Thu, Jul 1st 2010, 15:57
GeRAK Aceh Besar
* Pengutipan tak Resmi Masih Terjadi
JANTHO
- (Serambi Indonesia) Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh Besar menilai, kualitas pelayanan
publik oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Besar hingga saat ini
belum optimal, terutama menyangkut masalah perizinan. Indikatornya
antara lain, masih adanya pengutipan biaya tidak resmi terhadap
masyarakat dalam sejumlah pengurusan izin.
Menurut Koordinator GeRAK Aceh Besar, Nasruddin MD, secara politis pimpinan pemerintah pusat maupun daerah memiliki keinginan kuat untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam birokrasi. “Namun persoalan kultur dan mental aparatur negara, menjadi salah satu alasan yang menghambat proses perbaikan sistem pelayanan kepada masyarakat. Parahnya lagi, tingkat pemahaman dalam mengaktualisasi aturan oleh aparatur juga masih lemah,” ungkapnya, Rabu (30/6).
Padahal, kata Nasruddin, jika ditinjau dari aspek yuridis, sebetulnya untuk urusan peningkatan kualitas pelayanan publik telah cukup menjamin kemudahan bagi masyarakat. Tapi implementasi atas berbagai aturan dalam memperbaiki manajemen sistem selalu terbentur dengan persoalan kultur yang buruk. Sikap mental yang minta dilayani terus saja dipertontonkan ketika masyarakat berurusan dengan aparatur pemerintah.
“Kutipan-kutipan di luar biaya resmi masih terjadi. Menyangkut standar pelayanan publik di Aceh Besar, juga belum ada mekanisme atau standar pelayanan yang harus diberikan kepada masyarakat,” tambahnya.
Hal ini membuat kebijakan desentralisasi daerah yang diharapkan membawa perubahan signifikan terhadap perbaikan reformasi birokrasi pemerintah daerah, ternyata belum menunjukkan adanya perubahan mendasar. Menurutnya, kewenangan dari UU Nomor 11 tahun 2008 Tentang Pemerintah Aceh sebagai landasan yuridis dalam menata rumah tangga pemerintah kabupaten/kota secara lebih luas, masih dihadapkan dengan berbagai persoalan. Sehingga sistem pelayanan publik yang cepat, tepat dan murah, belum berjalan secara optimal.
Di Kabupaten Aceh Besar, pemerintah setempat telah berinisiatif membuka pos pelayanan pengurusan izin di kawasan Lambaro, yang berada di bawah instansi Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (KPTSP). Hal tersebut untuk memudahkan warga dalam pengurusan izin, sehingga tidak perlu jauh-jauh datang ke ibukota kabupaten di Jantho.
Namun dengan kondisi geografis Aceh Besar yang sangat luas, kebijakan ini masih dinilai kurang efektif dan efisien. Karena selain banyak wilayah kecamatan yang lokasinya jauh dari Lambaro, juga akan terjadi tumpang tindih dengan kewenangan camat, dan otoritas yang diberikan pun sangat terbatas.
“Idealnya, sebuah pelayanan publik yang prima yaitu harus mudah dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Dan untuk Aceh Besar, hal ini belum dirasakan oleh warga yang tinggal di wilayah-wilayah yang jauh dari ibukota kabupaten,” ujar Nasruddin.(th)
Menurut Koordinator GeRAK Aceh Besar, Nasruddin MD, secara politis pimpinan pemerintah pusat maupun daerah memiliki keinginan kuat untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam birokrasi. “Namun persoalan kultur dan mental aparatur negara, menjadi salah satu alasan yang menghambat proses perbaikan sistem pelayanan kepada masyarakat. Parahnya lagi, tingkat pemahaman dalam mengaktualisasi aturan oleh aparatur juga masih lemah,” ungkapnya, Rabu (30/6).
Padahal, kata Nasruddin, jika ditinjau dari aspek yuridis, sebetulnya untuk urusan peningkatan kualitas pelayanan publik telah cukup menjamin kemudahan bagi masyarakat. Tapi implementasi atas berbagai aturan dalam memperbaiki manajemen sistem selalu terbentur dengan persoalan kultur yang buruk. Sikap mental yang minta dilayani terus saja dipertontonkan ketika masyarakat berurusan dengan aparatur pemerintah.
“Kutipan-kutipan di luar biaya resmi masih terjadi. Menyangkut standar pelayanan publik di Aceh Besar, juga belum ada mekanisme atau standar pelayanan yang harus diberikan kepada masyarakat,” tambahnya.
Hal ini membuat kebijakan desentralisasi daerah yang diharapkan membawa perubahan signifikan terhadap perbaikan reformasi birokrasi pemerintah daerah, ternyata belum menunjukkan adanya perubahan mendasar. Menurutnya, kewenangan dari UU Nomor 11 tahun 2008 Tentang Pemerintah Aceh sebagai landasan yuridis dalam menata rumah tangga pemerintah kabupaten/kota secara lebih luas, masih dihadapkan dengan berbagai persoalan. Sehingga sistem pelayanan publik yang cepat, tepat dan murah, belum berjalan secara optimal.
Di Kabupaten Aceh Besar, pemerintah setempat telah berinisiatif membuka pos pelayanan pengurusan izin di kawasan Lambaro, yang berada di bawah instansi Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (KPTSP). Hal tersebut untuk memudahkan warga dalam pengurusan izin, sehingga tidak perlu jauh-jauh datang ke ibukota kabupaten di Jantho.
Namun dengan kondisi geografis Aceh Besar yang sangat luas, kebijakan ini masih dinilai kurang efektif dan efisien. Karena selain banyak wilayah kecamatan yang lokasinya jauh dari Lambaro, juga akan terjadi tumpang tindih dengan kewenangan camat, dan otoritas yang diberikan pun sangat terbatas.
“Idealnya, sebuah pelayanan publik yang prima yaitu harus mudah dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Dan untuk Aceh Besar, hal ini belum dirasakan oleh warga yang tinggal di wilayah-wilayah yang jauh dari ibukota kabupaten,” ujar Nasruddin.(th)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar