Mon, Jun 14th 2010, 09:15
-
JUDUL
tulisan ini tidak bermaksud memberikan interpretasi jelek terhadap
Aceh. Kalimat yang bermakna konotasi ini akan dimengerti dengan melihat
kondisi Aceh secara bijak, dari masa kejayaannya hingga keadaannya
sekarang. Bila dilihat dari segi bahasa, bahasa Aceh memiliki persamaan
dengan bahasa Arab. Meskipun bahasa Aceh banyak mengadopsi bahasa Arab,
dan kenyataannya bangsa Aceh mewarisi keturunan Arab. Sehingga sifat
dan karakternya pun hampir sama.
“Ta’en paleh haram jadah, kuglibloeh-gibloeh kugidham-gidham” sama seperti “Azaban syadiidan aliiman, ghafuurun rahiimun” dalam penekanan artinya. Ketika penggunaan kalimat-kalimat tersebut dalam bahasa Aceh atau bahasa Arab, itu sudah mewakili maksud yang ingin disampaikan secara tegas dan pas. Di sini penulis bukan membahas tentang estetika bahasa yang mungkin tidak akan pernah selesai. Karena hingga saat ini para ahli bahasa belum ada kesepakatan atau bahkan belum selesai membahas tentang estetika bahasa tersebut. Namun, penulis sengaja menyinggung sedikit terkait dalam tulisan ini untuk memberikan gambaran tentang judul di atas.
“Aceh Kloe Bangai” mungkin kalimat ini mewakili kebenaran kenyataan yang sedang dihadapi Aceh. Dari dulu hingga sekarang, rakyat Aceh masih terkatung-katung. Rakyat Aceh selalu cepat terbuai dengan janji-janji para pemimpin yang membawa ’angin syurga’ untuk rakyat. Mulai pertama kali dikhianati Soekarno selaku pemimpin bangsa Indosesia hingga saat setelah puncak ’pembangkangan’ rakyat Aceh yang berakhir damai dengan penandatanganan MoU di Helsinki. Rakyat Aceh masih belum mendapatkan keadilan dan kemakmuran.
Berbagai fenomena yang terjadi saat ini di Aceh hampir serupa atau bahkan sama dengan apa yang diperkirakan oleh Hasanuddin Yusuf Adan, dalam bukunya berjudul “Tamaddun dan Sejarah (Etnografi Kekerasan di Aceh).” Ia menuliskan, ada beberapa fenomena menarik yang akan terjadi di Aceh. Diantarannya, ketika kekuatan-kekuatan sosial menyatu dan menguasai Aceh. Kekuatan sosial keagamaan itu, misalnya mereka yang terhimpun di HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh), dan Rabithah Thaliban yang berbasis dayah tradisional serta kekuatan-kekuatan sosial lain yang memungkinkan Aceh dikuasai oleh mereka seperti alumni Darussalam, kaum reformis yang bergabung dengan Muhammadiyah, Sentral Informasi Referendum Rakyat Aceh (SIRA) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Prediksi Hasanuddin Yusuf Adan, saat itu, kalau kekuatan GAM mendapatkan kesempatan untuk memimpin Aceh maka Aceh akan memiliki warna dan keunikan tersendiri.
Hari ini, apa yang telah diperkirakan oleh Hasanuddin Yusuf Adan, salah satu dari kekuatan-kekuatan sosial itu pun terpilih, yakni GAM. Namun, yang menjadi tanda tanya besar adalah Aceh berwarna apa, keunikan apa yang dimaksud penulis ketika GAM memimpin Aceh? Lanjutnya, paling tidak menurut Hasanuddin Yusuf Adan, kita punya gambaran ke mana arah Aceh masa akan datang (saat ini). Menjadi sebuah wilayah yang maju dan bermartabat atau menjadi lebih parah lagi dari kondisi sebelum damai.
Nah, untuk menjawab fenomena tersebut saat ini, hanyalah rakyat Aceh yang mampu menyimpulkannya sesuai dengan kondisi mereka. Jadi, selama rakyat Aceh belum mampu memberikan jawaban tentang fenomena yang terjadi dan berkembang saat ini, mungkin ada benarnya ungkapan “Aceh Kloe Bangai” ini.
Di sini penulis tidak menyebutkan fenomena-fenomena secara satu persatu. Tujuannya adalah untuk memberikan peluang pada orang Aceh terkhusus pembaca untuk melihat dan menilai langsung fenomena yang ada saat ini dengan membandingkan fenomena kejadian masa silam dan mampu menarik kesimpulannya sendiri dalam menyikapi judul tulisan ini.
