadikan angka 25 sebagai angka pembilang untuk selanjutnya dikurangi dengan angka bulan masehi dikali dua. Misal, sekarang bulan Februari, maka keneunong-nya adalah 21, yaitu 25 – (2 x 2) = 25 – 4 = 21. Rumusan perhitungan seperti ini sudah dikenal sejak “tempoe doeloe”, yang tidak diketahui percisnya sejak kapan. Pada pendudukan Belanda dulu pun, system perhitungan keneunong sudah dikenal. Dalam kaitannya dengan keneunong yang berkenaan dengan pola pengusahaan bercocok tanam padi, ada narit maja yang bunyinya sebagai berikut, yaitu :[26]
• Keunong 11, tabu beu jareung; (bulan Juli)
• Keunong 9, tabu beurata;(bulan agustus)
• Keunong 7, padee lam umong; (bulan September)
• Keunong 5, padee ka dara; (bulan Oktober)
• Keunong 3, padee ka roh; (bulan November)
• Keunong 1, padee ka tuha (bulan Desember)
Selain kearifan di atas, masih banyak lagi kebijakan local yang perlu didokumentasi dan dikembangkan untuk ditemukan nilai-nilai luhurnya. Misalnya :
• “bek teumebang watee padee mirah”, maknanya, dilarang menebang pokok kayu manakala padi akan dipanen karena hal ini akan mendatangkan hama “geusong” (wereng). Bagi yang melanggar akan dikenakan denda oleh Kejrun Blang.
• Juga dikenal adanya pantang darut, yaitu dilarang ceumecah (menebang semak belukar bukan pohon kayu besar) pada saat hujan atau sedang roh padee (padi mau berisi). Karena kalau pantangan ini dilanggar, maka mendatangkan petaka hama belalang, yaitu jutaan belalang akan memakan batang padi yang masih muda sehingga tidak bisa di panen.
• Dan saat roh padee pun dilarang membawa daun nipah secara terbuka. Kalau pantangan ini dilanggar akan tertimpa penyakit puteh padee, sehingga padi tersebut tidak berisi manakala dipanen.
Dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa pada tingkat kemukiman, imeum mukim bersama dengan imeum mesjid dan tuha lapan menerima peukara-peukara yang dilimpahkan oleh gampong, baik yang menyangkut kasus persengketaan antara para warga yang berbeda gampong dalam satu kemukiman, ataupun menyangkut dengan peukara dalam gampong yang tak dapat diselesaikan oleh pimpinan gampong. Dalam hal demikian, maka tentu saja harus ada koordinasi antara pemerintahan mukim dengan pemerintahan gampong.
Dalam penyelesaian peukara secara adat musyawarah, para pimpinan gampong atau pimpinan kemukiman berprinsip pada “but rayeuk, beu ubit; But ubit, beu ek tapeu gadoh” . Maknanya, perselisihan besar, diusahakan diperkecil; Sedangkan perselisihan kecil, diupayakan menjadi hilang. Dan kalaupun dibebani sanksinya, maka penerapan sanksinya berprinsip pada “uleu beu matee ranteeng beek patah Ta tarek panyang, ta lingka paneuk” (ular harus mati, tapi rantingnya jangan patah. Ditarik memanjang, melingkar jadi pendek) .
Begitu pula halnya mesti pula ada koordinasi antara petua seneuboek dan panglima uteun atau pawang glee dengan imeum mukim dalam kaitannya dengan usaha membuka hutan untuk kebun atau dalam hal memungut hasil hutan (kayu, dan lain-lain).
Sineboek adalah suatu wilayah baru di luar gampong, yang pada mulanya berupa hutan yang dikemudian dijadikan kebun (ladang). Pembukaan sineboek harus selalu memperhatikan aspek lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi anggota sineboek dan lingkungan hidup itu sendiri. Sehingga, dalam pembukaan sineboek untuk selanjutnya dijadikan kebun, terdapat aturan-aturan yang yang telah dipahami dan dipraktekkan oleh masyarakat, seperti larangan penebangan pohon dalam radius atau jarak sampai dengan :
• Kira-kira 500 meter dari tepi danau adat waduk,
• Kira-kira 200 meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai pada daerah rawa,
• Kira-kira 100 meter dari kiri kanan tepi sungai,
• Kira-kira 50 meter dari kiri kanan tep anak sungai (alue)
• Kira-kira dua kali kedalaman jurang dari tepi sungai.
Selanjutnya, dalam memilih lahan lokasi pembukaan kebun, menurut adat sineobeok perlu pula mempertimbangkan posisi letak kemiringan utara-selatan sesuai dengan siklus edar cahaya matahari. Dalam hal ini dikenal hadih maja :
• Tanoh siheet u timu pusaka jeurat, (miring ke timur pusaka kubur)
• Siheet u barat pusaka papa, (miring ke barat pusaka papa)
• Siheet u tunong geulantan, (miring ke utara tanah yang menang)
• Siheet u seulatan pusaka kaya ( miring ke selatan pusaka kaya)
Selain tata cara memilih lokasi kebun, menurut adat sineboek dikenal pula beberapa pantangan, yang meliputi :
• Pantangan Jambo (tempat jambo/pondok tidak boleh di tempat lintasan binatang buas dan makhluk halus penghuni rimba, dan bahan pondok tidak boleh menggunakan kayu bekas lilitan uroet karena dipercayai akan mengundang ular masuk ke pondok tersebut.
• Pantangan Darut (hama belalang). Anggota sineboek pantang menggantung kain pada pohon, meneutak parang pada tunggul pohon, dan menebas semak (ceumecah) dalam hujan karena dipercaya dapat mendatangkan hama darut.
• Pantangan lainnya adalah dilarang berteriak-teriak (meu uk-uk) sambil memanggil-manggil di ladang karena dipercaya dapat mendatangkan hama tikus, rusa, kijang, monyet, tikus dan landak.
Ladang kebun (lampoeh) orang Aceh tak ubahnya seperti hutan, karena dalam kebun tersebut ditanami berbagai jenis tanaman secara campuran. Bahkan beberapa jenis kayu hutan, seperti bak manee dan lain-lain, tetap dibiarkan hidup. Kebiasaan ini tentu saja dapat dipahami sebagai perwujudan dari nilai keanekaragaman dalam pengelolaan kebun oleh masyarakat Aceh.
Adat sineboek memiliki kearifan tersendiri untuk menciptakan pemulihan kesuburan tanah yaitu dengan cara Pula bak reudeup. Para aneuk sineboek menanam bak reudeup sebagai tanaman pelindung, sekaligus penyubur tanah. Tanaman bak reudeup relatif cepat tumbuhnya. Fungsi utama tanaman ini adalah untuk pelindung tanaman utama (kopi, pala, dll), mengembalikan kesuburan tanah dan meningkatkan persediaan air. Bak reudeup mulai ditanam ketika tanaman padi sedang bunting. Lalu, setelah panen padi dilanjutkan dengan menanam kopi. Bila bak reudeup sudah cukup besar baru ditanam pohon pala. Apabila bak reudeup sudah cukup besar, biasanya bak reudep ditebang kembali karena kehadirannya justru menghalangi masuknya cahaya matahari untuk tanaman pala.
Dalam lingkungan sineboek juga berlaku sejumlah larangan adat yang tak boleh dilanggar. Larangan adat tersebut antara lain :
• Memanjat atau melempar durian muda, dikenakan denda seekor kambing,
• Meracun ikan di sungai atau alur,
• Berkelahi sesama orang dewasa dalam kawasan sineboek,
• Mengambil hasil kebun orang lain, kecuali buah durian yang jatuh walaupun bukan di kebun miliknya.
Dalam menyelenggarakan adat glee, mesti ada pula koordinasi antara pawang glee atau panglima uteun dengan imeum mukim.[27] Dalam literatur lama, diterangkan beberapa fungsi utama yang harus dilakukan oleh Panglima Uteun,[28] yaitu : Pertama, menyelenggarakan adat glee. Panglima uteun merupakan pihak yang memiliki otorita menegakkan norma-norma adat yang berkaitan dengan memasuki dan pengelolaan hutan adat (meuglee). Pangima Uteun atau Pawang glee (bawahan Panglima Uteun atau Kejruen Glee) memberi nasihat dalam mengelola (mamanfaatkan) hutan. Nasehat tersebut bersisikan tatanan normatif apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam kaitannya dengan pengurusan hutan adat. Selain itu, disampaikan pula petunjuk perjalanan dalam hutan sehingga jangan sampai orang tersesat, mendapat bahaya gangguan dari jin dan binatang-binatang buas.
Kedua, mengawasi dan menerapkan larangan adat glee. Dalam pengurusan hutan dilarang memotong pohon tualang, kemuning, keutapang, glumpang, beringin dan lain-lain kayu besar dalam rimba yang dirasa menjadi tempat bersarang lebah. Ini merupakan pantangan umum, yang apabila dilanggar dapat merugikan orang banyak, karena siapa saja boleh mengambil hasil-hasil madu yang bersarang dipohon-pohon besar itu. Dilarang memotong kayu-kayu meudang ara, bunga merbau, dan lain-lain kayu yang besar-besar yang dapat dibuat perahu atau tongkang, kecuali atas seizin dari Kedjroen atau Raja.
Tanda larangan orang banyak, yaitu dilarang memotong sebatang kayu dalam rimba/hutan yang sudah ditetak sedikit kulitnya dan di atasnya dililit akar kayu yang disangkut dengan daun-daun. Demikian juga, dilarang orang mengambil kayu yang sudah ditumpuk-tumpuk oleh seseorang yang di atasnya diletakkan sebuah batu. Batu itu berarti sebagai suatu tanda (kode) bahwa kayu yang bertumpuk itu telah ada yang punya. Panglima Uteun memiliki kompetensi melakukan pengawasan penerapan larangan adat glee, agar semua larangan tersebut dilaksanakan oleh setiap orang.
Ketiga, Panglima Uteun berfungsi sebagai pemungut wasee glee. Dimasudkan dengan wasee glee adalah segala hasil hutan seperti cula badak, air madu, lebah, gading gadjah, getah rambung (perca), sarang burung, rotan, kayu-kayuan bukan untuk rumah sendiri (dijual), damar, dan sebagainya. Besarnya wasee (cukai) adalah 10 % untuk radja (kerajaan).
Keempat, Panglima berfungsi menjadi hakim dalam menyelesaikan sesuatu perselisihan dalam pelanggaran hukum adat glee. Dalam suatu perundingan (musapat), Panglima Uteun atau kejruen glee terlebih dahulu meminta dan mendengar keterangan dari pawang-pawang glee, kemudian setelah itu barulah kejruen glee memberi hukum atau keputusan.
Berdasarkan fungsi diatas dapatlah dipahami bahwa Panglima Uteun dalam masyarakat Aceh mempunyai peran strategis dalam upaya pengelolaan lingkungan, khususnya dalam hal pemanfaatan hutan dan hasilnya.

Berdasarkan ulasan tegaslah bahwa ; (1) dari aspek historis pemerintahan mukim telah demikian mengakar dalam masyarakat Aceh sejak zaman dahulu kala. (2) Mukim memenuhi syarat juridis untuk dapat dikatakan sebagai masyarakat hukum adat, (3) Pemerintahan Mukim bukan lagi hanya sebagai pemerintahan adat ansich, tetapi telah menjadi lembaga yang menyelenggarakan pemerintahan resmi dalam system pemerintahan Aceh (UUPA dan Qanun 4/2003). Maka oleh karenanya (4) sangat diharapkan eksistensi peran dan fungsi mukim yang lebih optimal lagi dalam mengembangkan nilai-nilai dan norma-norma adat Aceh.
________________________________________
[1]Disampaikan Pada Acara Workshop Penguatan Institusi Lembaga Adat Melalui Pendokumentasian Hukum Adat, diselenggarakan oleh Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh dan GenAsist di Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, Rabu, 11 Februari 2009.
[2] Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, yang juga sebagai tenaga ahli di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
[3] Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad, waspada, Medan, 1981, hal. 403.
[4] Selain pendapat bahwa tiap satu Mukim terdiri dari 40 orang laki-laki dewasa yang sudah wajib mendirikan shalat Jum’at, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa satu Mukim itu terdiri dari 1.000 orang laki-laki dewasa, sebagaimana pendapat HM Zainuddin, Tarich Atheh dan Nusantara, Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1961, hal. 315.
[5] Singarimbun, (et.al), Aceh Dimata Kolonialis,terjemahan dari The Achehnese, Snouck Hugronje, Yayasan Soko Guru, Jakarta, 1985, hal. 91-93.
[6] Ali Hasjmi, 59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, hal. 134.
[7]Ibid., Hal. 92.
[8] Sanusi M. Syarif., Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekonstruksi Pasca tsunami, Pustaka Latin, Bogor, 2005. hal. 63.
[9] Berdasarkan fakta sejarah, Selain di Aceh Besar (Aceh Rayeuk) , bentuk federasi Mukim dengan menyebut langsung jumlah Mukim yang bergabung, juga dapat ditemukan di wilayah Pidie, misalnya XII Mukim Pidie, II Mukim Aree, III Mukim Aroen, VI Mukim Ie Leubeu dan lain-lain. Lihat juga Ismail Suny, Bunga Rampai Tentang Aceh, Bharata Karya Aksara, Jakarta, 1980, Hlm. 192.
[10] Mahdi Syahbandir, Eksistensi dan Peranan Imuem Mukim dalam Pelaksanaan Pemerintahan Desa di Kabupaten Tingkat II Aceh Besar, Tesis Program Pascasarjana UNPAD, Bandung, 1995, hal.3.
[11] Pada masa ini Aceh merupakan suatu keresidenan dalam Provinsi Sumatera dengan Gubernur Mr. Teuku Muhammad Hasan, yang berkedudukan: di Medan untuk wilayah Sumatera bagian Utara, di Bukit Tinggi untuk wilayah Sumatera bagian Tengah, dan di Palembang untuk Sumatera bagian Selatan. Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia dibagi dalam 8 (delapan) provinsi, yaitu : Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Lihat, S.M. Amin, Kenang-Kenangan dari Masa Lampau, Pradya Paramita, Jakarta, 1978, hal. 40.
[12] Teuku Djuned, dkk, Pemerintahan Mukim Masa Kini, Laporan Penelitian, Pusat Studi Hukum Adat Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, 2003, hal. 38.
[13] Singarimbun, Op.cit., Hlm. 90-91.
[14] HM Zainuddin, Tarich Atheh dan Nusantara, Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1961, Hlm. 317.
[15] Teuku Djuned, dkk, Pemerintahan Mukim Masa Kini, Laporan Penelitian, Pusat Studi Hukum Adat Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, 2003, hal. 38.
[16] Lihat Penjelasan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
[17] Taqwaddin, Gampong sebagai Basis Perdamaian, makalah disampaikan pada Acara Lokakarya Perumusan Metoda Penerapan Nilai-nilai Kearifan Lokal untuk Mewujudkan Perdamaian Berkelanjutan di Aceh, diselenggarakan oleh JAPPP dan Badan Reintegrasi Aceh (BRA), Banda Aceh, 31 Januari 2009.
[18] Taqwaddin, Penyelesaian Perkara secara Adat Aceh, paper Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Darussalam, Banda Aceh, 3 Februari 2008.
[19] Lihat Penjelasan Umum Qanun NAD tentang Pemerintahan Mukim.
[20] Undang-undang ini menggantikan dan mencabut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sekalipun kelahiran UU Nomor 18 Tahun 2001 dalam kerangka semangat penyelesaian persoalan Aceh, namun dalam pelaksanaannya undang-undang tersebut juga belum cukup memadai dalam menampung aspirasi dan kepentingan pembangunan ekonomi dan keadilan politik. Sehingga hal demikian mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang mencabut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2001. Lihat ; Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.
[21] Taqwaddin, Keterpaduan Hukum Islam dan Hukum Adat dalam Pelaksanaannya pada Masyarakat Aceh, makalah Disampaikan sebagai bahan diskusi pada Training of Trainers Penguatan Kapasitas Tokoh Adat (Adat Capacity Enhancement), diselenggarakan oleh ACE-MAA, Banda Aceh, 24 Januari 2009.
[22] Secara teoritik, terdapat beberapa factor atau variable yang mempengaruhi teraktualisasinya suatu system hukum dalam dunia empiric, yaitu substance, structure, and culture. Lihat, Friedman, L.M., The Legal System; A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, 1975. Secara khusus untuk mengkaji hal ini, sebagai kerangka teoritiknya dapat juga dibaca dalam, Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1996.
[23] Wawancara dengan Imeum Mukim Abbas Ali (Blang Mee, Lhoong) dan Imeum Mukim Nur Hasballah (Tungkop, Darussalam, Sabtu, 7 Februari 2009.
[24] Menurut Pasal 116 ayat (2) Undang-Undang Pemerintahan Aceh, Sekretaris Gampong diangkat dari pegawai negeri sipil (PNS) yang memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
[25] Lihat Pasal 3 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
[26] Taqwaddin, Aspek Hukum dan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan DAS Krueng Sabee, makalah, WWF Indonesia, Program Aceh, 2008.
[27] Taqwaddin, Adat dalam Pelestarian Hutan Aceh, makalah disampaikan pada acara Seminar Sehari degan tema ”Moratorium Logging untuk Mewujudkan Hutan Aceh Lestari”, diselenggarakan oleh AJRC-UNDP, Banda Aceh 17 Nopember 2008.
[28] Taqwaddin, Adat Hutan Aceh, opini, Harian Serambi Indonesia, 3 Juni 2008. Lihat juga, Taqwaddin, Adat Aceh tentang Hutan, Majalah Jeumala, Majelis Adat Aceh Prov. NAD, No. 26 April

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jadwal Shalat