Adat bak Poteumeureuhoem, Hukoem bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana”~~~~~~~ Adat ban adat, hukom ban hukom, hanjeut meuron-ron krie-krie nyang hawa, watee meupakat adat ngon hukom, nanggroe rukon, hana le goga~~~ Roek ngon bara bak ureung naggroe, pasoe bajoe bak ureung tuha, tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteh itam bak ulama~~~Gaseh keu aneuk beuget tapapah, gaseh keu nangbah beuget tajaga~~~Raseuki deungon tagagah ....Tuah deungon tamita.....Tuah meubagi-bagi.......Raseuki meujeumba-jeumba~~~~~Teupat ke pangkai, akay keu laba~~~ KRAB TAJAK GEUBRIE SITUEK, JAREUNG TADUEK GEUJOK TIKA~~~~~ ASAI CABOK NIBAK KUDE, ASAI PAKE NIBAK SEUNDA ~~~~~~~~ Duek, duek aree, jak, jak langay~~~~Meunyoe ate hana teupeh pade bijeh geupeutaba, tapi meunyoe ate ka teupeh bu leubeh han meuteumeung rasa~~~Jaroe bak langay, mata u pasay~~~Singet bek rhoe beuabeh~~~ Nibak puntong get geunteng, nibak buta get juleng~~~Mate aneuk meupat jeurat, mate adat pat tamita~~~Tameh surang sareng, asay puteng jilob lam bara~~~tameungeuy ban laku tuboh, tapajoh ban laku atra ~~~Uleu beumate, ranteng bek patah~~~Kameng blang pajoh jagong, kameng gampong keunong geulawa~~~lagee manok toh boh saboh, jeut lampoh soh jimeuseurapa, dipinyie jitoh siribee, hana jithee le silingka~~~ lagee bubee duwa jab, keunoe toe keudeh pih rhab~~~bak adat han jikab, bak hukom han ji talum~~~paleh sagoe meuleuhob jurong, paleh gampong tan ureung tuha~~~hak ube jiplueng, bulueng ube jiteuka~~~meunyoe na ate, pade tatob, hana bak droe talakee bak gob~~~rayek rumoh rayek keunaleung, rayek bateueng rayek sawa, rayek pageu rayek beunteueng, rayek ureung rayek keureuja~~~PUTOH NGON MUPAKAT, KUWAT NGON MEUSEURAYA~~~~~~blink>Diet Peugah Duem Peubuet Banja Beusanteut Mukim Siem Tapuga

R a n u b si G a p u e


Assalamu'alaikumwarahmatullah...
Jaroe duablah ateuh jeumala,
Saleum ulon brie keu syedara meutuwah,
Neubrie ya Allah mandum sijahtra...
Amiin Ya Rabbal A'lamiin...

Dengan segala kerendahan hati, kami menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua Pengunjung blog baleeMUKIM. Meski dalam format dan tata saji yang amat sederhana, kami memberanikan diri untuk mendedikasikan blog ini untuk mengawal, mempertahankan dan mengembangkan keberadaan komunitas dan Lembaga Pemerintahan Mukim di Aceh pada umumnya, atau Mukim Siem - Darussalam khususnya.
Kami mengundang pengunjung sekalian agar berkenan berpartisipasi mewujudkan Visi dan Missi dari blog baleeMUKIM ini. Sumbangan pikiran, pendapat, komentar, kritik, saran, dan apapun yang sifatnya konstruktif, merupakan cemeti yang seharusnya mendorong kita untuk lebih maju.
Pengunjung sekalian...sekecil apupun keterlibatan anda dalam upaya pencapaian tujuan mengawal, mempertahankan dan mengembangkan eksistensi komunitas Mukim di Aceh, menurut kami mesti diapresiasikan sebagai perjuangan menuju kehidupan lebih terhormat dan bermartabat di atas landasan budaya kita sendiri.
Ayo..., lakukan ...!!! Bersama Kita Bisa...!!!

"Rhoek ngen bara bak ureung Nanggroe, Pasoe bajoe bak ureung tuha, Tameh teungoh bak ulee balang, peutrang puteeh itam bak ulama."
Pengunjung sekalian..., mari wujudkan cita-cita besar ini, mulailah dengan sebuah langkah kecil. ingat...!!! Perjalanan ribuan kilometer selalu diawali dengan sebuah langkah kecil...lakukan sekarang...!

Wassalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuh
teurimong gaseh.
admin.

Kita Tidur di Atas Pusat Gempa, Kenapa Panik?

Kepala Pusat Vulkanologi, Surono
"Yang penting waspada, memang bencana datang pada saat kita lengah." 
VIVAnews, Selasa, 27 Juli 2010, 07:00 WIB
Elin Yunita Kristanti

Diungkap dalam sejarah, Batavia sebagai cikal bakal Jakarta, pernah luluh lantak dihajar gempa. Dua di antaranya terjadi pada 1699  yang diikuti letusan Gunung Salak, dan tahun 1883, saat Krakatau mengamuk.

Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Surono mengatakan, letusan dua gunung itu bukan penyebab gempa bumi.

"Kebalik, justru gempa bumi tektonik bisa merangsang letusan gunung api. Kalau gempa vulkanik tidak merusak, sebab, maksimal kekuatannya 2 skala Richter," kata Surono saat dihubungi VIVAnews, Senin 26 Juli 2010 malam.

Misalnya, tambah dia, meletusnya Gunung Talang dipicu gempa Mentawai 2004.

Sementara, untuk potensi gempa Jakarta, Surono berpendapat, jika dilihat dari peta percepatan, tidak sesuai jika Jakarta disebut terancam. Apalagi, peta percepatan bukan peta bahaya gempa bumi.

"Yang membahayakan bukan percepatan gempa. Tapi, goncangannya, pelulukan -- keluarnya air dalam bumi-- bangunan di atasnya bisa merangsek ke dalam tanah seperti Hotel Ambacang."

"Atau bencana tsunami yang bisa diakibatkan gempa bumi."

Masyarakat, tambah dia, tak perlu panik. "Kita tidur di atas calon pusat gempa bumi, di atas magma. Jadi jangan paranoid."

Dari geografisnya, Indonesia memang berada di atas zona tektonik sangat aktif. Sebab, berada di antara tiga lempeng besar dunia –Pasifik, Australia, dan Eurasia, dan sejumlah lempeng kecil lainnya bertemu di wilayah nusantara.

Berada di lingkaran ‘cincin api’ atau ring of fire membuat negeri ini langganan bencana, seperti gempa dan letusan gunung berapi.

"Dari zaman nenek moyang, Indonesia sudah rentan gempa bumi. Mau diramalkan ahli atau tidak, Indonesia tetap rawan gempa. Tapi keturunan nenek moyang kita bisa mencapai 200 juta jiwa."

Menurut dia, isu gempa Jakarta bisa menimbulkan hambatan sosial maupun ekonomi. Efeknya tak hanya pada warga Jakarta, atau Indonesia, yang menggantungkan diri pada Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi, tapi juga perwakilan asing. Juga mempengaruhi iklim investasi.

Yang terpenting, jelas Surono, adalah sikap waspada. Bagaimanapun gempa pasti ada, tidak bisa direkayasa. Yang harus dilakukan adalah bersikap waspada, mendirikan bangunan tahan gempa, dan persiapan diri. "Bencana datang pada saat kita lengah," ujarnya (np).
• VIVAnews

Layanan Publik Indonesia Terburuk di Asia


Kemendagri terus berbenah agar semua pelayanan dapat diberlakukan satu pintu.
 
Senin, 26 Juli 2010, 15:56 WIB
Amril Amarullah VIVAnews
Gamawan Fauzi (Antara/ Yudhi Mahatma)


VIVAnews - Sebuah penelitian oleh Lembaga Penelitian Politik di Hongkong menyebutkan, Indonesia adalah negara dengan peringkat sembilan dari 10 negara Asia dalam hal pelayanan publik. Tentunya, ini bukanlah peringkat yang baik di mata dunia.
Menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, buruknya peringkat Indonesia d tingkat Asia ini, karena tidak adanya standar pelayanan yang cepat, murah terukur dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
"Contohnya, dari 254 kabupaten dan kota yang ada di Indonesia baru 150 kabupaten dan kota yang menerapkan pelayanan satu pintu, dalam hal perizinan," kata Mendagri Gamawan Fauzi di Bandung, 26 Juli 2010.
Karena itu, Kementerian Dalam Negeri yang sejak Januari 2009 terus membenahi dan mendorong agar pemerintah kabupaten dan kota mempunyai pelayanan satu pintu dalam perizinan.

"Kecenderungannya semakin baik. Ditambah dengan adanya UU Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008, daerah dapat mengakomodir kebutuhan informasi publik dan transparansi," ungkap Gamawan.
Tentunya, dengan daerah melakukan akomodir, setiap uang yang dikelola pemerintah daerah dapat dipertanggungjawabkan. (hs)

Ariel, SBY dan Moral Bangsa

        Geger kasus Video Porno yang melibatkan artis ternama "mirip" Ariel, Luna Maya dan Cut Tari,  ternyata tidak hanya menggemparkan tanah air ,  namun juga ikut menggoyang dunia pemberitaan internsional.  Kasus ini menarik perhatian media-media ternama dunia,  barang kali karena kasus ini terjadi di Indonesia yang notabene adalah negera dengan penduduk muslim terbesar di dunia.  
        Gencarnya pemberitaan dunia terhadap kasus ini,  membuat presiden SBY sang pemimpin negeri ini menjadi malu dan sedih.  Hal itu diungkapkannya ketika bertemu dengan pengurus MUI  di komplek istana kepresidenan di Jakarta.  "Bapak Presiden merasa malu, sedih. Untuk itu Presiden meminta kepada Majelis Ulama Indonesia, masalah-masalah seperti ini mendapatkan perhatian bagi para ulama, perhatian dari keluarga muslim," ujar Sekjen MUI Ikhwan Sam kepada media massa.
       Sebenarnya, apa yang mebuat SBY merasa malu dan sedih ?  Apakah karena kasus ini dianggap telah menjadi "aib nasional". Apakah mereka "dalam hal ini sosok mirip Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari" dianggap telah mencoreng arang di wajah bangsa yang telah terlanjur dianggap santun dan religius ini.  Apakah  karena ulah mereka dianggap telah merusak dan menghancurkan  moral bangsa , terutama  moral generasi mudanya.
       Mesti diakui  memang beredarnya video porno ariel, telah ikut mimicu meningkatnya kasus kejahatan seksual di Indonesia. Hal ini sesuai dengan laporan dari berbagai media massa,  yang memberitakan bahwa berdasarkan hasil penyidikan aparat penegak hukum, banyak pelaku kejahatan seksual melakukan kejahatan tersebut karena terangsang setelah menonton video porno Ariel.
       Namun demikian menjadikan Ariel Cs  sebagai penanggungjawab kerusakan moral bangsa ini , sehingga sampai SBY menjadi malu dan sedih merupakan sesuatu yang sangat naif.  Saya melihat perintah SBY kepada Kapolri untuk menindak tegas Ariel dan kawan-kawan pun merupakan sebuah penyelesaian masalah yang parsial.
       Semoga tak berlebihan, Ariel cs sebenarnya adalah korban dari carut marutnya pengaturan penyiaran di Indonesia.  Pasca Reformasi ada euforia yang berlebihan dari berbagai media untuk memberitakan apapun termasuk penyiaran-penyiaran yang memiliki kecendrungan porno.  Dan ini menjadi santapan sehari-hari anak-anak bangsa ini. 
       Kerusakan moral anak bangsa yang dipicu oleh penyiaran yang berbau pornografi atau erotis lainnya telah berada dalam situasi yang merisaukan.  Perlu langkah-langkah strategis dan meyeluruh untuk menyangkal merosotnya moral anak negeri.  Kasus Ariel seharusnya memberi pelajaran dan kita jadikan sebagai titik balik untuk memperbaikinya kembali,  sehingga kedepan seorang presiden dari negeri yang santun dan agamis ini tak sampai malu dan sedih dengan prilaku anak negerinya. (bM).
       
     
     
       

SBY Malu & Sedih Video Seks Ariel Mendunia

19/07/2010 - 18:05
Windi Widia Ningsih
Ichwan Sam
(IST)
INILAH.COM, Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memberikan perhatian khusus kepada kasus video porno yang diperankan Ariel, Luna Maya dan Cut Tari.

Hal ini disampaikan Sekretaris Jenderal (Sekjen) MUI Ichwan Sam usai bertemu dengan Presiden SBY di kantor Presiden, kompleks Istana, Jakarta, Senin (19/7).
Dikatakan Ichwan, Presiden mengaku sangat prihatin terhadap kasus yang telah menyebar sampai dunia Internasional ini.
"Bapak Presiden merasa malu, sedih. Untuk itu Presiden meminta kepada Majelis Ulama Indonesia, masalah-masalah seperti ini mendapatkan perhatian bagi para ulama, perhatian dari keluarga muslim," ujarnya.
Sementara untuk Kapolri dan Jaksa Agung, tutur Ichwal, Presiden meminta untuk melakukan langkah-langkah hukum dan jangan ragu-ragu menindak. [win/bar] http://M.inilah.com

Status Otsus Aceh jangan Digantung

Serambi Indonesia Thu, Jul 15th 2010, 11:57

Ketua Dewan Pembina DPP Partai Golkar:

Status Otsus Aceh jangan Digantung


Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Pusat Akbar Tanjung (dua dari kanan)
didampingi Ketua Wantim Partai Golkar Kota Banda Aceh Muntasir Hamid 
berdialog tentang pelaksanaan UUPA dengan Ketua Partai Golkar Aceh yang
juga Wakil Ketua DPRA Sulaiman Abda dan Ketua Komisi A Adnan Beuransyah 
di ruang Wakil Ketua DPRA, Rabu (14/7). SERAMBI/HERIANTO

BANDA ACEH - Pemerintah pusat harus menyerahkan sepenuhnya kewenangan otonomi khusus (otsus) bagi Provinsi Aceh, sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Jangan ada lagi aturan hukum yang masih bersifat abu-abu, semuanya harus jelas dan terang-benderang. Demikian pula soal kewenangan otsus, termasuk peraturan yang menyertainya, jangan ada yang dihambat atau digantung.

Hal itu disampaikan Ketua Dewan Pembina DPP Partai Golkar, Akbar Tandjung, dalam pertemuan dengan pimpinan dan sejumlah anggota DPRA, di Gedung DPRA, di Banda Aceh, Rabu (14/7). “Kewenangan dari status otsus itu perlu diperjelas agar kesepakatan damai yang telah berjalan, bisa berlangsung abadi dan tidak sampai menimbulkan gejolak kembali pada generasi berikutnya,” kata Akbar Tandjung.

Pertemuan yang khusus mendiskusikan tentang implementasi dan pelaksanaan otsus Aceh dalam kerangka UUPA itu, antara lain dihadiri Wakil Ketua I DPRA Amir Helmi, Ketua Komisi A DPRA Adnan Beuransyah, Sekretaris Komisi D DPRA Adli Tjalok, anggota Komisi C DPRA Anwar dan sejumlah anggota DPRA lainnya, yang tampak mengikuti diskusi ini dengan tekun.

Sedangkan dari Partai Golkar masing-masing tampak Ketua DPD I Partai Golkar Aceh yang juga Wakil Ketua DPRA Sulaiman Abda, Sekretaris DPD I Partai Golkar Aceh Zuriat Suparjo, Ketua Harian Partai Golkar Aceh Zamzami, dan Ketua DPD II Partai Golkar Banda Aceh Muntasir Hamid.

Dalam pertemuan yang berlangsung selama lebih kurang satu jam itu, Akbar Tandjung mengungkapkan bahwa kunjungannya ke Banda Aceh dimaksudkan untuk memberikan materi pendidikan diklat kader HMI tingkat nasional yang dilaksanakan di Kota Banda Aceh. “Selain itu, saya juga ingin bertemu dengan para kader partai Golkar di DPRA untuk mendapatkan informasi tentang pelaksanaan UUPA di Aceh pascadamai,” ujarnya.

Menurut Ketua Dewan Pembina DPP Partai Golkar yang pernah menduduki beberapa pos menteri pada masa Orde Baru itu, beberapa kewenangan otsus yang diberikan pemerintah pusat kepada Aceh telah berjalan dengan baik dan sukses. “Misalnya kewenangan pembentukan partai lokal sudah berjalan, bahkan partai lokal yaitu Partai Aceh mendominasi anggota legislatif di sejumlah kabupaten/kota sampai provinsi, pada pemilu legislatif 2009 lalu,” kata Akbar Tandjung.

“Begitu juga dengan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Calon bupati/walikota dan gubernur tidak hanya boleh dari partai politik, tapi juga dari unsur independen. Ini juga sudah berjalan baik. Banyak mantan anggota GAM yang berhasil menjadi bupati, bahkan gubernur melalui calon independen. Contohnya Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar yang sedang berkuasa sekarang ini dari unsur independen,” imbuh Akbar Tandjung.

Lakukan pendekatan
Terkait dengan belum adanya Wakil Ketua III DPRA, Akbar Tandjung menyarankan agar Pimpinan dan anggota DPRA terus melakukan pendekatan informal maupun formal dengan Menteri Hukum dan HAM maupun Mendagri, supaya posisi Wakil Ketua III yang kosong selama sembilan bulan karena tolak tarik UUPA dengan UU Nomor 27/2009, bisa diisi pada bulan depan. “Aturan hukum yang masih abu-babu, perlu diperjelas. Kalau tidak bisa, katakan dengan tegas, dan beri alasan yang jelas dengan dasar hukum yang jelas pula, supaya bisa diterima orang banyak dan kita terus tidak berada dalam kondisi menggantung, ke atas tidak, apa lagi ke bawah,” tegasnya.

Akbar mengatakan, salah satu tugas anggota legislatif itu adalah melakukan pengawasan. Laksanakan tugas pengawasan itu dengan proporsional dan profesional, agar apa yang menjadi cita-cita rakyat yaitu bebas KKN, kemakmuran, kesejahteraan dan kedamaian yang sesungguhnya bisa dicapai dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Misalnya, penyerahan kewenangan pertanahan yang belum diserahkan pemerintah pusat kepada Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota. Karena itu merupakan perintah UU, maka presiden dan para kabinetnya harus melaksanakan dengan segera dan tidak boleh mengulur-ulur waktu. Ini menjadi tugas DPR RI dan DPRA untuk mengawasi apakah produk hukum yang dihasilkan oleh anggota legislatif di tingkat nasional itu sudah berjalan dengan baik apa belum di Aceh?

Seperti yang disampaikan Ketua Komisi A, Adnan Beuransyah, bahwa dalam UUPA hanya ada enam kewenangan yang berada pada pemerintah pusat, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan yustisi, moneter dan fiscal nasional dan urusan tertentu dalam bidang agama. Selain dari enam kewenangan itu, harusnya Pemerintah Aceh bisa melaksanakannya secara mandiri dengan berkoordinasi kepada pemerintah pusat sebagai induknya.

Untuk itu, selaku Dewan Pembina DPP Golkar Pusat, Akbar Tanjung mengatakan, masalah yang dihadapi Pemerintah Aceh dan anggota DPRA dalam mengimplementasi kewenangan yang terdapat dalam UUPA, akan disampaikannya kepada Ketua DPP Partai Golkar Ir Aburizal Bakrie dan Fraksi Partai Golkar di DPR RI, supaya kewenangan yang belum diserahkan segera diserahkan pemerintah pusat.(her)
Akses  m.serambinews.com dimana saja melalui browser ponsel Anda.

Penyakit Tahunan Serapan APBA

Mon, Jul 12th 2010, 08:17
PEMERINTAH Aceh kembali diserang penyakit tahunan dalam penyerapan APBA 2010. Hingga awal Juli, serapan anggaran baru 1,5 triliun dari pagu anggaran Rp 7,638 triliun yang jika dikonversi ke persentase baru sekitar 20 persen. Padahal, seharusnya serapan anggaran hingga Juli sudah harus berada di atas level 50 persen (Serambi, 4/07/10).

Ini berarti SKPA di lingkaran Pemerintah Aceh ketinggalan dari angka yang harus dicapai dengan berbagai sebab dan alasan.  Malangnya lagi, dari 20 persen serapan tersebut lebih terkonsentrasi di dinas-dinas yang tidak terkait langsung dengan kesejahteraan masyarakat. Alias, dana anggaran lebih terserap di pembiayaan internal SKPA seperti di dinas Kepegawaian, Pendidikan dan Penelitian. Sementara dinas-dinas penting seperti Dinas Bina Marga, Dinas Pertanian, dan Dinas Pendidikan malah berada di bawah 14 persen (Serambi, 04/07/10).

Penyakit tahunan ini bisa ditelusuri dari tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan kliping media, serapan APBA memang selalu lamban setiap tahun. Walaupun angka serapan naik setiap tahun, namun tetap tergolong lamban dan tidak memenuhi standar serapan yang normal sesuai dengan perencanaan pembangunan dan anggaran. Kalau kita mau fokus pada era pemerintahan Irwandi, kita bisa lacak rendahnya serapan anggaran tersebut dari tahun 2008, setahun setelah pemerintahan ini terbentuk.

Kalau kita mau melihat serapan APBA tahun 2008, daya serap APBA pun sama rendahnnya dengan tahun ini. Pada tahun 2008, Kepala Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh (DPKKA) saat itu T Lizam mengemukakan bahwa hingga 7 Oktober 2008, daya serap APBA 2007 masih rendah atau baru 14 persen, atau senilai Rp 1,1 triliun dari pagunya Rp 8,5 triliun. Dari jumlah anggaran yang telah terserap itu, realisasi belanja langsung/pegawai dan operasi kantor mencapai Rp 463 miliar, sedangkan realisasi belanja tak langsung/modal dan pembangunan masih rendah sekali, yakni Rp 704 miliar dari pagu sekitar Rp 7,5 triliun. Hal ini terjadi karena pelaksana proyek belum mengajukan amprahan uang muka kerja (UMK). Kalau amprahan ini sudah dilakukan, serapan anggaran bisa mencapai 20 persen (Serambi, 08/10/08). Itulah posisi APBA per Oktober 2008.

Tahun 2008, untuk pertama kalinya Pemerintah Aceh mampu menyelesaikan RAPBA tetap waktu sesuai dengan komitmen dengan DPRA yaitu penyerahan RAPBA 2009 dilakukan pada Oktober 2008. Ini merupakan langkah maju karena penyakit lain yang dihadapi pemerintah daerah di seluruh Indonesia adalah keterlambatan penyerahan RAPBD setiap tahunnya. Dalam hal ini, pemerintahan Irwandi berhasil melompat rintangan tersebut.

Tahun 2009, serapan APBA pada posisi 6 November 2009 menurut Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh (DPKKA), jumlah dana APBA 2009 yang terserap masih relatif rendah, baru 40 persen atau senilai Rp 3,88 triliun dari pagunya Rp9,7 triliun. Ini artinya, sisa dana yang belum terserap mencapai Rp 5,82 triliun lagi (Waspada, 09/11/09). Itu bermakna posisi serapan APBA juga sedang dalam masalah.

Penyakit tahunan ini bukan hanya diidap oleh pemerintahan Irwandi, tetapi merupakan penyakit bawaan dari pemerintahan lama. Hanya saja, pemerintahan Irwandi pun pada akhirnya tetap tidak mampu keluar secara menyakinkan dari warisan-warisan tersebut. Ibarat permainan sepakbola Piala Dunia, pemerintah Irwandi menyakinkan di kampanye akan adanya perubahan pada tahap awal, tetapi mulai mengalami disorientasi pada masa akhir kepemimpinannya.

Rendahnya penyerapan APBA pasti memiliki dampak luas terhadap pertumbuhan ekonomi dan perjalanan pembangunan di Aceh. Apalagi Aceh sudah berada pada posisi pasca rehabilitasi dan rekonstruksi. Secara kasar, pasca-berahirnya BRR di Aceh, pertumbuhan perekonomian Aceh melemah dan itu hanya bisa diatasi dengan realiasi APBA. Karena hal itu akan merangsang pertumbuhan ekonomi.

Mengatasi penyakit tahunan
Sebagai sebuah sistem, pemerintah Aceh memiliki perangkat-perangkat yang bisa difungsikan untuk memperlambat sebaran penyakit ini. Kalangan DPRA menyarankan supaya Gubernur melakukan evaluasi terhadap kinerja SKPA. Saran ini tentu bukan saranan pertama dalam sejarah lambannya serapan APBA. Tahun-tahun sebelumnya pun banyak kalangan menyarankan supaya penyakit tahunan ini diatasi dengan evaluasi kinerja dan perombakan kabinet.

Masalahnya kemudian, evaluasi dan perombakan kabinet ini menjadi tidak efektif ketika pemerintah sebagai sebuah sistem mengaidap penyakit komplikasi lain berupa ketidakmamuan untuk belajar dari pengalaman, ketidaksediaan untuk melakukan perubahan karena merusak kepentingan yang sudah ditanam, dan serta kepentingan politik yang cenderung melingkari perombakan birokrasi itu sendiri.

Pemerintahan merupakan sebuah organisasi politik birokrasi yang di dalamnya bersarang bukan hanya kepentingan masyarakat tetapi juga menjadi rumah bagi kepentingan politisi dan birokrat. Jelas sekali dengan lingkungan yang sedemikian itu pemerintah menjadi arena bagi berbagai kepentingan yang akhirnya membuatnya mengidap penyakit komplikatif.

Oleh sebab itu, perombakan tidak menjamin bisa jadi obat tetapi bisa digunakan sebagai alat untuk menekan SKPA-SKPA supaya memacu kinerja mereka untuk memenuhi target dan capaian yang bukan dari aspek kuantitatif (persentase serapan anggaran) tetapi juga harus memenuhi aspek kualitatif (kualitas hasil kerja).

Kinerja pemerintah Aceh perlu terus dipacu dengan jalan menekan semua SKPA supaya member fokus kepada tanggungjawab dan tugas utama mereka. Banyaknya perjalanan ke luar daerah memang sangat mengganggu fokus kerja karena dipastikan aspek entertainment lebih dominan dalam perjalanan tersebut ketimbanga tujuan utama perjalanan itu sendiri sebagai tugas dinas yang harus dipertanggungjawabkan. 

Sementara di sisi lain, Gubernur perlu mengatasi tekanan-tekanan politik yang muncul terhadap SKPA dari kekuatan luar. Karena jika SKPA diberi beban untuk menyelesaikan tekanan politik mereka juga melakukan manuver-manuver politik untuk mengamankan posisi mereka. Yang menjadi korban kemudian adalah biaya pembangunan lebih banyak tersedot kepada biaya politik. Gubernur perlu menunjukkan dirinya sebagai penanggungjawab politik dan setiap tekanan politik kepada SKPA harus diselesaikan oleh gubernur sendiri.

* Penulis Dosen Ilmu Politik Unimal dan Mahasiswa Doktor Ilmu Politik, IIUM, Kuala Lumpur.      

Gubernur Marah karena Pasien JKA Beli Obat

Mon, Jul 12th 2010, 11:57

Terungkap Saat Membesuk Amrul



SERAMBI/MURSAL ISMAIL 
BANDA ACEH - Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf menjenguk Muhammad Amrul (12) di Kamar Isolasi I, Ruang Jeumpa I Rumah Sakit Umum Daerah dr Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh, Minggu (11/7) sore. Saat membesuk bocah yang dibakar ayahnya lantaran mengambil Rp 20.000 uang ayahnya itu, Gubernur Irwandi marah kepada dokter di RSUZA.

Pemicu marahnya Irwandi, karena keluarga Amrul mengaku diharuskan dokter membeli obat hingga Rp 1.600.000. Padahal, Amrul terdaftar sebagai pasien kurang mampu yang mestinya ditanggung Pemerintah Aceh lewat program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA).

Irwandi didampingi istrinya, Darwati A Gani, tiba di Kamar Isolasi I sekitar pukul 17.45 WIB kemarin. Sebelum berkunjung, ia mengabari Serambi bahwa sangat berduka dan prihatin atas derita yang dialami Amrul. Irwandi yang baru tiba dari Jakarta mengaku tak habis pikir mengapa ada ayah yang setega itu menjatuhkan hukuman atas keteledoran anaknya yang belum dewasa.

Begitu tiba di ruang perawatan Amrul, Gubernur Irwandi awalnya bicara biasa saja dengan Amrul seputar kejadian yang menimpanya. Amrul yakin peristiwa itu terjadi akibat ayahnya, Mahyeddin Abubakar (43), sangat emosi lantaran dia mengambil uang ayahnya Rp 20.000, hasil penjualan ikan. Namun, Amrul mengaku tidak marah, apalagi dendam pada sang ayah. Alasannya, sebelum kejadian itu, Mahyeddin yang bekerja sebagai nelayan justru sangat menyayangi Amrul. “Ayah sangat sayang pada saya,” ucapnya singkat.

Usai mendengar cerita mengenai peristiwa langka itu, Gubernur Irwandi bertanya mengenai proses pengobatan anaknya kepada ibu Amrul, Nurleila. Menurut perempuan itu, Amrul dirujuk dari Rumah Sakit Umum Cut Meutia (RSUCM) Lhokseumawe ke RSUZA pada Rabu (7/7). Kini kondisi anak itu makin membaik setelah dioperasi oleh dokter bedah, dr Bismedi, Jumat (9/7).

Setelah mendengar penjelasan singkat Nurleila, Gubernur Irwandi pun menukas, “Berobat menggunakan JKA kan? Tidak ada yang bayar kan?” Nurleila tidak langsung menjawab pertanyaan beruntun dari orang nomor satu Aceh itu. Tapi Nurleila kemudian berterus terang bahwa pascaoperasi Amrul, dia harus membeli obat. Namun, Nurleila meminta kakaknya saja yang menjelaskan hal itu kepada Gubernur Irwandi, karena kakaknya yang dimintai tolong untuk membeli obat.

“Ya menggunakan JKA, tapi kemarin kami harus membeli obat sampai Rp 1.600.000. Yang paling mahal justru cairan untuk infus luka, yaitu Rp 1.200.000. Orang apotek di sekitar rumah sakit ini meminta kami membayarnya tunai, karena menurut mereka obat-obat tersebut tidak ditanggung JKA,” kata kakak Nurleila.

Gubernur marah
Mendengar penjelasan itu, Gubernur Irwandi spontam marah. Ia menyesalkan kebijakan dokter di RSUZA yang telah mengharuskan keluarga miskin, seperti halnya ibu Amrul, menebus obat dengan uang sendiri secara tunai.  Lalu Irwandi memerintahkan ajudannya memanggil Direktur RSUZA, dr Taufik Mahdi SpOG. Tak sampai 15 menit berselang, Taufik Mahdi pun tiba di ruangan itu. “Bagaimana ini kok pasien JKA masih dibebankan membeli obat,” tanya Irwandi pada Taufik.

Irwandi kemudian mempersilakan kakak Nurleila menceritakan hal-ikhwal sehingga keluarga pasien itu harus membeli obat Rp 1.600.000. Semua diceritakan rinci, namun kakak Nurleila tak bisa menunjukkan kuitansi karena dikantongi abang Amrul yang sedang tidak berada di RSUZA itu sore kemarin.

Kemudian Taufik memanggil seorang perawat. “Ibu ceritakan semua, tak perlu takut, saya direktur di rumah sakit ini. Tidak ada yang bayar, semua ditangung Pemerintah Aceh melalui JKA. Nanti uang yang telah Ibu keluarkan harus diganti,” tandas Taufik. Kemudian, Taufik juga memanggil Kepala Ruangan Jeumpa I. Dari penjelasan Kepala Ruangan Jeumpa I itu, menurut Taufik, ternyata Dokter Bismedi, spesialis bedah yang menangani Amrul memasukkan obat-obat paten untuk Amrul.

“Semestinya obat paten itu digunakan jika obat biasa tidak mempan. Selain itu, penggunaan obat paten harus sepengetahun Komite Medik RSUZA, tapi kenyataannya penggunaan obat ini tanpa sepengetahuan saya. Penggunaan obat paten ini pun, kalau tidak ada di apotek yang telah ditunjuk, maka biayanya juga ditanggung Pemerintah Aceh,” jelas Taufik.

Menurut Taufik, sejak pemberlakuan JKA, 1 Juni 2010, untuk penanganan obat ada di Instalasi Farmasi RSUZA. Selain itu, RSUZA juga telah bekerja sama dengan apotek di sekitar RSUZA, yakni Kimia Farma, Citra Husada, dan Meurasi. “Jadi, semua obat itu memang ditanggung dalam JKA, bahkan ada tiga pasien jantung yang kami rujuk ke RS Harapan dan RSCM Jakarta, sampai tiket pesawatnya pun ditanggung dalam JKA. Begitu juga tiga pasien tumor yang dirujuk ke RS Adam Malik ikut ditanggung tiket busnya,” jelas Taufik.

Mendengar semua penjelasan itu, Gubernur Irwandi meminta dr Tufik dalam waktu dekat mengumpulkan para dokter RSUZA untuk kembali memperjelas komitmen mengenai JKA.  Irwandi menduga, pasien JKA yang diminta membeli obat dengan uang sendiri tak hanya dialami keluarga Amrul, namun juga pasien lainnya di RSUZA.  Dugaan Irwandi ternyata betul, sebab dalam waktu singkat bermunculan keluarga pasien lainnya di rumah sakit rujukan tingkat provinsi itu untuk menyampaikan keluhan serupa.  Selain kepada keluarga Amrul, Irwandi juga menyerahkan santunan alakadar kepada setiap keluarga pasien yang mengeluh langsung kepadanya. 

Kondisi Amrul
Sebelumnya, saat Gubernur Irwandi belum datang membesuk Amrul, Nurleila kepada Serambi mengakui bahwa kondisi anaknya yang dibakar suaminya itu makin membaik. Namun, kemarin bocah itu hampir seharian tak bisa tidur. Dia lebih sering menangis karena tahu ayahnya sudah ditangkap polisi. Menurut Nurleila, sebelum suaminya ditangkap, Amrul mengaku bermimpi tentang ayahnya yang datang ke RSUZA untuk meminta maaf padanya. “Bek le neu cerita nyan (Jangan lagi cerita itu -red),” kata Amrul kepada ibunya, sambil menangis terisak-isak.

Tergolong berat
Dokter Bismedi, tadi malam membalas sms Serambi. Dia mengatakan fase syok pada pasien Amrul sudah teratasi, tapi luka bakarnya tergolong berat. Luasnya mencapai 36 persen dan sebagian besar grade III. “Hari Jumat lalu sudah dilakukan operasi debridement, pembersihan jaringan kulit yang terbakar. Operasinya bertahap. Insya Allah besok (hari ini -red) kembali dioperasi tahap kedua,” jelas Bismedi.

Ditanya mengapa meresepkan obat di luar tanggungan JKA, sehingga keluarga Amrul harus membelinya, Bismedi mengaku tak tahu persis obat yang mana. “Katanya obat plasmanat semacam cairan infus berguna untuk me-maintanance kondisi hemodinamik yang stabil. Setahu saya obat itu ada dalam Jamkesmas, tapi saya tidak tahu bahwa plasmanat itu tidak ditanggung dalam JKA,” demikian dr Bismedi. (sal)

Akses  m.serambinews.com dimana saja melalui browser ponsel Anda.

Kualitas Pelayanan Publik belum Optimal

Thu, Jul 1st 2010, 15:57

GeRAK Aceh Besar

* Pengutipan tak Resmi Masih Terjadi

JANTHO - (Serambi Indonesia) Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh Besar menilai, kualitas pelayanan publik oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Besar hingga saat ini belum optimal, terutama menyangkut masalah perizinan. Indikatornya antara lain, masih adanya pengutipan biaya tidak resmi terhadap masyarakat dalam sejumlah pengurusan izin.

Menurut Koordinator GeRAK Aceh Besar, Nasruddin MD, secara politis pimpinan pemerintah pusat maupun daerah memiliki keinginan kuat untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam birokrasi. “Namun persoalan kultur dan mental aparatur negara, menjadi salah satu alasan yang menghambat proses perbaikan sistem pelayanan kepada masyarakat. Parahnya lagi, tingkat pemahaman dalam mengaktualisasi aturan oleh aparatur juga masih lemah,” ungkapnya, Rabu (30/6).

Padahal, kata Nasruddin, jika ditinjau dari aspek yuridis, sebetulnya untuk urusan peningkatan kualitas pelayanan publik telah cukup menjamin kemudahan bagi masyarakat. Tapi implementasi atas berbagai aturan dalam memperbaiki manajemen sistem selalu terbentur dengan persoalan kultur yang buruk. Sikap mental yang minta dilayani terus saja dipertontonkan ketika masyarakat berurusan dengan aparatur pemerintah.

“Kutipan-kutipan di luar biaya resmi masih terjadi. Menyangkut standar pelayanan publik di Aceh Besar, juga belum ada mekanisme atau standar pelayanan yang harus diberikan kepada masyarakat,” tambahnya.

Hal ini membuat kebijakan desentralisasi daerah yang diharapkan membawa perubahan signifikan terhadap perbaikan reformasi birokrasi pemerintah daerah, ternyata belum menunjukkan adanya perubahan mendasar. Menurutnya, kewenangan dari UU Nomor 11 tahun 2008 Tentang Pemerintah Aceh sebagai landasan yuridis dalam menata rumah tangga pemerintah kabupaten/kota secara lebih luas, masih dihadapkan dengan berbagai persoalan. Sehingga sistem pelayanan publik yang cepat, tepat dan murah, belum berjalan secara optimal.

Di Kabupaten Aceh Besar, pemerintah setempat telah berinisiatif membuka pos pelayanan pengurusan izin di kawasan Lambaro, yang berada di bawah instansi Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (KPTSP). Hal tersebut untuk memudahkan warga dalam pengurusan izin, sehingga tidak perlu jauh-jauh datang ke ibukota kabupaten di Jantho.

Namun dengan kondisi geografis Aceh Besar yang sangat luas, kebijakan ini masih dinilai kurang efektif dan efisien. Karena selain banyak wilayah kecamatan yang lokasinya jauh dari Lambaro, juga akan terjadi tumpang tindih dengan kewenangan camat, dan otoritas yang diberikan pun sangat terbatas.

“Idealnya, sebuah pelayanan publik yang prima yaitu harus mudah dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Dan untuk Aceh Besar, hal ini belum dirasakan oleh warga yang tinggal di wilayah-wilayah yang jauh dari ibukota kabupaten,” ujar Nasruddin.(th)

“Aceh Kloe Bangai”

Mon, Jun 14th 2010, 09:15
 
JUDUL tulisan ini tidak bermaksud memberikan interpretasi jelek terhadap Aceh. Kalimat yang bermakna konotasi ini akan dimengerti dengan melihat kondisi Aceh secara bijak, dari masa kejayaannya hingga keadaannya sekarang. Bila dilihat dari segi bahasa, bahasa Aceh memiliki persamaan dengan bahasa Arab. Meskipun bahasa Aceh banyak mengadopsi bahasa Arab, dan kenyataannya bangsa Aceh mewarisi keturunan Arab. Sehingga sifat dan karakternya pun hampir sama.

“Ta’en paleh haram jadah, kuglibloeh-gibloeh kugidham-gidham” sama seperti “Azaban syadiidan aliiman, ghafuurun rahiimun” dalam penekanan artinya. Ketika penggunaan kalimat-kalimat tersebut dalam bahasa Aceh atau bahasa Arab, itu sudah mewakili maksud yang ingin disampaikan secara tegas dan pas.  Di sini penulis bukan membahas tentang estetika bahasa yang mungkin tidak akan pernah selesai. Karena hingga saat ini para ahli bahasa belum ada kesepakatan atau bahkan belum selesai membahas tentang estetika bahasa tersebut. Namun, penulis sengaja menyinggung sedikit terkait dalam tulisan ini untuk memberikan gambaran tentang judul di atas.

“Aceh Kloe Bangai” mungkin kalimat ini mewakili kebenaran kenyataan yang sedang dihadapi Aceh.  Dari dulu hingga sekarang, rakyat Aceh masih terkatung-katung. Rakyat Aceh selalu cepat terbuai dengan janji-janji para pemimpin yang membawa ’angin syurga’ untuk rakyat.  Mulai pertama kali dikhianati Soekarno selaku pemimpin bangsa Indosesia hingga saat setelah puncak  ’pembangkangan’ rakyat Aceh yang berakhir damai dengan penandatanganan MoU di Helsinki.  Rakyat Aceh masih belum mendapatkan keadilan dan kemakmuran.

Berbagai fenomena yang terjadi saat ini di Aceh hampir serupa atau bahkan sama dengan apa yang diperkirakan oleh Hasanuddin Yusuf Adan, dalam bukunya berjudul “Tamaddun dan Sejarah (Etnografi Kekerasan di Aceh).”  Ia menuliskan,  ada beberapa fenomena menarik yang akan terjadi di Aceh. Diantarannya, ketika kekuatan-kekuatan sosial menyatu dan menguasai Aceh.  Kekuatan sosial keagamaan itu, misalnya mereka yang terhimpun di HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh), dan Rabithah Thaliban yang berbasis dayah tradisional serta kekuatan-kekuatan sosial lain yang memungkinkan Aceh dikuasai oleh mereka seperti alumni Darussalam, kaum reformis yang bergabung dengan Muhammadiyah,  Sentral Informasi Referendum Rakyat Aceh (SIRA) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).  Prediksi Hasanuddin Yusuf Adan, saat itu, kalau kekuatan GAM mendapatkan kesempatan untuk memimpin Aceh maka Aceh akan memiliki warna dan keunikan tersendiri.

Hari ini, apa yang telah diperkirakan oleh Hasanuddin Yusuf Adan, salah satu dari kekuatan-kekuatan sosial itu pun terpilih,  yakni GAM. Namun, yang menjadi tanda tanya besar adalah Aceh berwarna apa, keunikan apa yang dimaksud penulis ketika GAM memimpin Aceh?  Lanjutnya, paling tidak menurut  Hasanuddin Yusuf Adan,  kita  punya gambaran ke mana arah Aceh masa akan datang (saat ini).  Menjadi sebuah wilayah yang maju dan bermartabat atau menjadi lebih parah lagi dari kondisi sebelum damai.

Nah, untuk menjawab fenomena tersebut saat ini,  hanyalah rakyat Aceh yang mampu menyimpulkannya sesuai dengan kondisi mereka. Jadi, selama rakyat Aceh belum mampu memberikan jawaban tentang fenomena yang terjadi dan berkembang saat ini, mungkin ada benarnya ungkapan “Aceh Kloe Bangai” ini.

Di sini penulis tidak menyebutkan fenomena-fenomena secara satu persatu. Tujuannya adalah untuk memberikan peluang pada orang Aceh terkhusus pembaca untuk melihat dan menilai langsung fenomena yang ada saat ini dengan membandingkan fenomena kejadian masa silam dan mampu menarik kesimpulannya sendiri dalam menyikapi judul tulisan ini.

Untuk membenarkan suatu  kalimat yang cenderung negatif maka perlu diperjelas kalimat tersebut, agar tidak rancu dalam mempersepsikannya. ‘Aceh Kloe Bangai’ tidak sefamiliar dengan “Aceh pungo, Kloe priep” dan beberapa padanan kata atau ungkapan lain yang digunakan orang Aceh dari hasil interaksi sosialnya. Meskipun kata-kata atau ungkapan itu memiliki interpretasi masing-masing sesuai teks dan konteksnya.

“Kloe” berarti tuli  dan “Bangai” berarti bodoh.  Kata “kloe” biasanya padanan kata yang sering dipakai orang Aceh  adalah “kloe priep”.  Ini biasanya digunakan bila seseorang melanggar sesuatu yang telah diberitahukan dengan konsekuensi yang akan diterimanya. Misalnya ketika seorang ibu memarahi anaknya kerena melanggar perintahnya atau tidak peduli apa yang dikatakan ibunya. “Biet-biet aneuk kloe priep.” Adapun “bangai” digunakan untuk menyatakan orang itu bodoh. “Bangai that go kah!”

Padanan kata “Kloe priep” lebih mudah dipahami orang Aceh. “Kloe Bangai” akan terjawab bila orang Aceh atau pembaca memahami kondisi dirinya dari tempo dulu dengan bukti nyata kondisi saat ini. Untuk lebih jelasnya penulis mencoba mengutip sebuah contoh fenomena di Aceh dari sebuah tulisan kolom Harian Aceh (21/08/2008) yang ditulis Taufik Al-Mubarak. Taufik bertanya mewakili pertanyaan kita dengan mengatakan, tidakkah orang Aceh bodoh? Masa dana yang sudah ada, tetapi tidak tahu cara menghabiskannya. Dana yang dimaksud adalah dana yang mengalir ke Aceh yang diplotkan melalui APBA dan APBN.  Dana yang begitu besar tidak dapat dikelola. Taufik pun mengingatkan kita kembali dengan anggaran 2007 lalu,  sekitar dua triliun lebih dana kembali ke pusat.  Ini salah satu fenomena nyata di Aceh. Dan masih banyak lagi fenomena-fenomena lain yang tidak penulis angkat.

Dari fenomena-fenomena pahit yang telah penulis singgung sebelumnya di awal, tujuan sebenarnya adalah untuk membuka dan memanggil kembali memori file yang tersimpan dalam otak kita, mungkin telah hilang dari ingatan kita atau sengaja dilupakan.  Rentetan kejadian yang telah dialami orang Aceh, bagi penulis “Aceh kloe bangai”, mudah dibodohi serta dengan mudah melupakannya.  Dan semuanya kembali pada orang Aceh untuk menerima atau menolak pernyataan ini.

* Penulis adalah  Alumni Universitas Muslim Indonesia Makassar

Rapat Pembentukan koperasi di Mukim Siem

Mukim Siem,  (Kamis, 8  Juli  2010)  bertempat di balee Rapat Masjid Jamik Mukim Siem, sebanyak 32 orang warga masyarakat Mukim Siem,  telah sepakat membentuk badan Usaha Koperasi.  Rapat Pembentukan koperasi ini dihadiri oleh Kepala Bidang Kelembagaan Dinas Perindagkop dan UKM Aceh Besar Ruslan, SE dan Kasi Kelembagaan Dinas Perindagkop dan UKM Aceh Besar Zahri, SH.  
Dalam arahannya  Kepala Bidang Kelembagaan Dinas Perindagkop dan UKM Aceh Besar Ruslan, SE, mengatakan pada dasarnya sudah menjadi tugas Pemerintah untuk mendukung pembentukan Koperasi yang digagas oleh masyarakat,  namun pemerintah Aceh Besar saat ini sangat selektif dalam mengeluarkan Badan Hukum Koperasi, karena saat ini Pemerintah lebih menekan pada kualitas koperasi bukan pada kuantitas.  Menurut Ruslan di Aceh Besar saat ini ada 675 Koperasi yang telah dibentuk oleh masyarakat, namun sebahagian besar dari Koperasi-koperasi tersebut tidak berjalan sebagaimana diharapkan.  Karena itu dalam tahun ini pemerintah melalui Dinas Perindagkop dan UKM Aceh Besar , telah merencanakan untuk membubarkan sebanyak 100 buah koperasi.
Berangkat dari persoalan tadi Ruslan meminta kepada warga Mukim Siem yang ingin membentuk koperasi agar membangun komitmen yang jelas dan kuat agar koperasi yang dibentuk tadi dapat berjalan sesuai dengan prinsip pembentukan koperasi.  Koperasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992, adalah badan usaha tidak ubahnya seperti badan usaha komersil lainnya seperti CV atau PT.  Koperasi sekarang dapat membentuk cabang di mana saja sesuai dengan kebutuhan.  Oleh karena keberadaan Koperasi sebenarnya merupakan sebuah pilihan yang sangat strategis dalam pembangunan ekonomi masyarakat.
Ruslan menghimbau kepada kelompok inisiator pembentukan koperasi di Mukim Siem, agar menjalan manajemen koperasi dengan sebaik-baiknya dan sejujurnya.   Manajemen Koperasi yang baik akan menjadi indikator dari sebuah koperasi yang baik.  Karenanya pengurus koperasi harus mengisi semua buku Koperasi yang berjumlah 12 jenis buku.
Sebelumnya Kasie  Kelembagaan Dinas Perindagkop dan UKM Aceh Besar, Zahri, SH.  menjelaskan panjang lebar berbagai syarat dan mekanisme yang harus di penuhi oleh kelompok bila hendak mendirikan koperasi.  Menurut beliau yang paling penting, koperasi bukan didirikan atas landasan keinginan sekelompok orang,  tetapi seharusnya koperasi didirikan atas landasan kebutuhan masyarakat.  Karena pendiri koperasi benar-benar harus mampu membaca keadaan dan keunggulan-keunggulan yang ada di wilayah mereka masing-masing. 

Melalui rapat tersebut telah disepakati Anggaran Dasar Koperasi, Nama Koperasi, Jumlah Simpanan Pokok, Simpanan Wajib dan Sumbangan Suka Rela.  Disamping itu telah terbentuk pula Badan Pengurus dan Badan Pengawas Koperasi.  Badan Pengurus koperasi tersiri dari : Ketua : Yusaini Abdullah,  Sekretaris :  Sayuthi Affan, SE.Ak, M.Si. Bendahara : Junaidi Jalil, SE.Ak.  Sementara Badan Pengawas terdiri dari : Ketua : Asnawi Zainun, SH, Anggota : K. Abdurrahman Musa dan Yusrinawandi Amin. 

Pertanian Belum Berbasis Desa

[JAKARTA] Menteri Pertanian, Anton Apriyantono mengakui, selama ini program pembangunan, khususnya pertanian, belum berbasis pada wilayah atau desa, namun berbasis proyek.
Menurut menteri di Jakarta, Selasa (7/7), kecenderungan pembangunan saat ini terpotong-potong berdasarkan komoditas, seperti hortikultura, perkebunan, tanaman pangan, atau peternakan.
"Pembangunan mestinya berawal dari desa, terutama daerah miskin, namun memiliki potensi pertanian dan harus dilakukan secara terintegrasi (terpadu)," katanya.
Salah satu upaya pembangunan berbasis wilayah atau desa yang dilakukan Deptan, yakni melalui program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP). Program PUAP yang dilaksanakan mulai tahun 2008, rencananya menjangkau 10.000 desa per tahun.
Setiap desa akan mendapatkan dana Rp 100 juta untuk mengembangkan kegiatan usaha agribisnis melalui Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). "Nantinya, diharapkan menjangkau seluruh desa di Indonesia yang berjumlah 70.000 itu," katanya.
Pada tahun ini, pemerintah telah mengalokasikan anggaran Rp 1 triliun untuk kegiatan PUAP yang akan disalurkan kepada 10.000 Gapoktan di 33 provinsi, 388 kabupaten/kota atau 1.834 kecamatan.
Menurut dia, 10.000 desa PUAP berasal dari program lanjutan Deptan untuk 2.000 desa, usulan dari kabupaten/kota 6.113 desa, dan aspirasi masyarakat 1.888 desa.
Menanggapi penilaian bahwa program PUAP merupakan kegiatan berbau politik menjelang 2009, Anton menegaskan, ide pelaksanaan program tersebut didasarkan pada Gramen Bank yang dikembangkan di Pakistan dalam membantu petani.
"PUAP bukan program bagi-bagi uang. Yang Rp 100 juta ini hanya merupakan modal awal untuk kegiatan usaha pedesaan yang selanjutnya diharapkan berkembang," katanya. [L-11]
Sumber: Suara Pembaruan, www.suarapembaruan.com

PARADIGMA BARU PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL BERBASIS PEDESAAN

Jakarta, 23/11/2009 (Kominfo-Newsroom) – Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (Menneg PDT) A. Helmy Faishal Zaini akan mengubah konsep dari daerah berbasis pengembangan kawasan dengan paradigma baru berbasis pedesaan.
Menurutnya seperti dikutip dari siaran pers yang dikirim oleh Humas Kemenneg PDT, Senin (23/11), paradigma baru pembangunan daerah tertinggal tersebut untuk mempercepat target pengentasan 50 kabupaten/kota tertinggal setiap tahunnya.
“Adapun pembangunan berbasis pengembangan pedesaan dengan cara memberdayakan potensi yang ada pada setiap desa tersebut,” kata Helmy.
Untuk mempercepat perubahan paradigma baru tersebut, hampir setiap akhir pekan selama program 100 harinya, pihaknya berkunjung ke berbagai daerah tertinggal.
Di antara pemberdayaan potensi desa tersebut, disebutnya dengan menggenjot ekonomi perdesaaan melalui program bedah desa terpadu.
“Program ini terdiri dari pasar desa, jalan poros desa, warung informasi desa, atau desa bordering, dan juga fokus pada pengembangan agribisnis perdesaaan,” ujarnya.
Salah satu paradigma baru tersebut adalah pencanangan secara resmi program bedah desa terpadu sebagai upaya mengentaskan desa tertinggal.
Pencanangan program tersebut dilakukan saat Menneg PDT melakukan kunjungan kerja ke kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia di Aruk, Sajingan Besar, Sambas, Kalimantan Barat, Sabtu lalu.
Dijelaskannya bahwa program bedah desa terpadu tersebut merupakan program yang ditujukan untuk menggenjot perekonomian pedesaan dengan memenuhi sarana dan prasarana penunjangnya.
Dalam program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT), pihaknya menyerahkan secara simbolis dokumen satu unit Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), lima KW Terpusat untuk 35 rumah.
Selain itu juga diserahkan gambar/maket Jembatan Gantung dari program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK). (Az/ysoel).
sumber beritaSumber : Depkominfo...

Masyarakat Aceh Minta Dilibatkan Menjaga Hutan

sxc
TEMPO Interaktif, BANDA ACEH - Masyarakat Aceh meminta kepada Pemerintah Provinsi Aceh untuk dilibatkan dalam menjaga kawasan hutan di sekitar kawasan hutan lindung. "Pelibatan masyarakat sekitar hutan penting dilakukan untuk menjamin kelestarian lingkungan hutan Aceh," ujar Ketua Serikat Mukim Aceh Jaya Anwar Muhammad, Rabu (19/5) di Banda Aceh.

Katanya pelibatan tersebut dapat dilakukan dengan memberikan wewenang kepada pemerintahan mukim sebagai lembaga adat dan pemerintahan di Aceh. Usul itu sempat mencuat dalam side event pertemuan para NGO peduli lingkungan dan perwakilan masyarakat Aceh di forum Governors’ Climate and Forest (GCF) Taskforce Meeting di sana.

Karena itu, kata Anwar, warga semestinya diberikan hak pengelolaan hutan Adat yang berada di luar hutan lindung. “Hal teknis seperti berapa luas wilayah hutannya, bisa didiskusikan bersama,” ujarnya. Menurut Anwar, hak pengelolaan hutan tersebut harus dimasukkan dalam aturan tataruang dan mendapat pengakuan pemerintah.

“Semua mukim di Aceh telah sepakat memperjuangkan hutan yang menjadi hak masyarakat Adat,” ujarnya. Kemukiman juga harus mendapat kewenangan dan hak daam menjaga hutannya serta menegakkan hukum adat hutan. Syaifuddin dari Flora Fauna International (FFI) mengatakan, pihaknya terus mendorong pemerintah untuk melibatkan masyarakat.

“Kemukiman sebagai lembaga masyarakat dan hukum adat, punya hak mengelola hutan,” ujarnya. Menurutnya, hal penting yang diperlukan adalah bagaimana memperjuangkan hutan rakyat dan hak-hak masyarakat sekitar hutan. Masalah tersebut nantinya diusulkan dalam agenda terakhir pada pertemuan GCF, untuk menghasilkan sebuah rumusan dan kebijakan.

Adapun Kepala Sekretariat Aceh Green Yusuf Ishadamy mengatakan sejauh ini pertemuan para gubernur dalam forum GCF masih membahas informasi tentang proses menjaga lingkungan di daerah masing-masing. "Dalam forum ini Gubernur Aceh dan perwakilannya terus mendorong pelibatan masyarakat sekitar hutan guna menjaga hutan," katanya.

Apalagi, kata Yusuf, pemerintah Aceh serius dalam program Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). Situs-situs REDD saat ini antara lain di kawasan hutan Ulu Masen dan Taman Nasional Gunung Leuser. Jika kedua program itu berjalan lancar maka Ulu Masen bakal menjadi proyek REDD pertama di Indonesia.

Salah seorang delegasi dari Universitas Colorado Julie Teel mengatakan apapun rumusan yang dihasilkan dalam forum GCF ini kelak akan mendorong keterlibatan masyaakat dan memberikan manfaat bagi warga di sekitar hutan. “Pihak-pihak yang berkumpul juga masih belajar merancang formula yang diperlukan terkait proyek REDD,” ujarnya.

Menurut Teel, semua utusan dari provinsi maupun negara bagian yang datang dalam pertemuan ini senantiasa mengupayakan terlaksananya proyek-proyek REDD secara mulus. Pemerintah Provinsi Aceh sendiri malah telah menetapkan jeda tebang (moratorium logging) sejak 2007 guna membantu kelancaran proyek REDD dalam implementasi ke depan.

“Terpenting adalah membangun kapasitas dan teknis," ujar Teel. "Ada beberapa donor yang siap membantu beberapa provinsi yang punya komitmen soal hutan." Banda Aceh menjadi tuan rumah pertemuan GCF yang dibuka Gubernur Aceh Irwandy Yusuf  Selasa (18/5) dan digelar hingga Sabtu (22/5).

| ANDREE PRIYANTO | ADI WARSID

Hembusan Asap Rokok vs Semburan Air Sirih


Tgk. Syiek Meunasah Baroe (paman Tgk. Haji Hasan Kr. Kalee) adalah seorang ulama pejuang dari Mukim Siem.  Beliau dikenal sebagai ulama yang sangat gigih berjuang melawan penjajahan Belanda.  Beliau selalu berada di garis terdepan memimpin peperangan dengan serdadu Belanda baik dalam perang frontal maupun perang gerilya.  Disebutkan dalam menyelamatkan perjuangannya beliau bersama-sama prajurit yang gagah berani bergerilya hingga ke dataran Tinggi Gayo.
Disamping anti penjajah,  beliau juga dikenal sebagai ulama yang anti asap rokok.  Diceritakan, suatu kali  Ulee Balang IX Mukim Tungkob berkunjung ke Dayah beliau.  Kunjungan sang Ulee Balang tentu saja disambut dengan hormat oleh semua keluarga Dayah.  Sang Ulee Balang yang dikenal sebagai ahli hisap (pecandu rokok) itu, tak henti-henti menghisap rokok dengan penuh angkuh dan menghembuskan asapnya dengan sesuka-hatinya.  Dengan prilaku  arogansi tersebut, seolah-olah sang Ulee Balang ingin menunjukkan dialah sang penguasa di wilayah itu dan tak seorangpun dapat mengatur dirinya.    
Menghadapi prilaku sang Ulee Balang itu, tentu saja Tgk Syiek merasa sangat terganggu.  Lalu terbersit keinginan dari beliau untuk memberi pelajaran kepada sang ulee Balang angkuh tersebut.  Segera beliau memesan “bate ranup” (tempat sirih) kepada muridnya.  Seketika beliau mengunyah racikan sirih yang beliau racik sendiri hingga lumat.  Dan……………………………………. tiba-tiba beliau berpura-pura bersin, huaaasyiiiiiiiiimmmmmmm……!!!!!!! Sehingga air sirih yang telah lumat dalam mulut beliau berhamburan keluar. Tentu saja semburan magma panas itu menyemproti seonggok makhluk yang yang sedang duduk di depan beliau yang tak  lain adalah sang Ulee Balang IX Mukim Tungkob.  Tanpa ba bi bu ta ti tu lagi, sang Ulee Balang bersama para pengawalnya segera hengkang dari lingkungan Dayah Meunasah Baro yang di pimping Tgk Syiek.
(baca kisah menggelikan lainnya di laman senyum MUKIM, blog ini)

Menjaga Hutan Bukan Jualan Karbon

Kamis, 20 Mei 2010 | 00:26 WIB
sxc
TEMPO Interaktif, BANDA ACEH -Direktur Program Pembangunan Flora Fauna Indonesia (FFI) Asia Pasifik Frank Momberg mengatakan  menjual karbon dalam skema Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) bukanlah tujuan utama dari menjaga lingkungan.

“Mengajak masyarakat agar mau menjaga hutan adalah untuk diri sendiri, bahwa kemudian mendapat jasa lingkungan adalah bonus, bukan tujuan utama,” ujarnya dalam forum Governors’ Climate and Forest (GCF)Taskforce Meeting di Banda Aceh, Rabu (19/05).

Di Jakarta, seperti dikutip harian The Jakarta Post, pemerintah pusat berencana membentuk dewan khusus yang bertugas mengawal pemerintah lokal dan perantara (broker) dalam transaksi kredit perdagangan karbon di pasar-pasar internasional tanpa restu Jakarta.

Masih menurut harian itu pengembang harus terlebih dahulu mendaftarkan proyek-proyek REDD kepada dewan guna mendapatkan persetujuan. Jika disetujui dewan barulah pengembang bisa mendaftarkan proyek REDD itu ke kantor Perserikatan Bangsa Bangsa untuk mendapatkan insentif uang.

Menurut Momberg FFI selama ini telah mengembangkan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan di kawasan Ulu Masen dalam beberapa kabupaten di Aceh, untuk terlibat dalam menjaga hutan. Di kawasan itu ada kelompok-kelompok masyarakat yang bertugas menjaga hutan.

Kawasan Ulu Masen yang luasnya mencapai 750.000 hektar adalah salah satu kawasan hutan di Aceh yang akan dimasukkan dalam proyect penjualan karbon. Menurutnya, tidak semua kawasan hutan Aceh yang luasnya sekitar 3,25 juta hektar dimasukkan dalam project REDD.

“Hanya 32 persen yang kondisi hutannya betul-betul terancam,” ujar Momberg. Dia berharap,jika proyek tersebut nantinya betul-betul terealisasi, pembagian hasilnya betul-betul harus dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan.

Suskes dengan program memberdayakan masyarakat sekitar hutan untuk menjaga lingkungannya di kawasan Ulu Masen, Provinsi Aceh, Fauna Flora International (FFI) mengembangkan program sama di hutan Kalimantan Barat.

Daerah yang dipilih di Kalimantan Barat adalah kawasan hutan Ketapang dan Kapuas Hulu. Dua wilayah itu mempunyai hutan adat yang selama ini dijaga dan dikelola oleh masyarakat.

Menurut Momberg, awalnya pihak FFI melakukan survey sebelum masuk membantu masyarakat mengelola hutannya. Salah satu indikator yang mereka gunakan adalah hutan yang punya nilai sosial kemasyarakatan di sekitar pemukiman warga.

Di lokasi tersebut, FFI kemudian melakukan beberapa kegiatan. Di antaranya adalah sosialisasi kepada masyarakat lokal, inventarisasi hutan dan kebun, pengembangan lembaga desa untuk pengelolaan hutan sampai kepada pengembangan rencana pengelolaan hutan.

| ADI WARSIDI | ANDREE PRIYANTO

Jadwal Shalat