Untuk membenarkan suatu kalimat yang cenderung negatif maka perlu diperjelas kalimat tersebut, agar tidak rancu dalam mempersepsikannya. ‘Aceh Kloe Bangai’ tidak sefamiliar dengan “Aceh pungo, Kloe priep” dan beberapa padanan kata atau ungkapan lain yang digunakan orang Aceh dari hasil interaksi sosialnya. Meskipun kata-kata atau ungkapan itu memiliki interpretasi masing-masing sesuai teks dan konteksnya.
“Kloe” berarti tuli dan “Bangai” berarti bodoh. Kata “kloe” biasanya padanan kata yang sering dipakai orang Aceh adalah “kloe priep”. Ini biasanya digunakan bila seseorang melanggar sesuatu yang telah diberitahukan dengan konsekuensi yang akan diterimanya. Misalnya ketika seorang ibu memarahi anaknya kerena melanggar perintahnya atau tidak peduli apa yang dikatakan ibunya. “Biet-biet aneuk kloe priep.” Adapun “bangai” digunakan untuk menyatakan orang itu bodoh. “Bangai that go kah!”
Padanan kata “Kloe priep” lebih mudah dipahami orang Aceh. “Kloe Bangai” akan terjawab bila orang Aceh atau pembaca memahami kondisi dirinya dari tempo dulu dengan bukti nyata kondisi saat ini. Untuk lebih jelasnya penulis mencoba mengutip sebuah contoh fenomena di Aceh dari sebuah tulisan kolom Harian Aceh (21/08/2008) yang ditulis Taufik Al-Mubarak. Taufik bertanya mewakili pertanyaan kita dengan mengatakan, tidakkah orang Aceh bodoh? Masa dana yang sudah ada, tetapi tidak tahu cara menghabiskannya. Dana yang dimaksud adalah dana yang mengalir ke Aceh yang diplotkan melalui APBA dan APBN. Dana yang begitu besar tidak dapat dikelola. Taufik pun mengingatkan kita kembali dengan anggaran 2007 lalu, sekitar dua triliun lebih dana kembali ke pusat. Ini salah satu fenomena nyata di Aceh. Dan masih banyak lagi fenomena-fenomena lain yang tidak penulis angkat.
Dari fenomena-fenomena pahit yang telah penulis singgung sebelumnya di awal, tujuan sebenarnya adalah untuk membuka dan memanggil kembali memori file yang tersimpan dalam otak kita, mungkin telah hilang dari ingatan kita atau sengaja dilupakan. Rentetan kejadian yang telah dialami orang Aceh, bagi penulis “Aceh kloe bangai”, mudah dibodohi serta dengan mudah melupakannya. Dan semuanya kembali pada orang Aceh untuk menerima atau menolak pernyataan ini.
* Penulis adalah Alumni Universitas Muslim Indonesia Makassar
“Ta’en paleh haram jadah, kuglibloeh-gibloeh kugidham-gidham” sama seperti “Azaban syadiidan aliiman, ghafuurun rahiimun” dalam penekanan artinya. Ketika penggunaan kalimat-kalimat tersebut dalam bahasa Aceh atau bahasa Arab, itu sudah mewakili maksud yang ingin disampaikan secara tegas dan pas. Di sini penulis bukan membahas tentang estetika bahasa yang mungkin tidak akan pernah selesai. Karena hingga saat ini para ahli bahasa belum ada kesepakatan atau bahkan belum selesai membahas tentang estetika bahasa tersebut. Namun, penulis sengaja menyinggung sedikit terkait dalam tulisan ini untuk memberikan gambaran tentang judul di atas.
“Aceh Kloe Bangai” mungkin kalimat ini mewakili kebenaran kenyataan yang sedang dihadapi Aceh. Dari dulu hingga sekarang, rakyat Aceh masih terkatung-katung. Rakyat Aceh selalu cepat terbuai dengan janji-janji para pemimpin yang membawa ’angin syurga’ untuk rakyat. Mulai pertama kali dikhianati Soekarno selaku pemimpin bangsa Indosesia hingga saat setelah puncak ’pembangkangan’ rakyat Aceh yang berakhir damai dengan penandatanganan MoU di Helsinki. Rakyat Aceh masih belum mendapatkan keadilan dan kemakmuran.
Berbagai fenomena yang terjadi saat ini di Aceh hampir serupa atau bahkan sama dengan apa yang diperkirakan oleh Hasanuddin Yusuf Adan, dalam bukunya berjudul “Tamaddun dan Sejarah (Etnografi Kekerasan di Aceh).” Ia menuliskan, ada beberapa fenomena menarik yang akan terjadi di Aceh. Diantarannya, ketika kekuatan-kekuatan sosial menyatu dan menguasai Aceh. Kekuatan sosial keagamaan itu, misalnya mereka yang terhimpun di HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh), dan Rabithah Thaliban yang berbasis dayah tradisional serta kekuatan-kekuatan sosial lain yang memungkinkan Aceh dikuasai oleh mereka seperti alumni Darussalam, kaum reformis yang bergabung dengan Muhammadiyah, Sentral Informasi Referendum Rakyat Aceh (SIRA) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Prediksi Hasanuddin Yusuf Adan, saat itu, kalau kekuatan GAM mendapatkan kesempatan untuk memimpin Aceh maka Aceh akan memiliki warna dan keunikan tersendiri.
Hari ini, apa yang telah diperkirakan oleh Hasanuddin Yusuf Adan, salah satu dari kekuatan-kekuatan sosial itu pun terpilih, yakni GAM. Namun, yang menjadi tanda tanya besar adalah Aceh berwarna apa, keunikan apa yang dimaksud penulis ketika GAM memimpin Aceh? Lanjutnya, paling tidak menurut Hasanuddin Yusuf Adan, kita punya gambaran ke mana arah Aceh masa akan datang (saat ini). Menjadi sebuah wilayah yang maju dan bermartabat atau menjadi lebih parah lagi dari kondisi sebelum damai.
Nah, untuk menjawab fenomena tersebut saat ini, hanyalah rakyat Aceh yang mampu menyimpulkannya sesuai dengan kondisi mereka. Jadi, selama rakyat Aceh belum mampu memberikan jawaban tentang fenomena yang terjadi dan berkembang saat ini, mungkin ada benarnya ungkapan “Aceh Kloe Bangai” ini.
Di sini penulis tidak menyebutkan fenomena-fenomena secara satu persatu. Tujuannya adalah untuk memberikan peluang pada orang Aceh terkhusus pembaca untuk melihat dan menilai langsung fenomena yang ada saat ini dengan membandingkan fenomena kejadian masa silam dan mampu menarik kesimpulannya sendiri dalam menyikapi judul tulisan ini.
Untuk membenarkan suatu kalimat yang cenderung negatif maka perlu diperjelas kalimat tersebut, agar tidak rancu dalam mempersepsikannya. ‘Aceh Kloe Bangai’ tidak sefamiliar dengan “Aceh pungo, Kloe priep” dan beberapa padanan kata atau ungkapan lain yang digunakan orang Aceh dari hasil interaksi sosialnya. Meskipun kata-kata atau ungkapan itu memiliki interpretasi masing-masing sesuai teks dan konteksnya.
“Kloe” berarti tuli dan “Bangai” berarti bodoh. Kata “kloe” biasanya padanan kata yang sering dipakai orang Aceh adalah “kloe priep”. Ini biasanya digunakan bila seseorang melanggar sesuatu yang telah diberitahukan dengan konsekuensi yang akan diterimanya. Misalnya ketika seorang ibu memarahi anaknya kerena melanggar perintahnya atau tidak peduli apa yang dikatakan ibunya. “Biet-biet aneuk kloe priep.” Adapun “bangai” digunakan untuk menyatakan orang itu bodoh. “Bangai that go kah!”
Padanan kata “Kloe priep” lebih mudah dipahami orang Aceh. “Kloe Bangai” akan terjawab bila orang Aceh atau pembaca memahami kondisi dirinya dari tempo dulu dengan bukti nyata kondisi saat ini. Untuk lebih jelasnya penulis mencoba mengutip sebuah contoh fenomena di Aceh dari sebuah tulisan kolom Harian Aceh (21/08/2008) yang ditulis Taufik Al-Mubarak. Taufik bertanya mewakili pertanyaan kita dengan mengatakan, tidakkah orang Aceh bodoh? Masa dana yang sudah ada, tetapi tidak tahu cara menghabiskannya. Dana yang dimaksud adalah dana yang mengalir ke Aceh yang diplotkan melalui APBA dan APBN. Dana yang begitu besar tidak dapat dikelola. Taufik pun mengingatkan kita kembali dengan anggaran 2007 lalu, sekitar dua triliun lebih dana kembali ke pusat. Ini salah satu fenomena nyata di Aceh. Dan masih banyak lagi fenomena-fenomena lain yang tidak penulis angkat.
Dari fenomena-fenomena pahit yang telah penulis singgung sebelumnya di awal, tujuan sebenarnya adalah untuk membuka dan memanggil kembali memori file yang tersimpan dalam otak kita, mungkin telah hilang dari ingatan kita atau sengaja dilupakan. Rentetan kejadian yang telah dialami orang Aceh, bagi penulis “Aceh kloe bangai”, mudah dibodohi serta dengan mudah melupakannya. Dan semuanya kembali pada orang Aceh untuk menerima atau menolak pernyataan ini.
* Penulis adalah Alumni Universitas Muslim Indonesia Makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar